Cari Berita

Legisme Hukum di Era KUHP Nasional: Meneguhkan Hakim Sebagai Penafsir Keadilan

Ardiansyah Iksaniyah Putra – Hakim PN Serui - Dandapala Contributor 2025-10-10 15:50:51
Dok. Penulis.

Legisme hukum merupakan salah satu aliran pemikiran hukum yang berkembang pada abad ke-19 dan memiliki pengaruh besar terhadap konstruksi sistem hukum modern, khususnya di negara-negara dengan tradisi civil law.

Secara sederhana, legisme menekankan bahwa satu-satunya sumber hukum yang sah adalah undang-undang, sehingga hukum identik dengan apa yang tertulis dalam teks peraturan perundang-undangan.

Pandangan ini sejalan dengan tradisi positivisme hukum (legal positivism) yang secara garis besar menolak keterikatan hukum dengan moralitas. Jeremy Bentham, salah satu peletak dasar positivisme, menganggap bahwa hukum tidak lain hanyalah "perintah penguasa yang berdaulat" (the command of the sovereign).

Baca Juga: Illusory Truth Effect dalam Penegakan Hukum

Sedangkan dalam bukunya The Province Of Jurisprudence Determined, Austin menyatakan “A law is comand wich obliges a persons or persons, law and other comands are said to proceed from superiors, and the bind or oblige inferiors.” (Serlika Aprita & Rio Adhitya, 2020, hal. 102). Dari sudut pandang ini, hukum hanyalah produk legislasi yang mengikat karena ditetapkan oleh penguasa yang sah.

Jika kita tarik benang merahnya, legisme hukum adalah ekspresi praktis dari legal positivism dalam sistem civil law, khususnya di Eropa Kontinental pasca Kodifikasi Napoleon (1804).

Pada masa itu, hukum dipandang sebagai “kitab suci” negara modern yang harus ditaati secara literal demi kepastian hukum, karena itu hakim hanya ditempatkan sebagai "corong undang-undang" (la bouche de la loi).

Dalam pandangan legisme, hakim dan aparat penegak hukum tidak boleh melampaui atau menafsirkan hukum di luar kerangka undang-undang yang telah ditetapkan oleh pembentuknya.

Dalam perkembangannya legisme hukum justru menimbulkan sejumlah problematika serius dalam dinamika penegakan hukum modern.

Pertama, problem formalisme hukum. Legisme menempatkan undang-undang sebagai teks final yang harus diikuti secara literal, akibatnya hukum menjadi kaku, kurang adaptif terhadap realitas sosial yang senantiasa berubah.

Kedua, problem reduksi peran hakim. Dalam paradigma legisme, hakim dibatasi sebatas mulut undang-undang, padahal praktik peradilan selalu berhadapan dengan kasus konkret yang penuh nuansa, di mana teks undang-undang tidak selalu memberi jawaban yang memadai.

Ketiga, problem marginalisasi sumber hukum lain. Legisme cenderung mengabaikan hukum kebiasaan, yurisprudensi, doktrin, dan nilai-nilai moral yang hidup dalam masyarakat, akibatnya, sistem hukum menjadi positivistik sempit, jauh dari cita keadilan substantif.

Keempat, problem legitimasi dalam era demokrasi. Legisme menekankan superioritas legislator sebagai pembentuk hukum, namun dalam praktik politik kontemporer, legislasi seringkali dipengaruhi oleh kepentingan oligarki, partai, atau kekuatan ekonomi.

Seiring berjalannya waktu penegakan hukum di era modern menghadapi kompleksitas sosial, ekonomi, dan teknologi yang jauh melampaui apa yang dapat diakomodasi oleh sekedar mengandalkan undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum.

Berpegang teguh pada pandangan positivistik yang kaku bahwa hukum hanyalah apa yang tertulis dalam undang-undang sudah tidak relevan dan berpotensi menghasilkan ketidakadilan substantif. Hukum positif kadang-­kadang menghambat perkembangan hidup dan sangat merugikan keadilan (Sukarno Aburaera, Dkk, 2017, hal. 213).

Roscoe Pound, tokoh sosiological jurisprudence, mengkritik bahwa hukum yang hanya berlandaskan pada teks undang-undang akan kehilangan sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat yang dinamis. Kritik ini menyingkap kelemahan legisme yang terlalu menekankan kepastian hukum, namun kerap mengabaikan aspek keadilan substantif. Disisi lain Radbruch menemukan adanya nilai lain disamping ada kepastian hukum, nilai lain itu adalah nilai manfaat dan keadilan (Manullang, 2017, hal. 129).

Dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengakomodir ketiga nilai tersebut di dalam satu putusan (Margono, 2019, hal. 149). Dalam praktiknya, hakim seringkali terjebak dalam paradigma formalisme legalistik yang terlalu menekankan kepastian hukum yaitu berpegang secara kaku pada bunyi pasal-pasal dalam undang-undang, akibatnya keadilan substantif sering kali dikorbankan.

Di era KUHP Nasional telah tumbuh kesadaran bahwa penegakan hukum harus bergerak melampaui teks hukum semata, dan mulai lebih mengutamakan keadilan bagi masyarakat. Kesadaran inilah yang tercermin dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang menyatakan:

“Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.”

Walaupun prinsip kepastian hukum menjadi asas utama dalam penegakan hukum, hakim memiliki kewajiban moral dan etis untuk mengutamakan keadilan ketika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan (Eddy O.S. Hiariej & Topo Santoso, 2025, hal. 69).

Pasal ini menunjukkan bahwa sistem hukum pidana nasional kini tidak lagi semata-mata menghukum, melainkan mendorong pendekatan yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Hakim diberi ruang untuk mempertimbangkan aspek psikologis, sosial, dan moral dari pelaku, bukan hanya perbuatannya.

Dengan kata lain, penegakan hukum tidak boleh kaku hanya mengikuti rumusan delik, melainkan harus mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan konteks peristiwa.

Lebih jauh, pendekatan ini mengubah cara memandang pelaku tindak pidana, mereka bukan semata “penjahat”, tetapi manusia yang bisa memiliki latar belakang ekonomi, pendidikan, atau sosial tertentu yang turut membentuk perilakunya.

Dengan demikian, sistem hukum tidak hanya menjadi alat kekuasaan yang represif, tetapi menjadi instrumen perbaikan sosial yang adil dan bijaksana. Penegakan hukum yang adil bukan hanya tegaknya kepastian hukum, tetapi juga mencerminkan keseimbangan antara teks dan konteks, antara aturan dan nurani.

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 menjadi langkah maju dalam sistem peradilan pidana Indonesia mendorong peradilan yang lebih berkeadilan dan bermartabat bagi seluruh warga negara.

Kesimpulannya penegakan hukum modern menuntut pendekatan pluralistik terhadap sumber hukum, undang-undang tetap menjadi sumber utama dan paling otoritatif, tetapi harus dilengkapi dan diperkaya oleh sumber lain seperti yurisprudensi, doktrin, asas-asas, kebiasaan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Menempatkan hakim sebagai penafsir, pembentuk, dan penggali hukum (bukan sekedar corong) adalah langkah mutlak untuk memastikan bahwa penegakan hukum mampu beradaptasi, relevan, dan yang terpenting, mampu mewujudkan keadilan dalam masyarakat yang semakin dinamis.

Di era modern, hukum harus dilihat sebagai alat yang hidup, fleksibel, dan responsif terhadap nurani publik, bukan sekedar seperangkat aturan mati di atas kertas. (ldr)

 Referensi

Aburaera, S., Muhadar, & Maskun. (2017). Filsafat Hukum Teori Dan Praktik. jakarta: Prenadamedia Group.

Aprita, S. & Adhitya. R. (2020). Filsafat Hukum. Depok: Rajawali Pers.

Manullang, E. F. (2017). Legisme, Legalitas Dan Kepastian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.

Margono. (2019). Asas Keadilan Kemanfaatan & Kepastian Hukum Dalam Putusan Hakim. Jakarta Timur: Sinar Grafika.

Baca Juga: Antinomi Hukum Tujuan Pemidanaan dan Pidana Penjara Pengganti dalam KUHP Baru

Hiariej. E & Santoso. T. (2025). Anotasi KUHP Nasional. Depok: Rajawali Pres.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI