Cari Berita

Agama Sebagai Fondasi Dasar dalam Mewujudkan Perilaku Hakim Berintegritas

article | Opini | 2025-07-30 09:05:40

Konsep "Peradilan adalah benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan" merupakan adagium fundamental dalam sistem hukum Indonesia, yang menuntut implementasi nyata di setiap lembaga peradilan, bukan sekadar slogan, ungkapan ini merefleksikan ekspektasi bahwa institusi peradilan tidak hanya berfungsi secara teoretis, tetapi juga secara konkret mampu mengimplementasikan nilai-nilai hukum dan keadilan di masyarakat. Realisasi prinsip ini sangat bergantung pada kinerja individu yang menjalankan sistem peradilan, terutama para hakim. Dalam menjalankan tugasnya, kinerja hakim dipengaruhi oleh setidaknya dua aspek fundamental: integritas hakim dan aspek perundang-undangan. Integritas diharapkan menjadi faktor dominan dan berpengaruh dalam pembentukan putusan yang adil. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, pada Pasal 5 ayat (2), secara tegas menyatakan bahwa "Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum." Ketentuan ini merupakan prasyarat esensial bagi setiap individu yang memegang jabatan hakim. Lebih lanjut, persyaratan ini sekaligus menegaskan kedudukan terhormat hakim apabila ia sungguh-sungguh menjalankan tugasnya dalam menegakkan hukum dan keadilan yang selaras dengan ekspektasi masyarakat. Tidak ada satu pun ajaran agama yang secara eksplisit menganjurkan perilaku buruk; sebaliknya, semua agama mengajarkan kebaikan dan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep integritas memiliki fondasi yang kuat dalam berbagai ajaran agama: Kristen: Kitab Perjanjian Lama, khususnya Amsal 2:9, mengajarkan konsep dan nilai dasar kehidupan berintegritas: "Maka engkau akan mengerti tentang kebenaran, keadilan, kejujuran, setiap jalan yang baik."Hindu: Integritas sangat terkait dengan konsep Dharma, yang merujuk pada kewajiban moral dan etika yang harus dijalani setiap individu. Dharma menekankan tindakan yang jujur, tanpa mementingkan diri sendiri atau merugikan orang lain, serta sangat erat dengan nilai-nilai kebenaran (Satya) dan keadilan (Rita) dalam kehidupan sehari-hari.Buddha: Integritas berhubungan dengan prinsip "Sila" atau moralitas. Salah satu ajaran utama dalam Buddhisme adalah larangan berbuat salah kepada sesama, termasuk berbicara jujur dan tidak menipu. Ajaran ini menekankan bahwa kedamaian dan kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui kehidupan yang selaras dengan moralitas yang benar.Islam: Konsep integritas dalam pendidikan karakter telah eksis sejak zaman Rasulullah SAW, dibuktikan dengan perintah Allah kepada Rasulullah untuk menyempurnakan akhlak umatnya. Substansi makna karakter dalam Islam sepadan dengan konsep akhlak, keduanya membahas perilaku manusia. Al-Ghazali (dalam Rusn, 1998) menjelaskan akhlak sebagai sikap yang mengakar kuat dalam jiwa, yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan. Menurut Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, karakter didefinisikan sebagai nilai-nilai khas-baik (pengetahuan tentang kebaikan, kemauan berbuat baik, manifestasi kehidupan baik, dan dampak positif terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan termanifestasi dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau kelompok orang. Pembahasan mengenai akhlak dan karakter mengindikasikan substansi makna yang serupa, yaitu masalah moralitas manusia; tentang pengetahuan nilai-nilai baik yang seyogianya dimiliki seorang hakim dan tercermin dalam setiap perilaku serta perbuatannya. Perilaku ini merupakan hasil dari kesadaran diri. Individu yang memiliki nilai-nilai baik dalam jiwanya dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai pribadi yang berakhlak atau berkarakter. Konsep pendidikan dalam Islam memandang bahwa manusia dilahirkan dengan tiga potensi fundamental (potensi lahiriah): Potensi berbuat baik terhadap alam.Potensi berbuat kerusakan terhadap alam.Potensi ketuhanan yang memiliki fungsi-fungsi non-fisik. Perkembangan ketiga potensi ini diserahkan sepenuhnya kepada manusia, yang kemudian memunculkan pendekatan komprehensif dalam Islam meliputi unsur pengetahuan, akhlak, dan akidah. Akhlak senantiasa menjadi fokus utama dalam proses pendidikan Islam karena dianggap sebagai dasar bagi keseimbangan kehidupan manusia dan penentu keberhasilan potensi pedagogis lainnya. Prinsip akhlak terdiri dari empat pilar utama: Hikmah: Situasi psikis yang memungkinkan seseorang membedakan antara kebenaran dan kesalahan.Syajaah (keberanian): Keadaan psikis di mana seseorang menyalurkan atau menahan potensi emosional di bawah kendali akal.Iffah (kesucian): Pengendalian potensi selera atau keinginan di bawah kendali akal dan syariat.Adl (keadilan): Situasi psikis yang mengatur tingkat emosi dan keinginan sesuai kebutuhan hikmah saat dilepaskan atau disalurkan. Prinsip akhlak ini menegaskan bahwa fitrah jiwa manusia terdiri dari potensi nafsu baik dan buruk. Namun, melalui pendidikan agama, manusia diharapkan dapat berlatih untuk mampu mengendalikan kecenderungan perbuatannya ke arah nafsu yang baik (Rofiah & Munadi, 2024: 118). Lawrence M. Friedman (1975) dalam karyanya The Legal System, A Social Science Perspective, mengemukakan bahwa sistem hukum (legal system) merupakan satu kesatuan yang terdiri dari tiga unsur interdependen: struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Secara sederhana, struktur hukum berkaitan dengan lembaga atau institusi pelaksana hukum, atau dapat diartikan sebagai aparat penegak hukum. Substansi hukum mencakup keseluruhan asas, norma, dan aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Unsur ketiga, kultur hukum, adalah kebiasaan atau budaya masyarakat yang menyertai dalam penegakan hukum, baik di kalangan masyarakat umum maupun aparat penegak hukum. Pada prinsipnya, kultur hukum suatu bangsa berkorelasi positif dengan kemajuan yang dicapai bangsa tersebut, sebab hukum suatu bangsa sesungguhnya mencerminkan kehidupan sosialnya (Rahardjo, 1986). Friedman menganalogikan sistem hukum seperti sebuah pabrik, di mana "struktur hukum" adalah mesin, "substansi hukum" adalah produk atau hasil kerja mesin tersebut, dan "kultur hukum" adalah entitas yang memutuskan untuk mengoperasikan mesin serta bagaimana mesin itu digunakan. Dalam sebuah sistem hukum, aspek penegakan hukum (law enforcement) merupakan pusat aktivitas dalam kehidupan berhukum. Sebagai bagian integral dari "struktur hukum," hakim memegang peranan krusial dalam upaya penegakan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim harus memiliki "kultur hukum" yang baik agar tujuan hukum dapat tercapai secara optimal. Melalui pendidikan agama, sebagaimana telah diuraikan, seorang hakim diharapkan mampu melaksanakan tugasnya sesuai amanat undang-undang dan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Kesadaran ini dapat menumbuhkan integritas pada diri hakim, sebab ia akan memahami batasan-batasan tindakan yang terlarang dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai ajaran agama. Ketaatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga membentuk jiwa hakim yang luhur, memungkinkannya mengaplikasikan seluruh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dalam menjalankan amanahnya saat bekerja dan memutus perkara. Dengan demikian, integritas seorang hakim akan tercapai, yang pada gilirannya akan mewujudkan tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. (IKAW/LDR)

PN Jeneponto Lantik 8 Hakim, Awal Tugas Mulia Menjaga Keadilan di Butta Turatea

article | Berita | 2025-06-27 09:00:47

Jeneponto. Pengadilan Negeri (PN) Jeneponto menggelar sidang istimewa pelantikan delapan hakim baru di ruang sidang utama, Selasa (24/6). Prosesi berlangsung dalam suasana yang sederhana namun tetap menjaga kehidmatan. Hal ini sejalan dengan Surat Edaran Dirjen Badilum Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penerapan Pola Hidup Sederhana di Lingkungan Peradilan Umum. Ketua PN Jeneponto Andi Naimmi Masrura Arifin dalam acara tersebut menegaskan bahwa jabatan hakim merupakan tugas mulia yang tidak hanya menuntut kecakapan dalam menegakkan hukum, tetapi juga integritas pribadi yang tinggi. “Oleh karena itu, para hakim yang baru dilantik untuk senantiasa menjunjung tinggi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim serta menjadi teladan dalam setiap aspek kehidupan, baik di dalam maupun di luar persidangan,” ucap nya lebih lanjut. Sidang Istimewa dipimpin oleh Ketua PN Jeneponto, Andi Naimmi Masrura Arifin, didampingi Wakil Ketua, Firdaus Zainal, dan Hakim Firmansyah Amri. Dalam kesempatan tersebut, delapan hakim disumpah dan dilantik tersebut yakni: 1.      Olivia Putri Damayanti, S.H. 2.      Ardyansyah Jintang, S.H. 3.      Muhammad Fadli M, S.H. 4.      Zita Humairoh, S.H. 5.      Adri Inggil Makrifah, S.H. 6.      Nurhidayah Amriani, S.H. 7.      Andi Hardiyanti Sakti, S.H. 8.      Andi Luffi Meiranda, S.H.  “Pelantikan ini adalah titik awal dari perjalanan panjang dalam mengemban tugas mulia. Kami percaya, para hakim yang dilantik akan menjunjung tinggi integritas, menjaga keadilan, serta memberi pelayanan prima bagi masyarakat pencari keadilan, khususnya di Butta Turatea,” ujar Andi Naimmi. Kehadiran delapan hakim ini diharapkan semakin memperkuat Pengadilan Negeri Jeneponto dalam menghadirkan pelayanan prima dengan tetap menjunjung nilai integritas, keteguhan, dan keadilan yang sejalan dengan moto PN Jeneponto yakni Berkuda (berintegritas, kuat, dan adil). (LDR)

Mengenal SAQ, Penentu Penempatan Hakim Angkatan 8 dan Cakim Angkatan 9

article | Berita | 2025-05-09 08:40:52

Jakarta - Direktorat Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) terus berinovasi dalam penentuan pola mutasi dan promosi tenaga teknis, khususnya Hakim dan calon hakim yang akan ditempatkan dalam waktu dekat. Salah satunya dengan melakukan Sosialisasi Pengisian Self Assessment Questionnaire (SAQ) Bagi Hakim Angkatan VIII dan Calon Hakim Angkatan IX yang terjadwal siang nanti Jumat, 9/5/25.“Bersama ini kami meminta kepada seluruh Ketua Pengadilan Negeri untuk memerintahkan seluruh Hakim Angkatan VIII dan Calon Hakim Angkatan IX yang berada pada Satuan Kerja yang Saudara pimpin dan didampingi oleh Ketua untuk mengikuti sosialiasi Pengisian Self Assessment Questionnaire (SAQ),” bunyi undangan yang dikutip DANDAPALA.Lantas apa itu SAQ dan tujuannya?Berdasarkan informasi yang dihimpun DANDAPALA dari sumber resmi, SAQ merupakan penilaian pribadi atas diri Hakim dan Calon Hakim dengan kriteria tertertu dengan basis utama pada penilaian kinerja. Penilaian kinerja tersebut diantaranya terdiri dari penanganan perkara, komponen perkara yang berhasil di damaikan dalam mediasi, keberhasilan dalam diversi, penerapan restorative justice. Penilaian tersebut juga dari keaktifan dalam mensukseskan pembangunan Zona Integritas menuju WBK/WBBM, AMPUH Badilum, SMAP, Penilaian Kinerja Badilum, pengawasan bidang dan/atau bertugas kehumasan, mewakili dalam kegiatan Internasional dan lainnya.Selain berdasarkan kinerja, SAQ juga akan menilai prestasi Hakim. Penilaian prestasi tersebut diantaranya prestasi 5 Tahun Terakhir menjadi rangking/peringkat terbaik dalam bimtek/pelatihan/sertifikasi/Diklat PPCH, memiliki kompetensi / penguasaan bahasa, dan lain sebagainya.Potensi dan pengembangan diri juga menjadi bahan penilaian. Diantaranya menulis buku atau jurnal yang diterbitkan, pernah menulis artikel (non-berita) di Dandapala, Arunika, hukumonline, MARI-News, BPHN, dan/atau Media Nasional lainnya. Memiliki pengalaman mengajar/menjadi pembicara dalam seminar/perkuliahan/dan forum ilmiah lainnya, termasuk juga pengalaman organisasi misalnya IKAHI dan penilaian lainnya.Tak kalah penting, untuk memperhatikan secara khusus tenaga teknis yang mempunyai kebutuhan khusus, Ditjen Badilum juga akan mendata mengenai kondisi pribadi. Diantaranya pasangan (suami/isteri) tinggal di daerah yang berbeda, tenaga teknis yang memiliki kondisi khusus (diri/anak/isteri yang dalam keadaan sakit yang memerlukan perawatan khusus). “Dalam SAQ tersebut juga akan diminta peserta untuk menyebutkan tiga satuan kerja yang menjadi harapan untuk penempatan selanjutnya. Data-data yang disampaikan melalui SAQ tentunya juga akan disesuaikan dengan data yang ada di Ditjen Badilum," tutup sumber tersebut.Sobat Dandafellas, jangan lupa untuk mengikuti sosialisasi SAQ siang nanti ya. (LDR)

Pergeseran Makna Putusan Lepas dalam RUU KUHAP dan Implikasinya

article | Opini | 2025-05-09 07:30:44

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia yang saat ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menjadi landasan penting dalam kerangka penegakan hukum pidana. Namun, seiring dengan perkembangan zaman serta kebutuhan untuk mewujudkan sistem peradilan yang diharapkan lebih adil dan modern, upaya pembaruan hukum acara pidana (revisi atas KUHAP) terus dilakukan. Salah satu aspek krusial yang menjadi perhatian dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP versi DPR RI tanggal 20 Maret 2025 (RUU KUHAP) adalah perluasan jenis putusan dari yang sebelumnya hanya dikenal 3 (tiga) bentuk putusan yakni putusan pemidanaan (veroordeling), putusan bebas (vrijspraak), atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP menjadi 4 (empat) bentuk putusan dengan ditambahkannya satu bentuk putusan baru yakni putusan pemaafan hakim (rechterlijk pardon) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 RUU KUHAP. Perluasan jenis putusan sebagaimana telah disinggung di atas, pada umumnya merupakan hal yang wajar apabila terjadi perubahan kalimat sebagai bentuk penyempurnaan seperti adanya perubahan dalam pengaturan tentang putusan pemidanaan dan putusan bebas dalam RUU KUHAP, namun perubahan kalimat tersebut tetap memiliki makna yang sama sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam KUHAP. Akan tetapi, tidak demikian dengan pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”, sedangkan Pasal 230 ayat (3) RUU KUHAP menyebutkan bahwa “Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Perubahan kalimat dalam pengaturan tentang putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam RUU KUHAP membawa pergeseran makna dan implikasi yang signifikan dibandingkan dengan pengaturan dalam KUHAP yang saat ini masih berlaku. Kriteria putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang berlaku dalam KUHAP adalah: apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan, namun sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana (M. Yahya Harahap, 2021). Sedangkan, untuk kriteria putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang berlaku dalam RUU KUHAP adalah: apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan, namun sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa terdapat alasan yang meniadakan atau menghapuskan sifat pidana dari perbuatan tersebut. Makna secara tegas mengenai pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam KUHAP adalah perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu tidak ada diatur dan tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana, tetapi mungkin termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata, hukum dagang, hukum asuransi, atau bidang hukum lainnya. Lain halnya dengan pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam RUU KUHAP yang memiliki makna bahwa perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu diatur dan termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana, tetapi hakim tidak menjatuhkan pidana dengan alasan adanya dasar peniadaan pidana. Dalam konteks hukum pidana, dasar peniadaan pidana merupakan konsep fundamental berisi alasan-alasan hukum yang menyebabkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana (delik) tidak dapat dipidana oleh hakim. Secara garis besar, dasar peniadaan pidana dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden). Alasan pembenar adalah keadaan-keadaan tertentu yang menghapus sifat melawan hukum dari suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Dengan adanya alasan pembenar, perbuatan yang awalnya terlihat sebagai pelanggaran hukum menjadi dianggap sebagai perbuatan yang dibenarkan oleh hukum. Fokus utama dari alasan pembenar adalah pada perbuatannya itu sendiri (objektif) dan situasi yang melatarbelakanginya, seperti: keadaan darurat (noodtoestand), pembelaan terpaksa (noodweer), menjalankan perintah undang-undang (wettelijk voorschrift), atau menjalankan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang (ambtelijk bevel). Sedangkan alasan pemaaf adalah keadaan-keadaan tertentu yang menghapus kesalahan (schuld) dari pelaku tindak pidana, meskipun perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang bersifat melawan hukum. Dengan adanya alasan pemaaf, pelaku tidak dapat dipersalahkan atau diminta pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya. Fokus utama dari alasan pemaaf adalah pada diri pelaku (subjektif) dan keadaan mental atau kondisi pribadinya pada saat melakukan tindak pidana, seperti: tidak mampu bertanggung jawab karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijk storing), daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer excess), atau menjalankan perintah jabatan yang tidak sah tetapi dilandasi dengan iktikad baik. Merujuk kembali pada konteks pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dalam praktik peradilan saat ini yang masih menggunakan KUHAP sebagai landasan hukum acara pidana, para hakim kerap memiliki pandangan yang berbeda ketika memformulasikan jenis putusan dalam perkara yang memiliki dasar peniadaan pidana. Sebagian hakim merumuskannya dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana dapat dilihat dari Putusan Nomor 72/Pid.B/2020/PN Enr,  671/Pid.Sus/2020/PN Ptk, dan 44/Pid.B/2021/PN Pts. Sementara itu, terdapat pula hakim yang merumuskannya dengan putusan bebas (vrijspraak) yaitu membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan penuntut umum sebagaimana dapat dilihat dari Putusan Nomor 254/Pid.Sus/2014/PN.Tbt, 391/Pid.B/2014/PN.Psp, dan 119/Pid.Sus/2019/PN Mgl. Terjadinya perbedaan pendapat hakim dalam memformulasikan jenis putusan meskipun terhadap perkara dengan kondisi yang serupa (adanya dasar peniadaan pidana) tersebut terjadi karena pada dasarnya, baik jenis putusan bebas yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP tidak mengakomodir secara expressis verbis terhadap perkara yang di dalamnya terdapat dasar peniadaan pidana. Menurut Yahya Harahap, apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi dasar peniadaan pidana, maka hal atau keadaan tersebut merupakan faktor alasan menjatuhkan putusan pembebasan terhadap terdakwa dari pemidanaan supaya penerapan tentang bentuk putusan bebas tidak semata-mata didasarkan pada hukum acara saja, tetapi juga yang diatur dalam hukum materiil (M. Yahya Harahap, 2021). Selain itu, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan khususnya pada bagian Tindak Pidana Umum poin nomor 14 memberikan kaidah hukum bahwa dalam kasus terdakwa yang mempunyai alasan pembenar dan unsur dari dakwaan tidak terpenuhi maka terdakwa diputus bebas (vrijspraak), sedangkan dalam kasus terdakwa yang mempunyai alasan pemaaf dan unsur dari dakwaan terpenuhi, tetapi terdapat hal eksepsional, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Dengan perubahan pengaturan tentang putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana dalam Pasal 230 ayat (3) RUU KUHAP yang berbunyi “Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”, maka terdapat pergeseran makna dan kriteria dalam norma pasal a quo yang membawa implikasi bahwa terhadap perkara yang di dalamnya terdapat dasar peniadaan pidana baik berupa alasan pembenar maupun alasan pemaaf, hakim harus secara konsisten memformulasikan putusannya hanya dengan (solely on) jenis putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). (WI, FAC, LDR) Referensi M. Yahya Harahap. (2021). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika Gerry Geovant Supranata Kaban, S.H.Calon Hakim Pengadilan Negeri Blitar