Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) merupakan tonggak sejarah pembaruan
hukum pidana nasional. KUHP lama yang merupakan warisan kolonial Belanda (Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië) telah berlaku lebih dari satu abad
tanpa perubahan fundamental terhadap nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat Indonesia.
KUHP Baru lahir dengan semangat
dekolonisasi hukum, yakni menggantikan sistem hukum pidana kolonial dengan
hukum pidana yang berakar pada nilai-nilai Pancasila, kemanusiaan, dan keadilan
sosial.
Menurut Barda Nawawi Arief,
pembaruan hukum pidana harus diarahkan untuk “mewujudkan keseimbangan antara
perlindungan masyarakat dan perlindungan individu” sehingga hukum pidana tidak
hanya bersifat represif tetapi juga preventif dan edukatif (Barda Nawawi Arief
2022 : 45).
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Undang-undang RI Nomor 59 Tahun
2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045 merupakan
kerangka pembangunan jangka panjang 20 tahun yang menjadi payung hukum
pembangunan nasional dan Perpres nomor 12 Tahun 2025 merupakan penjabaan dari RPJPN 2025-2045
untuk periode lima tahun pertama (2025-2029) yang memuat visi, misi, dan
program Presiden dan Wakil Presiden, dimana salah satu Tujuan RPJMN 2025-2029
melakukan Transformasi di berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, tata kelola,
hukum dan lingkungan.
Salah satu bidang yang turut
bertransformasi adalah bidang hukum. Penulis dalam kesempatan ini ingin
membahas sekilas tentang penegakan KUHP baru yang merupakan salah satu bentuk
transformasi bidang hukum.
Transformasi
Paradigma Penegakan Hukum Pidana
KUHP Baru menghadirkan perubahan
mendasar dalam paradigma penegakan hukum pidana. Jika KUHP lama menitikberatkan
pada asas retributif (pembalasan terhadap pelaku kejahatan), maka KUHP Baru
mengedepankan asas restoratif dan korektif, yang menempatkan pemidanaan sebagai
sarana memulihkan keseimbangan sosial, bukan sekadar membalas kejahatan.
Pasal 51 KUHP Baru menegaskan
bahwa tujuan pemidanaan adalah “mencegah terjadinya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat serta memulihkan keseimbangan
dan mendamaikan pelaku, korban, dan masyarakat.”
Dengan demikian, orientasi
pemidanaan kini berpindah dari punishment oriented menjadi restoration
and protection oriented ( Muladi & Barda Nawawi Arief 2021:76)
Bentuk-bentuk
Transformasi dalam Penegakan Hukum Pidana
1. Transformasi Tujuan Pemidanaan
KUHP Baru menegaskan bahwa pidana
bukan alat pembalasan, melainkan sarana pengayoman dan pemulihan (Muladi &
Barda Nawawi Arief 2021: 82)
Menurut Muladi, pemidanaan modern
harus mengandung tiga fungsi utama: perlindungan masyarakat (social defence),
pembinaan pelaku (rehabilitation), dan pemulihan korban (restoration)
Muladi 2019 : 59.
Pasal 51 KUHP Baru merupakan cerminan teori integratif
ini, di mana keadilan substantif tidak hanya mengutamakan kepentingan negara,
tetapi juga korban dan pelaku.
2. Transformasi Sistem Pemidanaan
KUHP Baru memperkenalkan sistem
pemidanaan yang lebih variatif dan proporsional, tidak lagi semata-mata penjara
sebagai hukuman pokok.
Pidana pengawasan, pidana kerja
sosial, dan pidana pengganti denda menjadi alternatif yang lebih manusiawi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 64 -79 KUHP Baru.
Transformasi terbesar terlihat
pada konsep pidana mati bersyarat (Pasal 100 ayat (1) KUHP 2023), di mana
pelaksanaan hukuman mati dapat ditunda dengan masa percobaan 10 tahun, dan
dapat diubah menjadi pidana seumur hidup apabila terpidana menunjukkan
perbaikan perilaku.
Kebijakan ini memperlihatkan
pergeseran dari asas absolute punishment menuju conditional
punishment, sejalan dengan prinsip penghormatan hak hidup yang tidak dapat
ditawar (non derogable rights) yang diatur dalam Pasal 28A UUD 1945.
3. Transformasi Pertanggungjawaban Pidana
KUHP Baru memperluas cakupan
pertanggungjawaban pidana, termasuk terhadap korporasi, sebagaimana diatur
dalam Pasal 45–50 KUHP 2023.
Hal ini merupakan kemajuan
signifikan karena hukum pidana kolonial hanya mengenal pertanggungjawaban
individu. Menurut Romli Atmasasmita,“tanggung jawab pidana korporasi merupakan
konsekuensi logis dari perkembangan kejahatan modern yang bersifat kolektif dan
transnasional.” (Romli Atmasasmita 2020 : 118)
Transformasi ini menunjukkan
adaptasi sistem hukum pidana terhadap realitas sosial-ekonomi modern.
4. Transformasi Penegakan Hukum Berbasis Restorative Justice
KUHP Baru membuka ruang eksplisit
bagi penyelesaian perkara secara restoratif. Dalam Pasal 54 huruf (f) dan (j),
hakim diberi kewenangan mempertimbangkan: “sikap dan tindakan pelaku sesudah
melakukan Tindak Pidana” dan ” pemaafan
dari koban dan/atau keluaga Koban”.
Konsep ini sejalan dengan
Peraturan Kapolri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan
Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Agung RI (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Mahkamah
Agung RI (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan
Keadilan Restoratif, yang menekankan penyelesaian perkara pidana secara damai
dan berkeadilan bagi semua pihak.
Dengan demikian, pendekatan
keadilan restoratif yang dahulu bersifat kebijakan teknis kini memperoleh
legitimasi yuridis di tingkat undang-undang.
5. Transformasi Pengakuan terhadap Hukum yang Hidup (Living Law)
Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru
mengatur:
“Hukum yang hidup dalam
masyarakat berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa.”
Ini merupakan bentuk pengakuan
resmi terhadap hukum adat (living law) sebagai sumber hukum pidana
nasional.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto,
pengakuan terhadap hukum yang hidup adalah “bentuk rekognisi terhadap
kedaulatan hukum rakyat yang selama ini terpinggirkan oleh hukum negara.” (
Soetandyo Wignjosoebroto 2019: 203)
Transformasi ini mengubah wajah
penegakan hukum pidana dari yang semula positivistik menjadi kontekstual dan
berakar pada nilai-nilai lokal.
6. Transformasi Perlindungan terhadap Anak, Perempuan, dan Korban
KUHP Baru memberikan perlindungan
lebih luas kepada kelompok rentan, antara lain:
- Usia minimum pertanggungjawaban pidana ditetapkan 12
tahun (Pasal 41 KUHP Baru).
- Perlakuan khusus terhadap korban kekerasan seksual dan
kekerasan dalam rumah tangga salah satu diantanya melalui penerapan restitusi
(Pasal 66 ayat 1 huruf d KUHP Baru.
Kebijakan ini selaras dengan
semangat perlindungan HAM dan prinsip victim-oriented justice. (Mahfud
MD 2020 : 141)
7. Transformasi Penegakan Hukum di Era Digital
KUHP Baru juga merespons
perkembangan teknologi dengan mengatur tindak pidana berbasis siber seperti
penyebaran berita bohong (Pasal 263) dan menyiarkan berita yang tidak pasti,
berlebih-lebihan atau yang tidak lengkap (Pasal 264).
Transformasi ini memperlihatkan
bahwa penegakan hukum pidana kini bergerak menuju digitalisasi dan keamanan
siber, yang sejalan dengan program E-Berpadu dan SPPT-TI (Sistem Peradilan
Pidana Terpadu berbasis TI.
Implikasi
terhadap Praktik Penegakan Hukum
Transformasi dalam KUHP Baru
menuntut perubahan cara berpikir dan bekerja seluruh aparatur penegak hukum:
- Kepolisian dan Kejaksaan harus mengedepankan penyelesaian
perkara melalui keadilan restoratif.
- Hakim dituntut lebih aktif menggali nilai keadilan
substantif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
- Lembaga Pemasyarakatan diarahkan sebagai pusat pembinaan,
bukan sekadar tempat penahanan.
- 4.
Digitalisasi proses hukum melalui sistem E-Berpadu dan
E-Court mempercepat, mengefisienkan, serta memperkuat akuntabilitas penegakan
hukum pidana.
Penutup
Transformasi penegakan hukum
pidana dalam KUHP Baru merupakan revolusi paradigma hukum pidana nasional.
Pembaruan ini menegaskan pergeseran dari hukum pidana kolonial yang represif
menuju hukum pidana nasional yang berkeadilan, humanis, dan kontekstual dengan
nilai-nilai Pancasila.
KUHP Baru menjadi dasar bagi
penegakan hukum pidana yang lebih modern, transparan, dan berorientasi pada
perlindungan masyarakat serta pemulihan korban.
Dengan implementasi yang
konsisten, KUHP Baru akan menjadi instrumen strategis menuju sistem hukum
pidana Indonesia yang beradab dan berkeadilan sosial. (ldr/wi)
Penulis Dr.
Marsudin Nainggolan, S.H., M.H. merupakan Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan
Utara
Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023
Senarai rujukan.
- Arief, Barda Nawawi. Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta:
Kencana, 2022.
- Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana: Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Kencana, 2020.
- Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali
Pers, 2020.
- Muladi & Arief, Barda Nawawi. Teori-Teori dan
Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 2021.
- Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang:
Badan Penerbit UNDIP, 2019.
- Soetandyo Wignjosoebroto. Hukum: Paradigma, Metode, dan
Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam, 2019.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
- Undang-undang RI Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045.
- Peratuan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun 2025-2029.
- Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 1 Tahun 2024
tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
- Peraturan Kejaksaan Agung RI (Perja) Nomor 15 Tahun 2020
tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
- Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
- Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pedoman Implementasi E-Berpadu. Jakarta: MA RI.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI