Cari Berita

Instrumen Mengukur Integritas Hakim

Andri Falahandika A - Dandapala Contributor 2025-10-03 07:30:19
Dok. Penulis.

Hakim merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya hukum dan keadilan. Kedudukannya sangat strategis karena melalui putusannya, hakim menentukan nasib hukum seseorang, lembaga, bahkan negara.

Oleh karena itu, hakim dituntut memiliki integritas yang tinggi. Integritas menjadi fondasi moral dan etika dalam menjalankan tugas peradilan agar tidak hanya adil secara hukum, tetapi juga memiliki legitimasi moral di mata masyarakat.

Secara umum, integritas diartikan sebagai keutuhan moral, kejujuran, serta konsistensi antara pikiran, ucapan, dan tindakan. Dalam konteks profesi hakim, integritas berarti kemampuan untuk menegakkan hukum dengan adil, jujur, bebas dari intervensi, serta konsisten menjunjung tinggi kode etik.

Baca Juga: Tingkatkan Kualitas Hakim, Badilum MA Uji Coba E-Eksaminasi di Pengadilan Tinggi Gorontalo

Hakim berintegritas adalah hakim yang memutus berdasarkan fakta persidangan dan hukum, bukan karena tekanan, kepentingan pribadi, atau imbalan.

Menjadi sebuah tantangan bagi Mahkamah Agung adalah bagaimana cara mengukur integritas seorang Hakim?

Secara umum, selama ini untuk mengetahui integritas seseorang biasanya hanya diperoleh dari informasi dan cerita-cerita dari orang-orang yang pernah berinteraksi, bekerjasama dan berkomunikasi dengan yang bersangkutan, dan hal tersebut hanya sebatas pada bisik-bisik antar teman, atau hanya sebatas bahan obrolan di warung kopi.

Mengukur integritas, apalagi untuk seorang hakim dan aparatur pengadilan tidak semudah mengukur hal teknis, karena sifatnya abstrak dan terkait nilai, moral, serta konsistensi perilaku, sehingga tidak cukup dengan metode ghibah semata untuk menjustifikasi seseorang berintegritas atau tidak.

Sistem penilaian integritas harus memiliki integritasnya sendiri, sehingga hasilnya valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam opini penulis pribadi, ada beberapa instrumen penilaian yang mampu diandalkan untuk menilai tingkat integritas seseorang, beberapa diantaranya akan coba dipaparkan dalam tulisan ini.

1.      Indikator Perilaku (Observasi)

Dapat dilihat dari konsistensi antara ucapan dan tindakan, menepati janji dan komitmen, serta kemampuan untuk mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas kesalahannya tersebut dalam interaksi sehari-hari.

Sebagai manusia, kita mengakui sebagai makhluk yang penuh dosa dan kesalahan, akan tetapi pada kenyataannya kita tidak pernah mau untuk disalahkan dan bertanggungjawab atas kesalahan yang kita perbuat, kita cenderung membela diri atas kesalahan tersebut.

Selanjutnya yang dapat menjadi unsur penilaian adalah tidak menyalahgunakan jabatan/kepercayaan, serta menghindari konflik kepentingan.

Hal-hal tersebut biasanya diukur dengan metode penilaian 360, dimana antara atasan, rekan kerja dan bawahan bisa saling menilai kinerja sehari-hari di satuan kerja.

2.      Kuesioner dan Tes Integritas

Ada instrumen test psikologi yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat integritas seseorang, diantaranya adalah :

Test Integritas, merupakan tes yang dilakukan oleh profesional, dalam hal ini psikolog, untuk mengukur tingkat kejujuran, moralitas, dan kecenderungan seseorang terhadap perilaku yang melanggar aturan atau tidak etis, tes ini banyak dipakai dalam hal kepentingan rekrutmen, terutama di bidang yang butuh kepercayaan tinggi.  

Setiap pertanyaan dan jawaban dalam kuesioner telah dirumuskan oleh psikolog sedemikian rupa untuk dapat mengukur integritas masing-masing Observee. Penulis berpendapat, model test ini sangat cocok untuk mengukur tingkat integritas dan kecenderungan perilaku seorang hakim dalam melaksanakan tugasnya.

3.      Indikator Kinerja dan Rekam Jejak

Integritas juga dapat dinilai dari:

·       Catatan disiplin (terlambat, pelanggaran aturan, absensi fiktif).

·       Kepatuhan terhadap SOP, kode etik, atau hukum.

·       Transparansi dalam laporan kerja.

·       Riwayat pelanggaran.

4.      Audit dan Mekanisme Pengawasan

Sepengetahuan penulis, Badan Pengawasan Mahkamah Agung telah memiliki instrumen audit dan mekanisme pengawasan melalui salah satunya adalah metode Profilling.

Metode Profilling yang dilakukan Bawas biasanya dilakukan dengan cara Mystery Shopper dan wawancara kepada responden-responden yang dinilai qualified untuk dapat memberikan informasi tentang integritas seseorang yang sedang di profilling.

Metode ini mungkin masih dapat diperdebatkan terkait kualitas dari responden dan subyektivitas informasi yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan responden tersebut.

Penulis yakin, Badan Pengawasan Mahkamah Agung telah memiliki Standard Operating Procedures mengenai Profilling khususnya terkait pemilihan narasumber, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan serta metode penilaian yang dihasilkan dari hasil wawancara tersebut, sehingga dihasilkan nilai integritas yang dapat dipertanggungjawabkan dari individu yang dinilai.

Seluruh instrumen di atas merupakan sebagian tools yang dapat dipergunakan oleh Mahkamah Agung untuk mengukur tingkat integritas hakim dan aparatur pengadilan, dimana instrumen-instrumen tersebut menilai integritas tidak hanya diukur lewat kata-kata, tetapi terutama lewat konsistensi perilaku, rekam jejak, dan persepsi orang lain.

Mahkamah Agung dengan menggunakan instrumen-instrumen penilaian seperti tersebut di atas, dapat melakukan deteksi dini dari masing-masing personil Hakim, seorang hakim yang tingkat integritasnya cenderung rendah, jangan ditempatkan di tempat yang memiliki resiko tinggi bagi hakim tersebut untuk melanggar aturan dimana hal tersebut akan merugikan diri hakim itu sendiri dan lembaga.

Sebagai pilar utama dalam menegakkan hukum dan keadilan, hakim dan aparatur pengadilan dituntut untuk tidak hanya cakap secara hukum, tetapi juga kuat dalam integritas.

Pengukuran integritas mereka bukan sekadar formalitas, melainkan kebutuhan mendasar untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Baca Juga: Buka Bimtek Mandiri, Badilum Sosialisasikan BLC di Pengadilan Tinggi Gorontalo

Oleh karena itu, Mahkamah Agung perlu terus mengembangkan sistem evaluasi integritas yang tidak hanya objektif dan terstandar, tetapi juga mampu menangkap dimensi moral, etika, dan perilaku secara utuh.

 Integritas tidak cukup dinilai dari apa yang terlihat di permukaan, melainkan harus diuji melalui rekam jejak, konsistensi tindakan, dan persepsi yang dibentuk oleh interaksi nyata. Karena sejatinya, keadilan yang ditegakkan tanpa integritas hanya akan menjadi prosedur tanpa jiwa. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI