Cari Berita

Suara yang Tak Terdengar: Urgensi Peran Saksi Korban Tuli dalam Perkara Pencabulan Anak

Anissa Larasati – Hakim PN Tanah Grogot - Dandapala Contributor 2025-08-29 13:35:17
dok. ist.

Kasus pencabulan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan yang memprihatinkan, yang tidak hanya merusak fisik, tetapi juga menghancurkan mental dan masa depan sang korban. Namun, dalam beberapa kasus, korban yang mengalami keterbatasan fisik, seperti tuli, menghadapi tantangan tambahan dalam proses pengungkapan kebenaran.

Salah satu aspek yang sering terlupakan dalam kasus semacam ini adalah peran saksi korban tuli, yang meskipun tidak dapat mendengar, memiliki potensi besar dalam memberikan bukti yang dapat mengungkapkan fakta-fakta krusial dalam proses hukum.

Suara yang Tak Terdengar: Urgensi Peran Vital Saksi Korban Tuli dalam Perkara Pencabulan Anak menjadi judul yang menggambarkan tantangan dan pentingnya memberikan ruang bagi korban tuli untuk berpartisipasi dalam sistem peradilan.

Baca Juga: Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak

Dalam banyak kasus, korban tuli sering kali diabaikan atau kesulitan dalam menyampaikan kesaksian mereka, meskipun mereka memiliki informasi yang dapat membantu dalam mengungkapkan kebenaran.

Proses hukum yang inklusif dan aksesibilitas bagi korban tuli menjadi hal yang sangat penting agar mereka dapat memberikan keterangan yang berharga dan mendapatkan keadilan yang layak.

Peran vital saksi korban tuli dalam perkara pencabulan anak, bagaimana sistem peradilan harus beradaptasi dengan kebutuhan korban tuli, serta tantangan yang mereka hadapi dalam memberikan kesaksian.

Melalui pembahasan ini, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya menghargai suara yang tampaknya tak terdengar dan memastikan bahwa setiap korban, tanpa memandang keterbatasan fisik, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan.

Proses persidangan perkara pidana yang dilakukan dibawah pengawasan Peradilan Umum pada Pengadilan Negeri dimana berdasarkan pada tempat kejadian pidana tersebut telah terjadi.

Proses pemeriksaan di persidangan merupakah suatu tahapan para pencari keadilan untuk memperoleh kepastian hukum dan juga menjadi tahapan bagi aparatur negara untuk menegakkan hukum pidana yang ada di Indonesia. Tahap pemeriksaan persidangan ini dimulai dengan adanya pelimpahan perkara yang berupa Berita Acara Penyidikan oleh Kepolisian, surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum hingga sampai ke tahapan penjatuhan vonis atau putusan akhir oleh Majelis Hakim di persidangan.

Proses persidangan di pengadilan ini ditujukan untuk mencapai keadilan dan kedamaian serta menemukan kebenaraan materiil yang dimana pembuktian benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan menjadi salah satu bagian terpenting dalam acara pidana terutama untuk tahapan awal proses persidangan.

Dengan adanya hukum acara pidana tersebut maka terdapat kepentingan yang harus dijamin dan dilindungi yaitu antara lain kepentingan masyarakat dan kepentingan individu terdakwa serta kepentingan korban. Kepentingan masyarakat dapat berupa ketertiban umum agar dapat menjalankan kehidupan denga naman dan tentram.

Kepentingan individu terdakwa dapat meliputi penyelenggaraan hukum acara pidana dengan memberikan jaminan dan perlindungan hukum selama proses persidangan berlangsung, sedangkan kepentingan korban yang sesuai dengan KUHAP dapat berupa gabungan perkara gugatan ganti kerugian tetapi belum berfokus pada pemenuhan kebutuhan korban selama proses persidangan.

Proses persidangan harus selalu berdasarkan kepada prinsip peradilan yang adil atau biasa disebut fair trial principle yang merupakan prinsip hukum acara pidana yang berkaitan erat dengan asas persamaan di hadapan hukum dengan memberikan penekanan pada adanya kesamaan hak dan perlakuan yang sama terhadap setiap orang di hadapan hukum, khususnya dari proses awal peradilan dari tahapan penyidikan, tahapan penuntutan, dan tahapan akhir eksekusi hukuman.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau biasa disebut DUHAM yang merupakan hak asasi manusia paling mendasar sebagai hak yang penting untuk diprioritaskan dalam berbagai hukum dan kebijakan di tingkat nasional maupun internasional. DUHAM ditetapkan dalam sidang majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, France. DUHAM menegaskan krusialnya peradilan yang adil dan terbuka dimana semua orang memiliki hak tanpa terkecuali, sebagaimana telah dinyatakan “setiap orang berhak atas kesetaraan penuh untuk mendapatkan peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang independent dan tidak memihak dalam penentuan hak-hak dan kewajibannya dan atas tuduhan criminal terhadapnya.”

Kemudian ketentuan DUHAM tersebut juga mengatur terkait hak-hak tersebut meliputi hak untuk tidak disiksa, hak mendapatkan kedudukan sama tanpa diskriminasi, hak pemulihan oleh pengadilan yang berwenang, hak untuk tidak ditahan dan ditangkap sewenang-wenang, dan hak untuk tidak dipidana karena perbuatan yang pada saat dilakukan belum diatur sebagai tindak pidana.

Aparat penegak hukum harus disarankan meminta pertimbangan, penilaian terhadap pihak yang kompeten seperti dokterm psikolog, psikiater, pekerja sosial atau tenaga Kesehatan sebelum melakukan proses persidangan terkait dengan pemeriksaan terhadap penyandang disabilitas agar lebih mudah memahami gambaran, kondisi, dan memenuhi kebutuhan mereka.

Berdasarkan pada pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, diatur terkait dengan apabila seorang ahli memberikan pertimbangan mengenai pemeriksaan terhadap korban disabilitas dalam hal ini tuli maka dapat dilakukan penundaan hingga waktu yang ditentukan.

Misalkan korban berdasarkan pada hasil penilaian personal penyandang disabilitas hanya bisa dimengerti oleh orang tuanya saja karena tidak pernah dikenalkan dengan bahasa isyarat atau tidak pernah bersekolah di sekolah kebutuhan khusus dan hanya berdasarkan pada bahasa yang dibuat oleh bahasa keseharian dengan orang tuanya saja, maka orang tua diharuskan untuk menjadi saksi dalam pemeriksaan dan ikut menerjemahkan maksud dari bahasa isyarat keseharian tersebut begitupun dengan penerjemah bahasa isyarat juga harus ada dalam pemeriksaan untuk membantu menerjemahkan maksud dan tujuan yang harus disampaikan dari Majelis Hakim kepada korban.

Selanjutnya ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mendefinisikan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara yang bersifat merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan demi terwujudnya Negara Hukum Indonesia.

Sejalan dengan ketentuan tersebut, kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung beserta empat lingkungan peradilan di bawahnya wajib mencerminkan prinsip peradilan yang independen, tidak memihak, memberikan kesempatan yang seimbang kepada para pihak, bersikap objektif, jujur, serta berpegang pada kebenaran.

Sejalan dengan itu, Mahkamah Agung Republik Indonesia, melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1692/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan bagi Penyandang Disabilitas di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri beserta lampirannya, telah menetapkan ketentuan mengenai tata cara pelayanan bagi penyandang disabilitas.

Ketentuan tersebut mencakup pedoman etika berinteraksi, mekanisme tanya jawab, hingga pengaturan durasi persidangan. Hakim berwenang menunda jalannya persidangan dalam hal penyandang disabilitas yang diperiksa belum melalui proses penilaian personal.

Dalam perkara pidana yang melibatkan penyandang disabilitas, baik sebagai saksi, korban, maupun terdakwa, pengadilan wajib terlebih dahulu memastikan terpenuhinya aksesibilitas dan akomodasi yang layak, termasuk ketersediaan sarana dan prasarana fisik pada bangunan gedung pengadilan.

Dengan demikian, hakim tidak cukup sekadar menjadi “pendengar” kesaksian korban tuli, melainkan harus berperan sebagai “penjamin” agar proses tersebut berlangsung setara, tanpa hambatan, dan tetap menjamin hak korban untuk menyampaikan kebenaran.

Mengabaikan hal ini berarti mereduksi prinsip peradilan yang independen dan tidak memihak menjadi sekadar retorika. Pentingnya peran saksi korban tuli dalam perkara pencabulan anak menuntut komitmen pengadilan untuk memastikan aksesibilitas penuh sejak tahap pra-persidangan hingga putusan.

Baca Juga: Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia

Upaya yang perlu dilakukan mencakup prioritas akomodasi layak dalam hukum acara pidana, standarisasi penerjemah bahasa isyarat di seluruh pengadilan, pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum, serta penyesuaian waktu sidang sesuai rekomendasi ahli. Keadilan harus menjangkau pula mereka yang menggunakan bahasa berbeda, karena menghadirkan “suara yang tak terdengar” di ruang sidang merupakan kewajiban konstitusional dan moral dalam negara hukum. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI