Jakarta – Senin (20/10), Podcast Badan Peradilan Umum (Podium) kembali hadir dengan mengundang Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung (MA), Dr. Dwiarso Budi Santiarto. Siniar kali ini mengusung tema Profiling Hakim & Aparatur Peradilan, dipandu oleh Ketua Pengadilan Negeri Kota Madiun, Dr. Boedi Haryantho. Dalam kesempatan tersebut, Dwiarso menjawab berbagai isu yang berkembang mengenai proses profiling di Badan Pengawasan (Bawas) MA.
Menurut Dwiarso, profiling hakim dan aparatur peradilan bertujuan untuk menjawab kebutuhan strategis organisasi. Agar setiap pengambilan kebijakan dilaksanakan “by data” dan bukan sekadar “by rasa”, MA memerlukan data komprehensif sebagai bahan pertimbangan promosi-mutasi. Di samping itu, pelaksanaan profiling juga diharapkan mampu memotivasi hakim serta aparatur pengadilan untuk terus meningkatkan kapasitas diri.
Baca Juga: Bawas MA Gencar Profiling Integritas Hakim, Apa Itu?
“Jadi sekarang eranya the right man in the right place. Segala sesuatunya ditangani oleh personel yang tepat,” ujar Dwiarso.
Sebagai instrumen baru, dasar hukum pemetaan profil hakim dan aparatur peradilan diatur dalam Surat Keputusan Kabawas Nomor 39 Tahun 2024. Anggota tim profiling telah disaring melalui seleksi ketat serta pelatihan investigasi—bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara. Setiap pelaksanaan profiling dirahasiakan, bahkan dari sesama personel Bawas. Data hasil investigasi juga hanya dapat diakses oleh Ketua Bawas dan Ketua MA.
Lantas, bagaimana proses pengumpulan datanya? Dwiarso membeberkan bahwa Bawas tidak bekerja sendiri, tetapi melibatkan pihak eksternal seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Ombudsman, Komisi Yudisial, hingga media nasional terpercaya. Bawas juga kerap menggelar kunjungan mystery shopper, serta melakukan wawancara dengan advokat maupun narasumber lain. Hasil investigasi juga bukan sekedar gibah, karena diperkuat dengan bukti-bukti seperti foto, rekaman, atau printout percakapan. Verifikasi informasi merupakan proses penting untuk mengeliminasi potensi bias dan manipulasi data.
“Tidak serta-merta sumber-sumber ini kita telan mentah-mentah,” tegas Dwiarso. “Harus kita sesuaikan dengan sumber-sumber yang lain. Kalau ada dua atau lebih data atau sumber yang bersesuaian sama, itu kita bisa masukkan ke fakta hukum.”
Apa saja indikator penilaian profiling? Terdapat tiga aspek integritas yang menjadi perhatian Bawas. Pertama, aspek kejujuran yang menilai potensi penerimaan suap, gratifikasi, pungli, penyalahgunaan anggaran, perilaku KKN, serta ketepatan pelaporan LHKPN. Kedua, aspek profesionalitas mencakup kedisiplinan absensi, komunikasi kinerja, sikap dalam bersidang, hingga netralitas politik. Ketiga, aspek kesusilaan meliputi berbagai perilaku seperti perjudian, penyalahgunaan narkoba, perselingkuhan, pamer kemewahan (flexing), orientasi LGBT, dan kebiasaan tidak membayar utang.
“Kadang-kadang (jika) hakim ini dinyatakan tidak berintegritas, dia marah loh. ‘Saya tidak pernah menerima duit, saya berpendirian teguh, saya tidak bisa diintervensi segala macam.’ Mereka tidak menyadari kalau profiling itu bukan hanya integritas saja, tetapi lebih luas,” ujar Dwiarso.
Lalu, adakah mekanisme klarifikasi bagi pihak yang keberatan? Berbeda dengan pemeriksaan yang berujung pada rekomendasi laporan ditutup/rehabilitasi/hukuman disiplin, profiling Bawas tidak melibatkan proses klarifikasi. Menurut Dwiarso, proses profiling tak berbeda dengan penilaian atasan terhadap bawahan atau sebaliknya, yang biasa terjadi di lingkungan kerja. Hasil profiling juga tidak mengakibatkan implikasi negatif seperti demosi.
Baca Juga: Bawas MA Paparkan Profiling Integritas Hakim dan Aparatur Peradilan
“Jadi seseorang itu tidak ada yang bebas nilai. Semua itu harus siap untuk dinilai. Atasan dinilai bawahan, bawahan dinilai atasan. Itu sudah biasa. Makanya dengan adanya kesadaran itu, kita harus memantaskan diri,” pungkas Dwiarso.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI