Cari Berita

Raad Van Kerta Karangasem 1938: Sumpah Berdasarkan Adat untuk Keadilan

I Putu Renatha Indra Putra-Hakim PN Amlapura - Dandapala Contributor 2025-08-29 08:05:56
Dok. Ist.

Amlapura, sebagai ibu kota Kabupaten Karangasem, menyimpan jejak panjang sejarah Peradilan Swapraja yang pernah menjadi tulang punggung penyelesaian sengketa hukum masyarakat di bagian Bali Timur. Sebelum terbentuknya sistem peradilan nasional, lembaga seperti Raad van Kerta berperan penting dalam menegakkan hukum berdasarkan norma adat dan kepercayaan lokal.

Salah satu perkara yang mencerminkan kompleksitas hukum adat di Karangasem adalah perkara dalam putusan Nomor 396/Crimineel-I/1938, yang disidangkan oleh Raad van Kerta Te Karangasem.

Perkara ini melibatkan seorang perempuan bernama NK (disamarkan) yang dituduh melakukan pengeleyakan (praktik supranatural yang diyakini dapat mencelakakan orang lain melalui kekuatan gaib). Tuduhan muncul setelah NK memegang tangan seorang bayi, yang kemudian mengalami demam dan diare hingga meninggal dunia beberapa hari kemudian.

Baca Juga: Kontroversi Sumpah Pocong: Sejarah dan Kedudukan dalam Sistem Peradilan

Dalam persidangan, tidak ditemukan bukti empiris yang mengaitkan tindakan tersebut dengan kematian sang bayi. Namun, berdasarkan keyakinan masyarakat setempat, tuduhan tetap diajukan. Menariknya, pembebasan NK didasarkan pada kesediaannya untuk bersumpah bahwa ia tidak memiliki kemampuan ngeleyak. Sumpah tersebut diterima oleh Hakim sebagai suatu bentuk pembuktian dan menjadi dasar utama dalam pembebasan dari hukuman.

Hakim dalam perkara tersebut mempertimbangkan “Menimbang meskipoen Saksi INP (disamarkan) cs tidak bisa kasih keterangan lebih djaoeh oentoek membenarkan doegaannja itoe, oleh karena soedah beberapa perkara boenoehan jang timboel di Karangasem, ta’lain alasan diboenoeh lantaran didoega bisa jadi lejak, djadi oentoek mengoerangkan keganasan orang2 boeat melakoekan pemboenoehan pada orang2 jang disangka menjadi lejak poen menoeroet Adat dakwaan jang hanya sebegai ini, hanja bisa akan memberi soempah kepada jang tersangka, sebab itoe Hakim timbang haroeslah pesakitan NK disoempah menegoehkan halnja meraba anak itoe memang sebenarnja tidak bermaksoed djahat oentoek menjakiti anak itoe. Kalau pesakitan soedah bersoempah sebagai terseboet ia dibebaskan dari hoekoemannja. Akan tetapi kalau pesakitan tidak angkat soempah pada waktu jang ditentoekan sesoedah ketetapan vonnis ini diberi tahoekan kepadanja, perkara ini akan ditmbang kembali”.

Dalam vonnis, hakim memutuskan bahwa:

Kalau pesakitan NK soedah bersoempah menegoehkan keterangannja sebagai jang soedah ditentoekan dalam timbangan vonnis ini, ia dibebaskan dari hoekoemannja. Akan tetapi kalau tidak angkat soempah pada waktoe ditentoekan sesoedah ketetapan vonnis ini diberitahoekan kepadanja, perkara ini akan ditimbang kembali.”

Pertimbangan dan amar putusan ini menunjukkan bahwa sumpah dalam perkara tersebut bukan sebatas simbol, melainkan merupakan syarat penentu yang sangat krusial dalam pemberian vonnis bebas terhadap tertuduh.

Hakim memberikan ruang bagi tertuduh untuk membuktikan ketidakbersalahannya melalui sumpah, yang dalam konteks ini dipandang sebagai sarana yang memiliki bobot spiritual dan sosial yang tinggi. Jika sumpah tidak diangkat sesuai waktu yang ditentukan, maka perkara akan ditinjau ulang yang dapat membuka kemungkinan dijatuhkannya hukuman terhadap pesakitan.

Putusan ini menjadi salah satu bagian sejarah dari perjalanan dan transisi besar dalam sistem peradilan di Indonesia, khususnya di Kabupaten Karangasem. Setelah kemerdekaan Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951, lembaga peradilan swapraja seperti Raad van Kerta dihapuskan dan digantikan oleh sistem peradilan nasional. Di Karangasem, transformasi ini diwujudkan melalui pendirian Pengadilan Negeri Amlapura.

Baca Juga: Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië, Pendahulu Mahkamah Agung pada Masa Kolonial Belanda

Perkara dalam putusan Raad van Kerta Te Karangasem Nomor 396/Crimineel-I/1938 bukan hanya mencerminkan cara masyarakat Bali Timur memaknai keadilan pada kala itu, tetapi juga menjadi titik refleksi atas transformasi hukum di Amlapura. Kajian ini menunjukkan bahwa hukum adat tidak hanya berfungsi sebagai alat penyelesaian sengketa, tetapi juga sebagai cermin nilai-nilai spiritual dan sosial masyarakat. (IKAW/LDR)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI