article | Opini
| 2025-05-09 07:30:44
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia yang
saat ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menjadi landasan penting dalam
kerangka penegakan hukum pidana. Namun, seiring dengan perkembangan zaman serta
kebutuhan untuk mewujudkan sistem peradilan yang diharapkan lebih adil dan
modern, upaya pembaruan hukum acara pidana (revisi atas KUHAP) terus dilakukan.
Salah satu aspek krusial yang menjadi perhatian dalam Rancangan Undang-Undang
KUHAP versi DPR RI tanggal 20 Maret 2025 (RUU KUHAP) adalah perluasan jenis
putusan dari yang sebelumnya hanya dikenal 3 (tiga) bentuk putusan yakni putusan
pemidanaan (veroordeling), putusan bebas (vrijspraak), atau putusan
lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging)
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP menjadi 4 (empat) bentuk
putusan dengan ditambahkannya satu bentuk putusan baru yakni putusan pemaafan
hakim (rechterlijk pardon) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15
RUU KUHAP.
Perluasan jenis putusan sebagaimana telah disinggung di atas, pada
umumnya merupakan hal yang wajar apabila terjadi perubahan kalimat sebagai
bentuk penyempurnaan seperti adanya perubahan dalam pengaturan tentang putusan
pemidanaan dan putusan bebas dalam RUU KUHAP, namun perubahan kalimat tersebut tetap
memiliki makna yang sama sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam KUHAP. Akan
tetapi, tidak demikian dengan pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan
hukum. Dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa “Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas
dari segala tuntutan hukum”, sedangkan Pasal 230 ayat (3) RUU KUHAP
menyebutkan bahwa “Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus
lepas dari segala tuntutan hukum”.
Perubahan kalimat dalam pengaturan tentang putusan lepas dari segala
tuntutan hukum dalam RUU KUHAP membawa pergeseran makna dan implikasi yang
signifikan dibandingkan dengan pengaturan dalam KUHAP yang saat ini masih
berlaku. Kriteria putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang berlaku dalam
KUHAP adalah: apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah
dan meyakinkan, namun sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana (M. Yahya Harahap, 2021). Sedangkan,
untuk kriteria putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang berlaku dalam RUU
KUHAP adalah: apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah
dan meyakinkan, namun sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa terdapat
alasan yang meniadakan atau menghapuskan sifat pidana dari perbuatan tersebut.
Makna secara tegas mengenai pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan
hukum dalam KUHAP adalah perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu tidak
ada diatur dan tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana, tetapi mungkin
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata, hukum dagang, hukum asuransi, atau bidang
hukum lainnya. Lain halnya dengan pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan
hukum dalam RUU KUHAP yang memiliki makna bahwa perbuatan yang didakwakan dan
yang telah terbukti itu diatur dan termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana,
tetapi hakim tidak menjatuhkan pidana dengan alasan adanya dasar peniadaan
pidana.
Dalam konteks hukum pidana, dasar
peniadaan pidana merupakan konsep fundamental berisi alasan-alasan hukum yang
menyebabkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur tindak
pidana (delik) tidak dapat dipidana oleh hakim. Secara garis besar, dasar
peniadaan pidana dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden)
dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden).
Alasan pembenar adalah keadaan-keadaan tertentu yang menghapus sifat
melawan hukum dari suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
Dengan adanya alasan pembenar, perbuatan yang awalnya terlihat sebagai
pelanggaran hukum menjadi dianggap sebagai perbuatan yang dibenarkan oleh hukum.
Fokus utama dari alasan pembenar adalah pada perbuatannya itu sendiri
(objektif) dan situasi yang melatarbelakanginya, seperti: keadaan darurat (noodtoestand),
pembelaan terpaksa (noodweer), menjalankan perintah undang-undang (wettelijk
voorschrift), atau menjalankan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang
(ambtelijk bevel). Sedangkan alasan pemaaf adalah keadaan-keadaan
tertentu yang menghapus kesalahan (schuld) dari pelaku tindak pidana,
meskipun perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang bersifat
melawan hukum. Dengan adanya alasan pemaaf, pelaku tidak dapat dipersalahkan
atau diminta pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya. Fokus utama dari
alasan pemaaf adalah pada diri pelaku (subjektif) dan keadaan mental atau
kondisi pribadinya pada saat melakukan tindak pidana, seperti: tidak mampu
bertanggung jawab karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan (gebrekkige ontwikkeling)
atau terganggu karena penyakit (ziekelijk storing), daya paksa (overmacht),
pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer excess), atau menjalankan
perintah jabatan yang tidak sah tetapi dilandasi dengan iktikad baik.
Merujuk kembali pada konteks pengaturan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum, dalam praktik peradilan saat ini yang masih menggunakan KUHAP
sebagai landasan hukum acara pidana, para hakim kerap memiliki pandangan yang
berbeda ketika memformulasikan jenis putusan dalam perkara yang memiliki dasar
peniadaan pidana. Sebagian hakim merumuskannya dengan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana dapat
dilihat dari Putusan Nomor 72/Pid.B/2020/PN Enr, 671/Pid.Sus/2020/PN Ptk, dan 44/Pid.B/2021/PN
Pts. Sementara itu, terdapat pula hakim yang merumuskannya dengan putusan bebas
(vrijspraak) yaitu membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan penuntut
umum sebagaimana dapat dilihat dari Putusan Nomor 254/Pid.Sus/2014/PN.Tbt,
391/Pid.B/2014/PN.Psp, dan 119/Pid.Sus/2019/PN Mgl.
Terjadinya perbedaan pendapat hakim dalam memformulasikan jenis putusan
meskipun terhadap perkara dengan kondisi yang serupa (adanya dasar peniadaan
pidana) tersebut terjadi karena pada dasarnya, baik jenis putusan bebas yang
diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP maupun putusan lepas dari segala tuntutan
hukum yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP tidak mengakomodir secara expressis
verbis terhadap perkara yang di dalamnya terdapat dasar peniadaan pidana.
Menurut Yahya Harahap, apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang
menjadi dasar peniadaan pidana, maka hal atau keadaan tersebut merupakan faktor
alasan menjatuhkan putusan pembebasan terhadap terdakwa dari pemidanaan supaya
penerapan tentang bentuk putusan bebas tidak semata-mata didasarkan pada hukum
acara saja, tetapi juga yang diatur dalam hukum materiil (M. Yahya Harahap,
2021). Selain itu, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan khususnya pada bagian Tindak
Pidana Umum poin nomor 14 memberikan kaidah hukum bahwa dalam kasus terdakwa
yang mempunyai alasan pembenar dan unsur dari dakwaan tidak terpenuhi maka
terdakwa diputus bebas (vrijspraak), sedangkan dalam kasus terdakwa yang
mempunyai alasan pemaaf dan unsur dari dakwaan terpenuhi, tetapi terdapat hal
eksepsional, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag
van alle rechtsvervolging).
Dengan perubahan pengaturan tentang putusan lepas dari segala tuntutan
hukum sebagaimana dalam Pasal 230 ayat (3) RUU KUHAP yang berbunyi “Jika
hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,
tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum”, maka terdapat pergeseran makna dan kriteria dalam norma pasal a
quo yang membawa implikasi bahwa terhadap perkara yang di dalamnya terdapat
dasar peniadaan pidana baik berupa alasan pembenar maupun alasan pemaaf, hakim
harus secara konsisten memformulasikan putusannya hanya dengan (solely on)
jenis putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle
rechtsvervolging). (WI, FAC, LDR)
Referensi
M. Yahya
Harahap. (2021). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (Edisi Kedua).
Jakarta: Sinar Grafika
Gerry Geovant Supranata Kaban, S.H.Calon Hakim Pengadilan Negeri Blitar