Kasus pencabulan anak merupakan salah satu
bentuk kekerasan yang memprihatinkan, yang tidak hanya merusak fisik, tetapi
juga menghancurkan mental dan masa depan sang korban. Namun, dalam beberapa
kasus, korban yang mengalami keterbatasan fisik, seperti tuli, menghadapi
tantangan tambahan dalam proses pengungkapan kebenaran.
Salah satu aspek yang sering terlupakan
dalam kasus semacam ini adalah peran saksi korban tuli, yang meskipun tidak
dapat mendengar, memiliki potensi besar dalam memberikan bukti yang dapat
mengungkapkan fakta-fakta krusial dalam proses hukum.
Suara yang Tak Terdengar: Urgensi Peran
Vital Saksi Korban Tuli dalam Perkara Pencabulan Anak menjadi judul yang
menggambarkan tantangan dan pentingnya memberikan ruang bagi korban tuli untuk
berpartisipasi dalam sistem peradilan.
Baca Juga: Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak
Dalam banyak kasus, korban tuli sering
kali diabaikan atau kesulitan dalam menyampaikan kesaksian mereka, meskipun
mereka memiliki informasi yang dapat membantu dalam mengungkapkan kebenaran.
Proses hukum yang inklusif dan
aksesibilitas bagi korban tuli menjadi hal yang sangat penting agar mereka
dapat memberikan keterangan yang berharga dan mendapatkan keadilan yang layak.
Peran vital saksi korban tuli dalam
perkara pencabulan anak, bagaimana sistem peradilan harus beradaptasi dengan
kebutuhan korban tuli, serta tantangan yang mereka hadapi dalam memberikan
kesaksian.
Melalui pembahasan ini, diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran akan pentingnya menghargai suara yang tampaknya tak
terdengar dan memastikan bahwa setiap korban, tanpa memandang keterbatasan
fisik, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan.
Proses persidangan perkara pidana yang
dilakukan dibawah pengawasan Peradilan Umum pada Pengadilan Negeri dimana
berdasarkan pada tempat kejadian pidana tersebut telah terjadi.
Proses pemeriksaan di persidangan
merupakah suatu tahapan para pencari keadilan untuk memperoleh kepastian hukum
dan juga menjadi tahapan bagi aparatur negara untuk menegakkan hukum pidana
yang ada di Indonesia. Tahap pemeriksaan persidangan ini dimulai dengan adanya
pelimpahan perkara yang berupa Berita Acara Penyidikan oleh Kepolisian, surat
dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum hingga sampai ke tahapan penjatuhan
vonis atau putusan akhir oleh Majelis Hakim di persidangan.
Proses persidangan di pengadilan ini
ditujukan untuk mencapai keadilan dan kedamaian serta menemukan kebenaraan
materiil yang dimana pembuktian benar atau tidaknya terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan menjadi salah satu bagian terpenting dalam acara
pidana terutama untuk tahapan awal proses persidangan.
Dengan adanya hukum acara pidana tersebut
maka terdapat kepentingan yang harus dijamin dan dilindungi yaitu antara lain
kepentingan masyarakat dan kepentingan individu terdakwa serta kepentingan
korban. Kepentingan masyarakat dapat berupa ketertiban umum agar dapat
menjalankan kehidupan denga naman dan tentram.
Kepentingan individu terdakwa dapat
meliputi penyelenggaraan hukum acara pidana dengan memberikan jaminan dan
perlindungan hukum selama proses persidangan berlangsung, sedangkan kepentingan
korban yang sesuai dengan KUHAP dapat berupa gabungan perkara gugatan ganti
kerugian tetapi belum berfokus pada pemenuhan kebutuhan korban selama proses
persidangan.
Proses persidangan harus selalu
berdasarkan kepada prinsip peradilan yang adil atau biasa disebut fair trial
principle yang merupakan prinsip hukum acara pidana yang berkaitan erat
dengan asas persamaan di hadapan hukum dengan memberikan penekanan pada adanya
kesamaan hak dan perlakuan yang sama terhadap setiap orang di hadapan hukum,
khususnya dari proses awal peradilan dari tahapan penyidikan, tahapan
penuntutan, dan tahapan akhir eksekusi hukuman.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau
biasa disebut DUHAM yang merupakan hak asasi manusia paling mendasar sebagai
hak yang penting untuk diprioritaskan dalam berbagai hukum dan kebijakan di
tingkat nasional maupun internasional. DUHAM ditetapkan dalam sidang majelis
umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, France.
DUHAM menegaskan krusialnya peradilan yang adil dan terbuka dimana semua orang
memiliki hak tanpa terkecuali, sebagaimana telah dinyatakan “setiap orang
berhak atas kesetaraan penuh untuk mendapatkan peradilan yang adil dan terbuka
oleh pengadilan yang independent dan tidak memihak dalam penentuan hak-hak dan
kewajibannya dan atas tuduhan criminal terhadapnya.”
Kemudian ketentuan DUHAM tersebut juga
mengatur terkait hak-hak tersebut meliputi hak untuk tidak disiksa, hak
mendapatkan kedudukan sama tanpa diskriminasi, hak pemulihan oleh pengadilan
yang berwenang, hak untuk tidak ditahan dan ditangkap sewenang-wenang, dan hak
untuk tidak dipidana karena perbuatan yang pada saat dilakukan belum diatur
sebagai tindak pidana.
Aparat penegak hukum harus disarankan
meminta pertimbangan, penilaian terhadap pihak yang kompeten seperti dokterm
psikolog, psikiater, pekerja sosial atau tenaga Kesehatan sebelum melakukan
proses persidangan terkait dengan pemeriksaan terhadap penyandang disabilitas
agar lebih mudah memahami gambaran, kondisi, dan memenuhi kebutuhan mereka.
Berdasarkan pada pasal 30 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, diatur terkait dengan
apabila seorang ahli memberikan pertimbangan mengenai pemeriksaan terhadap
korban disabilitas dalam hal ini tuli maka dapat dilakukan penundaan hingga
waktu yang ditentukan.
Misalkan korban berdasarkan pada hasil
penilaian personal penyandang disabilitas hanya bisa dimengerti oleh orang
tuanya saja karena tidak pernah dikenalkan dengan bahasa isyarat atau tidak
pernah bersekolah di sekolah kebutuhan khusus dan hanya berdasarkan pada bahasa
yang dibuat oleh bahasa keseharian dengan orang tuanya saja, maka orang tua diharuskan
untuk menjadi saksi dalam pemeriksaan dan ikut menerjemahkan maksud dari bahasa
isyarat keseharian tersebut begitupun dengan penerjemah bahasa isyarat juga
harus ada dalam pemeriksaan untuk membantu menerjemahkan maksud dan tujuan yang
harus disampaikan dari Majelis Hakim kepada korban.
Selanjutnya ketentuan Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mendefinisikan kekuasaan kehakiman
sebagai kekuasaan negara yang bersifat merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan demi terwujudnya Negara Hukum Indonesia.
Sejalan dengan ketentuan tersebut,
kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung beserta empat
lingkungan peradilan di bawahnya wajib mencerminkan prinsip peradilan yang
independen, tidak memihak, memberikan kesempatan yang seimbang kepada para
pihak, bersikap objektif, jujur, serta berpegang pada kebenaran.
Sejalan dengan itu, Mahkamah
Agung Republik Indonesia, melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum Nomor 1692/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pelayanan bagi Penyandang Disabilitas di Pengadilan Tinggi
dan Pengadilan Negeri beserta lampirannya, telah menetapkan ketentuan mengenai
tata cara pelayanan bagi penyandang disabilitas.
Ketentuan tersebut mencakup pedoman etika
berinteraksi, mekanisme tanya jawab, hingga pengaturan durasi persidangan.
Hakim berwenang menunda jalannya persidangan dalam hal penyandang disabilitas
yang diperiksa belum melalui proses penilaian personal.
Dalam perkara pidana yang melibatkan
penyandang disabilitas, baik sebagai saksi, korban, maupun terdakwa, pengadilan
wajib terlebih dahulu memastikan terpenuhinya aksesibilitas dan akomodasi yang
layak, termasuk ketersediaan sarana dan prasarana fisik pada bangunan gedung
pengadilan.
Dengan demikian, hakim
tidak cukup sekadar menjadi “pendengar” kesaksian korban tuli, melainkan harus
berperan sebagai “penjamin” agar proses tersebut berlangsung setara, tanpa
hambatan, dan tetap menjamin hak korban untuk menyampaikan kebenaran.
Mengabaikan hal ini
berarti mereduksi prinsip peradilan yang independen dan tidak memihak menjadi
sekadar retorika. Pentingnya peran saksi korban tuli dalam perkara pencabulan
anak menuntut komitmen pengadilan untuk memastikan aksesibilitas penuh sejak
tahap pra-persidangan hingga putusan.
Baca Juga: Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia
Upaya yang perlu
dilakukan mencakup prioritas akomodasi layak dalam hukum acara pidana,
standarisasi penerjemah bahasa isyarat di seluruh pengadilan, pelatihan khusus
bagi aparat penegak hukum, serta penyesuaian waktu sidang sesuai rekomendasi
ahli. Keadilan harus menjangkau pula mereka yang menggunakan bahasa berbeda,
karena menghadirkan “suara yang tak terdengar” di ruang sidang merupakan
kewajiban konstitusional dan moral dalam negara hukum. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI