Apabila majelis
hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono),
frasa ini tidak asing lagi untuk didengar karena begitulah bunyi akhir dari
surat gugatan yang diajukan oleh pihak yang berperkara dipengadilan.
Secara harfiah definisi dari ex aquo et bono adalah sesuai dengan apa yang dianggap benar dan baik. Penjatuhan putusan berdasarkan ex aquo et bono memang bukan merupakan sesuatu hal yang lumrah terjadi akan tetapi tidak pula dilarang untuk dilakukan karena pada dasarnya ex aquo et bono juga merupakan hal yang dimintakan di dalam surat gugatan hanya saja permintaan tersebut bersifat abstrak yang didasari atas kebebasan hakim sehingga sepenuhnya diserahkan kepada hakim yang mengadili perkara.
Kedudukan Ex Aquo Et Bono
Baca Juga: Kasasi Ditolak MA, PLN Harus Cabut Tiang Listrik Ilegal di Tanah Warga
Surat gugatan
merupakan dasar bagi hakim dalam mengadili perkara perdata, yang
mana surat gugatan harus memuat identitas para pihak, posita dan petitum. Petitum pada surat gugatan merupakan perumusan secara tegas dan jelas terhadap apa
yang menjadi tuntutan penggugat kepada tergugat yang akan diputus oleh hakim
dalam amar putusannya.
Pada dasarnya bentuk
suatu petitum gugatan adalah primair dan subsidair yang mana petitum primair
merupakan tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara atau
tuntutan yang dikehendaki oleh penggugat untuk dipenuhi oleh tergugat melalui
pengadilan, sedangkan petitum subsidair merupakan suatu tuntutan yang diajukan
sebagai bentuk antisipasi apabila tuntutan pokok (primair) ditolak oleh hakim.
Apabila petitum
primair dirumuskan secara tegas dan jelas maka berbeda halnya dengan petitum
subsidair yang tidak dirumuskan secara tegas dan jelas melainkan secara umum
dan abstrak karena kondisinya merupakan tuntutan cadangan.
Pada surat gugatan ex
aquo et bono dirumuskan secara tersendiri pada bagian petitum akan tetapi
tidak menjadi bagian dari petitum yang dirumuskan secara jelas dan tegas karena ex aquo
et bono dirumuskan setelah penggugat merumuskan hal-hal yang diinginkannya
secara terperinci yang kemudian ditutup dengan frasa ex aquo et bono.
Penerapan Ex Aquo Et Bono Dalam Perkara Perdata
Tujuan dicantumkannya petitum ex aquo et bono
dalam gugatan agar jika petitum primair ditolak maka masih ada kemungkinan
dikabulkannya gugatan yang didasari pada kebebasan hakim.
Kebebasan hakim dalam mengabulkan petitum subsidair ex
aquo et bono harus berdasarkan kelayakan atau kepatutan dan kelayakan atau kepatutan
yang ditetapkan atau dikabulkan tersebut masih berada dalam kerangka
jiwa petitum primair dan dalil gugatan. Berikut putusan mahkamah agung yang memuat kaidah hukum terkait dengan ex aquo et bono:
1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3589 K/Pdt/1994 tanggal 16 Februari 1999.
Putusan ini dalam salah satu konsiderannya menyatakan “bahwa keberatan-keberatan tersebut dapat dibenarkan karena judex
factie telah mengabulkan tuntutan subsidair dengan tanpa mempertimbangkan lebih
dahulu tuntutan pokok (primair), menurut hukum acara seharusnya tetap
berdasarkan kepada posita dan petitum yang dimaksud dalam gugatan primair”.
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 882 K/Sip/1974 tanggal 24 Maret 1976.
Putusan ini dalam salah satu konsiderannya menyatakan “dalam hal ada tuntutan primair dan subsidair
untuk ketertiban beracara mestinya pengadilan hanya memilih salah satu,
tuntutan primair atau subsidair yang dikabulkan, bukan menggunakan kebebasan
yang diberikan oleh tuntutan subsidair untuk mengabulkan tuntutan primair
dengan mengisi kekurangan yang ada pada tuntutan primair”.
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 650 PK/Pdt/1994 tanggal 29 Oktober 1994.
Putusan ini dalam salah satu konsiderannya menyatakan “petitum gugatan perdata yang terdiri dari
tuntutan primair dan subsidair ex aquo et bono, maka Hakim hanya boleh memilih
salah satu, yaitu mengabulkan petitum primairnya atau subsidairnya. Hakim tidak
boleh menggunakan kebebasan yang diberikan oleh tuntutan subsidair untuk
mengabulkan tuntutan primair dalam mengatasi kekurangan yang ada pada tuntutan
primair”.
4. Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 K/Sip/1971 tanggal 12 Agustus 1972.
Putusan ini dalam salah satu konsiderannya menyatakan “putusan judex factie yang didasarkan pada
petitum subsidair untuk diadili menurut kebijaksanaan pengadilan dapat
dibenarkan asalkan masih dalam kerangka yang serasi dengan ini gugatan primair”.
5. Putusan Mahkamah Agung Nomor 803 K/Sip/1973 tanggal 5 Juni 1975.
Putusan ini dalam salah satu konsiderannya menyatakan “di dalam mengadili suatu gugatan yang di
dalamnya terkandung tuntutan subsidair yang bermaksud minta supaya Hakim
mengadili menurut keadilan yang baik, hendaklah dilakukan sedemikian rupa
sehingga di satu pihak tidak dilanggar ketentuan dalam Pasal 178 Ayat (2) dan
(3) HIR sedang dipihak lain tidak dirugikan pihak lawan dalam melakukan
pembelaan”.
Dari beberapa kaidah hukum yang termuat pada putusan diatas maka dapat
ditarik kesimpulan kebebasan hakim dalam menerapkan ex aquo et bono bukan merupakan kebebasan tanpa batas, sehingga di
dalam penerapan ex aquo et bono hakim
harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
- Hakim dalam menerapkan ex aquo et bono yang merupakan petitum subsidair haruslah terlebih dahulu mempertimbangkan petitum primair gugatan tersebut. Petitum primair merupakan tuntutan yang langsung berhubungan dengan pokok perkara yang sejatinya dikehendaki oleh penggugat sehingga petitum primair ini harus benar-benar telah dipertimbangkan terlebih dahulu.
- Hakim tidak boleh menggunakan kebebasan yang diberikan oleh petitum subsidair untuk mengabulkan petitum primair dengan cara mengatasi kekurangan yang ada pada petitum primair. Bahwa petitum primair memiliki sifat yang berbeda dengan petitum sudsidair. Petitum primair harus dirumuskan secara tegas dan jelas karena pada dasarnya inilah hal yang dikehendaki oleh penggugat untuk diputuskan oleh hakim sehingga menimbulkan konsekuensi bagi penggugat untuk merumuskan petitum primair ini secara tepat. Hakim dalam menghadapi suatu gugatan yang memuat petitum atau tuntutan yang disusun secara primair dan subsidair harus memilih apakah akan mengabulkan petitum primairnya atau subsidairnya dan demi ketertiban beracara hakim tidak dapat menggabungkannya dengan cara mengambil sebagian dari petitum primair dan sebagian lagi dari petitum subsidair.
- Hakim tidak boleh menggunakan kebebasan yang diberikan oleh petitum subsidair untuk menjatuhkan putusan melebihi materi pokok petitum primair sehingga melanggar asas ultra petitum partium. Dalam hukum perdata berlaku asas hakim bersifat pasif yang maksudnya adalah ruang lingkup sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim hanya menilai hal-hal yang diajukan oleh para pihak dan menentukan apakah para pihak dapat membuktikan tuntutan hukum mereka sehingga hakim tidak boleh menambah sendiri hal-hal lain dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta.
Referensi.
-
M. Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Baca Juga: Tok! PT Kepri Perbarat Vonis 5 Gembong Narkoba Jadi Penjara Seumur Hidup
-
Sunarto, Peran Aktif Hakim
Dalam Perkara Perdata, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1997.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI