Waingapu – Pengadilan Negeri (PN) Waingapu kembali menerapkan keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana penadahan yang melibatkan seorang penyuluh peternakan dalam jaringan perdagangan kuda curian pada Senin (17/11).
Majelis Hakim yang diketuai I Nengah Maliarta, bersama hakim anggota Reza Maladila Y. Gaya dan Ida Bagus Ketut Ari Juni Suartawan, menjatuhkan vonis terhadap Yohanis Ananias Balla alias Yoan, setelah rangkaian persidangan mengungkap keterlibatan terdakwa dalam penyediaan dokumen dan cap bakar resmi untuk memuluskan peredaran hewan hasil kejahatan.
“Oleh karena seluruh hewan kuda yang dicuri sudah kembali, ditambah dengan satu ekor hewan anak kuda yang baru lahir, dan kompensasi-kompensasi yang telah diberikan oleh Terdakwa, maka saat ini Saksi Korban Bapak Maksi sudah tidak mengalami kerugian lagi, bahkan sudah mendapatkan lebih daripada nilai kerugian yang dialami sebelumnya,” sebagaimana dikutip dalam pertimbangan hukum hakim dalam perkara ini.
Baca Juga: PN Waingapu: Sengketa Belis Wajib Diselesaikan lewat Adat Sebelum ke Pengadilan
Perkara ini bermula pada Minggu (19/01), ketika saksi Hendro Panda Huki, yang perkaranya ditangani terpisah, mendapat tawaran tiga ekor kuda dari saksi Ndilu Yana alias Yan. Mengetahui bahwa kuda tersebut berasal dari aksi pencurian, Hendro menghubungi terdakwa, Yohanis Ananias Balla, untuk meminta tiga lembar Kartu Keterangan Mutasi Ternak (KKMT) kosong lengkap dengan tanda tangan dan cap bakar HL4. Yohanis kemudian menyerahkan seluruh dokumen dan peralatan tersebut, meski telah menduga potensi penyalahgunaan, dan menerima Rp500.000,00 dari Hendro.
Dokumen dan cap bakar inilah yang kemudian digunakan untuk melegalkan dua ekor induk kuda dan satu anak kuda milik korban Martinus Mbaha Pekuwali alias Bapa Maksi, sebelum digeser ke Lewa untuk dijual. Rangkaian proses, mulai dari penempelan cap bakar, penulisan identitas hewan, hingga pengangkutan menggunakan truk, diungkap rinci dalam persidangan melalui keterangan para saksi yang sebelumnya dituntut dalam berkas berbeda.
Namun dalam pertimbangan, Majelis Hakim menilai perkara ini memenuhi syarat penerapan Keadilan Restoratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024. Pertimbangan tersebut merujuk pada beberapa faktor: terdakwa mengakui seluruh perbuatannya, tidak mengajukan keberatan, tidak memiliki rekam pidana sebelumnya, serta tidak ditemukan relasi kuasa antara terdakwa dan korban.
“Terdakwa telah menyerahkan 1 (satu) lembar kain tenun ikat Sumba sebagai simbol adat bahwa Terdakwa ingin mengupayakan perdamaian dan Saksi Bapak Maksi telah menerimanya dengan baik, selanjutnya Terdakwa menyerahkan 1 (satu) buah mamuli emas seberat 2 (dua) gram dan uang sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) kepada Saksi Bapak Maksi sebagai tanda perdamaian antara Terdakwa dengan Saksi Bapak Maksi,” ujar Ketua Majelis I Nengah Maliarta dalam pertimbangannya.
Baca Juga: Nilai Keadilan Restoratif dalam Hukum Adat Minangkabau
Berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim dalam perkara ini berpendapat bahwa dengan diberikannya sejumlah barang tersebut oleh Terdakwa, sekaligus menandai terwujudnya perdamaian antara para pihak.
Putusan ini menandai bagaimana peradilan modern tidak berjalan sendirian di ruang hampa, melainkan berpijak pada kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat. Dengan menjadikan simbol adat, mamuli emas, dan tenun ikat Sumba sebagai jembatan pemulihan, Majelis Hakim menunjukkan bahwa hukum negara dan hukum adat dapat bertemu dalam satu titik: memulihkan martabat, mengganti kerugian, dan memulihkan keseimbangan sosial. (William Edward Sibarani/SNR/FAC)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI