Hakim merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya hukum
dan keadilan. Kedudukannya sangat strategis karena melalui putusannya, hakim
menentukan nasib hukum seseorang, lembaga, bahkan negara.
Oleh karena itu, hakim dituntut memiliki integritas yang
tinggi. Integritas menjadi fondasi moral dan etika dalam menjalankan tugas
peradilan agar tidak hanya adil secara hukum, tetapi juga memiliki legitimasi
moral di mata masyarakat.
Secara umum, integritas diartikan sebagai keutuhan moral,
kejujuran, serta konsistensi antara pikiran, ucapan, dan tindakan. Dalam
konteks profesi hakim, integritas berarti kemampuan untuk menegakkan hukum
dengan adil, jujur, bebas dari intervensi, serta konsisten menjunjung tinggi
kode etik.
Baca Juga: Tingkatkan Kualitas Hakim, Badilum MA Uji Coba E-Eksaminasi di Pengadilan Tinggi Gorontalo
Hakim berintegritas adalah hakim yang memutus berdasarkan
fakta persidangan dan hukum, bukan karena tekanan, kepentingan pribadi, atau
imbalan.
Menjadi sebuah tantangan bagi Mahkamah Agung adalah
bagaimana cara mengukur integritas seorang Hakim?
Secara umum, selama ini untuk mengetahui integritas
seseorang biasanya hanya diperoleh dari informasi dan cerita-cerita dari
orang-orang yang pernah berinteraksi, bekerjasama dan berkomunikasi dengan yang
bersangkutan, dan hal tersebut hanya sebatas pada bisik-bisik antar teman, atau
hanya sebatas bahan obrolan di warung kopi.
Mengukur integritas, apalagi untuk seorang hakim dan
aparatur pengadilan tidak semudah mengukur hal teknis, karena sifatnya abstrak
dan terkait nilai, moral, serta konsistensi perilaku, sehingga tidak cukup
dengan metode ghibah semata untuk menjustifikasi seseorang berintegritas
atau tidak.
Sistem penilaian integritas harus memiliki integritasnya
sendiri, sehingga hasilnya valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam opini penulis pribadi, ada beberapa instrumen
penilaian yang mampu diandalkan untuk menilai tingkat integritas seseorang,
beberapa diantaranya akan coba dipaparkan dalam tulisan ini.
1. Indikator Perilaku (Observasi)
Dapat dilihat dari konsistensi antara ucapan dan
tindakan, menepati janji dan komitmen, serta kemampuan untuk mengakui kesalahan
dan bertanggung jawab atas kesalahannya tersebut dalam interaksi sehari-hari.
Sebagai
manusia, kita mengakui sebagai makhluk yang penuh dosa dan kesalahan, akan tetapi
pada kenyataannya kita tidak pernah mau untuk disalahkan dan bertanggungjawab
atas kesalahan yang kita perbuat, kita cenderung membela diri atas kesalahan
tersebut.
Selanjutnya
yang dapat menjadi unsur penilaian adalah tidak menyalahgunakan jabatan/kepercayaan,
serta menghindari konflik kepentingan.
Hal-hal
tersebut biasanya diukur dengan metode penilaian 360, dimana antara atasan,
rekan kerja dan bawahan bisa saling menilai kinerja sehari-hari di satuan
kerja.
2. Kuesioner dan Tes Integritas
Ada instrumen test psikologi yang dapat digunakan untuk
mengetahui tingkat integritas seseorang, diantaranya adalah :
Test Integritas, merupakan tes yang dilakukan oleh
profesional, dalam hal ini psikolog, untuk mengukur tingkat kejujuran, moralitas, dan kecenderungan seseorang
terhadap perilaku yang melanggar aturan atau tidak etis, tes ini banyak dipakai dalam hal kepentingan rekrutmen, terutama di
bidang yang butuh kepercayaan tinggi.
Setiap pertanyaan dan jawaban dalam kuesioner telah
dirumuskan oleh psikolog sedemikian rupa untuk dapat mengukur integritas
masing-masing Observee. Penulis berpendapat, model test ini sangat cocok
untuk mengukur tingkat integritas dan kecenderungan perilaku seorang hakim
dalam melaksanakan tugasnya.
3. Indikator Kinerja dan Rekam Jejak
Integritas juga dapat dinilai dari:
·
Catatan disiplin
(terlambat, pelanggaran aturan, absensi fiktif).
·
Kepatuhan terhadap SOP,
kode etik, atau hukum.
· Transparansi dalam laporan kerja.
· Riwayat pelanggaran.
4. Audit dan Mekanisme Pengawasan
Sepengetahuan penulis, Badan Pengawasan Mahkamah Agung
telah memiliki instrumen audit dan mekanisme pengawasan melalui salah satunya
adalah metode Profilling.
Metode Profilling yang dilakukan Bawas biasanya dilakukan
dengan cara Mystery Shopper dan wawancara kepada responden-responden
yang dinilai qualified untuk dapat memberikan informasi tentang
integritas seseorang yang sedang di profilling.
Metode ini mungkin masih dapat diperdebatkan terkait
kualitas dari responden dan subyektivitas informasi yang diperoleh berdasarkan
hasil wawancara dengan responden tersebut.
Penulis yakin, Badan Pengawasan Mahkamah Agung telah
memiliki Standard Operating Procedures
mengenai Profilling khususnya terkait
pemilihan narasumber, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan serta metode
penilaian yang dihasilkan dari hasil wawancara tersebut, sehingga dihasilkan
nilai integritas yang dapat dipertanggungjawabkan dari individu yang dinilai.
Seluruh instrumen di atas merupakan sebagian tools yang
dapat dipergunakan oleh Mahkamah Agung untuk mengukur tingkat integritas hakim
dan aparatur pengadilan, dimana instrumen-instrumen tersebut menilai integritas
tidak hanya diukur lewat kata-kata, tetapi terutama lewat konsistensi perilaku,
rekam jejak, dan persepsi orang lain.
Mahkamah Agung dengan menggunakan instrumen-instrumen
penilaian seperti tersebut di atas, dapat melakukan deteksi dini dari
masing-masing personil Hakim, seorang hakim yang tingkat integritasnya
cenderung rendah, jangan ditempatkan di tempat yang memiliki resiko tinggi bagi
hakim tersebut untuk melanggar aturan dimana hal tersebut akan merugikan diri
hakim itu sendiri dan lembaga.
Sebagai pilar utama dalam menegakkan hukum dan
keadilan, hakim dan aparatur pengadilan dituntut untuk tidak hanya cakap secara
hukum, tetapi juga kuat dalam integritas.
Pengukuran
integritas mereka bukan sekadar formalitas, melainkan kebutuhan mendasar untuk
menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Baca Juga: Buka Bimtek Mandiri, Badilum Sosialisasikan BLC di Pengadilan Tinggi Gorontalo
Oleh
karena itu, Mahkamah Agung perlu terus mengembangkan sistem evaluasi integritas
yang tidak hanya objektif dan terstandar, tetapi juga mampu menangkap dimensi
moral, etika, dan perilaku secara utuh.
Integritas
tidak cukup dinilai dari apa yang terlihat di permukaan, melainkan harus diuji melalui rekam jejak, konsistensi tindakan,
dan persepsi yang dibentuk oleh interaksi nyata. Karena sejatinya, keadilan yang ditegakkan tanpa
integritas hanya akan menjadi prosedur tanpa jiwa.
(ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI