Peradilan pidana Indonesia segera bergerak dengan pengaturan baru secara materiil melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau dikenal dengan KUHP Nasional. Hal ini merupakan langkah yang baik mengingat Indonesia selama ini menggunakan KUHP warisan Belanda yang sudah usang dan tidak mencerminkan nilai-nilai masyarakat Indonesia sendiri yang terkenal dengan musyawarah mufakat.
Pengaturan dalam KUHP Nasional sangatlah baik karena mengakomodir beberapa konsep-konsep baru yang dapat menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum menjalankan tugasnya dengan baik dan benar terutama bagi Hakim diberikan pedoman pemidanaan yang dapat diterapkan sebelum menjatuhkan putusan. Pengaturan yang harus dipertimbangkan Hakim sebelum menjatuhkan putusan antara lain terdapat dalam Pasal 53 dan 54 KUHP Nasional sebagai berikut:
Baca Juga: Dilema Antara Kepastian Hukum dan Keadilan dalam Peradilan Indonesia
Pasal 53
1) Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan.
2) Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
Pasal 54
1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana;
b. motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana;
c. sikap batin pelaku Tindak Pidana;
d. Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan;
e. cara melakukan Tindak Pidana;
f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelalu Tindak Pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana;
i. pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban;
j. pemaafan dari Korban dan/atau keluarga Korban; dan/atau
k. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Jika melihat pengaturan pasal-pasal tersebut menarik kedepannya bagi Hakim dalam mengadili perkara pidana karena telah adanya pedoman yang selama ini telah diterapkan dalam beberapa perkara namun belum adanya pengaturan tersebut dalam undang-undang. Hal yang paling menarik dari pengaturan pedoman tersebut terletak pada Pasal 53 ayat (2) yang telah memberikan penegasan kepada Hakim apabila dalam mengadili suatu perkara terdapat benturan antara kepastian dan keadilan maka Hakim wajib mengutamakan keadilan. Apakah selama ini hakim pernah menerapkan hal tersebut? Lalu bagaimana penerapan pasal tersebut nantinya?
Bagaimana Penerapan Keadilan Sebelum Adanya Pedoman Pemidanaan Pasal 53 Ayat (2)?
Dalam melaksanakan kewajiban mengadili suatu perkara Hakim selalu dihadapkan dengan benturan kepastian dan keadilan. Termasuk penulis sendiri pernah mengalami benturan ini saat mengadili perkara ”perlindungan anak” dengan nomor perkara 121/Pid.Sus/2020/PN Tli. Sebagaimana diketahui dalam perkara perlindungan anak khususnya terdakwa yang didakwa dengan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan terdapat pengaturan minimum khusus yakni pidana paling singkat 5 (lima) tahun. Hal ini berarti terdakwa yang dinyatakan bersalah pidana penjara paling rendah yang akan diberikan adalah 5 (lima) tahun. Namun pada kenyataannya dalam fakta hukum di persidangan antara Terdakwa dan Anak Korban serta keluarga telah menyepakati perdamaian, dalam hal ini pihak Anak Korban berjanji tidak akan menuntut lagi serta Terdakwa telah menikahi Anak Korban yang saat itu telah hamil/mengandung 9 bulan. Pada perkara yang sejenis dengan Nomor 8/Pid.Sus/2024/PN Tli yang mana fakta hukum di persidangan antara Terdakwa dan Anak Korban serta keluarga telah menyepakati perdamaian serta Terdakwa dan Anak Korban telah menikah di Lapas Tolitoli.
Hal ini menimbulkan perdebatan batin oleh karena apabila pengaturan minimun khusus diterapkan akan berdampak pada masa depan Anak Korban serta anaknya yang saat itu akan lahir sehingga tidak adanya pemberi nafkah karena Terdakwa masih berada dalam tahanan. Oleh karena belum adanya pengaturan Pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional saat itu, Majelis Hakim menggunakan rumusan rapat pleno kamar dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2017 pada rumusan rapat kamar pidana nomor 5 huruf b yang mengatur apabila pelaku dewasa dan korban anak maka secara kasuistis Majelis Hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah minimal khusus dengan pertimbangan khusus yang melihat adanya perdamaian yang menciptakan harmonisasi antara pelaku dan korban dengan tidak saling menuntut lagi bahkan sudah menikah antara pelaku dan korban atau perbuatan dilakukan suka sama suka serta adanya pertimbangan hukum secara yuridis, filosofis, sosiologis, edukatif, preventif, korektif, dan rasa keadilan. Melihat hal tersebut maka lebih mengedepankan keadilan daripada kepastian pidana minimum khusus oleh karena hal-hal yang telah berkaitan dengan SEMA tersebut telah tepenuhi bahkan, dengan memutus menyimpangi pidana minimum khusus yakni selama 1 tahun 8 bulan untuk perkara 121/Pid.Sus/2020/PN Tli bahkan putusan tersebut dikurangi lama pidananya pada tingkat kasasi menjadi 1 tahun dalam nomor perkara 1883 K/Pid.Sus/2021, sedangkan pada perkara 8/Pid.Sus/2024/PN Tli menjatuhkan pidana selama 1 tahun.
Hal lain juga yang dipelajari terkait keadilan melawan kepastian dalam perkara pidana yang berkaitan dengan pencabutan/penarikan pengaduan. Pencabutan/penarikan aduan dibatasi waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengaduan disampaikan sebagaimana dalam Pasal 75 KUHP lama dan Pasal 30 ayat (1) KUHP Nasional. Namun pada kenyataannya dalam beberapa putusan terdapat pengesampingan kepastian hukum yang telah diatur demi mengedepankan keadilan sebagaimana putusan tingkat kasasi perkara No.1600 K/Pid/2009 dan putusan tingkat pertama Nomor: 132/Pid.B/2021/PN Mtr putusan tersebut mengabulkan penarikan aduan dengan menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima oleh karena antara terdakwa dan korban telah berdamai sehingga telah pulihnya keadaan yang sebelumnya terganggu, mengedepankan prinsip moral justice serta keadilan restoratif yang lebih bermanfaat untuk menghentikan proses penuntutan perkara tersebut.
Sejatinya Hakim telah menerapkan keadilan lebih utama dibanding kepastian hanya saja belum diaturnya dalam undang-undang berkaitan dengan mengutamakan keadilan, membuat beberapa hakim yang mungkin menemukan perkara serupa ragu dalam menerapkannya oleh karena bayang-bayang pelanggaran hukum acara, etik, dan sebagainya.
Baca Juga: Hakim dan Dilema Terobosan Hukum di Kasus Kehutanan
KESIMPULAN
Dengan pedoman pemidanaan dalam KUHP Nasional yang mengatur sedemikian rupa terperinci apa saja yang wajib dipertimbangkan Hakim, membuat Hakim lebih mudah dalam mengambil keputusan saat mengadili perkara, utamanya apabila ada pertentangan antara kepastian dan keadilan yang mewajibkan Hakim mengutamakan keadilan. Pedoman pemidanaan ini menjadi angin segar penyempurnaan prinsip-prinsip keadilan yang selama ini diterapkan Hakim melalui hasil rumusan rapat pleno kamar serta dua permasalahan yang penulis jabarkan dapat menjadi acuan penerapan Pasal 53 ayat (2) KUHP Nasional kedepannya. (IKAW/LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI