Waingapu – Pengadilan Negeri (PN) Waingapu menetapkan bahwa sepasang warga Kabupaten Sumba Timur berhak melangsungkan perkawinan, meskipun hubungan keduanya sempat terhalang penolakan keluarga akibat perbedaan kasta dalam adat setempat pada Senin (15/12).
Penetapan ini menegaskan bahwa alasan perbedaan kasta tidak dapat dijadikan dasar untuk mengekang hak konstitusional warga negara dalam membentuk keluarga yang sah menurut hukum.
“Menyatakan Para Pemohon tidak ada halangan yang sah menurut hukum untuk melangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujar Hakim I Nengah Maliarta dilansir dalam amar penetapan nomor 879/Pdt.P/2025/PN Wgp.
Baca Juga: Hukum di Era Majapahit: Pejabat Kerajaan Divonis Mati Bila Korupsi!
Dalam permohonannya, para Pemohon menyampaikan bahwa keduanya telah menjalin hubungan cinta sejak April 2025 dan sepakat membawa hubungan tersebut ke jenjang perkawinan. Dari hubungan tersebut, Pemohon I diketahui telah mengandung lima bulan. Keduanya juga telah melalui proses pendekatan adat sesuai budaya Sumba Timur, termasuk pengutusan juru bicara adat (wunang) dan pelaksanaan ritual adat yang dinyatakan sah oleh kedua keluarga.
Namun, persoalan muncul setelah keluarga Pemohon I menyatakan keberatan dan menolak hubungan tersebut dengan alasan Pemohon II dianggap tidak sederajat karena berasal dari kasta hamba, sementara Pemohon I berasal dari kasta raja. Penolakan itu bahkan disertai ancaman, sehingga Pemohon I meninggalkan rumah keluarganya dan memilih tinggal bersama keluarga Pemohon II.
Hakim dalam pertimbangannya menegaskan bahwa para Pemohon telah berusia di atas 21 tahun, sehingga secara hukum tidak lagi memerlukan izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Kendati demikian, penetapan pengadilan tetap diperlukan karena secara faktual para Pemohon mengalami hambatan serius akibat penolakan keluarga yang didasarkan pada alasan adat dan kasta.
“Negara pada prinsipnya mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya termasuk dalam hal ini hak-hak tradisional masyarakat hukum adat Sumba Timur yang berkaitan dengan perkawinan, namun demikian pengakuan dan penghormatan tersebut bersifat terbatas, yaitu sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar I Nengah Maliarta di dalam pertimbangannya.
Dari sisi hukum perkawinan nasional, Hakim menyatakan tidak ditemukan adanya larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Para Pemohon juga belum pernah menikah sebelumnya. Hakim juga menegaskan bahwa negara tidak membenarkan pembedaan perlakuan terhadap warga negara berdasarkan kelas, kasta, atau derajat sosial. Oleh karena itu, pelarangan perkawinan dengan alasan perbedaan kasta dinilai tidak relevan lagi dan harus dikesampingkan dalam perkara ini.
Baca Juga: PN Waingapu: Sengketa Belis Wajib Diselesaikan lewat Adat Sebelum ke Pengadilan
“Penggolongan masyarakat berdasarkan kasta raja (maramba) dan kasta hamba/budak (ata) dalam kaitannya dengan pengekangan hak konstitusional warga negara untuk melangsungkan perkawinan yang sah menurut hukum in casu dalam bentuk pelarangan melangsungkan perkawinan sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan masyarakat yang beradab dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,” sebagaimana dikutip dalam pertimbangan hukum penetapan ini.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, PN Waingapu menyatakan para Pemohon telah memenuhi syarat usia dewasa dan tidak memiliki halangan hukum untuk melangsungkan perkawinan. Penetapan ini sekaligus menjadi penegasan bahwa hukum hadir untuk melindungi hak warga negara, bahkan ketika berhadapan dengan praktik adat yang tidak lagi sejalan dengan nilai keadilan dan kemanusiaan. (zm/ldr/anandy satrio)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI