Cari Berita

Paradoks David Gale, Aktivis Anti Hukuman Mati yang Berakhir di Kursi Eksekusi

Jatmiko Wirawan - Dandapala Contributor 2025-09-18 18:10:52
Dok. Ist. Jatmiko Wirawan

Di sebuah ruang yang hening, waktu seakan berhenti. David Gale, seorang professor filsafat dan aktivis anti hukuman mati, tengah duduk di kursi eksekusi, tangandan kakinya terikat, sementara jarum suntik telah menanti. 

Tatapan matanya kosong namun dalam, seolahmenembus batas kehidupan menuju misteri yang abadi. Nafas terakhirnya menyatu dengan bisik doa yang tertahan, sementara mesin jam berdetak tanpa belaskasih. 

Tak berselang lama, jarum menembus kulitnya, pelbagai cairan kimia merayap masuk ke aliran darah. Perlahan namun pasti Gale menutup mata dan tak pernah membukanya kembali.

Baca Juga: Pidana Mati: Melawan Takdir Tuhan atau Menjalankan Takdir Tuhan?

Namun sebelum sampai pada detik-detik itu, Gale adalahseorang profesor brilian dan aktivis gigih yang berdiri di garis depan menentang hukuman mati. Ironisnya, hidupnya justru terjerat dalam tuduhan keji: memperkosa dan membunuh rekannya sesama aktivis. Bukti-bukti mengarah padanya, meski bayangan rekayasa kasus terasa begitu pekat. 

Dunia akademik, ruang kuliah, dan seminar yang dulu menjadi panggung intelektualnya, berganti dengan jeruji dingin dan ruang eksekusi. Ia berjuang, tak hanya untuk membela dirinya, tetapi juga untuk membuktikan bahwa hukuman mati yang ia kritik bisa menjebak siapa pun, bahkan mereka yang paling vokal menentangnya.

Kisah David Gale tersebut bukan kisah nyata, cerita tersebut adalah plot film belaka. Namun film tersebut tak sekadar bercerita, melainkan mengguncang batin dan memaksa kita menimbang ulang makna keadilan. 

The Life of David Gale (2003) melukiskan kisah getir seorang profesor filsafat sekaligus aktivis anti-hukuman mati bernama David Gale. Ironisnya, sang aktivis justru berakhir di kursi eksekusi—dituduh memperkosa danmembunuh rekan seperjuangannya sendiri, Constance Harraway.

Sejak awal, penonton digiring dalam labirin narasi penuh teka-teki. Gale, yang dihormati sebagai intelektual sekaligus pejuang hak asasi, tiba-tiba dituduh melakukan kejahatan paling brutal terhadap sahabatnya. Bukti-bukti yang tampak kuat menyeretnya, pengadilan pun menjatuhkan vonis mati. Di balik jeruji, Gale membuka kisah hidupnya kepada seorang jurnalis muda, Bitsey Bloom. Sedikit demi sedikit, terkuaklah misteri yang membuat penonton terengah: benarkah Gale seorang pembunuh, ataukah ia korban dari sistem yang tak mengenal maaf?

Baca Juga: Paradoks Formulasi Pidana Mati Dalam KUHP Nasional, Dapatkah Menjerakan Pelaku?

Kekuatan film ini bukan hanya pada jalan ceritanya yang memikat, melainkan juga pada refleksi filosofis yang ditawarkannya. The Life of David Gale menelanjangi risiko paling mengerikan dari pidana mati: ketika sistem peradilan keliru, nyawa yang direnggut tak akan pernah kembali. Gale menjadi simbol paradoks: seorang yang menolak hukuman mati, justru menjadi korban dari mekanisme yang ia lawan.

Di Indonesia, gema film ini terasa kian relevan. Pemberlakuan KUHP Nasional menghidupkan kembali perdebatan mengenai pidana mati. Bagi pihak yang pro, hukuman mati dipandang sebagai instrumen pamungkas untuk menjerakan kejahatan luar biasa, dari narkotika hingga terorisme. Namun bagi pihak yang kontra, film seperti The Life of David Gale menjadi pengingat bahwa keadilan tidaklah absolut. “Bagaimana jika hakim keliru? Bagaimana bila kebenaran datang terlambat? (al/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI