Cari Berita

Sepakat Damai Tanpa Ganti Kerugian, PN Sei Rampah Vonis Pencuri Sawit Pakai RJ

article | Sidang | 2025-06-20 17:00:39

Pengadilan Negeri (PN) Sei Rampah menghukum Terdakwa M. Rian Purba Alias Agok selama 10 hari penjara. Terdakwa di hukum karena telah terbukti mencuri 1 tandan buah kelapa sawit dengan berat keseluruhannya 15 Kg. Perkara tersebut diregister dalam perkara tindak pidana ringan. “Menyatakan Terdakwa M. Rian Purba Alias Agok telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian Ringan”. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) hari,” bunyi Putusan yang dibacakan oleh Hakim Tunggal M. Luthfan Hadi Darus dengan didampingi oleh Emily Fauzi Siregar sebagai Panitera Sidang, Jumat Siang 20/6. Kasus bermula saat Terdakwa bersama rekan Terdakwa mengambil 1 tandan kelapa sawit milik korban dengan maksud untuk dijual. Namun, belum sempat Terdakwa menjual sawit tersebut, pserbuatan Terdakwa diketahui oleh warga sekitar dan Terdakwa langsung diamankan serta diserahkan kepada pihak yang berwenang. “Pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap karena Terpidana dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana atau tidak memenuhi suatu syarat yang ditentukan sebelum lewat masa percobaan selama 1 bulan,” lebih lanjut bunyi amar tersebut. Berdasarkan pantauan Tim DANDAPALA, dalam persidangan tersebut antara Terdakwa dengan Saksi Korban telah terjadi perdamaian, dimana Terdakwa telah meminta maaf kepada Saksi Korban. Selain itu, Saksi Korban telah memaafkan korban dengan syarat korban tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selain itu, Saksi Korban juga tidak meminta ganti kerugian, dikarenakan jumlah kerugian yang dideritanya hanya 15 Kg dengan total kerugian Rp40.500.- Dipersidangan juga disampaikan, antara Terdakwa dan Saksi Korban telah berdamai, korban juga tidak meminta ganti kerugian serta tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa menimbulkan kerugian Rp40.500.- atau tidak lebih dari Rp2.5 juta, maka demi keadilan dan kemanfaatan Hakim dapat menerapkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. (ldr)

PN Pasaman Barat Terapkan Keadilan Restoratif Perkara Penganiayaan

article | Berita | 2025-06-18 14:00:09

Pasaman Barat - Adagium Hukum yang menyebutkan “sebaik-baik penyelesaian perkara adalah dengan perdamaian” terpancar dalam persidangan perkara Nomor 80/Pid.B/2025/PNPsb di Pengadilan Negeri Pasaman Barat Kelas IB. Dalam perkara tersebut, Majelis Hakim menjatuhkan putusan pidana bersyarat terhadap Terdakwa MR. Pengucapan putusan dilaksanakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal 16 Juni 2025 di Ruang Sidang Pengadilan Negeri Pasaman Barat.Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyebutkan telah ada perdamaian antara Terdakwa dengan Korban. “Bahwa didalam persidangan Saksi korban secara langsung menyampaikan telah memaafkan Terdakwa atas perbuatan pemukulan yang dilakukannya terhadap saksi korban. Kemudian korban menyadari perbuatan Terdakwa tersebut hanyalah karena emosi sesaat dan Terdakwa sedang berada dalam pengaruh minuman keras (mabuk),” ucap Ketua Majelis Hakim, Ade Satriawan, didampingi oleh Riskar Stevanus Tarigan dan Safrijaldi, sebagai Hakim Anggota dalam rilis berita dari PN Pasaman Barat yang diterima Tim DANDAPALA.Lebih lanjut, dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim juga menyebutkan bahwa penjatuhan pemidanaan berupa pidana percobaan adalah bentuk penerapan keadilan restoratif yang berpedoman kepada Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Keadilan Restoratif, dimana dalam Pasal 19 beleid dimaksud menyebutkan, kesepakatan perdamaian dan/atau kesediaan Terdakwa untuk bertanggung jawab atas kerugian dan/atau kebutuhan Korban sebagai akibat tindak pidana menjadi alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.“Dengan adanya perdamaian antara Terdakwa dengan Korban, maka telah terjadi pemulihan hubungan antara keduanya, sehingga diharapkan antara terdakwa dan korban dapat menjalankan kehidupan sosial ditengah masyarakat seperti sedia kala,” sebut Hakim Ade Satriawan, yang juga menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Pasaman Barat. Setelah putusan dibacakan, terlihat raut muka kebahagian dari seluruh hadirin yang ada dalam ruang sidang. Atas putusan ini, baik JPU maupun Terdakwa menyatakan menerima putusan. (AAR/FAC)

PN Sarolangun Pakai Keadilan Restoratif di Kasus Pencurian Sawit Antar Keluarga

article | Berita | 2025-06-18 11:00:37

Sarolangun — Pengadilan Negeri (PN) Sarolangun, Jambi menjatuhkan putusan terhadap perkara pencurian sawit dengan terdakwa Riski Anggara Putra Bin M. Asmi melalui pendekatan keadilan restoratif, Senin (16/6). Pendekatan ini dilakukan sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.Terdakwa dinyatakan bersalah mencuri 59 janjang sawit milik Abdul Roni Bin M. Satar dengan total berat 637 kilogram. Peristiwa terjadi pada 22 Januari 2025 di Desa Temenggung, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun. Kerugian yang dialami korban ditaksir sebesar Rp1.719.900,00.Dalam sidang pada 26 Mei 2025 terungkap bahwa terdakwa dan korban masih memiliki hubungan keluarga. Terdakwa mengaku tidak mengetahui bahwa sawit yang dipanennya berasal dari kebun milik kerabatnya. Majelis hakim mempertimbangkan nilai kerugian yang tidak lebih dari Rp2.500.000,00 dan mendorong perdamaian antar pihak.Terdakwa dan korban sepakat berdamai dengan sejumlah ketentuan: terdakwa mengakui perbuatannya, menyatakan penyesalan, berjanji tidak mengulanginya, dan mengganti kerugian sebesar Rp2.000.000,00. Nilai ganti rugi ini mencakup dampak kerusakan pohon sawit akibat pemanenan yang tidak tepat.Majelis hakim yang diketuai Reindra Jasper H. Sinaga dengan anggota Juwita Daningtyas dan Dzakky Hussein menjatuhkan pidana penjara 6 bulan dengan masa percobaan selama 1 tahun serta kewajiban membayar ganti rugi sebagai syarat khusus.Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengkritik tuntutan penuntut umum yang hanya mengandalkan pidana sesuai masa tahanan. Menurut hakim, diperlukan pengawasan terhadap terdakwa melalui pidana bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14a KUHP.Putusan ini mencerminkan komitmen PN Sarolangun dalam mengedepankan pemulihan dan rekonsiliasi dalam penyelesaian perkara pidana ringan, khususnya yang melibatkan hubungan keluarga, guna menciptakan keadilan yang berkelanjutan dan konstruktif. snr/fac

Terapkan Restorative Justice, PN Amuntai Pulihkan Hubungan Terdakwa dan Korban Penganiayaan

article | Sidang | 2025-05-28 12:00:31

Amuntai - Pengadilan Negeri Amuntai menjatuhkan pidana percobaan kepada Norifansyah (37) dalam kasus penganiayaan ringan terhadap Abdul Mukito (75). Putusan yang diucapkan oleh Gland Nicholas selaku Hakim tunggal tersebut mempertimbangkan keadilan restoratif (Restorative Justice) dengan mengedepankan pemulihan hubungan antara Terdakwa dan Korban.“Menyatakan Terdakwa Norifansyah Bin Suriani (Alm) tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan ringan. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 3 (tiga) bulan berakhir”, ucap Hakim Tunggal, Gland Nicholas dalam sidang terbuka untuk umum di ruang sidang Pengadilan Negeri Amuntai Senin (26/5/2025).Kasus antara Terdakwa dan Korban tersebut merupakan permasalahan yang sudah berlarut-larut bahkan di tahun 2022 dan 2023 perselisihan antara keduanya tersebut sudah sempat dilakukan mediasi di Kantor Desa. Tetapi hubungan antara Terdakwa dan Korban tidak kunjung membaik bahkan perselisihan berlanjut sampai terjadi perselisihan secara fisik. Perselisihan secara fisik tersebut bermula pada Selasa, 13 Mei 2025 sekitar jam 07.00 WITA dimana Terdakwa dan Korban bertemu di Jalan Norman Umar kemudian terjadi adu mulut antara keduanya yang berlanjut hingga Terdakwa memeluk Korban dan menjatuhkan Korban sampai tersungkur ke tanah serta menyebabkan luka pada bagian kaki dan lutut Korban yang mana hal tersebut tertuang dalam hasil pemeriksaan dr. Henny Dwi Nurlita.Dalam proses persidangan, Hakim tunggal yang ditetapkan dalam memeriksa perkara tersebut terus mengupayakan perdamaian guna memulihkan kembali hubungan antara Norifansyah selaku Terdakwa dan Abdul selaku Korban. Pada awal persidangan setelah dibacakan catatan dakwaan dari Penyidik atas Kuasa Penuntut Umum, Terdakwa tidak membenarkan semua perbuatannya yang kemudian Hakim melanjutkan proses persidangan dengan mendengarkan keterangan Para Saksi dan Terdakwa. Setelah mendengar keterangan tersebut Hakim kembali memfasilitasi kesepakatan perdamaian antara Terdakwa dan Korban dengan menekankan kepada pemulihan hubungan di hari yang akan datang, terlebih Terdakwa dan Korban merupakan tetangga di lingkungan tempat tinggalnya. Alhasil, Terdakwa dan Korban bersepakat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan dengan saling memaafkan serta untuk saling menghormati di hari yang akan datang.Hakim dalam putusannya mempertimbangkan kesepakatan perdamaian tersebut dengan ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif serta mengaitkannya dengan hubungan antara Terdakwa dan Korban dimasa yang akan datang guna menjadi alasan yang meringankan dan menjatuhkan pidana bersyarat terhadap Terdakwa. Dalam putusan pidana percobaan yang dibacakan tersebut Terdakwa tidak perlu menjalani pemidanaan selama 1 (satu) bulan tersebut kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 3 (tiga) bulan berakhir. “Pendekatan Keadilan Restoratif yang diterapkan merupakan upaya nyata dari Pengadilan untuk mengedepankan penyelarasan kepentingan pemulihan Korban dan pertanggungjawaban Terdakwa serta memastikan bahwa proses penegakan hukum tidak hanya bertumpu pada pemidanaan berupa pemenjaraan terhadap Terdakwa”, ucap Juru Bicara Pengadilan Negeri Amuntai tersebut. fac

Pelaku dan Korban Pengeroyokan Berdamai, PN Tubei Terapkan Keadilan Restoratif

article | Sidang | 2025-05-24 14:20:36

Kabupaten Lebong, Bengkulu - Pengadilan Negeri (PN) Tubei menerapkan keadilan restoratif dalam mengadili perkara pengeroyokan yang dilakukan oleh Terdakwa Repaldo. Perkara tersebut diputus oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tubei, Ria Ayu Rosalin selaku hakim ketua dengan Kurnia Ramadhan dan Adella Sera Girsang sebagai hakim anggota.“Menyatakan Terdakwa Repaldo, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang sebagaimana dalam dakwaan kesatu Penuntut Umum”, bunyi amar putusan Nomor 25/Pid.B/2025/PN Tub yang dikutip Tim DANDAPALA dari website Direktori Putusan MA.Majelis hakim tersebut menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan.Perkara ini bermula dari pengeroyokan yang dilakukan oleh Terdakwa dan teman-temannya kepada Korban. Dalam pertimbangan putusan tersebut, bahwa antara Korban dan Terdakwa sudah membuat surat kesepakatan perdamaian yang pada pokoknya menyatakan bahwa Korban dan Terdakwa sudah saling memaafkan dan berharap agar mereka bisa hidup seperti sebelum terjadinya tindak pidana dan disamping itu Korban sudah mengikhlaskan dan legowo akan kejadian ini.Lebih lanjut pertimbangannya, oleh karena antar pihak sudah berdamai, maka Majelis Hakim merasa tidak dibutuhkan lagi adanya hukuman yang memperlama pemidanaan bagi Terdakwa karena perdamaian antara para pihak tersebut menunjukkan telah tercapainya sejumlah tujuan mengadili perkara berdasarkan keadilan restoratif, sebagaimana Perma 1 Tahun2024.Selain itu, Mejelis Hakim dalam pertimbangannya juga tidak ada menemukan keadaan yang memberatkan. Melainkan adanya keadaan yang meringankan Terdakwa yaitu sudah tercapai kesepakatan perdamaian antara Terdakwa dan Korban. fac

Nenek Minah, Restorative Justice dan Lahirnya Perma 2/2012

article | History Law | 2025-04-25 14:10:56

KISAH Nenek Minah adalah kasus menimpa seorang wanita tua warga Banyumas, Jawa Tengah, yang dituduh mencuri 3 buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA). Peristiwa ini terjadi pada tahun 2009 silam ketika Nenek Minah menunaikan pekerjaannya memanen kedelai di perkebunan RSA.Sebagaimana DANDAPALA kutip dari buku Restorative Justice: Alternatif Baru Dalam Sistem Pemidanaan yang ditulis Iba Nurkasihani, kasus Nenek Minah memang cukup fenomenal. Karena kasus ini bermula ketika Nenek Minah mendapati 3 buah kakao di atas pohon perkebunan tempatnya bekerja yang terlihat nampak matang. Maksud hati memetik untuk disemai sebagai bibit pada tanah garapannya. Kemudian dia meletakkan kakao di bawah pohon tak lama kemudian, mandor kakao perkebunan menegur Nenek Minah lantaran 3 buah kakao yang nampak tergeletak di bawah pohon. Tak mengelak dari perbuatannya, Nenek Minah mengaku dan memohon maaf kepada mandor dan menyerahkan kembali ketiga kakao itu,ungkap buku itu. “Sekitar seminggu kemudian, Nenek Minah menerima surat panggilan dari kepolisian atas dugaan pencurian,” beber buku tersebut.Pada akhirnya kasus itu naik di meja hijau yang kala itu disidangkan pada Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Nenek Minah kala itu didakwa atas pencurian (Pasal 362) terhadap 3 buah kakao seberat 3 kilogram dengan perhitungan harga Rp 2.000 per kilogram.Pada saat itu Majelis Hakim PN Purwokerto yang diketuai Muslih Bambang Luqmono,SH., memutuskan Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Persidangan Perkara No. 247/PID.B/2009/PN.Pwt ini ramai dibincangkan dan menyita perhatian publik lantaran kasus kecil tetap diproses hukum hingga ke pengadilan.Kasus Nenek Minah adalah pembuka fenomena penerapan Restorative Justice (RJ) mengambil kakao dengan terdakwa Nenek Minah yang kemudian kasusnya menjadi referensi Jaksa Agung hingga Kapolri  menyuarakan penerapan restorative justice dalam berbagai kasus. Kasus Nenek Minah ini sampai sekarang bagai landmark case untuk penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice (RJ) dalam pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang.Konsep RJ sendiri sebetulnya berupaya untuk mengembalikan ke keadaan semula, tapi tidak kemudian menghapuskan kejahatan dari pelaku. Kesalahan akan tetap ada pada pelaku. Namun RJ membuka peluang bagi korban untuk memaafkan serta pelaku untuk mengkoreksi perilakunya. Tetap pada pokoknya hukum pidana memberi peringatan bagi masyarakat jangan membuat perbuatan yang melanggar UU karena terdapat ancaman pidana. Kasus Nenek Minah memberikan pelajaran bahwa hukum tidak hanya bekerja secara normatif atau teori semata, namun bagaimana hukum itu diterapkan dalam kasus di persidangan. Di tahun 2012  kemudian lahir Perma Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP terkait Tindak Pidana Ringan. Di mana kerugian yang ditimbulkan kurang dari 2,5 juta. (EES/asp).

Paradigma Restorative Justice dalam Peradilan Pidana Modern

article | Opini | 2025-04-02 08:10:01

Dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, restorative justice atau keadilan restoratif adalah istilah yang sangat jamak digunakan pada konteks penegakan hukum pidana. Dari hasil penelusuran Google Trends misalnya, kata kunci “restorative justice” mulai menunjukkan tren peningkatan pada tahun 2012. Salah satu penyebabnya karena UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang terbit pada tahun tersebut. Beleid ini merupakan aturan positif yang pertama kali memperkenalkan istilah “keadilan restoratif”. Prinsip keadilan restoratif terwujud dalam bentuk diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar peradilan pidana. Walaupun kini merupakan terminologi ilmu hukum, akan tetapi embrio awal restorative justice justru ditulis oleh psikolog bernama Albert Eglash. Dalam publikasi tahun 1958 bertajuk Creative Restitution. A Broader Meaning for an Old Term, Eglash mengemukakan upaya restitutif pada proses penghukuman sebagai “bentuk pendekatan mental, membangun kekuatan diri, mengembangkan ego yang sehat”. Kerangka ini dikembangkan lebih lanjut pada tahun 1990 oleh kriminolog asal Amerika Serikat Howard Zehr melalui Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice. Zehr yang kini dikenal luas sebagai the grandfather of restorative justice mengkritik paradigma sistem peradilan retributif (pembalasan) karena hanya cenderung menghukum pelaku tanpa memperhatikan kebutuhan korban. Maka dari itu, restorative justice hadir untuk mengakomodasi kepentingan korban dan mendorong pemulihan keadaan seperti semula.Di Indonesia, restorative justice memang merupakan paradigma penegakan hukum yang relatif baru. Pendekatan ini mulai diperhatikan pada sekitar tahun 2012 pasca kasus pencurian kakao Mbok Minah yang kala itu benar-benar menggegerkan publik. Minah, 55 tahun, dijatuhi pidana penjara selama 1 bulan dan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan karena terbukti mencuri 3 buah kakao. Perkara inilah yang selanjutnya melahirkan memorandum Nota Kesepahaman Mahkumjakpol tahun 2012 mengenai penerapan restorative justice dalam perkara tindak pidana ringan. Di samping itu, Mahkamah Agung juga menerbitkan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Pada ketentuan ini, seluruh nilai denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali lipat agar sesuai dengan inflasi, sedangkan nilai kerugian pada beberapa delik tindak pidana ringan disesuaikan menjadi Rp2,5 juta.Pada tanggal 7 Mei 2024, Mahkamah Agung meluncurkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam aturan tersebut, terdapat beberapa poin penting yang akan mengubah lanskap praktik hukum acara pidana. Pertama, mekanisme restorative justice tidak bisa diterapkan jika tak ada kesepakatan antara terdakwa dan korban, merupakan pengulangan tindak pidana sejenis dalam jangka waktu tiga tahun, serta jika terdapat relasi kuasa. Timpangnya kedudukan antara pelaku dan korban karena relasi kuasa inilah yang kerap luput dari perhatian penegak hukum. Akibatnya, korban terpaksa menyetujui kesepakatan damai disebabkan intimidasi, eksploitasi, atau kesenjangan hierarki status sosial. Hal ini terjadi contohnya dalam penghentian perkara kasus pelecehan pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan alasan korban telah dinikahkan dengan pelaku. Kedua, mekanisme restorative justice di persidangan dimulai setelah penuntut umum membacakan surat dakwaan. Apabila terdakwa membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan dan tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi), maka hakim melanjutkan agenda sidang dengan pemeriksaan saksi korban. Hakim kemudian menanyakan tentang kronologis tindak pidana yang dialami, kerugian yang timbul dan kebutuhan korban, serta adanya perdamaian dengan terdakwa sebelum persidangan, termasuk realisasinya. Pada tahap ini, hakim memiliki peran aktif untuk menggali informasi mengenai dampak tindak pidana, kerugian ekonomi, dan biaya medis korban serta kemampuan terdakwa dalam melaksanakan kesepakatan perdamaian. Dengan menyampaikan permasalahan dan kebutuhan masing-masing, terdakwa dan korban akan terlihat sebagai individu yang lebih manusiawi. Melalui paradigma restorative justice, korban dapat mengerti apa motif dan tujuan seseorang melakukan tindak pidana, sedangkan terdakwa memahami bagaimana dampak perbuatannya akan mempengaruhi kehidupan seseorang.Ketiga, kesepakatan perdamaian antara korban dan terdakwa dapat menjadi alasan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan berupa pidana bersyarat/pengawasan (voorwaardelijke straf). Demi memastikan terdakwa melaksanakan kesepakatan perdamaian, hakim juga dapat memasukkannya sebagai syarat khusus dalam diktum putusan. Dengan demikian, restorative justice dapat mendorong alternatif pemidanaan selain pidana penjara dan berpotensi mengurangi tingkat overcrowding lapas/rutan yang kini telah menyentuh angka 92%. Hal ini sekaligus membantah kekeliruan umum bahwa tujuan restorative justice pasti bermuara ke penghentian perkara. Padahal, penerapan prinsip keadilan restoratif sama sekali tidak menihilkan pertanggungjawaban pidana.Restorative justice merupakan pendekatan yang berorientasi pada pemulihan keadaan dan kondisi korban dengan melibatkan peran serta pelaku. Pada sistem peradilan pidana modern, restorative justice menuntut peran sentral hakim dalam proses penegakan hukum yang lebih humanis. Melalui Perma Nomor 1 Tahun 2024, tugas hakim kini bukan hanya sekedar menjatuhkan hukuman, akan tetapi juga turut mengupayakan kesepakatan perdamaian. Dengan demikian, proses peradilan dapat memastikan agar hak-hak korban terpenuhi, mendorong partisipasi pelaku, serta membuka alternatif pemidanaan selain penjara.

Perma RJ Tahun 2024: Mencegah Pergeseran Paradigma Sekadar Perdamaian

article | Opini | 2025-03-31 08:10:06

Restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif adalah salah satu konsep pendekatan pemidanaan dalam Sistem Peradilan Pidana yang telah dikenal oleh sistem hukum negara-negara dunia maupun di Indonesia. Terminologi Restorative justice berasal dari kata dasar “restore” berarti mengembalikan, memulihkan atau memperbaiki. Lebih lengkap "restorative justice" berasal dari gabungan dua kata yaitu "restorative" (pemulihan) dan "justice" (keadilan). Istilah "restorative" mengacu pada proses atau kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan yang rusak atau terganggu ke kondisi semula atau lebih baik. Dalam konteks keadilan, ini berarti memulihkan kerugian yang diderita oleh korban dan memperbaiki dampak kejahatan terhadap masyarakat dan pelaku. Sedangkan istilah “justice” adalah prinsip moral dan hukum yang memastikan bahwa setiap individu diperlakukan dengan cara yang benar, adil, dan setara. Ini melibatkan pemberian hak yang sesuai dan penanganan yang adil terhadap pelanggaran hukum. Konsep Restorative justice secara garis besar berfokus pada pemulihan kerugian yang dialami oleh korban, rehabilitasi pelaku, dan pemulihan hubungan sosial di masyarakat yang terganggu akibat perilaku tindak pidana. Tahun 2024 lalu, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang mengukuhkan prinsip-prinsip restorative justice ini dalam sistem peradilan Indonesia. Sebelum restorative justice disebutkan secara eksplisit dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, konsep restorative justice telah ditemukan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).Ketentuan pasal 1 angka 6 UU SPPA menyebutkan “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan” dilanjutkan pada Pasal 5 ayat (1) UU SPPA berbunyi” Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”. bunyi pasal tersebut menjelaskan dalam sistem peradilan pidana anak mengutamakan pendekatan restoratif dalam penanganan kasus anak sebagai pelaku.Selang sewindu setelah konsep pendekatan restorative justice sering didengungkan, institusi-institusi penegak hukum menerbitkan peraturan internal mereka antara lain Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Badilum) Nomor 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan beberapa ketentuan lain yang tidak secara langsung mengatur restorative justice tetapi pengaturannya telah menggunakan pendekatan yang lebih restoratif.Empat tahun setelah Badilum menerbitkan pedoman tersebut, Mahkamah Agung menetapkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tersebut dengan tujuan mendukung kelancaran penyelenggaraan peradilan, mengisi kekosongan dalam hukum dan sebagai letigimasi pengaturan restorative justice. Pasal 1 angka 1 Perma Nomor 1 Tahun 2024 menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak terkait lainnya untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perma tersebut menjelaskan pada pokoknya restorative justice dapat diterapkan pada tindak pidana ringan, delik aduan, tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara, pelaku anak yang diversinya tidak berhasil, dan tindak pidana lalu lintas berupa kejahatan. Namun, Pasal 6 ayat (2) Perma tersebut juga membatasi kewenangan Majelis Hakim pada perkara yang tidak dapat menerapkan restorative justice, antara lain jika korban atau terdakwa menolak perdamaian, terdapat relasi kuasa, atau terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu tiga tahun.Mekanisme yang diatur dalam Perma ini singkatnya adalah pada sidang pertama, jika terdakwa membenarkan perbuatan dan tidak ada nota keberatan, proses dilanjutkan dengan mekanisme restorative justice (vide Pasal 7). Majelis hakim memeriksa kehadiran korban dan meminta keterangannya mengenai kronologis tindak pidana, kerugian, dan perdamaian sebelumnya (vide Pasal 8). Jika sudah ada perdamaian, majelis hakim memeriksa kesepakatan tersebut dan menjadikannya pertimbangan dalam putusan (vide Pasal 9).Jika perdamaian belum terjadi atau belum dilaksanakan sepenuhnya, majelis hakim mengupayakan kesepakatan baru yang disanggupi oleh kedua belah pihak. Kesepakatan harus dicapai tanpa kesesatan, paksaan, atau penipuan (vide Pasal 10-13).Dalam kasus delik aduan, kesepakatan antara terdakwa dan korban dapat berupa terdakwa melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan penarikan pengaduan. Jika ditandatangani di hadapan majelis hakim, penuntutan dianggap gugur. Jika belum ada perdamaian, majelis hakim akan menganjurkan terdakwa dan korban untuk mencapai kesepakatan. Jika disetujui, majelis hakim membantu mencapai kesepakatan (vide Pasal 14-15).Majelis hakim dapat memerintahkan penuntut umum memanggil pihak terkait, seperti tokoh agama atau masyarakat, untuk mendukung kesepakatan perdamaian. Mekanisme restorative justice harus dilakukan sebelum tuntutan pidana diajukan, dengan memperhatikan masa penahanan terdakwa dan jangka waktu penyelesaian perkara (vide Pasal 16-17).Implementasi dalam putusan majelis hakim setelah mekanisme mengadili berdasarkan restorative justice telah dilalui sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan kesepakatan perdamaian yang berisi penggantian kerugian, pelaksanaan atau tidak melaksanakan perbuatan tertentu adalah majelis hakim menerapkan dalam putusan menjadi pertimbangan yang meringankan hukuman atau sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan (vide Pasal 18-19). Adapun tanda pengukuhan bahwa restorative justice telah diterapkan yaitu majelis hakim akan mencantumkan ketentuan peraturan Mahkamah Agung ini dalam putusannya (vide Pasal 21).Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa pendekatan restorative justice adalah pendekatan yang lebih komprehensif daripada sekadar perdamaian. Namun, sering kali ditemukan dalam praktik peradilan pidana, baik pada tahapan sejak penyidikan hingga penuntutan di persidangan, ditemukan terjadi pergeseran pemahaman dimana restorative justice menjadi sekadar upaya untuk mencapai perdamaian antara pelaku dan korban. Dalam beberapa kasus, pendekatan restorative justice diinterpretasikan sebagai mediasi sederhana tanpa adanya upaya untuk mengatasi dampak-dampak dari kejahatan yang terjadi. Misalnya, dalam kasus tertentu, pelaku dan korban lebih ditekankan untuk berdamai tanpa menekankan upaya untuk memperbaiki kerugian yang dialami korban atau rehabilitasi bagi pelaku, ketika ada permaafan dari korban. Pencapaian restoratif berupa pemulihan seolah menjadi asesor. Seolah ada atau tidak ada ketentuan pemulihan yang ditetapkan tidak menjadi masalah asalkan perdamaian telah tercapai.Contoh keresahan mengenai pergeseran paradigma mengenai restorative justice antara lain dapat dilihat dalam tulisan Nurul Nur Azizah yang berjudul “Riset Komnas Perempuan: Restorative Justice Harus Berperspektif Korban, Realitasnya Belum” (2023). Ia menyebutkan bahwa restorative justice tidak seharusnya dianggap sebagai upaya untuk mendamaikan korban dan pelaku demi melupakan kasus atau menyelesaikan kasus dengan menikahkan pemerkosa dan korbannya.Dalam tulisan Nurul Nur Azizah tersebut juga menyajikan data dari riset Komnas Perempuan bahwa dari 68 responden, 45 orang merasa belum pulih, sementara 21 lainnya merasa lebih pulih dengan hasil atau kesepakatan yang dicapai. Jumlah korban yang merasa pulih relatif merata di tiga wilayah, tetapi yang merasa belum pulih lebih banyak di wilayah timur (18 orang) dibandingkan dengan wilayah barat (15 orang) dan tengah (12 orang). Data tersebut menunjukkan masih banyak divergensi persepsi akan penerapan restorative justice yang ditunjukkan dari riset hasil yang dirasakan oleh korban-korban.Tercapainya suatu perdamaian bukanlah hal buruk dalam suatu perkara pidana karena sejak dahulu dalam praktik peradilan pidana, perdamaian juga sering disebutkan sebagai keadaan yang meringankan terdakwa.  Akan tetapi, apabila membahas mengenai perkara yang dinyatakan telah menerapkan pendekatan restorative justice hanya ketika perdamaian telah tercapai adalah belum tepat sepenuhnya karena konsep tercapainya perdamaian dibandingkan penerapan restorative justice adalah berbeda. Restorative justice semestinya memiliki mekanisme yang bertujuan untuk mengedepankan bentuk pemulihan kepada korban. Hal itu merupakan kesatuan dari perdamaian, keterlibatan pihak terkait, batasan syarat, batasan waktu pelaksanaan, mekanisme proses berjalan, memperhatikan hak korban dan tanggung jawab Terdakwa, sehingga mencapai pemulihan yang berkeadilan.Restorative justice dalam perspektif Perma Nomor 1 Tahun 2024 memberikan uraian baik teknis maupun administratif dalam Sistem Peradilan Pidana, terkhusus kepada para hakim dalam mengadili perkara pidana dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan restoratif. Artinya, restoratif dianggap telah diterapkan ketika mekanisme telah dilaksanakan sesuai ketentuan tersebut hingga pelaksanaan bentuk pemulihan yang dihadirkan kepada seluruh pihak terkhusus bagi korban. Selanjutnya, pergeseran paradigma keadilan restoratif berupa anggapan restorative justice telah diterapkan bila pencapaian perdamaian telah terlaksana tetapi tanpa menekankan pemulihan masih perlu dikoreksi, karena tidak sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan oleh restorative justice. Di sisi lain beberapa kalangan memandang kehadiran Perma tersebut dirasa membatasi ruang gerak untuk menerapkan restorative justice dalam beberapa perkara karena pengaturan batasan kategori-kategori dan mekanisme yang cukup kompleks. Pada akhirnya, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai penerapan restorative justice, kehadiran Perma tersebut dengan segala ketentuan yang terkandung di dalamnya, membantu mempertahankan paradigma mengenai restorative justice agar tetap sesuai dan tidak diartikan sederhana sekadar perdamaian.

Saat PN Sintang Berhasil Terapkan Restorative Justice Kasus Kades vs Warga

article | Berita | 2025-03-24 14:00:01

Sintang- Pengadilan Negeri (PN) Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar) berhasil melakukan upaya keadilan restoratif antara Kepala Desa (Kades) Vs warganya. Bagaimana ceritanya?Sebagaimana dirangkum DANDAPALA, Senin (24/3/2025), kasus itu tertuang dalam perkara Nomor 211/Pid.B/2024/PN Stg. Perkara tersebut berawal dari konflik yang terjadi antara Kades dengan warga Desa Penjernang, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Konflik muncul akibat pemberlakuan peraturan desa tentang larangan penjualan minuman keras dan praktik perjudian yang mendapat penolakan oleh sebagian warga desa. Penolakan tersebut membuat Kades Penjernang melakukan tindak pidana perusakan kaca mobil dan pintu rumah milik para warga yang kontra dengan pemberlakuan peraturan tersebut. Para warga tidak terima dengan sikap Terdakwa. Kemudian melaporkan perbuatan perusakan tersebut ke kepolisian hingga akhirnya perkara tersebut dilimpahkan ke PN Sintang. Konflik tersebut juga telah menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat desa. Sebagian mendukung Terdakwa dan sebagian lagi mendukung para korban. Perseteruan ini berlangsung lama dan telah menjadi konflik sosial yang mendapatkan perhatian dan penanganan serius dari Pemkab Sintang. Namun sayangnya sampai dengan perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan persoalan tersebut tidak dapat didamaikan sebab para korban menolak untuk berdamai.Awal mula persidangan, Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 406 ayat (1) KUHP. Maka sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf c Perma 1/2024, majelis hakim menerapkan keadilan restoratif dan kemudian menganjurkan Terdakwa dan Para Korban untuk menempuh jalan damai dan membuat kesepakatan perdamaian.Berdasarkan anjuran dari majelis hakim, Terdakwa dan para korban bersedia untuk membuat kesepakatan perdamaian, kemudian sesuai dengan Pasal 12 dan Pasal 15 Perma 1/2024 tersebut, majelis hakim menggali informasi antara lain berupa:a. dampak tindak pidana terhadap Para Korban;b. kerugian ekonomi dan/atau kerugian lain yang timbul sebagai akibat tindak pidana; danc. kemampuan Terdakwa untuk melaksanakan kesepakatan;Kemudian Terdakwa dan Para Korban sepakat untuk membuat kesepakatan perdamaian sebagai berikut:1. Terdakwa telah memohon maaf kepada Korban Stepanus Lewi dan Korban Stepanus Lewi telah memaafkan kesalahan Terdakwa;2. Terdakwa dan Korban Stepanus Lewi sepakat berdamai dan tidak akan menuntut apabila dalam Pengadilan Negeri Sintang menyatakan Terdakwa lepas dari semua tuntutan;3. Terdakwa bersedia membayar ganti kerugian sejumlah Rp 5 juta kepada Korban Stepanus Lewi;4. Terdakwa dan Korban Matius Bungsu sepakat untuk berdamai;5. Terdakwa telah mengganti kerugian yang dialami Korban Matius Bungsu dan melaksanakan syarat Adat Istiadat (Mali Rumah); dan6. Korban Matius Bungsu berjanji tidak akan menuntut dalam bentuk apa pun kepada Terdakwa di kemudian hari;Berdasarkan kesepakatan perdamaian tersebut dan oleh karena poin-poin dalam kesepakatan perdamaian tersebut telah dilaksanakan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 19 Perma Nomor 1/2024, majelis hakim menggunakan kesepakatan perdamaian tersebut sebagai alasan yang meringankan hukuman bagi Terdakwa dan kemudian menjatuhkan pidana bersyarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (asp)

Pakai RJ, PN Bangkalan Berhasil Damaikan Perkara Penadahan Ringan

article | Berita | 2025-03-21 18:15:10

Bangkalan- Pengadilan Negeri (PN) Bangkalan, Jawa Timur (Jatim) berhasil mendamaikan perkara jual beli handhhone hasil kejahatan, Kamis (20/3). Kasus ini bermula saat Anak Terdakwa I memberikan handphone hasil curiannya tersebut kepada Terdakwa I yang bernama M. Anas, kemudian dijual oleh Terdakwa M. Anas. Hakim menyidangkan perkara tersebut dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif (Restoratif Justice/RJ) sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. “Menjatuhkan pidana kepada Para Terdakwa oleh karena itu masing-masing dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan, menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain disebabkan karena Para Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua) bulan berakhir” ucap Hakim Tunggal Kadek Dwi Krisna Ananda. Dalam persidangan antara korban dengan Para Terdakwa telah saling memaafkan. “Para Terdakwa mengakui segala perbuatannya, lalu meminta maaf kepada Saksi Rifai dan Saksi Mutmainnah, dan permintaan maaf tersebut dikabulkan oleh para korban,” ungkap Humas PN Bangkalan saat ditemui Tim Dandapala. Korban dalam perkara pencurian tersebut juga meminta Terdakwa M. Anas agar mendidik anaknya lebih baik dan berharap anak Terdakwa M. Anas tidak lagi melakukan pencurian dan semoga kejadian ini pertama dan terakhir bagi bapak dan anak tersebut. Perdamaian di ruang persidangan tersebut ditutup dengan jabat tangan antara Para Terdakwa dan Korban. (EES)

PN Nanga Bulik Terapkan RJ Perkara Pencurian, Ini Alasannya!

article | Berita | 2025-02-21 10:20:10

Lamandau - Pengadilan Negeri (PN) Nanga Bulik terapkan Restoratif Justice (RJ) dalam perkara pencurian. Adanya perdamaian dengan korban, menjadi alasan dijatuhkannya pidana bersyarat kepada Terdakwa Nur Sokhib dan Feris Sofyan.“Menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama sepuluh bulan. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama satu tahun berakhir”, ucap Ketua Majelis Denny Budi Kusuma didampingi Hakim Anggota Rendi Abednego Sinaga dan Mohammad Pandi Alam pada persidangan yang terbuka untuk umum pada Kamis (20/02/2025).Perkara yang teregister nomor 2/Pid.B/2025/PN Ngb., tersebut bermula dari kedua terdakwa ditangkap massa saat hendak membawa lari motor korban. Meski berhasil diamankan, motor korban mengalami kerusakan karena terjatuh.“… perbuatan Para Terdakwa memenuhi unsur pasal sehingga harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.” kata Ketua Majelis dalam sidang di gedung PN Nanga Bulik, Kabupaten Lamandau. Sedangkan Para Terdakwa mengikuti persidangan secara daring dari Rutan Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat.Penerapan RJ sendiri sebagaimana PERMA Nomor 1 Tahun 2024. “Menyelaraskan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku,” dikutip dari putusan yang dijadikan dasar Majelis Hakim mendorong komunikasi konstruktif hingga tercapai perdamaian.Lebih lanjut, dilansir dari pertimbangan putusan, fakta mengenai nilai kerugian tidak lebih dari 2,5 juta rupiah sebagaimana Pasal 6 Perma 1/2024) dan kedua terdakwa telah membenarkan dakwaan menjadi alasan kuat dijalankan RJ dalam perkara tersebut.“Para Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya dengan mengganti kerugian yang dialami korban dan telah saling memaafkan,” ujar Majelis Hakim. “Dalam RJ, pidana penjara merupakan upaya terakhir, terjadinya perdamaian menghindarkan penerapan perampasan kemerdekaan terhadap kedua terdakwa,” tegas Majelis Hakim.“Kami menerima Yang Mulia,” jawab kedua terdakwa. Sedangkan JPU menyatakan pikir-pikir.