Cari Berita

Nene’ Mallomo, Hakim Legendaris dari Tanah Sidenreng

Andi Ramdhan Adi Saputra - Dandapala Contributor 2025-09-18 13:55:32
Foto ilustrasi kerajaan Sidenreng (Dok. Kompas.com)

Nene’ Mallomo merupakan salah satu legenda yang hidup dari Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Diperkirakan hidup pada abad ke-16 Masehi. Ia merupakan simbol kebijaksanaan sebagai hakim yang tegas, yang tak segan menghukum mati anak kandungnya.

Nene’ Mallomo hanyalah gelar yang melekat padanya, nama aslinya adalah La Pagala. Dalam Bahasa Bugis Kata “mallomo” berarti memudahkan, yang dimaknai sebagai “pemberi kemudahan”, sedangkan “nene” berarti orang yang dituakan dan dihormati oleh kalangan masyarakat Bugis.

La Pagala hidup di masa pemerintahan Raja La Patiroi dari Kerajaan Sidenreng, oleh raja inilah, La Pagala atau Nene’ Mallomo diangkat menjadi penasihat Kerajaan sekaligus sebagai hakim. Kombinasi kecerdasan, kebijaksanaan, dan ketegasannya membuat Kerajaan Sidenreng menjadi sejahtera, hasil bumi melimpah, hewan ternak sehat tanpa penyakit, rakyat makmur berkecukupan.

Baca Juga: Eksistensi Alat Bukti Bekas Hak Milik Adat Dalam Sengketa Hak Atas Tanah

Pemerintah dan rakyat bahu membahu membangun kerajaan dengan kerja keras dan integritas. Sebuah falsafah (pappaseng) Bugis yang menjadi pegangan masyarakat Sidenreng pada saat itu, yakni “Resopa temmangingi namalomo naletei pammase dewata", yang berarti “hanya dengan kerja keras, akan mendatangkan keberkahan dari Tuhan”.


Dikisahkan beberapa tahun setelah masa kejayaannya, Kerajaan Sidenreng kemudian dilanda kemarau panjang. Tiga tahun hujan tak kunjung turun, sawah kering tak bisa ditanami, ternak kurus dan tak sedikit yang mati, rakyat menjadi resah. Atas kejadian itu Raja Lapatiroi  memanggil Nene’ Mallomo untuk menghadap.


Raja La Patiroi mempertanyakan apa yang terjadi di kerajaannya, Nene Mallomo memastikan adanya pelanggaran hukum adat di wilayah Kerajaan, sehingga Tuhan murka dan menurunkan bencana. Kemudian Raja La Patiroi memerintahkan Nene’ Mallomo untuk menyelidiki siapa yang melakukan pelanggaran dan pelanggaran apa yang telah dilakukan.


Dikisahkan setelah dilakukan penyelidikan, ternyata ditemukan informasi bahwa seorang petani telah mengambil sebatang kayu orang lain tanpa izin. Orang tersebut tiada lain adalah putra kandung Nene’ Mallomo sendiri.


Kemudian di hadapan raja, Nene’ Mallomo memerintahkan agar anaknya di hadapkan di persidangan Kerajaan. Nene’ Mallomo sendiri bertindak sebagai hakimnya, dan menanyakan kebenaran informasi tersebut kepada putranya.

Dan ternyata putranya membenarkan, bahwa 3 tahun lalu, Ia membajak sawah namun sisir salaga (alat pembajak sawah) miliknya patah. Oleh karena kebingungan, Ia mencari-cari dan akhirnya Ia menemukan setangkai kayu milik tetangganya untuk memperbaiki sisir salaganya.

Putranya memohon ampun, namun Nene’ Mallomo bergeming, menurutnya karena perbuatan putranya seluruh rakyat Sidenreng mengalami bencana, sehingga Ia memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada putranya.

Atas hukuman tersebut, Raja Patiroi merasa tak tega, sehingga meminta agar Nene’ Mallomo menganulir hukumannya, namun Ia tetap berpegang pada putusan yang telah diucapkan, dan memerintahkan eksekusi dilakukan, dengan terlebih dahulu meminta putranya memohon ampun kepada seluruh rakyat Sidenreng. 

Dikisahkan setelahnya Bumi Sidenreng kembali sejahtera dan makmur seperti sedia kala.

Prinsip yang lahir dari ketegasan Nene’ Mallomo, yang menjadi falsafah Bugis hingga saat ini yakni, “Nennia Adek’e Temmakkeana Temmakkeappo”, yang berarti “sungguh adat/hukum itu tidak mengenal anak dan cucu”, bermakna bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dengan prinsip persamaan di hadapan hukum.

Baca Juga: Menelisik Daluarsa Gugatan dalam Perkara Tanah

Ratusan tahun berlalu, Nene’ Mallomo tetap abadi dalam memori masyarakat Bugis, dan mampu menginspirasi bagi hakim-hakim Indonesia saat ini. (zm/ldr)

Referensi : https://budaya-indonesia.org/

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI