Cari Berita

Punitive Restitution, Paradigma Baru Pemidanaan dalam KUHP Nasional

Rafli Fadilah Achmad-Hakim PN Lhokseumawe - Dandapala Contributor 2025-08-24 08:00:26
dok. Pribadi.

Sebuah Kontemplasi Atas Pemulihan Kerugian dalam Konsep Restorative Justice

Konsep Restorative Justice hari ini menitikberatkan pemberian kesempatan kepada Terdakwa secara sukarela untuk memulihkan kerugian akibat tindak pidana. Namun, pemberian kesempatan kepada Terdakwa untuk memulihkan kerugian memberikan posisi yang “istimewa” bagi Terdakwa.

Sebaliknya Korban dalam posisi yang tidak diuntungkan dalam konsep Restorative Justice ini. Keistimewaan tersebut bukan tanpa alasan, hal ini dikarenakan Terdakwa diberikan opsi yang bersifat fakultatif.

Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Secara naluriah, ketika Terdakwa hendak melakukan ganti rugi tentunya akan berpikir “apakah setimpal pembayaran ganti kerugian dengan pengurangan hukuman nantinya?”. Pemikiran tersebut pada akhirnya berujung dengan proses timbang-menimbang antara cost and benefit yang akan diterima Terdakwa. Tidak sedikit pemikiran sebagian Terdakwa yang lebih memilih untuk menjalani Pidana Penjara daripada harus membayar ganti kerugian.

Sifat fakultatifnya pemulihan ganti rugi dalam Konsep Restorative Justice, pada akhirnya menimbulkan problematika bagi Pihak Korban. Dalam konsep ini, Pihak Korban berada dalam posisi komplementer karena menunggu kesukarelaan dari Terdakwa untuk melakukan ganti kerugian.

Perlu digaris bawahi, bahwa keadilan bagi Korban tidak hanya memberikan penjeraan bagi pelaku tindak pidana, namun yang lebih penting bagi Korban adalah sampai sejauh mana proses hukum dapat memulihkan kerugian yang dialami.

Apabila kedua kondisi diatas dipertemukan, maka pemulihan kerugian dalam konsep Restorative Justice sulit mendapatkan titik temu dalam merestorasi kerugian yang dialami Pihak Korban. Korban pada akhirnya harus bergantung dari sikap Terdakwa apakah akan melakukan ganti kerugian ataukah tidak. Bagi Terdakwa yang enggan melakukan ganti kerugian, maka Pihak Korban harus berpuas diri dengan Pidana Penjara yang disematkan kepada Terdakwa tanpa disertai ganti kerugian.

Ketidakpuasan Pihak Korban sesungguhnya telah diakomodir melalui ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut, Pihak Korban dapat melakukan penggabungan Permohonan Ganti Kerugian dalam proses persidangan Pidana Tindak Pidana Umum. Akan tetapi, praktek penggabungan ganti rugi dalam proses persidangan pidana tidak cukup populer diterapkan karena belum terdapat unifikasi pemahaman diantara Penegak Hukum itu sendiri.

Begitupun halnya dengan pengajuan gugatan keperdataan kepada Terpidana. Banyak Pihak Korban enggan melakukan gugatan keperdataan kepada Terpidana karena permasalahan waktu dan biaya.  Bak jatuh tertimpa tangga, Pihak Korban yang mengalami kemalangan atas peristiwa pidana yang dialaminya, mau tidak mau harus sekali lagi melakukan proses persidangan untuk memperjuangkan hak keperdataannya yang belum terpenuhi dalam Putusan Pidana.

Status Quo Proses Ganti Kerugian Dalam Permohonan Restitusi

Konsep Restitusi telah dijelaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Dan Pemberian Restitusi Dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana yakni sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.

Selanjutnya jenis tindak pidana yang dapat dimintai Restitusi telah diatur secara limitatif berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) huruf A yakni terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Terorisme, Perdagangan orang, Diskriminasi ras dan etnis, Tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan keputusan LPSK.

Sampai tulisan ini dibuat, tidak terdapat Keputusan LPSK yang mengatur secara khusus tindak pidana lain yang dapat dilakukan permohonan Restitusi. Berangkat dari fakta diatas, tindak pidana umum yang dapat menimbulkan kerugian materiil dan/atau materiil seperti pencurian, penggelapan, penadahan atau tindak pidana lain yang diatur di dalam KUHP tidak dapat dimohonkan restitusi.

Ketiadaan prosedur permohonan restitusi terhadap perkara tindak pidana umum yang dapat menimbulkan kerugian materiil dan/atau materiil pada akhirnya memberikan 2 (dua) opsi kepada Pihak Korban, pertama Korban harus berpuas diri atas putusan pemidanaan tanpa disertai dengan ganti kerugian atau kedua Korban harus berusaha lebih untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian melalui prosedur gugatan;

Simplifikasi Proses Ganti Kerugian dalam KUHP Nasional

Permasalahan hari ini adalah proses keadilan dalam tindak pidana umum masih terasa retributif murni. Pelaku mempertanggungjawabkan perbuatan dan akibat melalui pidana badan semata. Randy E. Barnett dalam Jurnal berjudul Restitution: A New Paradigm For Criminal Justice menjelaskan Gagasan Restitusi sebenarnya cukup sederhana.

Konsep ini memandang Tindak Pidana sebagai perbuatan yang dilakukan oleh individu terhadap hak individu lainnya. Dimana Korban telah menderita kerugian, sehingga keadilan harus didefinisikan Pelaku melakukan penebusan kerugian atas akibat yang ditimbulkan.

Lebih lanjut, Randy E. Barnett menjelaskan pendekatan pemidanaan harus dimodernisasi dengan pendekatan Punitive Restitution yakni The offender might be force to compensate the victim by his own work, either in prison our out”.

Ketentuan Pemidanaan dalam Pasal 10 (sepuluh) KUHP Lama tidak mengenal adanya konsep ganti kerugian secara spesifik. Namun dalam KUHP Nasional, konsep Punitive Restitution telah diatur dalam Pasal 66 Ayat (1) huruf D berupa pembayaran ganti rugi sebagai pidana tambahan. Lebih lanjut, pembayaran ganti kerugian dalam KUHP Nasional, tidak membatasi hanya beberapa tindak pidana saja sebagaimana dalam Perma Nomor 1 Tahun 2022. Artinya, Punitive Restitution dapat dilakukan secara leluasa sepanjang Majelis Hakim berpendapat penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan (Vide Pasal 66 Ayat (2) KUHP Nasional).

Tantangan dalam pelaksanaan Punitive Restitution kedepan adalah adanya kemungkinan kerugian yang dilebih-lebihkan atau dieskploitasi oleh Pihak Korban. Hal ini semata dilakukan karena Pihak Korban mencari keuntungan ekstra dan mengenyampingkan pemulihan kerugian yang dialami akibat tindak pidana. Maka dari itu, Majelis Hakim harus memahami substansi kerugian yang bersifat actual loss, dimana pemulihan kerugian didasari pada bukti-bukti yang relevan dalam menunjang kerugian yang riil dialami oleh Pihak Korban;

Selanjutnya berdasarkan pasal 94 Ayat (2) KUHP Nasional dijelaskan pembayaran ganti kerugian diterapkan secara mutatis mutandis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 sampai dengan Pasal 83. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila pembayaran ganti kerugian tidak dibayar Terpidana dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pembayaran ganti kerugian.

Kemudian apabila kekayaan atau pendapatan Terpidana tidak mencukupi untuk melunasi pembayaran ganti kerugian maka diganti dengan pidana penjara, pengawasan atau pidana kerja sosial. Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso dalam buku Anotasi KUHP Nasional menjelaskan ratio decidendi Pasal tersebut sebagai pemberian keadilan bagi korban dimana pencantuman kewajiban pembayaran ganti rugi dalam putusan pengadilan mencerminkan upaya sistem peradilan untuk memberikan keadilan bagi korban atau ahli warisnya;

Kesimpulan

Sifat fakultatifnya konsep Pemulihan ganti Kerugian dalam Konsep Restorative Justice membuat posisi Korban menjadi tidak diuntungkan karena Korban berada dalam posisi komplementer yang menunggu kesukarelaan dari Terdakwa untuk membayar ganti kerugian. Sama halnya dengan pemindanaan penjara yang belum cukup representatif menyentuh jantung keadilan bagi Korban karena menitikberatkan pada pemberian nestapa kepada Terdakwa tanpa ada pemulihan ganti kerugian yang dilakukan. Pengajuan ganti kerugian melalui prosedur gugatan perdata juga tidak popular karena menyita waktu dan biaya dari Pihak Korban.

Berangkat dari hal tersebut, penjatuhan pemidanaan sudah sepatutnya dimodernisasi dari semula retributif murni menjadi Punitive Restitution. Terlebih lagi, KUHP Nasional telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang pelaksanaan ganti kerugian sebagai Pidana tambahan.

Maka dari itu dengan berlakunya KUHP Nasional, penyelesaian perkara tindak pidana umum yang menimbulkan kerugian materiil/imateriil bagi Korban sudah sepatutnya tidak hanya menjatuhkan pidana penjara semata melainkan harus memiliki dimensi baru berupa pidana penjara, pembayaran ganti kerugian, pelelangan harta benda, dan penggantian pidana apabila harta benda tidak mencukup pembayaran ganti kerugian. Hal ini semata-mata untuk mewujudkan keadilan yang lebih substantif bagi Pihak korban karena putusan pemidanaan memiliki dimensi pemulihan kerugian. (zm/ldr)

Baca Juga: Hukum, Hakim dan Kemanusiaan: Membaca Paradigma Baru Pemidanaan


Referensi:

  • Barnett, Randy E. 1977. Restitution: A New Paradigm For Criminal Justice, Georgetown University Law Center;
  • Hiariej, Eddy O.S dan Santoso, Topo E. 2025. Anotasi KUHP Nasional;

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI