Menjelang kehancuran VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda pada akhir abad 17 dan awal abad 18, Pemerintahan Kolonial membentuk sebuah komisi dengan keputusan tertanggal 11 November 1803. Komisi tersebut dibentuk dengan tujuan untuk melakukan observasi dan menuangkannya dalam sebuah laporan yang menggambarkan bagaimana perdagangan di wilayah jajahan negara di Hindia Timur dilakukan, sehingga dapat mencapai tingkat kesejahteraan, keuntungan besar bagi perdagangan dan bagi keuangan negara.
Clive Day, dalam bukunya The Policy and Administration of the Dutch in Java, mencatat komisi tersebut terdiri dari 6 (enam) orang. Salah satunya adalah Sebastiaan Cornelis Nederburgh. Nederburgh adalah anggota komisi tersebut yang bertanggung jawab dalam penyusunan laporan komisi. Sehingga, laporan atas komisi tersebut dikenal sebagai laporan Nederburgh.
Salah satu rekomendasi dari Komisi tersebut, Pemerintahan Kolonial seharusnya menjalankan sistem pengawasan (Bestuur van Toevoorzicht) daripada pemerintahan langsung kepada Indonesia. Sehingga penduduk asli akan memiliki otoritas sendiri, dengan hukum dan sistem hukum mereka sendiri, termasuk di dalamnya tata krama dan adat istiadat lokal. Pemerintah Kolonial juga direkomendasikan untuk menertibkan pelanggaran yang kerap terjadi, seperti pungutan pajak liar yang tidak teratur dan sewenang-wenang. Hal ini bertujuan untuk menjamin dan meningkatkan kondisi masyarakat.
Dalam konteksnya dengan Peradilan, Nederburgh menemukan fakta bahwa penerapan hukum oleh peradilan sangat buruk yang disebabkan oleh ketergantungan pada cabang eksekutif (Pemerintahan Kolonial) dan buruknya kualitas hakim saat itu. Masyarakat yang mendapat akibat dari buruknya kualitas peradilan saat itu.
Pengadilan saat itu terdiri dari bupati-bupati pribumi, yang mengadili menurut hukum pribumi, tetapi dalam semua kasus penting tunduk pada kemauan Gubernur Belanda.
Secara pendapatan, hakim-hakim saat itu juga tidak digaji dengan layak, sehingga dianggap tidak mungkin untuk mempertahankan orang-orang baik di posisi peradilan.
Nederburgh dan Komisi tersebut menyelesaikan laporannya pada tahun 1803. Sebastiaan Pompe dalam bukunya Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung menyatakan bahwa laporan Nederburgh adalah laporan yang sangat modern. Laporan tersebut mendorong pemisahan fungsi pengadilan dan administratif dan menyebutnya sebagai “prinsip bernegara yang luar biasa” (an excellent maxim of state). Penerapannya akan mencakup pembentukan aparatur pengadilan yang terpisah dan bebas dari campur tangan Pemerintah.
Draf Piagam yang dilampirkan pada Laporan Nederburgh menyatakan bahwa semua campur tangan otoritas politik terhadap jalannya peradilan, yang tidak diizinkan oleh semua ketentuan piagam adalah hal yang dilarang. Campur tangan administratif hanya diperbolehkan dalam hal-hal tertentu . Seperti hak pengampunan Gubernur Jenderal dalam perkara yang diancam hukuman mati. Contoh lainnya adalah Gubernur Jenderal dapat menangguhkan pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan dengan pertimbangan “manfaat dan kepentingan”, tetapi hanya setelah Pengadilan diberi tahu soal itu dan menyampaikan pendapatnya tentang masalah itu. Jika hal tersebut terjadi, salinan berkas perkara tersebut harus diserahkan kepada dewan pemerintahan koloni di Belanda.
Dari sisi kesejahteraan hakim, Laporan Nederburgh merekomendasikan bahwa Hakim harus digaji sepantasnya. Piagam ini juga menentukan agar hakim digaji cukup untuk menghilangkan segala keinginan untuk terlibat dalam perdagangan. Sebagaimana dikutip oleh Sebastiaan Pompe, dalam laporan Nederburgh tertulis: “Jika rekomendasi kami diterima, penghasilan dari jabatan-jabatan tersebut harus cukup untuk memenuhi pengharapan wajar ketua dan para anggota [Mahkamah Agung], sehingga wajar bila mereka diwajibkan menjauhkan diri dari fungsi-fungsi atau sumber pendapatan lain.
Ini memberi keuntungan dalam dua hal: pertama, peradilan, dengan demikian akan menarik orang-orang pandai dan terhormat; kedua, para hakim Mahkamah Agung jangan sampai mengharap apa pun dari atau takut kepada Kekuasaan Politik Tertinggi di Hindia, dan dengan begitu tertutuplah jalan, jalan yang dipakai Pemerintah, walaupun niatnya baik, menggunakan pengaruh tidak semestinya terhadap peradilan.”
Lebih lanjut, Laporan Nederburgh juga merekomendasikan sistem pengangkatan hakim harus dibuat secara yang netral. Piagam itu juga merekomendasikan bahwa semua hakim harus mendapat pendidikan hukum yang memadai.
Mengenai pemberhentian hakim, pemberhentian seorang hakim hanya boleh dilakukan karena perbuatan tidak terpuji. Mahkamah Agung kolonial harus memutuskan sendiri apakah perilaku salah seorang anggotanya dipandang sebagai perbuatan tercela atau tidak. Hasil penyelidikan atas dugaan perbuatan tercela tersebut diserahkan kepada Mahkamah Agung di Negeri Belanda, yang setelah meneliti berkas-berkas sebagaimana mestinya memberi saran kepada Gubernur Jenderal untuk memecat hakim bersangkutan. Selama menunggu keputusan Mahkamah Agung Belanda, Gubernur Jenderal hanya bisa mengistirahatkan sementara hakim dimaksud.
Laporan itu disetujui dengan beberapa perubahan kecil pada tahun 1804. Ketentuannya yang berkaitan dengan Mahkamah Agung kolonial dijadikan kerangka kelembagaan bagi pemisahan kekuasaan-kekuasaan di negeri jajahan. Dalam perkembangannya, Herman Willem Daendels yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal pada 1808-1811 memang menempuh langkah-langkah untuk membenahi kedudukan Mahkamah Agung dan hakim-hakimnya, menyediakan gaji yang layak, serta melarang mereka ikut serta dalam perdagangan.
Namun hanya sebatas itulah Daendels bersedia menerapkan pembaruan-pembaruan yang diusulkan oleh Komisi Nederburgh. Mahkamah Agung kolonial tetap berada di bawah kewenangannya. Bahkan, Daendels pernah secara langsung memecat ketua Mahkamah Agung kolonial dan seorang Hakim “karena terlalu dekat dengan rezim lama.”
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum