article | Opini
| 2025-07-30 09:05:40
Konsep "Peradilan adalah benteng terakhir
penegakan hukum dan keadilan" merupakan adagium fundamental dalam sistem hukum
Indonesia, yang menuntut implementasi nyata di setiap lembaga peradilan, bukan
sekadar slogan, ungkapan ini merefleksikan ekspektasi bahwa institusi peradilan
tidak hanya berfungsi secara teoretis, tetapi juga secara konkret mampu
mengimplementasikan nilai-nilai hukum dan keadilan di masyarakat. Realisasi
prinsip ini sangat bergantung pada kinerja individu yang menjalankan sistem
peradilan, terutama para hakim.
Dalam menjalankan tugasnya, kinerja hakim
dipengaruhi oleh setidaknya dua aspek fundamental: integritas hakim dan aspek
perundang-undangan. Integritas diharapkan menjadi faktor dominan dan
berpengaruh dalam pembentukan putusan yang adil. Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009, pada Pasal 5 ayat (2), secara tegas menyatakan bahwa "Hakim harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum." Ketentuan ini merupakan prasyarat esensial
bagi setiap individu yang memegang jabatan hakim. Lebih lanjut, persyaratan ini
sekaligus menegaskan kedudukan terhormat hakim apabila ia sungguh-sungguh
menjalankan tugasnya dalam menegakkan hukum dan keadilan yang selaras dengan
ekspektasi masyarakat.
Tidak ada satu pun ajaran agama yang secara
eksplisit menganjurkan perilaku buruk; sebaliknya, semua agama mengajarkan
kebaikan dan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep integritas
memiliki fondasi yang kuat dalam berbagai ajaran agama:
Kristen: Kitab
Perjanjian Lama, khususnya Amsal 2:9, mengajarkan konsep dan nilai dasar
kehidupan berintegritas: "Maka engkau akan mengerti tentang
kebenaran, keadilan, kejujuran, setiap jalan yang baik."Hindu: Integritas
sangat terkait dengan konsep Dharma, yang merujuk pada kewajiban moral dan
etika yang harus dijalani setiap individu. Dharma menekankan tindakan yang
jujur, tanpa mementingkan diri sendiri atau merugikan orang lain, serta
sangat erat dengan nilai-nilai kebenaran (Satya) dan keadilan (Rita) dalam
kehidupan sehari-hari.Buddha: Integritas
berhubungan dengan prinsip "Sila" atau moralitas. Salah satu ajaran
utama dalam Buddhisme adalah larangan berbuat salah kepada sesama,
termasuk berbicara jujur dan tidak menipu. Ajaran ini menekankan bahwa
kedamaian dan kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui kehidupan
yang selaras dengan moralitas yang benar.Islam: Konsep
integritas dalam pendidikan karakter telah eksis sejak zaman Rasulullah
SAW, dibuktikan dengan perintah Allah kepada Rasulullah untuk
menyempurnakan akhlak umatnya. Substansi makna karakter dalam Islam
sepadan dengan konsep akhlak, keduanya membahas perilaku manusia.
Al-Ghazali (dalam Rusn, 1998) menjelaskan akhlak sebagai sikap yang
mengakar kuat dalam jiwa, yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan
mudah tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan.
Menurut Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter
Bangsa Tahun 2010-2025, karakter didefinisikan sebagai nilai-nilai khas-baik
(pengetahuan tentang kebaikan, kemauan berbuat baik, manifestasi kehidupan
baik, dan dampak positif terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan
termanifestasi dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah
pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau kelompok
orang.
Pembahasan mengenai akhlak dan karakter
mengindikasikan substansi makna yang serupa, yaitu masalah moralitas manusia;
tentang pengetahuan nilai-nilai baik yang seyogianya dimiliki seorang hakim dan
tercermin dalam setiap perilaku serta perbuatannya. Perilaku ini merupakan
hasil dari kesadaran diri. Individu yang memiliki nilai-nilai baik dalam
jiwanya dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari disebut
sebagai pribadi yang berakhlak atau berkarakter.
Konsep pendidikan dalam Islam memandang bahwa
manusia dilahirkan dengan tiga potensi fundamental (potensi lahiriah):
Potensi berbuat
baik terhadap alam.Potensi berbuat
kerusakan terhadap alam.Potensi ketuhanan
yang memiliki fungsi-fungsi non-fisik.
Perkembangan ketiga potensi ini diserahkan
sepenuhnya kepada manusia, yang kemudian memunculkan pendekatan komprehensif
dalam Islam meliputi unsur pengetahuan, akhlak, dan akidah. Akhlak senantiasa
menjadi fokus utama dalam proses pendidikan Islam karena dianggap sebagai dasar
bagi keseimbangan kehidupan manusia dan penentu keberhasilan potensi pedagogis
lainnya. Prinsip akhlak terdiri dari empat pilar utama:
Hikmah: Situasi
psikis yang memungkinkan seseorang membedakan antara kebenaran dan
kesalahan.Syajaah
(keberanian): Keadaan psikis di mana seseorang menyalurkan atau menahan
potensi emosional di bawah kendali akal.Iffah (kesucian):
Pengendalian potensi selera atau keinginan di bawah kendali akal dan
syariat.Adl (keadilan):
Situasi psikis yang mengatur tingkat emosi dan keinginan sesuai kebutuhan
hikmah saat dilepaskan atau disalurkan.
Prinsip akhlak ini menegaskan bahwa fitrah jiwa
manusia terdiri dari potensi nafsu baik dan buruk. Namun, melalui pendidikan
agama, manusia diharapkan dapat berlatih untuk mampu mengendalikan
kecenderungan perbuatannya ke arah nafsu yang baik (Rofiah & Munadi, 2024:
118).
Lawrence M. Friedman (1975) dalam karyanya The
Legal System, A Social Science Perspective, mengemukakan bahwa sistem hukum
(legal system) merupakan satu kesatuan yang terdiri dari tiga unsur
interdependen: struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Secara
sederhana, struktur hukum berkaitan dengan lembaga atau institusi pelaksana
hukum, atau dapat diartikan sebagai aparat penegak hukum. Substansi hukum
mencakup keseluruhan asas, norma, dan aturan hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis, termasuk putusan pengadilan. Unsur ketiga, kultur hukum, adalah
kebiasaan atau budaya masyarakat yang menyertai dalam penegakan hukum, baik di
kalangan masyarakat umum maupun aparat penegak hukum. Pada prinsipnya, kultur
hukum suatu bangsa berkorelasi positif dengan kemajuan yang dicapai bangsa
tersebut, sebab hukum suatu bangsa sesungguhnya mencerminkan kehidupan
sosialnya (Rahardjo, 1986).
Friedman menganalogikan sistem hukum seperti
sebuah pabrik, di mana "struktur hukum" adalah mesin, "substansi
hukum" adalah produk atau hasil kerja mesin tersebut, dan "kultur hukum"
adalah entitas yang memutuskan untuk mengoperasikan mesin serta bagaimana mesin
itu digunakan. Dalam sebuah sistem hukum, aspek penegakan hukum (law
enforcement) merupakan pusat aktivitas dalam kehidupan berhukum.
Sebagai
bagian integral dari "struktur hukum," hakim memegang peranan krusial
dalam upaya penegakan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim harus memiliki
"kultur hukum" yang baik agar tujuan hukum dapat tercapai secara
optimal. Melalui pendidikan agama, sebagaimana telah diuraikan, seorang hakim
diharapkan mampu melaksanakan tugasnya sesuai amanat undang-undang dan
membedakan antara yang baik dan yang buruk. Kesadaran ini dapat menumbuhkan
integritas pada diri hakim, sebab ia akan memahami batasan-batasan tindakan
yang terlarang dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai ajaran
agama. Ketaatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga membentuk jiwa hakim yang
luhur, memungkinkannya mengaplikasikan seluruh Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim dalam menjalankan amanahnya saat bekerja dan memutus perkara. Dengan
demikian, integritas seorang hakim akan tercapai, yang pada gilirannya akan
mewujudkan tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. (IKAW/LDR)