Cari Berita

Weeks v. United States: Putusan yang Melahirkan Doktrin Exclusionary Rule

Romi Hardhika - Dandapala Contributor 2025-09-01 11:35:32
Sumber: Pix4free

Exclusionary rule atau aturan pengecualian merupakan regulasi hukum untuk mencegah penggunaan bukti ilegal. Jika suatu bukti diperoleh secara tidak sah, maka hakim harus mengesampingkannya dalam persidangan. Di Amerika Serikat, doktrin exclusionary rule termuat oleh Amendemen Keempat (1792), bertujuan melindungi setiap orang dari penggeledahan dan penyitaan sewenang-wenang.

Implementasi exclusionary rule dapat ditelusuri pertama kali dalam perkara Weeks v. United States (1914). Pada 21 Desember 1911, Fremont Weeks ditangkap di Union Station di Kansas, Missouri, karena diduga mengangkut tiket lotre. Di saat yang sama, rumahnya digeledah tanpa surat perintah, melalui informasi dari tetangga mengenai tempat Weeks biasa menyimpan kunci. Petugas lalu masuk dan mengambil beberapa surat beserta barang-barang, yang kemudian diserahkan kepada marshal Amerika Serikat (AS).

Baca Juga: Miranda Rule ‘Anda Berhak Diam!’ dan Pasal 56 KUHAP

Pada persidangan federal, Weeks mengemukakan mosi karena barang bukti diperoleh tanpa surat perintah penggeledahan, dengan cara merusak rumahnya, sehingga melanggar Amandemen Keempat dan Kelima. Sebagian bukti yang tidak relevan memang dikembalikan, namun pengadilan tetap menahan sejumlah bukti seperti tiket lotre dan surat-surat terkait. Ia akhirnya dinyatakan bersalah, sehingga dijatuhi hukuman penjara dan denda.

Weeks kemudian mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung AS, termasuk mengenai prosedur perolehan bukti yang melanggar hukum. Suara bulat sembilan hakim agung sepakat menyatakan penggeledahan rumah tanpa surat perintah merupakan pelanggaran Konstitusi, yang seharusnya dilindungi Amandemen Keempat. Mahkamah Agung AS mengutip pepatah every man's house is his castle (rumah adalah istana), sehingga tidak ada rumah yang boleh digeledah dan barang-barangnya disita, tanpa surat perintah.

Meskipun mengapresiasi putusan pengadilan yang menghukum orang bersalah, tapi Mahkamah Agung AS menyebut upaya tersebut tak boleh mengorbankan Konstitusi. Jika pengadilan menerima bukti surat dan dokumen yang disita secara tidak sah, maka tindakan ini sama saja dengan menghapus Amandemen Keempat dari Konstitusi. Marsekal AS hanya dapat menggeledah rumah terdakwa jika memiliki surat perintah, berdasarkan informasi di bawah sumpah, dan menjelaskan secara rinci tujuan penggeledahan. Mahkamah Agung AS kemudian membatalkan seluruh putusan Weeks sebelumnya (Justia).

Weeks v. United States menandai tonggak penting dalam sejarah hukum Amerika Serikat, menegaskan bahwa bukti yang diperoleh secara ilegal tidak boleh digunakan di persidangan. Preseden ini segera diikuti oleh serangkaian putusan lain, seperti Silverthorne Lumber Co. v. United States (1920) dan Mapp v. Ohio (1961). Seluruh kecenderungan ini menunjukkan bahwa hukum materiel harus berjalan beriringan dengan hukum pidana formil, demi memastikan sistem peradilan telah sesuai dengan prinsip konstitusional. Ketika proses penegakan hukum justru diwujudkan dengan cara yang melanggar hukum, maka hukum materiel justru kehilangan legitimasinya.

Baca Juga: Kasus Sindell v. Abott Loboratories: Lahirkan Doktrin Market Share Liability dalam Perkara Lingkungan Hidup

Kini, ketentuan mengenai exclusionary rule telah diadopsi dalam Pasal 222 ayat (2) RUU KUHAP (ICJR). Klausul tersebut menyatakan bahwa setiap alat bukti harus diperoleh secara “tidak melawan hukum”. Konsekuensinya, alat bukti yang tidak autentik dan/atau diperoleh secara melawan hukum dilarang untuk digunakan di persidangan, serta tak memiliki kekuatan pembuktian. Seluruh pembaruan ini bertujuan untuk mewujudkan proses peradilan pidana yang menjunjung tinggi perlindungan hak asasi manusia dan due process of law.


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI