Sebuah Kontemplasi Atas Pemulihan Kerugian dalam
Konsep Restorative Justice
Konsep Restorative
Justice hari ini menitikberatkan pemberian kesempatan kepada Terdakwa
secara sukarela untuk memulihkan kerugian akibat tindak pidana. Namun,
pemberian kesempatan kepada Terdakwa untuk memulihkan kerugian memberikan
posisi yang “istimewa” bagi Terdakwa.
Sebaliknya Korban dalam posisi yang tidak diuntungkan
dalam konsep Restorative Justice ini.
Keistimewaan tersebut bukan tanpa alasan, hal ini dikarenakan Terdakwa
diberikan opsi yang bersifat fakultatif.
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Secara naluriah, ketika Terdakwa hendak melakukan
ganti rugi tentunya akan berpikir “apakah setimpal pembayaran ganti kerugian dengan
pengurangan hukuman nantinya?”. Pemikiran tersebut pada akhirnya berujung
dengan proses timbang-menimbang antara cost
and benefit yang akan diterima Terdakwa. Tidak sedikit pemikiran sebagian
Terdakwa yang lebih memilih untuk menjalani Pidana Penjara daripada harus
membayar ganti kerugian.
Sifat fakultatifnya pemulihan ganti rugi dalam Konsep Restorative Justice, pada akhirnya
menimbulkan problematika bagi Pihak Korban. Dalam konsep ini, Pihak Korban
berada dalam posisi komplementer karena menunggu kesukarelaan dari Terdakwa
untuk melakukan ganti kerugian.
Perlu digaris bawahi, bahwa keadilan bagi Korban tidak
hanya memberikan penjeraan bagi pelaku tindak pidana, namun yang lebih penting
bagi Korban adalah sampai sejauh mana proses hukum dapat memulihkan kerugian
yang dialami.
Apabila kedua kondisi diatas dipertemukan, maka pemulihan
kerugian dalam konsep Restorative Justice
sulit mendapatkan titik temu dalam merestorasi kerugian yang dialami Pihak
Korban. Korban pada akhirnya harus bergantung dari sikap Terdakwa apakah akan
melakukan ganti kerugian ataukah tidak. Bagi Terdakwa yang enggan melakukan
ganti kerugian, maka Pihak Korban harus berpuas diri dengan Pidana Penjara yang
disematkan kepada Terdakwa tanpa disertai ganti kerugian.
Ketidakpuasan Pihak Korban sesungguhnya telah
diakomodir melalui ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.
Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut, Pihak Korban dapat melakukan penggabungan
Permohonan Ganti Kerugian dalam proses persidangan Pidana Tindak Pidana Umum.
Akan tetapi, praktek penggabungan ganti rugi dalam proses persidangan pidana
tidak cukup populer diterapkan karena belum terdapat unifikasi pemahaman
diantara Penegak Hukum itu sendiri.
Begitupun halnya dengan pengajuan gugatan keperdataan
kepada Terpidana. Banyak Pihak Korban enggan melakukan gugatan keperdataan
kepada Terpidana karena permasalahan waktu dan biaya. Bak
jatuh tertimpa tangga, Pihak Korban yang mengalami kemalangan atas
peristiwa pidana yang dialaminya, mau tidak mau harus sekali lagi melakukan
proses persidangan untuk memperjuangkan hak keperdataannya yang belum terpenuhi
dalam Putusan Pidana.
Status
Quo Proses Ganti Kerugian Dalam Permohonan Restitusi
Konsep Restitusi telah dijelaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Dan Pemberian Restitusi Dan
Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana yakni sebagai ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak
ketiga.
Selanjutnya jenis tindak pidana yang dapat dimintai
Restitusi telah diatur secara limitatif berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) huruf A
yakni terhadap tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Terorisme,
Perdagangan orang, Diskriminasi ras dan etnis, Tindak pidana terkait anak,
serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan keputusan LPSK.
Sampai tulisan ini dibuat, tidak terdapat Keputusan
LPSK yang mengatur secara khusus tindak pidana lain yang dapat dilakukan permohonan
Restitusi. Berangkat dari fakta diatas, tindak pidana umum yang dapat
menimbulkan kerugian materiil dan/atau materiil seperti pencurian, penggelapan,
penadahan atau tindak pidana lain yang diatur di dalam KUHP tidak dapat dimohonkan
restitusi.
Ketiadaan prosedur permohonan restitusi terhadap
perkara tindak pidana umum yang dapat menimbulkan kerugian materiil dan/atau
materiil pada akhirnya memberikan 2 (dua) opsi kepada Pihak Korban, pertama
Korban harus berpuas diri atas putusan pemidanaan tanpa disertai dengan ganti
kerugian atau kedua Korban harus berusaha lebih untuk mengajukan tuntutan ganti
kerugian melalui prosedur gugatan;
Simplifikasi Proses Ganti Kerugian dalam
KUHP Nasional
Permasalahan hari ini adalah proses keadilan dalam tindak pidana umum masih terasa retributif murni. Pelaku mempertanggungjawabkan perbuatan dan akibat melalui pidana badan semata. Randy E. Barnett dalam Jurnal berjudul Restitution: A New Paradigm For Criminal Justice menjelaskan Gagasan Restitusi sebenarnya cukup sederhana.
Konsep ini memandang Tindak Pidana sebagai perbuatan yang dilakukan oleh
individu terhadap hak individu lainnya. Dimana Korban telah menderita kerugian,
sehingga keadilan harus didefinisikan Pelaku melakukan penebusan kerugian atas
akibat yang ditimbulkan.
Lebih lanjut, Randy E. Barnett menjelaskan pendekatan pemidanaan
harus dimodernisasi dengan pendekatan Punitive
Restitution yakni “The offender
might be force to compensate the victim by his own work, either in prison our
out”.
Ketentuan Pemidanaan dalam Pasal 10 (sepuluh) KUHP
Lama tidak mengenal adanya konsep ganti kerugian secara spesifik. Namun dalam
KUHP Nasional, konsep Punitive
Restitution telah diatur dalam Pasal 66 Ayat (1) huruf D berupa pembayaran
ganti rugi sebagai pidana tambahan. Lebih lanjut, pembayaran ganti kerugian
dalam KUHP Nasional, tidak membatasi hanya beberapa tindak pidana saja
sebagaimana dalam Perma Nomor 1
Tahun 2022. Artinya, Punitive Restitution
dapat dilakukan secara leluasa sepanjang Majelis Hakim
berpendapat penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan
pemidanaan (Vide Pasal 66 Ayat (2)
KUHP Nasional).
Tantangan dalam pelaksanaan Punitive
Restitution kedepan adalah
adanya kemungkinan kerugian yang dilebih-lebihkan atau dieskploitasi oleh Pihak
Korban. Hal ini semata dilakukan karena Pihak Korban mencari keuntungan ekstra
dan mengenyampingkan pemulihan kerugian yang dialami akibat tindak pidana. Maka
dari itu, Majelis Hakim harus memahami substansi kerugian yang bersifat actual loss, dimana pemulihan kerugian
didasari pada bukti-bukti yang relevan dalam menunjang kerugian yang riil
dialami oleh Pihak Korban;
Selanjutnya berdasarkan pasal 94 Ayat (2) KUHP
Nasional dijelaskan pembayaran ganti kerugian diterapkan secara mutatis mutandis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 81 sampai dengan Pasal 83. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila
pembayaran ganti kerugian tidak
dibayar Terpidana dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka kekayaan atau
pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pembayaran
ganti kerugian.
Kemudian apabila kekayaan atau pendapatan Terpidana
tidak mencukupi untuk melunasi pembayaran ganti kerugian maka diganti dengan
pidana penjara, pengawasan atau pidana kerja sosial. Eddy O.S. Hiariej dan Topo
Santoso dalam buku Anotasi KUHP Nasional menjelaskan ratio decidendi Pasal tersebut sebagai pemberian keadilan bagi korban
dimana pencantuman kewajiban pembayaran ganti rugi dalam putusan pengadilan
mencerminkan upaya sistem peradilan untuk memberikan keadilan bagi korban atau
ahli warisnya;
Kesimpulan
Sifat fakultatifnya konsep Pemulihan ganti Kerugian
dalam Konsep Restorative Justice membuat
posisi Korban menjadi tidak diuntungkan karena Korban berada dalam posisi
komplementer yang menunggu kesukarelaan dari Terdakwa untuk membayar ganti kerugian.
Sama halnya dengan pemindanaan penjara yang belum cukup representatif menyentuh
jantung keadilan bagi Korban karena menitikberatkan pada pemberian nestapa
kepada Terdakwa tanpa ada pemulihan ganti kerugian yang dilakukan. Pengajuan
ganti kerugian melalui prosedur gugatan perdata juga tidak popular karena
menyita waktu dan biaya dari Pihak Korban.
Berangkat dari hal tersebut,
penjatuhan pemidanaan sudah sepatutnya dimodernisasi dari semula retributif
murni menjadi Punitive Restitution. Terlebih
lagi, KUHP Nasional telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang pelaksanaan
ganti kerugian sebagai Pidana tambahan.
Maka
dari itu dengan berlakunya KUHP Nasional, penyelesaian perkara tindak pidana
umum yang menimbulkan kerugian materiil/imateriil bagi Korban sudah sepatutnya
tidak hanya menjatuhkan pidana penjara semata melainkan harus memiliki dimensi
baru berupa pidana penjara, pembayaran ganti kerugian, pelelangan harta benda,
dan penggantian pidana apabila harta benda tidak mencukup pembayaran ganti kerugian.
Hal ini semata-mata untuk mewujudkan keadilan yang lebih substantif bagi Pihak
korban karena putusan pemidanaan memiliki dimensi pemulihan kerugian. (zm/ldr)
Baca Juga: Hukum, Hakim dan Kemanusiaan: Membaca Paradigma Baru Pemidanaan
Referensi:
- Barnett, Randy E. 1977. Restitution:
A New Paradigm For Criminal Justice, Georgetown University Law Center;
- Hiariej, Eddy O.S dan
Santoso, Topo E. 2025. Anotasi KUHP Nasional;
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI