Tidak dapat dipungkiri kemajuan zaman yang semakin pesat
memberikan dampak positif dan negatif bagi generasi muda masa kini yang sangat
terpengaruh dengan adanya modernisasi dunia digital.
Salah satu dampak negatif akan perkembangan itu ialah
banyaknya anak di bawah umur yang melakukan perkawinan di bawah batas usia
perkawinan menurut Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-Undang
Perkawinan).
Hal itu terjadi karena berbagai hal termasuk karena
pergaulan bebas hingga mengakibatkan kehamilan pada anak di bawah umur. Dewasa
ini permohonan dispensasi kawin telah menjadi salah satu jenis perkara yang
cukup banyak diajukan ke Pengadilan baik Pengadilan Agama bagi yang beragama
Islam maupun Pengadilan Negeri bagi selain yang beragama Islam.
Baca Juga: Memaknai Status “Kawin Belum Tercatat” pada Dokumen Kependudukan
Adanya keadaan demikian mengakibatkan banyak Orangtua
dari anak-anak yang mengalami kejadian tersebut di atas mau tidak mau sesegera
mungkin mengawinkan anaknya yang masih berada di bawah batas usia perkawinan.
Hal tersebut dilakukan demi menjaga nama baik anak dan
keluarga di mata masyarakat. Di Provinsi Bali, khususnya di Kabupaten
Karangasem, selama bertugas sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Amlapura,
Penulis cukup banyak mengadili perkara permohonan dispensasi kawin dengan
kondisi anak yang dimohonkan dispensasi kawin telah melakukan perkawinan
sebelumnya secara Adat Bali dan Agama Hindu dikarenakan telah mengalami
kehamilan.
Adapun perkawinan secara adat dan agama tersebut belum
didahului dengan adanya Penetapan pemberian dispensasi kawin dari Pengadilan
Negeri terlebih dahulu sebagaimana amanat Undang-Undang Perkawinan. Fenomena
tersebut di atas terjadi dengan tujuan agar perkawinan secara adat dan agama
sudah dilakukan sebelum janin yang dikandung anak lahir ke dunia.
Belakangan setelah perkawinan secara adat dan agama
sudah dilakukan barulah permohonan dispensasi kawin diajukan ke Pengadilan. Peristiwa
hukum di atas tentunya mau tidak mau dan suka tidak suka harus diterima oleh
Hakim untuk diperiksa dan diadili walaupun secara de juris menurut Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Mahkamah
Agung RI Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi
Kawin (Perma Dispensasi Kawin), permohonan dispensasi kawin seharusnya diajukan
sebelum perkawinan secara adat dan agama dilakukan oleh anak.
Sebagaimana diketahui bahwa menurut Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, kemudian ayat (2) Pasal tersebut menyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menanggapi
adanya fenomena hukum tersebut di atas, oleh karena dalam ajaran Agama Hindu
tidak dikenal adanya mekanisme kawin ulang, maka Penulis memberikan solusi bagi
Para Hakim untuk mengisi kekosongan hukum atas peristiwa hukum yang terjadi
sebagaimana telah dijelaskan di atas yaitu dengan memperbaiki amar Penetapan
agar dapat mengesahkan sekaligus memberikan dispensasi bagi perkawinan yang
telah dilakukan anak sebelum mengajukan permohonan dispensasi kawin ke
Pengadilan.
Solusi tersebut dilakukan dengan memperbaiki bahasa
pada amar Penetapan yang biasanya berbunyi “Memberikan Dispensasi Kawin kepada
Anak untuk melangsungkan perkawinan dengan Calon Suami/Istrinya” sehingga diperbaiki
menjadi “Memberikan Dispensasi Kawin kepada Anak atas perkawinannya dengan
Calon Suami/Istrinya”.
Perbaikan pada amar tersebut jika dibaca secara letterlijk maka secara hukum dapat dimaknai
Hakim telah memberikan dispensasi kawin kepada Anak sekaligus mengesahkan
perkawinan secara adat dan agama yang telah dilakukan oleh anak sebelum
permohonan dispensasi kawin diajukan ke Pengadilan.
Sebagaimana
diketahui bahwa Hakim dilarang untuk menolak perkara dengan alasan terjadi kekosongan
hukum melainkan Hakim diwajibkan menemukan hukum jika terjadi kekosongan hukum.
Guna meningisi kekosongan hukum sebagaimana dijelaskan
di atas, solusi Penulis dapat menjadi salah satu pilihan bagi Hakim dalam
mengisi kekosongan hukum ketika menghadapi fenomena permohonan dispensasi kawin
yang diajukan setelah dilakukannya perkawinan secara adat dan agama oleh anak,
yang khususnya sering terjadi di Provinsi Bali.
Solusi untuk mengesahkan sekaligus memberi dispensai
kawin bagi anak yang Penulis usulkan tersebut di atas didasari pada asas
kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum yang merupakan tujuan utama suatu
Putusan/Penetapan namun dari sudut pandang yang berbeda, sehingga Penetapan
Dispensasi Kawin dapat memberi manfaat bagi anak supaya jelas status
perkawinannya yang secara nyata telah dilakukan secara adat dan agama, dimana
perkawinan tersebut perlu untuk dicatatkan oleh Negara guna ketertiban
administrasi termasuk kebutuhan masa depan anak dan bayi yang dikandungnya
kelak, seperti untuk penerbitan akta kawin, akta lahir, kartu keluarga dan
sebagainya yang tentunya sangat dibutuhkan bagi kemanfaatan masa depan anak dan
janin yang dikandungnya guna pendaftaran sekolah dan lain-lain.
Dari sisi keadilan, dengan diberikannya penetapan
dispensasi kawin atas perkawinan anak sebagaimana dijelaskan di atas akan
memberikan keadilan bagi janin yang dikandung anak kelak jika ia lahir. Dengan
diberikannya dispensasi kawin atas perkawinan anak maka status perkawinan anak
akan diakui oleh Negara sehingga janin yang dilahirkan oleh anak nantinya akan
diperlakukan sama dengan anak lain yang dilahirkan oleh orangtua yang menikah
di atas batas usia perkawinan.
Dengan adanya penetapan dispensasi kawin tersebut dapat
menjadi pintu pembuka bagi anak dalam melengkapi kebutuhan pencatatan
perkawinan, kelahiran anak dan kebutuhan administrasi lainnya yang tentunya merupakan
syarat bagi anak yang dilahirkan untuk memperoleh hak-haknya sebagai anak.
Kemudian dari sisi kepastian hukum, pemberian
penetapan dispensasi kawin dalam keadaan sebagaimana dijelaskan di atas akan
memberi kepastian hukum bagi anak dan janin yang dikandungnya karena menjadi
jelas tercatat perkawinannya dan nantinya setelah lahir anak yang dilahirkan
menjadi jelas secara hukum status dan kedudukannya karena dilahirkan dari
orangtua yang tercatat perkawinannya oleh Negara.
Semua pertimbangan tersebut di atas sejalan dengan
tujuan dari pedoman mengadili permohonan dispensasi kawin yakni untuk menerapkan
asas kepentingan terbaik bagi anak.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penulis
menyimpulkan bahwa Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang dilarang
untuk menolak perkara dengan alasan adanya kekosongan hukum wajib menemukan
hukum untuk mengadili perkara permohonan dispensasi kawin yang sebelumnya telah
dilakukan perkawinan secara adat dan agama oleh anak di bawah batas usia
perkawinan dengan mengedepankan asas kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum
dari sudut pandang berbeda sebagaimana diuraikan oleh Penulis di atas.
Baca Juga: Pegawai KUA Sumedang Utara Didakwa Korupsi Jual Beli Dispensasi Nikah
Solusi dari Penulis untuk memperbaiki amar Penetapan
sebagaimana dijelaskan di atas dapat menjadi salah satu pilihan bagi Hakim
dalam mengisi kekosongan hukum dalam menangani fenomena hukum yang sering
terjadi khususnya di Provinsi Bali sehingga Hakim dalam mengadili perkara
permohonan dispensasi kawin dapat mencapai tujuan dari pedoman mengadili
permohonan dispensasi kawin yakni untuk menerapkan asas kepentingan terbaik
bagi anak. (al/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI