Cari Berita

Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Perpajakan di Luar Yurisdiksi Praperadilan

Bony Daniel (Hakim PN Serang) - Dandapala Contributor 2025-11-17 07:00:42
Dok. Ist.

Dalam arsitektur negara hukum, senantiasa terdapat dialektika inheren antara pelaksanaan otoritas negara dalam penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

Institusi Praperadilan, sebagaimana dinormakan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah manifestasi kontrol yudisial esensial untuk menguji legalitas dan proporsionalitas upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum pada fase penyidikan.

Namun, aplikasi kewenangan Praperadilan menghadapi tantangan interpretatif signifikan ketika berhadapan dengan rezim hukum pidana khusus yang memiliki karakteristik prosedural tersendiri, seperti tindak pidana perpajakan.

Baca Juga: Menggali Makna Praperadilan Terhadap Penyitaan

Penegakan hukum perpajakan memiliki sifat sui generis, berada pada irisan krusial antara hukum administrasi dan hukum pidana. Proses ini diawali tahapan fundamental yang disebut Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper).

Berdasarkan Pasal 43A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagaimana diamandemen melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP), Bukper adalah pemeriksaan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan sebelum dilakukan penyidikan.

Diskursus mengenai status yuridis Bukper mengemuka intens pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014, yang memperluas objek Praperadilan mencakup penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Muncul pandangan yang berargumen bahwa dalam pelaksanaan Bukper, terdapat tindakan, seperti peminjaman dokumen dan penyegelan sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 177/PMK.03/2022, yang secara materiil menyerupai upaya paksa, sehingga seharusnya dapat diuji melalui Praperadilan.

Pandangan ini melahirkan disparitas putusan, menciptakan ketidakpastian hukum yang kontraproduktif bagi Wajib Pajak maupun efektivitas penegakan hukum oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Perkembangan terkini melalui Putusan MK Nomor 83/PUU-XXI/2023 memberikan landasan konstitusional definitif untuk mengakhiri polemik ini. Oleh karena itu, diperlukan analisis yuridis mendalam, menggunakan penalaran hukum tertinggi, diksi ilmiah presisi, dan argumentasi kokoh untuk mendudukkan posisi Bukper secara tepat. Pemikiran dalam tulisan ini bertujuan membuktikan secara imperatif bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan bukanlah objek Praperadilan.

Permasalahan hukumnya adalah apakah secara ontologis, berdasarkan kerangka normatif UU KUP dan KUHAP, serta interpretasi konstitusional terkini (khususnya Putusan MK No. 83/PUU-XXI/2023), Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dikualifikasikan sebagai bagian dari penyidikan yang mengandung upaya paksa, sehingga menjadikannya objek yang tunduk pada yurisdiksi lembaga Praperadilan?

Fondasi utama analisis terletak pada pemahaman tepat mengenai demarkasi ontologis antara Penyelidikan dan Penyidikan. KUHAP secara rigid membedakan keduanya. Pasal 1 angka 5 KUHAP mendefinisikan Penyelidikan sebagai tindakan untuk "mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana" guna menentukan kelayakan penyidikan. Sementara Penyidikan (Pasal 1 angka 2 KUHAP) bertujuan "membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya."

Secara normatif, UU KUP eksplisit menempatkan Bukper dalam fase prapenyidikan. Pasal 43A ayat (1) UU KUP menyatakan DJP berwenang melakukan Bukper "sebelum" dilakukan penyidikan. Konstruksi gramatikal ini menegaskan Bukper bukanlah Penyidikan. Doktrin hukum pidana pajak mengafirmasi bahwa Bukper ekuivalen dengan Penyelidikan dalam KUHAP.

Fokus Bukper adalah menemukan eventus criminis (peristiwa pidana), bukan dader (pelaku). Subjek hukum yang diperiksa masih berstatus Wajib Pajak administratif.

Dengan demikian, Bukper adalah tindakan investigatif awal yang kental nuansa hukum administrasi. Praperadilan, berdasarkan Pasal 77 KUHAP dan perluasannya oleh MK, secara eksklusif ditujukan untuk mengawasi tindakan dalam fase Penyidikan yang bersifat pro justitia. Menarik Bukper ke ranah Praperadilan merupakan error in categorization fundamental dalam logika hukum acara pidana.

Aspek krusial berikutnya adalah analisis kritis terhadap ketiadaan upaya paksa pro justitia. Esensi Praperadilan adalah pengujian terhadap upaya paksa yang signifikan merampas hak fundamental individu dalam proses pro justitia. Argumen yang menyatakan Bukper dapat di-praperadilankan bertumpu pada asumsi keliru bahwa tindakan dalam Bukper merupakan upaya paksa. Kewenangan Pemeriksa Bukper (PMK-177/PMK.03/2022) harus dibedakan secara diametral dari penyitaan dan penggeledahan dalam KUHAP.

Kewenangan meminjam dokumen didasarkan pada kewajiban administratif Wajib Pajak (Pasal 28 dan 29 UU KUP). Ini adalah mekanisme pengawasan kepatuhan, bukan penyitaan dalam makna KUHAP.

Penyitaan adalah tindakan pro justitia yang mengambil alih penguasaan benda dan memerlukan izin pengadilan. Peminjaman dokumen dalam Bukper adalah pelaksanaan otoritas administratif. Demikian pula, tindakan Penyegelan adalah tindakan pengamanan sementara untuk mencegah penghilangan barang bukti. Ini bukan penggeledahan yang bertujuan mencari bukti paksa, melainkan tindakan pengamanan untuk menjaga status quo. Tindakan-tindakan ini tidak memenuhi kualifikasi dwang middelen yurisdiksi Praperadilan. Menguji tindakan administratif melalui instrumen pengujian tindakan pro justitia adalah error in procedure.

Argumentasi ini menemukan peneguhan konstitusionalnya yang paling definitif melalui Putusan MK Nomor 83/PUU-XXI/2023. Putusan ini merupakan landmark decision yang memberikan batasan konstitusional jelas dan otoritatif. Dalam pertimbangannya, MK secara eksplisit menyamakan kedudukan Bukper dengan Penyelidikan dalam KUHAP.

Konsekuensi logisnya adalah segala tindakan bersifat upaya paksa, domain eksklusif Penyidikan, tidak boleh dilakukan dalam tahap Bukper. Amar putusan menyatakan Pasal 43A ayat (1) UU KUP inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "tidak terdapat tindakan upaya paksa".

Interpretasi paling logis adalah bahwa MK secara imperatif melarang adanya upaya paksa dalam pelaksanaan Bukper. Karena Praperadilan berfungsi menguji sah atau tidaknya upaya paksa yang telah dilakukan, maka jika secara konstitusional upaya paksa dilarang dalam Bukper, maka Bukper secara ipso facto tidak dapat menjadi objek Praperadilan. Praperadilan menguji eksistensi dan legalitas upaya paksa, bukan ketiadaannya.

Dengan logika a contrario, putusan ini memperkuat argumentasi bahwa Bukper adalah ranah administratif/penyelidikan steril dari upaya paksa. Jika dalam praktiknya terdapat oknum melakukan tindakan melampaui kewenangan, tindakan oknum tersebut melanggar konstitusi, namun tidak mengubah status institusi Bukper menjadi objek Praperadilan. Pelanggaran tersebut dapat diuji melalui mekanisme hukum lain, seperti gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Selain interpretasi konstitusional, karakteristik inheren hukum pidana pajak sebagai lex specialis semakin memperkuat argumentasi ini. Penegakan hukum pajak tidak semata bertujuan retributif, tetapi sangat berorientasi restoratif (pemulihan keuangan negara).

Asas ultimum remedium sangat kental mewarnai penegakan hukum ini. Struktur ini termanifestasi dalam mekanisme Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan (Pasal 8 ayat 3 UU KUP). Mekanisme ini memungkinkan Wajib Pajak menghentikan proses Bukper dengan melunasi kekurangan pajak beserta sanksi administrasi. Adanya "pintu keluar" administratif ini menunjukkan Bukper belum sepenuhnya berada dalam rezim pidana murni. Bukper berfungsi sebagai filter administratif efisien sebelum eskalasi pidana. Mengintervensi proses ini melalui Praperadilan akan mendelegitimasi kekhususan hukum acara pidana perpajakan dan menghambat pemulihan kerugian negara.

Akhirnya, koherensi sistemik dan kebutuhan akan kepastian hukum juga mendukung posisi ini. Mahkamah Agung, sebagai puncak kekuasaan kehakiman, berperan menjaga kesatuan penerapan hukum. Melalui instrumen seperti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016, yang menegaskan sifat restriktif Praperadilan dengan melarang Peninjauan Kembali atas putusannya, serta melalui pemberlakuan rumusan Rapat Pleno Kamar (sebagaimana dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2021 dan SEMA Nomor 3 Tahun 2023), MA berupaya memastikan konsistensi putusan.

Dalam konteks Bukper, meskipun terdapat disparitas putusan di masa lalu, kepastian hukum kini telah ditegakkan melalui interpretasi konstitusional MK. Interpretasi ini seyogianya menjadi pedoman utama untuk menolak permohonan Praperadilan atas Bukper, demi menjaga integritas sistem hukum acara pidana khusus perpajakan. (ldr)

Baca Juga: Tertutupnya Pintu Upaya Hukum Putusan Praperadilan: Suatu Tinjauan Filosofi


Tulisan ini pendapat pribadi penulis yang tidak mewakili pendapat lembaga.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…