Kupang- Pengadilan Tinggi (PT) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) membebaskan 3 terdakwa di kasus pencemaran nama baik. Sebelumnya mereka dihukum 2 bulan dan 4 bulan penjara.
Perkara ini bermula dari laporan pasangan suami istri Fenasius Dae (Terdakwa II) dan Imelda Goti (Terdakwa III) terhadap Yohanes Dhosa Nay, yang dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap Imelda. Namun laporan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian. Akibatnya, pasangan itu membawa kasus ini ke Lembaga Pemangku Adat (LPA) yang dipimpin oleh Yakobus Ture Boro alias Kobus (Terdakwa I).
Dalam penyelesaian secara adat, korban dipanggil untuk menjalani proses persidangan adat, namun menolak menjawab dan menolak bersumpah. Berdasarkan keterangan ahli adat, penolakan untuk bersumpah dalam hukum adat setempat dianggap sebagai bentuk pengakuan atas tuduhan yang diajukan.
Baca Juga: Terpisah Lautan, PT Kupang Lakukan Pengawasan PN Larantuka Pakai Cara Ini
Atas dasar tersebut, ketiga terdakwa kemudian menjatuhkan sanksi adat berupa meneriakkan yel-yel di tempat umum yang dianggap sebagai bentuk pernyataan bersalah terhadap korban. Aksi tersebut lantas dianggap sebagai penistaan oleh korban, dan perkara pun bergulir ke ranah pidana dan para terdakwa didakwa dengan pasal 310 ayat (1) KUHP juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri (PN) Bajawa memutuskan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penistaan dan menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa I selama 2 (dua) bulan, Terdakwa II dan Terdakwa III masing-masing selama 4 (empat) bulan. Selain itu terhadap barang bukti berupa 1 (satu) lembar surat pernyataan tetap terlampir dalam berkas perkara masing-masing sejumlah Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
Namun, dalam putusan banding, majelis hakim menyatakan tidak sependapat dengan putusan sebelumnya.
“Perbuatan Terdakwa I, Terdakwa II, dan Terdakwa III berupa meneriakkan yel-yel tersebut telah diatur atau dilindungi oleh ketentuan hukum adat setempat yang masih hidup dalam masyarakat, dalam arti masih relevan untuk diberlakukan,” demikian bunyi pertimbangan majelis hakim dikutip oleh DANDAPALA, Rabu (23/4/2025).
Majelis juga menilai bahwa korban yang mengaku merasa martabatnya diserang, justru sebelumnya telah melukai kehormatan Terdakwa II dan III melalui perbuatan kekerasan seksual terhadap istri orang. Dalam konteks hukum adat, perbuatan tersebut merupakan pelanggaran terhadap norma-norma sosial-komunal.
Dengan pertimbangan tersebut, majelis hakim tingkat banding menyatakan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penistaan sebagaimana dakwaan tunggal penuntut umum. Mereka dibebaskan dari segala dakwaan, dipulihkan hak-haknya, serta barang bukti berupa satu lembar surat pernyataan dikembalikan kepada Terdakwa II. Biaya perkara dibebankan kepada negara.
Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP
Putusan ini diputus pada 25 Maret 2025. Duduk selaku etua majelis yaitu Pujo Saksono dengan anggota Slamet Suripto dan Agnes Hari Nugraheni.
Putusan ini menjadi preseden penting dalam pengakuan hukum adat sebagai salah satu bentuk mekanisme penyelesaian konflik yang sah di luar jalur hukum formal. Terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut martabat, kehormatan, dan relasi sosial dalam masyarakat adat. (asp/asp)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI