Cari Berita

Alasan Pembenar dan Pemaaf dalam KUHP Baru

article | Berita | 2025-06-20 16:20:23

Jakarta- Masih dalam gelaran Diskusi PERISAI Episode ke-7 pada Jumat 20/6. Prof. Harkristuti Harkrisnowo dalam pemaparannya, menerangkan alasan penghapusan pidana menurut doktrin terbagi menjadi 2 (dua) yaitu Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf.  Pada KUHP Baru, Alasan Pembenar ini telah diatur pada bagian tentang Tindak Pidana. Sedangkan Alasan Pemaaf, diatur pada bagian tentang Pertanggungjawaban Pidana.“Dalam doktrin, Alasan Pembenar ini sebenarnya perbuatan pelaku dianggap tidak melawan hukum. Meskipun perbuatannya itu dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang/KUHP”, ungkapnya.  “Sedangkan dalam Alasan Pemaaf perbuatan pelaku tetap dianggap melawan hukum. Namun unsur kesalahannya dihapuskan/dimaafkan”, tambahnya.Gubes Hukum Pidana FH UI tersebut juga menambahkan Alasan Pembenar di dalam KUHP Baru telah diatur sebagai berikut:Pasal 31, melaksanakan ketentuan perundang-undangan;Pasal 32, melaksanakan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang;Pasal 33, keadaan darurat;Pasal 34, pembelaan terhadap ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain; danPasal 35, ketiadaan sifat melawan hukum.Ia kemudian menerangkan ketentuan bagi pelaku yang menyandang disabilitas. “Bagi disabilitas mental/intelektual berdasarkan Pasal 38 KUHP Baru dapat dikurangi pidananya atau dikenai tindakan. Sedangkan bagi pelaku disabilitas yang memenuhi rumusan Pasal 39 dalam KUHP Baru tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan”, tambah Prof Harkristuti.Sedangkan mengenai Alasan Pemaaf, pada KUHP Baru ketentuan alasan pemaaf ini terimplementasikan pada:1.    Pasal 40, anak dibawah umur;2.    Pasal 42, daya paksa;3.    Pasal 43, bela paksa lampau batas;dan 4.    Pasal 44, melakukan perintah jabatan yang tidak sah, namun yang diperintah dgn itikad baik mengira bahwa perintah tersebut sah. (zm/wi)

Menyongsong KUHP Nasional, Ditjen Badilum Berikan Pembekalan Kepada Hakim

article | Berita | 2025-06-20 15:40:30

Jakarta – Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) kembali mengadakan Pertemuan Rutin Sarasehan Interaktif (Perisai) Episode 7 bertajuk “Pemidanaan dalam Paradigma Baru: Pedoman Pemidanaan dan Alasan Penghapus Pidana Dalam KUHP Nasional” pada Jumat (20/06/2025). Hadir sebagai Narasumber Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo. Kegiatan diawali dengan sambutan oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum), Bambang Myanto. Pada kesempatan tersebut Dirjen Badilum menyampaikan mengenai kehadiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHP Nasional) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. “Pengesahan KUHP Nasional tersebut mengatur banyak hal yang cukup berbeda dibandingkan dengan KUHP lama. Penerapan dan penggunaan KUHP Nasional ini menjadi hal yang harus dikuasai oleh hakim-hakim Indonesia sebagai jajaran depan peradilan”, ujar Bambang. Ia menegaskan pentingnya penguasaan KUHP Nasional khususnya mengenai pemidanaan. Selain itu, pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru ini mengingatkan bahwa terkait KUHP Nasional, Dirjen Badilum sudah melaksanakan kegiatan Perisai sebanyak 3 kali. Di mana pada saat Perisai Episode 7 diadakan yaitu di bulan Juni 2025, maka tinggal 6 bulan lagi KUHP Nasional serentak diberlakukan dan digunakan secara nasional, tepatnya pada Januari 2026. Sebagai penutup, Bambang menambahkan pentingnya bagi Hakim sebagai pemeriksa dan pengadil untuk menguasai pemidanaan. “Dalam pemeriksaan dan penulisan putusan, hakim wajib menggali motif pelaku perbuatan pidana, serta menguraikan unsur perbuatan pidana sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 54 KUHP Nasional”, pesan Bambang. Barulah setelah hal-hal tersebut sudah dipertimbangkan, hakim boleh mempertimbangkan alasan pemaaf, alasan pembenar, ataupun alasan pemberat khususnya ketika hendak akan menjatuhkan pemidanaan, satu diantaranya seperti permaafan hakim. (NH/NSN/AL)

Kolaborasi Hakim, Kunci Meningkatkan Integritas Peradilan

article | Opini | 2025-06-20 13:00:57

Hari Kamis tanggal 12 Juni 2025 merupakan salah satu hari yang bersejarah bagi Mahkamah Agung. Pada hari itu, sebanyak 921 calon hakim peradilan umum dikukuhkan menjadi hakim. Peristiwa ini begitu istimewa karena proses pengukuhan dihadiri langsung oleh Presiden Indonesia, Presiden Prabowo Subianto, setelah proses yang sama di tahun 2020 tidak terlaksana karena adanya kasus COVID-19. Pengukuhan hakim tahun ini bukan hanya mencerminkan penambahan jumlah hakim di Indonesia, tetapi juga memberikan harapan akan perbaikan kualitas hakim, khususnya tentang integritas. Integritas merupakan hal yang sangat penting bagi hakim dan dunia peradilan. Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., di hadapan para hakim dari seluruh Indonesia saat memberikan pembinaan yang digelar pada Rabu, 19 Februari 2025 menyampaikan “tanpa integritas tidak mungkin ada kepercayaan, dan tanpa kepercayaan berarti tidak ada kepemimpinan.” Integritas tinggi merupakan salah satu poin yang juga diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009–02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Dalam kode etik tersebut disebutkan bahwa integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur, dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakikatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik. Namun, dalam praktiknya, masih banyak kasus yang terjadi karena kurangnya integritas dalam diri hakim. Oleh karena itu, hadirnya hakim-hakim baru diharapkan dapat meningkatkan integritas di lingkungan peradilan. Kolaborasi antara hakim menjadi elemen strategis dalam memperkuat budaya integritas di lingkungan peradilan. Hakim yang telah bekerja membawa pengalaman dan kebijaksanaan, sementara hakim yang baru dikukuhkan membawa semangat dan perspektif baru. Sinergi keduanya tidak hanya memperkaya proses pengambilan keputusan, tetapi juga menciptakan mekanisme saling mengingatkan dan mengawasi yang menjadi fondasi penting dalam membangun integritas bersama. Kolaborasi ini menjadi penting karena menciptakan ruang pembelajaran dua arah. Hakim senior memiliki pengalaman panjang dalam menjalankan tugas, sedangkan hakim baru diharapkan membawa ide atau inovasi dalam meningkatkan integritas. Integritas bukan hasil kerja individu semata, tetapi tumbuh dalam budaya kolaboratif yang saling mendukung dan mengawasi. Ketika seorang hakim merasa diawasi, didukung, serta ditantang oleh sesama hakim, maka akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk berintegritas. Kolaborasi ini dapat direalisasikan melalui program mentorship antar generasi, di mana hakim yang telah bekerja membimbing hakim yang baru dikukuhkan tidak hanya secara teknis, tetapi juga dalam pembentukan karakter dan nilai-nilai etika profesi. Selain itu, perlu diadakan forum rutin seperti “Dialog Integritas Peradilan” atau "Dialog Etik Hakim" di satuan kerja atau forum diskusi daring, di mana para hakim lintas generasi bisa saling bertukar pengalaman dan membahas studi kasus etik secara terbuka. Penulis juga mengusulkan agar Mahkamah Agung membentuk unit kerja khusus yang memfasilitasi kolaborasi lintas angkatan ini dalam bentuk kegiatan pelatihan bersama, proyek peradilan inovatif, dan sistem pelaporan rekan sejawat (peer review) berbasis kepercayaan. Hakim yang lebih dulu bekerja tidak boleh tertutup, dan hakim baru tidak boleh merasa sungkan. Kolaborasi harus dibangun atas dasar keinginan bersama untuk menjaga martabat peradilan. Dengan kolaborasi yang erat dan kesadaran kolektif akan pentingnya integritas, maka pengadilan Indonesia akan semakin dipercaya oleh masyarakat. Pengukuhan 921 hakim baru seharusnya menjadi titik awal, bukan akhir dari sebuah gerakan menuju peradilan yang lebih bersih, kuat, dan berwibawa. Dalam perspektif manajemen sumber daya manusia, kolaborasi lintas generasi dapat meningkatkan efektivitas organisasi melalui transfer pengetahuan, sebagaimana ditegaskan Robbins dan Judge (2022) dalam teori organizational behavior. Secara realistis untuk gagasan ini masih terbentang banyak hambatan untuk direalisasikan, seperti perbedaan gagasan dan pola pikir antar hakim serta kesediaan para hakim untuk meluangkan waktu dalam berpartisipasi dalam forum diskusi. Namun, hal tersebut bukan sebagai penghalang untuk menciptakan peradilan yang berintegritas. Salah satu solusi yang bisa diupayakan adalah menjadwalkan forum tersebut secara berkala dan informal, agar tidak terasa sebagai beban tambahan. Budaya apresiatif juga perlu dikembangkan agar setiap generasi merasa dihargai dalam proses kolaboratif tersebut. (AL/LDR)

Tingkatkan Spiritualitas, PN Lubuk Pakam Gelar Pengajian Bersama DYK

article | Berita | 2025-05-09 13:05:25

Lubuk Pakam. Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam kembali menggelar kegiatan Pengajian/Tausiah pada Jumat pagi, 9/5 yang bertempat di Masjid Nurul Muslimin, lingkungan kantor Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. Acara ini terlaksana atas kerja sama antara Koordinator Keagamaan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam M. Nuzuli sekaligus Hakim PN Lubuk Pakam dan Dharmayukti Karini (DYK) Cabang Lubuk Pakam. “Kegiatan ini merupakan bagian penting dari upaya kita menumbuhkan lingkungan kerja yang harmonis, berintegritas, dan penuh berkah. Semoga dengan kebersamaan ini, kita semakin kuat dalam melaksanakan amanah sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat,” tutur Ketua PN Lubuk Pakam Indrawan dalam sambutannya. Acara ini juga dihadiri oleh Wakil Ketua, para Hakim, Panitera, Sekretaris serta seluruh aparatur peradilan dan anggota DYK. Sebagai penceramah Ustadzah Lahmiyah hadir untuk menyampaikan tausiah yang menggugah hati, mengajak seluruh peserta untuk memperkuat nilai-nilai keimanan dan keikhlasan dalam bekerja serta mempererat ukhuwah Islamiyah di lingkungan peradilan. Ketua Cabang DYK Lubuk Pakam Bertha Paulina Indrawan turut hadir mendampingi langsung para anggota DYK. Hal ini menunjukkan peran aktif keluarga besar pengadilan dalam mendukung kegiatan pembinaan keagamaan. Kegiatan ini menjadi momentum untuk mempererat tali silaturahmi, sekaligus memperkuat nilai-nilai spiritual yang menjadi fondasi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab di lembaga peradilan. Semangat kebersamaan dan keteduhan suasana pengajian diharapkan dapat terus terjaga dalam kegiatan-kegiatan berikutnya. “Kegiatan pengajian ini tidak hanya sebagai wadah ibadah, tetapi juga sebagai cerminan budaya kerja yang berlandaskan nilai spiritual,” tutup Indrawan. (LDR/AL)

Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP

article | Opini | 2025-05-09 11:00:42

Untuk meningkatkan efektifitas penanganan perkara-perkara lingkungan hidup oleh hakim lingkungan hidup di pengadilan maka perlu didukung oleh suatu sistem manajemen perkara lingkungan hidup yang baik dan efektif di setiap pengadilan. Salah satu sistem manajemen perkara lingkungan hidup yang baik dan efektif adalah pemahaman Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan staf kepaniteraan terkait dalam memahami kriteria-kriteria untuk mengidentifikasi perkara lingkungan hidup yang dilimpahkan ke pengadilan untuk nantinya diklasifikasikan sesuai jenisnya kedalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pengadilan. Sebelum melakukan pengklasifikasian perkara lingkungan hidup maka langkah pertama yang dilakukan yaitu terlebih dahulu baik Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan Staf Kepaniteraan terkait mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan perkara lingkungan hidup. Menurut Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa Perkara lingkungan hidup meliputi perkara tata usaha negara, perdata, dan pidana yang menyangkut perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam:a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaannya;b. Undang-undang lain dan peraturan pelaksanaannya sepanjang terkait dengan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, perubahan iklim keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, atau pelindungan satwa dan tumbuhan liar; dan/ atauc. Undang-undang lain dan peraturan pelaksanaannya sepanjang terkait dengan perjuangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Undang-undang lain sebagaimana dimaksud huruf b diatas meliputi peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan, perkebunan, tata ruang, sumber daya air, energi, perindustrian, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kelautan, pengelolaan sampah dan perubahan iklim. Setelah memahami yang dimaksud dengan perkara lingkungan hidup maka langkah kedua yaitu Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan staf kepaniteraan terkait melakukan identifikasi perkara yang didaftarkan apakah termasuk perkara tata usaha negara lingkungan hidup, perdata lingkungan hidup dan atau perkara pidana lingkungan hidup. Untuk lingkup peradilan tata usaha negara maka kriteria yang harus diperhatikan adalah:  Objek sengketa dalam perkara tata usaha negara lingkungan hidup terdiri Keputusan Tata Usaha Negara atau juga disebut Keputusan Administrasi Pemerintahan, yaitu izin, persetujuan atau Keputusan Administrasi Pemerintahan lainnya di bidang lingkungan hidup dan Tindakan Administrasi Pemerintahan. Dasar gugatan/ dasar pengujian keabsahan (toetsinggronden) yang terdiri atas peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup dan sumber daya alam sebagaimana diuraikan dalam Lampiran Buku Pedoman, asas-asas umum pemerintahan yang baik; dan/atau prinsip-prinsip hak asasi manusia terkait lingkungan hidup Penggugat menguraikan dalam gugatannya bahwa penerbitan obyek sengketa TUN berpotensi atau telah menyebabkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup; atauObjek sengketa TUN diterbitkan karena telah terjadi adanya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup (misalnya, objek sengketa TUN adalah pencabutan izin oleh Pejabat TUN karena adanya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup). Untuk lingkup peradilan umum yaitu bagi pengadilan negeri maka Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan dan staf kepaniteraan terkait perlu mengidentifikasi perkara yang didaftarkan ke pengadilan negeri apakah termasuk perkara perdata lingkungan hidup dan atau perkara pidana lingkungan hidup.   Cara mengidentifikasi perkara perdata lingkungan hidup yaitu Panitera Muda Perdata dapat melihat dasar-dasar gugatan perkara perdata lingkungan hidup yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup termasuk perubahannya oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU PPLH”). Seperti misalnya gugatan PMH (Pasal 87 UU PPLH). Lalu gugatan pertanggungjawaban mutlak atau strict liability (Pasal 88 UU PPLH). Dasar pertanggungjawaban mutlak pemegang hak atau perizinan berusaha akibat kebakaran hutan (Pasal 49 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah oleh UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja) Selain memperhatikan dasar gugatan, Panitera Muda Perdata dapat juga melihat hak gugat (legal standing) dalam gugatan untuk mengidentifikasi hak gugat dalam UU PPLH sebagaimana terdiri atas Hak gugat pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 90 UU PPLH), Hak gugat masyarakat (Pasal 91 UU PPLH), dan hak gugat organisasi lingkungan hidup (Pasal 92 UU PPLH). Sementara cara mengidentifikasi perkara pidana lingkungan hidup yaitu Panitera Muda Pidana dapat memperhatikan pasal dakwaan penuntut umum yang diterapkan dalam surat dakwaannya yang mana pasal dakwaan tersebut mengacu kepada ketentuan pidana peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana disebutkan dalam defenisi perkara lingkungan hidup diatas. Lalu setelah memahami pengertian perkara lingkungan hidup dan kriteria dalam menentukan perkara lingkungan hidup maka tibalah waktunya untuk menentukan klasifikasi perkara lingkungan hidup tersebut. Sebagaimana diketahui dalam SIPP Pengadilan Negeri versi 5.6.6 terdapat 19 klasifikasi perkara lingkungan hidup yaitu: Lingkungan Hidup/Gugatan Terhadap Aktivis Lingkungan Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan Lingkungan HidupLingkungan Hidup/Hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkunganLingkungan Hidup/Kebakaran HutanLingkungan Hidup/Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Pertambangan (Mineral, Baru Bara), Minyak dan Gas BumiLingkungan Hidup/Kerusakan Terumbu Karang, Hutan Bakau (Mangrove), Lautan dan PesisirLingkungan Hidup/Konservasi Sumber Daya Alam  Lingkungan Hidup/Limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) Lingkungan Hidup/Pembuangan LimbahLingkungan Hidup/Penangkapan Ikan (dengan racun, bahan peledak/bom ikan)Lingkungan Hidup/Pencemaran AirLingkungan Hidup/Pencemaran LautLingkungan Hidup/Pencemaran TanahLingkungan Hidup/Pencemaran Udara dan Gangguan (Kebisingan, Getaran, dan Kebauan)Lingkungan Hidup/Penebangan KayuLingkungan Hidup/Perubahan IklimLingkungan Hidup/Perubahan Kawasan Alam/Tata RuangLingkungan Hidup/Reklamasi PantaiLingkungan Hidup/Satwa Liar (Penangkapan, Perdagangan, dan lainnya)Lingkungan Hidup/Tanaman Yang Dilindungi. Tabel tampilan klasifikasi perkara lingkungan hidup di SIPP. Lalu lantas bagaimana Panitera Pengadilan, Panitera Muda Perkara, Petugas Meja Pendaftaran dan atau Staf Kepaniteraan terkait memilih klasifikasi perkara lingkungan hidup yang tepat terhadap suatu perkara lingkungan hidup yang didaftarkan ke pengadilan? Menurut Buku Pedoman Identifikasi dan Penomoran Perkara Lingkungan Hidup Bagi Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara (“Buku Pedoman”) yang merupakan juga materi pelatihan singkat kerjasama antara Mahkamah Agung RI dengan Leip dan Icel dan Norwegian Embassy diatur cara mengidentifikasi klasifikasi perkara lingkungan hidup yakni Panitera Muda Perkara dapat menelaah dampak perkara pada pencemaran/kerusakan lingkungan hidup berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar gugatan/dakwaan. Lalu untuk memudahkan penelusuran klasifikasi perkara lingkungan hidup maka Panitera Muda Perkara dapat mengacu pada Lampiran I Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup dan peraturan perundang-undangan terkait sebagaimana pada Buku Pedoman tersebut. Sementara menurut Pasal 1 angka 14 UU PPLH yang dimaksud dengan Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 17 UU PPLH yang dimaksud dengan kerusakan lingkungan hidup adalah Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dengan kata lain Panitera Muda Perkara perlu mengecek apa yang menjadi dasar gugatan/dasar dakwaan dalam perkara tersebut sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mana hal tersebut mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup dan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana defenisi tersebut. Seperti misalnya apabila ada suatu perkara perdata yang didaftarkan melalui E-court ke Pengadilan Negeri dimana sebuah Yayasan yang berfokus pada perlindungan hutan atas dasar hak gugat organisasi (legal standing) sebagaimana diatur Pasal 73 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan melakukan gugatan PMH terhadap sebuah perusahaan perkebunan atas dasar gugatan yaitu Tergugat menduduki Kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Tergugat melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana diatur Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Lalu akibat dari kegiatan perkebunan Tergugat membuat Kawasan hutan menjadi berkurang seluas ± 700 Ha, hutan menjadi rusak dan berkurang dan juga mendorong terjadinya pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Panitera Muda Perdata yang menerima pendaftaran perkara antara Yayasan melawan perusahaan perkebunan tersebut akan terlebih dahulu mengindentifikasi perkara perdata tersebut berdasarkan dasar-dasar gugatannya dan hak gugatnya. Oleh karena perkara tersebut termasuk gugatan PMH karena pelanggaran atruan kehutanan dan penggugat berhak atas hak gugat organisasi (legal standing) maka teridentifikasi sebagai perkara perdata lingkungan hidup. Selanjutnya Panitera Muda Perdata menelaah apa yang menjadi dasar gugatan Penggugat tersebut yaitu Tergugat menduduki Kawasan hutan secara tidak sah dan Tergugat melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Lalu selanjutnya Panitera Muda Perdata juga akan menelaah dampak dari Tergugat menduduki Kawasan hutan secara tidak sah dan Tergugat melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dalam posista gugatan tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup seperti berkurangnya Kawasan Hutan seluas 700 Ha, hutan menjadi rusak dan berkurang dan mendorong terjadinya pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Setelah menelaah baik dasar gugatan dan dampaknya dari perbuatan Tergugat tersebut terhadap lingkungan maka selanjutnya Panitera Muda Perdata memilih klasifikasi perkara mana yang tepat terhadap gugatan tersebut, apakah Gugatan Terhadap Aktivis Lingkungan Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan Lingkungan Hidup? apakah Hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan? Apakah Perubahan Iklim? Atau apakah Perubahan Kawasan Alam/Tata Ruang. Apabila memilih klasifikasi perkara Gugatan Terhadap Aktivis Lingkungan Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan Lingkungan Hidup adalah kurang tepat karena yang digugat bukan aktivis lingkungan hidup atau warga masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup. Justru yang digugat adalah perusahaan sawit oleh organisasi yang berfokus pada perlindungan hutan. Selain itu klasifikasi ini ditujukan untuk perkara Strategic Litigation Against Public Participation (SLAPP) dalam gugatan Perdata. Oleh karena opsi klasifikasi Gugatan Terhadap Aktivis Lingkungan Hidup/Warga/Masyarakat yang Memperjuangkan Lingkungan Hidup kurang tepat maka tersisa 3 (tiga) klasifikasi perkara lingkungan hidup yang mana dampak perkara akibat perbuatan Tergugat kurang lebih bersesuaian dengan 3 (tiga) jenis klasifikasi ini yaitu kerusakan dan pencemaran lingkungan, Perubahan Iklim dan Perubahan Kawasan Alam/Tata Ruang. Selanjutnya untuk memilih klasifikasi perkara yang tepat dari 3 (tiga) pilihan jenis klasifikasi perkara, Panitera Muda Perdata harus mengacu kepada Lampiran I Buku Pedoman yang telah memuat Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup sesuai peraturan perundang-undangan terkait. Dalam hal ini Panitera Muda Perdata mencocokkan dasar gugatan yang dijadikan Penggugat dalam gugatannya dengan daftar klasifikasi perkara sekaligus daftar peraturan perundang-undangan terkait sebagaimana dalam Lampiran I Buku Pedoman. Oleh karena Penggugat menggunakan dasar gugatannya adalah Tergugat menduduki Kawasan hutan secara tidak sah dan Tergugat melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana diatur pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang mana dasar gugatan tersebut berkesesuaian dengan Klasifikasi perkara Kerusakan lingkungan akibat usaha perkebunan dan peraturan perundang-undangan terkait yang mana mencakup juga  Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo. Pasal 36-37 UU Cipta Kerja sebagaimana hal. 36 Buku Pedoman maka klasifikasi perkara yang tepat untuk diinput oleh Panitera Muda Perdata dalam SIPP adalah Lingkungan Hidup/Hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan sebagaimana dalam gambar berikut: Gambar Klasifiksi Perkara dan Peraturan terkait dalam Buku Pedoman hal. 36. Lalu bagaimana apabila Panitera Muda Perkara salah menginput klasifikasi perkara lingkungan hidup dalam SIPP? Dalam Buku Pedoman diberikan prinsip bahwa apabila dikemudian hari diketahui terdapat kesalahan memilih klasifikasi perkara lingkungan hidup maka koreksi hanya dapat dilakukan atas perkara yang belum putus/berkekuatan hukum tetap. Lalu batas waktu perbaikannya dimulai pada saat masuknya jawaban/eksepsi dan paling lambat sebelum proses persidangan mencapai tahap pembuktian. Selain itu, apabila terdapat keraguan Panitera Muda Perkara untuk mengidentifikasi atau memiliih perkara lingkungan hidup dari daftar yang ada maka Panitera Muda Perkara dapat berkonsultasi dengan Panitera/Hakim Lingkungan/Wakil Ketua Pengadilan/Ketua Pengadilan. (LDR)

Permudah Akses Masyarakat, PN Kaimana Laksanakan Sidang ke Pulau Adi

article | Berita | 2025-05-09 10:45:37

Kaimana. Dalam rangka mempermudah akses kepada Masyarakat, Pengadilan Negeri (PN) Kaimana, Papua Barat, melaksanakan sidang dil luar Gedung ke Pulau Adi Distrik Buruway, selama 3 hari terhitung Senin 4/5 sampai dengan hari Rabu 7/5.“Kegiatan ini merupakan komitmen dari PN Kaimana untuk mempermudah akses Masyarakat di Kabupaten Kaimana yang berada di pulau. Sidang keliling telah dilaksanakan oleh PN Kaimana sejak tahun 2023 dan terus berlanjut sampai dengan saat ini,” kutip DANDAPALA dari rilis yang dikirim Jumat 9/5.Kegiatan dipimpin langsung oleh Ketua PN Kaimana, Mahir Zikki ZA.“Untuk menyelesaiakan persoalan Masyarakat yang berada di pulau, maka PN Kaimana juga telah bekerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sehingga penetapan dari pengadilan yang dilaksanakan di luar Gedung akan langsung dikirim ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kaimana. Masyarakat di pulau nantinya langsung menerima dokumen yang dibutuhkan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kaimana,” lanjut rilis tersebut.Seluruh perkara yang disidangkan semuanya di proses secara prodeo sehingga Masyarakat sama sekali tidak mengeluarkan biaya untuk menyelesaikan persoalannya.“Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka melaksanakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan, tujuannya untuk memberikan akses yang mudah kepada Masyarakat yang berada di pulau-pulau kabupaten Kaimana sehingga Masyarakat yang berada di pulau tidak harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mengakses dan menyelesaikan permasalahannya di PN Kaimana, tutup rilis tersebut. (LDR/AL)

Mengenal SAQ, Penentu Penempatan Hakim Angkatan 8 dan Cakim Angkatan 9

article | Berita | 2025-05-09 08:40:52

Jakarta - Direktorat Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) terus berinovasi dalam penentuan pola mutasi dan promosi tenaga teknis, khususnya Hakim dan calon hakim yang akan ditempatkan dalam waktu dekat. Salah satunya dengan melakukan Sosialisasi Pengisian Self Assessment Questionnaire (SAQ) Bagi Hakim Angkatan VIII dan Calon Hakim Angkatan IX yang terjadwal siang nanti Jumat, 9/5/25.“Bersama ini kami meminta kepada seluruh Ketua Pengadilan Negeri untuk memerintahkan seluruh Hakim Angkatan VIII dan Calon Hakim Angkatan IX yang berada pada Satuan Kerja yang Saudara pimpin dan didampingi oleh Ketua untuk mengikuti sosialiasi Pengisian Self Assessment Questionnaire (SAQ),” bunyi undangan yang dikutip DANDAPALA.Lantas apa itu SAQ dan tujuannya?Berdasarkan informasi yang dihimpun DANDAPALA dari sumber resmi, SAQ merupakan penilaian pribadi atas diri Hakim dan Calon Hakim dengan kriteria tertertu dengan basis utama pada penilaian kinerja. Penilaian kinerja tersebut diantaranya terdiri dari penanganan perkara, komponen perkara yang berhasil di damaikan dalam mediasi, keberhasilan dalam diversi, penerapan restorative justice. Penilaian tersebut juga dari keaktifan dalam mensukseskan pembangunan Zona Integritas menuju WBK/WBBM, AMPUH Badilum, SMAP, Penilaian Kinerja Badilum, pengawasan bidang dan/atau bertugas kehumasan, mewakili dalam kegiatan Internasional dan lainnya.Selain berdasarkan kinerja, SAQ juga akan menilai prestasi Hakim. Penilaian prestasi tersebut diantaranya prestasi 5 Tahun Terakhir menjadi rangking/peringkat terbaik dalam bimtek/pelatihan/sertifikasi/Diklat PPCH, memiliki kompetensi / penguasaan bahasa, dan lain sebagainya.Potensi dan pengembangan diri juga menjadi bahan penilaian. Diantaranya menulis buku atau jurnal yang diterbitkan, pernah menulis artikel (non-berita) di Dandapala, Arunika, hukumonline, MARI-News, BPHN, dan/atau Media Nasional lainnya. Memiliki pengalaman mengajar/menjadi pembicara dalam seminar/perkuliahan/dan forum ilmiah lainnya, termasuk juga pengalaman organisasi misalnya IKAHI dan penilaian lainnya.Tak kalah penting, untuk memperhatikan secara khusus tenaga teknis yang mempunyai kebutuhan khusus, Ditjen Badilum juga akan mendata mengenai kondisi pribadi. Diantaranya pasangan (suami/isteri) tinggal di daerah yang berbeda, tenaga teknis yang memiliki kondisi khusus (diri/anak/isteri yang dalam keadaan sakit yang memerlukan perawatan khusus). “Dalam SAQ tersebut juga akan diminta peserta untuk menyebutkan tiga satuan kerja yang menjadi harapan untuk penempatan selanjutnya. Data-data yang disampaikan melalui SAQ tentunya juga akan disesuaikan dengan data yang ada di Ditjen Badilum," tutup sumber tersebut.Sobat Dandafellas, jangan lupa untuk mengikuti sosialisasi SAQ siang nanti ya. (LDR)

Pergeseran Makna Putusan Lepas dalam RUU KUHAP dan Implikasinya

article | Opini | 2025-05-09 07:30:44

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia yang saat ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menjadi landasan penting dalam kerangka penegakan hukum pidana. Namun, seiring dengan perkembangan zaman serta kebutuhan untuk mewujudkan sistem peradilan yang diharapkan lebih adil dan modern, upaya pembaruan hukum acara pidana (revisi atas KUHAP) terus dilakukan. Salah satu aspek krusial yang menjadi perhatian dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP versi DPR RI tanggal 20 Maret 2025 (RUU KUHAP) adalah perluasan jenis putusan dari yang sebelumnya hanya dikenal 3 (tiga) bentuk putusan yakni putusan pemidanaan (veroordeling), putusan bebas (vrijspraak), atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP menjadi 4 (empat) bentuk putusan dengan ditambahkannya satu bentuk putusan baru yakni putusan pemaafan hakim (rechterlijk pardon) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 RUU KUHAP. Perluasan jenis putusan sebagaimana telah disinggung di atas, pada umumnya merupakan hal yang wajar apabila terjadi perubahan kalimat sebagai bentuk penyempurnaan seperti adanya perubahan dalam pengaturan tentang putusan pemidanaan dan putusan bebas dalam RUU KUHAP, namun perubahan kalimat tersebut tetap memiliki makna yang sama sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam KUHAP. Akan tetapi, tidak demikian dengan pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”, sedangkan Pasal 230 ayat (3) RUU KUHAP menyebutkan bahwa “Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Perubahan kalimat dalam pengaturan tentang putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam RUU KUHAP membawa pergeseran makna dan implikasi yang signifikan dibandingkan dengan pengaturan dalam KUHAP yang saat ini masih berlaku. Kriteria putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang berlaku dalam KUHAP adalah: apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan, namun sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana (M. Yahya Harahap, 2021). Sedangkan, untuk kriteria putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang berlaku dalam RUU KUHAP adalah: apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan, namun sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa terdapat alasan yang meniadakan atau menghapuskan sifat pidana dari perbuatan tersebut. Makna secara tegas mengenai pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam KUHAP adalah perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu tidak ada diatur dan tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana, tetapi mungkin termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata, hukum dagang, hukum asuransi, atau bidang hukum lainnya. Lain halnya dengan pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam RUU KUHAP yang memiliki makna bahwa perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu diatur dan termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana, tetapi hakim tidak menjatuhkan pidana dengan alasan adanya dasar peniadaan pidana. Dalam konteks hukum pidana, dasar peniadaan pidana merupakan konsep fundamental berisi alasan-alasan hukum yang menyebabkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana (delik) tidak dapat dipidana oleh hakim. Secara garis besar, dasar peniadaan pidana dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden). Alasan pembenar adalah keadaan-keadaan tertentu yang menghapus sifat melawan hukum dari suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Dengan adanya alasan pembenar, perbuatan yang awalnya terlihat sebagai pelanggaran hukum menjadi dianggap sebagai perbuatan yang dibenarkan oleh hukum. Fokus utama dari alasan pembenar adalah pada perbuatannya itu sendiri (objektif) dan situasi yang melatarbelakanginya, seperti: keadaan darurat (noodtoestand), pembelaan terpaksa (noodweer), menjalankan perintah undang-undang (wettelijk voorschrift), atau menjalankan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang (ambtelijk bevel). Sedangkan alasan pemaaf adalah keadaan-keadaan tertentu yang menghapus kesalahan (schuld) dari pelaku tindak pidana, meskipun perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang bersifat melawan hukum. Dengan adanya alasan pemaaf, pelaku tidak dapat dipersalahkan atau diminta pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya. Fokus utama dari alasan pemaaf adalah pada diri pelaku (subjektif) dan keadaan mental atau kondisi pribadinya pada saat melakukan tindak pidana, seperti: tidak mampu bertanggung jawab karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijk storing), daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer excess), atau menjalankan perintah jabatan yang tidak sah tetapi dilandasi dengan iktikad baik. Merujuk kembali pada konteks pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dalam praktik peradilan saat ini yang masih menggunakan KUHAP sebagai landasan hukum acara pidana, para hakim kerap memiliki pandangan yang berbeda ketika memformulasikan jenis putusan dalam perkara yang memiliki dasar peniadaan pidana. Sebagian hakim merumuskannya dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana dapat dilihat dari Putusan Nomor 72/Pid.B/2020/PN Enr,  671/Pid.Sus/2020/PN Ptk, dan 44/Pid.B/2021/PN Pts. Sementara itu, terdapat pula hakim yang merumuskannya dengan putusan bebas (vrijspraak) yaitu membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan penuntut umum sebagaimana dapat dilihat dari Putusan Nomor 254/Pid.Sus/2014/PN.Tbt, 391/Pid.B/2014/PN.Psp, dan 119/Pid.Sus/2019/PN Mgl. Terjadinya perbedaan pendapat hakim dalam memformulasikan jenis putusan meskipun terhadap perkara dengan kondisi yang serupa (adanya dasar peniadaan pidana) tersebut terjadi karena pada dasarnya, baik jenis putusan bebas yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP tidak mengakomodir secara expressis verbis terhadap perkara yang di dalamnya terdapat dasar peniadaan pidana. Menurut Yahya Harahap, apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi dasar peniadaan pidana, maka hal atau keadaan tersebut merupakan faktor alasan menjatuhkan putusan pembebasan terhadap terdakwa dari pemidanaan supaya penerapan tentang bentuk putusan bebas tidak semata-mata didasarkan pada hukum acara saja, tetapi juga yang diatur dalam hukum materiil (M. Yahya Harahap, 2021). Selain itu, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan khususnya pada bagian Tindak Pidana Umum poin nomor 14 memberikan kaidah hukum bahwa dalam kasus terdakwa yang mempunyai alasan pembenar dan unsur dari dakwaan tidak terpenuhi maka terdakwa diputus bebas (vrijspraak), sedangkan dalam kasus terdakwa yang mempunyai alasan pemaaf dan unsur dari dakwaan terpenuhi, tetapi terdapat hal eksepsional, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Dengan perubahan pengaturan tentang putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana dalam Pasal 230 ayat (3) RUU KUHAP yang berbunyi “Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”, maka terdapat pergeseran makna dan kriteria dalam norma pasal a quo yang membawa implikasi bahwa terhadap perkara yang di dalamnya terdapat dasar peniadaan pidana baik berupa alasan pembenar maupun alasan pemaaf, hakim harus secara konsisten memformulasikan putusannya hanya dengan (solely on) jenis putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). (WI, FAC, LDR) Referensi M. Yahya Harahap. (2021). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika Gerry Geovant Supranata Kaban, S.H.Calon Hakim Pengadilan Negeri Blitar

Dua Hakim PN Pulau Punjung Ikuti Promensisko 2025

article | Berita | 2025-05-08 18:00:15

Dharmasraya – Dua orang hakim dari Pengadilan Negeri (PN) Pulau Punjung, Sumatera Barat yaitu Iqbal Lazuardi dan Bapak Mazmur Ferdinandta Sinulingga mengikuti Program Mentoring Berbasis Risiko (Promensisko) tahun 2025 yang diselenggarakan secara daring pada hari Kamis 8/5/2025 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bekerja sama dengan Mahkamah Agung RI. “Program ini merupakan bagian dari Gerakan Nasional 23 Tahun APUPPT-PPSPM sebagai upaya memperkuat pemahaman para aparat penegak hukum terhadap ancaman Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Pendanaan Terorisme (TPPT) yang bersumber dari kejahatan siber,” ujar rilis yang diterima Tim DANDAPALA, Kamis 8/5/2025. Acara ini dibuka secara resmi oleh Kepala PPATK, yang menegaskan pentingnya sinergi nasional dalam memerangi kejahatan ekonomi digital. Dalam kesempatan tersebut juga disampaikan keynote speech dari Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), yang menyoroti tantangan meningkatnya tindak pidana siber dan urgensi kolaborasi antarinstansi dalam memitigasi risiko pencucian uang serta pendanaan terorisme. Dwi Sugiarto sebagai narasumber dari Mahkamah Agung memberikan materi berjudul Penegakan Hukum TPPU dari TP Siber di Indonesia. Beliau menyoroti peran strategis pengadilan, khususnya Pengadilan Negeri, dalam menangani perkara TPPU yang tidak berkaitan dengan korupsi. Kewenangan ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010, sementara perkara TPPU dari tindak pidana korupsi menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor. Rilis tersebut juga menyampaikan selain membahas alur pembuktian dan mekanisme perampasan aset melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2013, sesi ini juga mengangkat sebuah contoh konkret penetapan pengadilan yakni Penetapan Nomor 02/Pid.Sus/PHK/2024/PN Jkt Pst tanggal 12 Desember 2024. Dalam kasus ini, Penyidik Tipideksus Bareskrim Polri mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menetapkan dana senilai Rp154.708.659,00 yang dibekukan dalam rekening bank sebagai hasil tindak pidana judi online. Permohonan tersebut diajukan karena tersangka tidak ditemukan, sementara dana hasil transaksi perjudian telah dibekukan berdasarkan permintaan PPATK. PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan dana tersebut sebagai aset milik negara. Putusan ini disertai perintah kepada panitera pengadilan untuk mengumumkan hasil penetapan melalui papan pengumuman atau media lain, guna memberi kesempatan kepada pihak yang merasa memiliki hak atas harta tersebut untuk mengajukan keberatan dalam jangka waktu yang ditentukan. Contoh kasus ini menegaskan pentingnya peran aktif pengadilan dalam mendukung efektivitas pemulihan aset hasil kejahatan, terutama dalam konteks kejahatan siber yang pelakunya kerap sulit dilacak. Hal ini juga menunjukkan bagaimana mekanisme hukum acara yang diatur dalam PERMA 1 Tahun 2013 dapat dijalankan secara efisien untuk kepentingan negara. “Kehadiran dua hakim dari PN Pulau Punjung ini mencerminkan komitmen lembaga peradilan tingkat pertama dalam memperkuat kapasitas menghadapi tantangan hukum modern di era digital,” tutup rilis tersebut.

Ketua Muda Pidana MA, Adi Andojo Soetjipto dan Gerakan Mahasiswa Mei 98

article | History Law | 2025-05-08 10:00:29

Mei 1998 akan selalu diingat sebagai titik balik sejarah demokrasi di Indonesia. Mahasiswa di seluruh Indonesia saat itu turun ke jalan menuntut reformasi di Indonesia. Menjelang reformasi tersebut, Adi Andojo Soetjipto yang menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Hukum Pidana Umum 1982-1997, telah memasuki masa pensiun. Selepas pensiun Ia diminta untuk menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Trisakti (FH USAKTI). Ia kemudian resmi menjabat sebagai Dekan FH Universitas Trisakti pada 23 Juni 1997. Sebelum diangkat sebagai Dekan FH USAKTI, Adi Andojo Soetjipto semasa menjabat di Mahkamah Agung sudah dikenal dekat dengan mahasiswa. Sebastiaan Pompe dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung, menuliskan bahwa saat terjadi konflik internal Mahkamah Agung di tahun 1996 dan Adi Andojo Soetjipto terancam dipecat, mahasiswa di berbagai tempat melakukan aksi mogok makan sebagai bentuk dukungan kepada dirinya. Aksi mogok makan dilakukan di berbagai daerah dan bahkan terdapat tiga mahasiswa di Purwokerto harus dilarikan ke rumah sakit dan satu orang di antaranya koma. Adi Andojo Soetjipto harus berkunjung ke daerah-daerah untuk meminta para mahasiswa menghentikan mogok makan. Dalam memoarnya yang berjudul Menyongsong dan Menunaikan Tugas Negara Sampai Akhir, Adi Andojo Soetjipto menuliskan bahwa kampus yang Ia pimpin awalnya adem ayem, namun tiba-tiba menjadi bergejolak akibat gerakan mahasiswa yang menuntut reformasi. Tepatnya pada 7 Mei 1998 Senat Universitas Trisakti mengeluarkan pernyataan untuk mendukung aspirasi dan tuntutan mahasiswa.  Senat Universitas Trisakti juga membentuk sebuah crisis center untuk memberikan dukungan kepada mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya. Adi Andojo Soetjipto ditunjuk sebagai Ketuanya. Gerakan mahasiswa terus terjadi. Pada 12 Mei 1998, sebuah mimbar bebas diadakan di pelataran parkir sebuah Gedung Universitas Trisakti. Tidak hanya mahasiswa, dosen dan guru besar pun turut menyuarakan suaranya melalui orasi dalam mimbar bebas tersebut. Prof. Mafruchah Jusuf, Ir. Trisulo, dan tentunya Adi Andojo Soetjipto tercatat sebagai orator dalam mimbar bebas tersebut. Setelah mimbar bebas selesai jam 12 siang, mahasiswa turun ke jalan dan hendak menuju Gedung DPR/MPR. Adi Andojo Soetjipto dan Dr. Chairuman Armia MA, Dekan FE Universitas Trisakti saat itu, mengikuti mahasiswa karena merasa bertanggung jawab akan keselamatan mereka. Pihak aparat keamanan mencegat mahasiswa di depan Kantor Walikota Jakarta Barat yang saat itu berada di Jalan S. Parman. Adi Andojo Soetjipto mencoba bernegosiasi dengan aparat keamanan agar mahasiswa dapat diizinkan untuk mengadakan long march menuju Gedung MPR/DPR, namun tidak berhasil. Karena tidak diizinkan, mahasiswa akhirnya berdemonstrasi di depan kantor Walikota Jakarta Barat tersebut. Usman Hamid, dalam obituari Adi Andojo Soetjipto di Harian Kompas 13 Januari 2022, menuliskan bahwa pada 12 Mei 1998 tersebut, Adi Andojo Soetjipto berada di barisan depan ribuan demonstran mahasiswa Trisakti yang hendak long march ke Gedung DPR/MPR. Di atas mimbar, Ia lantang menyuarakan tuntutan mahasiswa tentang pentingnya reformasi. Adi Andojo Soetjipto kemudian sempat kembali ke kantornya di FH USAKTI. Kemudian, saat Ia sedang menyelesaikan pekerjaannya, Pembantu Dekan III FH USAKTI saat itu menghubungi Adi Andojo Soetjipto dan memberitahukannya bahwa mahasiswa diberi waktu hanya sampai pukul 16.00 dan jika tidak maka akan ada pembubaran paksa. Karena khawatir akan terjadi bentrokan, Adi Andojo Soetjipto kembali ke depan Gedung Walikota Jakarta Barat. Adi Andojo Soetjipto kemudian membujuk mahasiswa untuk kembali ke kampus. Setelah dianggap aman, Adi Andojo Soetjipto kembali ke rumah. Namun saat berada di rumah, terjadi peristiwa penembakan mahasiswa. Adi Andojo Soetjipto kemudian bergegas ke Rumah Sakit Sumber Waras untuk menjenguk mahasiswa. Mahasiswa Trisakti yang bernama Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie meninggal dunia. 5 orang mahasiswa tercatat luka parah dan 17 lainnya mengalami luka-luka. Pada 2 Desember 1999, Adi Andojo Soetjipto diangkat sebagai Ketua Tim Untuk Penuntasan Kasus Peristiwa 12 Mei 1998. Tim tersebut berkali-kali mengadakan rapat, menyusun strategi, melakukan investigasi, bertemu dengan pihak-pihak berkepentingan, namun tetap tidak dapat menemukan aktor intelektualnya. Pada 24 Juli 2001, Adi Andojo Soetjipto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Dekan FH USAKTI. Sampai ia mundur, aktor intelektual penembakan mahasiswa tetap tidak ditemukan dan keinginannya untuk menyatakan peristiwa pelanggaran HAM berat juga belum tercapai. (YPY, LDR)