Pidana mati menjadi isu menarik
karena meskipun telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), penerapannya masih menimbulkan
pro dan kontra, baik di tengah masyarakat maupun di kalangan ahli hukum pidana.
Sebagian
pihak menilai pidana mati tidak tepat dijadikan sanksi karena dianggap
bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya hak hidup, serta tidak sejalan
dengan prinsip pemidanaan yang menekankan pada resosialisasi atau
pemasyarakatan terpidana.
Sebaliknya,
kelompok yang mendukung pidana mati berpendapat bahwa sanksi ini merupakan
upaya efektif untuk menekan angka kejahatan yang semakin sulit dikendalikan.
Mereka menegaskan pidana mati tidak bertentangan dengan hak asasi manusia,
karena perlindungan justru lebih diutamakan bagi korban, bukan pelaku. Pada
perspektif agama, hukuman mati juga dipandang memiliki ruang legitimasi sebagai
konsekuensi dari perbuatan tertentu.
Baca Juga: Pidana Mati: Melawan Takdir Tuhan atau Menjalankan Takdir Tuhan?
Penerapan pidana mati di Indonesia terdapat dalam
beberapa pasal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Di luar KUHP,
tercatat setidaknya ada 6 peraturan perundang-undangan yang di dalamnya
terdapat ancaman hukuman mati, semisal Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang
Pengadilan HAM, Undang-Undang Anti Terorisme, Undang-Undang Psikotropika,
Undang-Undang Darurat Senjata Api, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Hukum pidana dalam perkembangannya selalu dan akan terus
berupaya mewujudkan pembaharuan hukum dalam artian pada koridor hukum pidana
materiil atau hukum pidana secara substantif, begitu juga dalam koridor hukum
pidana formil atau dari segi hukum acara pidana beserta hukum pelaksanaannya
atau yang disebut dengan strafvollstreckungsgesetz
(Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, 2008).
Seluruh ketersinambungan tersebut tak lain dan tak bukan
dalam rangka mewujudkan kerangka hukum nasional yang ditujukan untuk memenuhi
kepentingan nasional yang mana berdasarkan pada ideologi Pancasila serta
konstitusi dasar yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
KUHP Baru menjadikan
pidana mati sebagai pidana khusus mengikuti perkembangan dunia. Hal ini sejalan
dengan tujuan pidana saat ini bukan hanya penjeraan tetapi juga pemulihan.
Sejak resmi menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), ternyata masih memuat ketentuan tentang
pidana mati. Tapi pidana mati yang diatur dalam undang-undang pidana baru
tersebut sifatnya alternatif, karena hukuman itu dapat diubah menjadi hukuman
seumur hidup sepanjang terpidana mampu memenuhi syarat tertentu. Seperti
berkelakuan baik selama masa percobaan 10 tahun.
Ke depan,
pidana mati dengan masa percobaan ini harus dimuat dalam putusan pengadilan.
Apabila terpidana dalam kurun 10 tahun masa percobaan menunjukkan perubahan
sikap dan perbuatan terpuji, hukuman mati dapat diubah menjadi penjara seumur
hidup.
Perubahan
hukuman ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA). Namun, apabila terpidana sepanjang masa
percobaan tidak ada perubahan sikap dan tidak ada harapan untuk diperbaiki,
maka hukuman mati tetap dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Dalam penjatuhan
pidana mati berdasarkan KUHP Baru di atas, hakim yang menjatuhkan putusan
sangat berperan penting untuk menjatuhkan pidana mati serta syarat masa
percobaan selama 10 tahun yang dituangkan dalam pertimbangan serta dalam amar
putusan.
Permasalahan
yang mungkin akan muncul, bagaimana Hakim menilai rasa penyesalan terdakwa dan
adanya harapan untuk memperbaiki diri?
Meskipun
dimaksudkan untuk memberikan ruang humanisasi dan memperhatikan aspek
rehabilitasi pelaku, pengaturan ini justru menimbulkan persoalan baru. Kaburnya
norma tersebut tampak pada kriteria seperti “sikap menyesal” dan “harapan
memperbaiki diri” yang bersifat subjektif dan tidak memiliki standar ukur yang
jelas. Tidak ada parameter normatif yang menentukan siapa, bagaimana, dan
dengan alat ukur apa penilaian itu dilakukan.
Pedoman
teknis mengenai standar ukur “rasa penyesalan terdakwa dan harapan memperbaiki
diri” nampaknya perlu menjadi perhatian para pemangku kebijakan, khususnya
sebagai pegangan bagi Hakim yang akan menjatuhkan pidana mati dengan masa
percobaan, sebab melalui pertimbangan dan amarnya lah gerbang masuk
terlaksananya ketentuan Pasal 100 ayat (1) huruf a KUHP Baru.
Selain itu,
lembaga mana yang berwenang menilai perbaikan diri terpidana? Kekosongan
pedoman teknis ini menimbulkan potensi ketidakpastian hukum dan perbedaan
interpretasi di antara aparat penegak hukum.
Mahkamah Agung
sebagai pemegang kekuasan kehakiman yang berperan yang memberikan pertimbangan
kepada Presiden atas perubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup (Pasal
100 ayat (4) KUHP Baru), perlu berupaya untuk memberikan penguatan peran Hakim
Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat) untuk menilai sikap dan perbuatan terpuji
terpidana selama menjalani masa percobaan 10 tahun.
Baca Juga: Dari Tiang Eksekusi ke Meja Refleksi, Evolusi Pidana Mati dalam Reformasi Hukum Pidana
Sebab,
perincian tugas ”pengamatan” Hakim Wasmat telah tertuang sejak terbitnya Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas
Hakim Pengawas dan Pengamat, yang telah merinci tugas pengamatan yaitu
mengumpulkan data-data tentang perilaku narapidana yang berpedoman pada
faktor tipe perbuatan, keadaan rumah tangga dan perhatian keluarga, keadaan
lingkungan, catatan pekerjaan dan catatan kepribadian. Selain itu dalam SEMA
Nomor 7 Tahun 1985 pun telah menyebutkan agar Hakim Wasmat mengadakan evaluasi mengenai
hubungan antara perilaku narapidana dengan pidana yang dijatuhkan.
Dari uraian di atas, tidak berlebihan apabila dalam menentukan kelayakan perubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup menjadi peran Hakim Wasmat dalam pelaksanaan tugas Pengawasan dan Pengamatannya. (zm/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI