Bayangkan seorang warga di
Jawa ingin mengajukan gugatan ke pengadilan di luar daerahnya atau bahkan di
pulau lain. Dengan ponselnya, ia sudah bisa mengakses aplikasi e-Court.
Namun, sebelum benar-benar
bisa mendaftar perkara, ia tetap harus melakukan perjalanan jauh hanya untuk
mengaktifkan akunnya langsung di pengadilan yang dituju.
Inilah paradoks di tengah era digital. Di satu sisi, peradilan kita sudah berbicara soal sidang elektronik, tapi di sisi lain, langkah pertama justru masih terikat pada aturan lama yang serba manual. Akibatnya, teknologi yang seharusnya mempermudah, justru masih menyisakan hambatan administratif bagi masyarakat pencari keadilan.
Baca Juga: Perusahaan Irlandia PRIMARK Gugat Merek Serupa ke PN Jakpus
Transformasi
digital di tubuh Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menghasilkan banyak
terobosan penting, salah satunya penyelenggaraan administrasi perkara di
pengadilan secara elektronik atau yang dikenal dengan e-Court.
Sistem administrasi yang diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan layanan peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, sebagaimana amanat Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Landasan hukum e-Court
ditetapkan melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, kemudian diperbarui
melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019, dan terakhir diubah dengan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022 serta Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 363
/KMA/SK/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara
Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik.
Rangkaian regulasi tersebut menjadi fondasi penting bagi terselenggaranya administrasi dan persidangan secara elektronik, mulai dari pendaftaran perkara, pembayaran panjar biaya, pemanggilan para pihak, hingga persidangan dapat dilakukan secara digital.
Namun, ada satu tahap awal
yang justru belum sepenuhnya sederhana, yakni pendaftaran
akun bagi masyarakat umum yang mengajukan perkara tanpa kuasa hukum atau yang
dikenal dengan sebutan “pengguna lain”.
Untuk dapat menggunakan
e-Court, harus terlebih dahulu membuat akun. Pada praktiknya, calon pengguna
tetap diwajibkan datang langsung ke pengadilan yang tuju untuk mendaftarkan akun
dan diverifikasi oleh petugas meja e-Court.
Inilah paradoks di tengah era
digital. Di satu sisi, peradilan kita sudah berbicara soal sidang elektronik,
tapi di sisi lain, langkah pertama justru masih terikat pada aturan lama yang
serba manual. Akibatnya, teknologi yang seharusnya mempermudah, justru masih
menyisakan hambatan administratif bagi masyarakat pencari keadilan.
Hal tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 363/KMA/SK/XII/2022 tentang Penunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, Dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik, secara khusus mengatur bahwa untuk dapat menjadi pengguna lain, perseorangan harus memiliki kartu tanda penduduk atau paspor. Kemudian untuk mendapat akun, pengguna lain datang secara langsung ke meja e-Court atau secara daring.
Padahal, di era digital
banyak sektor layanan publik maupun swasta telah berhasil mengadopsi sistem pendaftaran
akun yang aman dan efisien. Dunia perbankan misalnya, telah menggunakan electronic Know Your Customer (e-KYC) untuk membuka rekening secara online.
Mekanisme ini mencakup verifikasi KTP elektronik, pengenalan wajah (face recognition), serta validasi data online yang terintegrasi ke basis data Dukcapil, sehingga proses pendaftaran akun dan verifikasi identitas bisa dilakukan tanpa tatap muka langsung.
Mahkamah Agung melalui
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum sebenarnya sudah memiliki contoh baik
melalui Eraterang, aplikasi pengajuan
permohonan surat keterangan secara elektronik di pengadilan negeri. Prosesnya
sepenuhnya daring dan relatif sederhana.
Pemohon hanya perlu memiliki email, membuka situs Eraterang, mendaftar akun, lalu melakukan aktivasi melalui email. Setelah itu, pemohon memilih pengadilan tujuan, mengisi jenis dan alasan permohonan, melengkapi data pribadi, serta mengunggah dokumen pendukung berupa KTP dan foto diri. Setelah diverifikasi petugas secara daring, pemohon cukup sekali datang ke pengadilan untuk mengambil surat keterangan yang telah selesai diproses.
Sistem ini membuktikan bahwa layanan digital dapat berjalan efektif. Sebaliknya, e-Court masih mewajibkan pengguna hadir sejak awal hanya untuk pendaftaran dan aktivasi akun. Jika pola seperti Eraterang diterapkan, pendaftaran akun e-Court akan lebih sederhana dan masyarakat tentu akan lebih mudah mengakses layanan administrasi persidangan.
Dengan demikian, persoalannya bukan pada ketersediaan teknologi ataupun regulasi, melainkan pada paradigma yang masih mempertahankan pola pendaftaran akun dan verifikasi secara manual. Sudah saatnya Mahkamah Agung membuka ruang bagi sistem pendaftaran akun secara daring dengan standar keamanan yang bebas dari penyalahgunaan data sekaligus memberikan kepastian bagi para pengguna.
Baca Juga: Redefinisi Etika dan Kebenaran Era Digital: Implikasi Terhadap Kepercayaan Publik
Peluang membuat akun secara daring
sebenarnya sudah ada, hanya saja belum hadir nyata di praktik. Ke depan, akan
sangat penting jika peluang ini diwujudkan, sehingga masyarakat benar-benar
bisa merasakan kemudahan pandaftaran e-Court tanpa harus datang langsung ke
pengadilan. Apabila mekanisme ini diterapkan, masyarakat dapat membuat akun
e-Court dari rumah dan pengadilan akan tampil lebih modern, sederhana, dan semakin
memperkuat akses keadilan. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI