Di ruang sidang
Pengadilan Negeri pada suatu sore di tahun 2025, seorang hakim tengah memimpin
sidang kasus pencemaran limbah yang telah meracuni tiga sungai. Ketika hendak
menjatuhkan vonis, tiba-tiba cahaya terang memenuhi ruangan. Muncul dua sosok
berpakaian toga hakim dengan desain yang sangat berbeda.
Yang pertama
mengenakan toga cenderung berwarna abu-abu kusam dengan banyak tambalan, wajah
lelah, dan batuk-batuk. Yang kedua mengenakan toga hitam bersih berkilau, wajah
bercahaya dengan aura kebijaksanaan.
"Kami adalah
Hakim dari tahun 2095," kata mereka bersamaan. "Namun kami datang
dari dua realitas Indonesia yang berbeda. Kami datang menunjukkan dua takdir
yang menanti bangsa ini, tergantung keputusan yang akan Anda ambil hari
ini."
Baca Juga: Kampung Hukum 2025: Kenalkan Oki, Pralan MA yang Jago Barista !
Skenario Pertama: Indonesia yang
Gagal
Hakim pertama
melangkah maju dengan terseret. "Saya datang dari Indonesia 2095 yang
gagal menjadi negara maju. Kami gagal bukan karena tidak memiliki sumber daya,
tetapi karena gagal memahami arti keadilan sesungguhnya."
Dengan suara parau, ia
melanjutkan, "Di Indonesia saya, perayaan 150 tahun kemerdekaan adalah
perayaan pahit. Jakarta tenggelam setengahnya, Kalimantan menjadi padang
tandus, Sumatera kehilangan 80% hutannya. Yang paling menyakitkan, jutaan anak
Indonesia menderita stunting permanen karena air dan tanah tercemar."
Ia memproyeksikan
hologram mengerikan: anak-anak Indonesia kurus mengantri air bersih, petani tak
bisa bertani karena tanah rusak, nelayan pulang dengan perahu kosong karena
laut mati.
"Tahu penyebabnya?
Putusan-putusan hukum di era Anda yang selalu mengedepankan keuntungan jangka
pendek. Setiap kasus lingkungan, hakim berpikir 'Yang penting perusahaan tidak
bangkrut, ekonomi tetap jalan.' Tak pernah bertanya, 'Bagaimana dengan
anak-cucu 20 tahun lagi?'"
"Di Indonesia saya, ada
istilah 'Generasi Terusir'—jutaan anak muda terpaksa hijrah karena Indonesia
tidak lagi layak huni. Sejak 50 tahun sebelumnya, yakni 2045, Indonesia Emas
hanya slogan di museum berkarat. Kami punya gedung tinggi tapi tak ada air
bersih, teknologi canggih tapi tak ada udara segar, kekayaan di kertas tapi
anak-anak hidup dalam kemiskinan ekologis absolut."
Skenario Kedua: Indonesia yang Berhasil
Hakim kedua melangkah
dengan percaya diri, mata berbinar dan senyum hangat. "Saya datang dari
Indonesia 2095 yang berhasil menjadi negara maju sejati. Kami tidak hanya maju
ekonomi, tetapi menjadi mercusuar keadilan antar generasi bagi dunia."
Ia memproyeksikan
hologram memukau: hutan-hutan rimbun, sungai jernih mengalir deras, anak-anak
sehat bermain di taman hijau, petani tersenyum karena panen melimpah di tanah
subur.
"Di Indonesia saya, perayaan
150 tahun kemerdekaan luar biasa. Jakarta menjadi kota hijau terdepan dunia,
Kalimantan pusat riset biodiversitas global, Sumatera contoh harmoni industri
dan konservasi."
"Tahu penyebabnya? Keputusan
berani hakim-hakim di era Anda yang tidak hanya melihat dampak hari ini, tetapi
50 tahun ke depan. Mereka berani mengatakan 'tidak' pada keuntungan jangka
pendek yang merugikan generasi masa depan."
"Kami punya konsep 'Generasi
Berkat'—anak-cucu yang hidup di Indonesia lebih indah dari bayangan nenek
moyang. Indonesia Emas saat tahun 2045 lalu bukan slogan, tetapi kenyataan.
Ekonomi kuat dibangun di atas fondasi berkelanjutan, teknologi canggih harmonis
dengan alam, masyarakat sejahtera dalam lingkungan sehat."
Titik Persimpangan
Kedua hakim berdiri
berhadapan. "Perbedaan kedua realitas kami dimulai dari keputusan yang
akan Anda ambil hari ini, dan ribuan keputusan serupa hakim-hakim lain dalam 20
tahun ke depan."
Hakim pertama berkata
putus asa, "Di realitas saya, Anda memilih vonis ringan karena takut
mengganggu iklim investasi, berpikir lapangan kerja lebih penting dari
melindungi sungai. Keputusan itu jadi preseden ribuan keputusan serupa. Sedikit
demi sedikit, Indonesia dijual murah."
Hakim kedua berkata
penuh harapan, "Di realitas saya, Anda memberikan vonis tegas, mewajibkan
restorasi penuh 20 tahun. Anda berani mengatakan tidak ada investasi layak jika
dibayar dengan masa depan anak-cucu. Keputusan itu menginspirasi hakim-hakim
lain."
Pilihan yang Menentukan
"Ingatlah," kata
keduanya bersamaan, "setiap putusan hukum adalah suara untuk masa depan
yang anda inginkan. Setiap kali memilih keuntungan jangka pendek atas
keberlanjutan, Anda memilih realitas pertama. Setiap kali memilih keadilan
antar generasi atas kemudahan sesaat, Anda memilih realitas kedua."
Sebelum menghilang,
mereka meninggalkan pesan: "Indonesia 2095 bukanlah takdir tertulis,
tetapi hasil pilihan-pilihan hari ini. Setiap hakim, setiap putusan adalah batu
bata membangun masa depan Indonesia."
"Pertanyaannya sekarang,
Indonesia mana yang akan Anda pilih untuk anak-cucu kita?"
Hakim yang akan
menjatuhkan vonis saat ini terdiam lama. Di hadapannya, kasus pencemaran yang
tadinya rutinitas biasa, kini terasa ujian sejarah menentukan takdir bangsa.
Dengan suara tegas, ia
berkata, "Dalam putusan ini, saya tidak hanya menjatuhkan vonis untuk
terdakwa, tetapi memilih masa depan Indonesia. Saya memilih keadilan antar
generasi. Saya memilih Indonesia Emas yang sesungguhnya."
Di ruang sidang sunyi
itu, terdengar gema suara anak-anak Indonesia masa depan berterima kasih karena
hak mereka hidup di negeri indah telah diperjuangkan generasi sebelumnya. (ldr)
Baca Juga: Pererat Soliditas, Pegawai-Cakim PN Magelang Berburu Sunrise di Puncak Telomoyo
Catatan:
Tulisan ini terinspirasi dari Film “Sore: Istri dari Masa Depan”
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI