TIDAK jarang terdapat perbedaan signifikan antara tuntutan jaksa dengan putusan hakim. Bahkan hakim tingkat pertama dan tingkat banding acapkali terjadi perbedaan mencolok soal beratnya hukuman (strafmaat). Bagaimana kita harus melihatnya?
Sebagai ilustrasi, ada jaksa menuntut pidana penjara 4 tahun, namun hakim Pengadilan Negeri memutus 7 tahun penjara. Kemudian Pengadilan Tinggi memperberat menjadi 9 tahun penjara. Fenomena ini menimbulkan beberapa pertanyaan kritis: Apakah terdapat perbedaan penilaian yang mendasar terhadap berat ringannya perbuatan terdakwa? Bagaimana harmonisasi antara perspektif penuntut umum dan hakim dalam menilai suatu tindak pidana? Sejauh mana disparitas vonis ini dapat diterima dalam koridor keadilan? Dan yang tidak kalah penting, bagaimana sistem peradilan dapat menjamin keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat?
Disparitas vonis dalam sistem peradilan pidana Indonesia bukanlah fenomena baru, melainkan telah menjadi isu klasik yang berkembang di tengah masyarakat. Fenomena ini menyeruak kembali setiap kali terjadi peristiwa penting yang mendapat perhatian publik luas. Dalam ranah pidana, masyarakat masih sering menganggap perbedaan penjatuhan hukuman pada perkara sejenis sebagai manifestasi ketidakadilan sistem peradilan.
Baca Juga: Quo Vadis Pasal 54 KUHP, Jawaban Atas Disparitas Putusan Pidana?
Putusan pengadilan senantiasa bersifat kontekstual dan kasuistis. Kekhasan tersebut menimbulkan kesan bahwa antara putusan satu dengan yang lain tidak sama, bahkan dapat menimbulkan persepsi inkonsistensi. Namun, ada banyak faktor yang mempengaruhi tidak seragamnya putusan pengadilan.
Pertama, perbedaan kasus perkara yang biasanya memiliki pola-pola perbuatan tidak sama, keunikan tersendiri, dan bahkan keadaan khusus yang menjadi pembedanya.
Kedua, perkembangan aturan hukum seperti aturan baru yang menggantikan aturan lama (lex posterior derogat legi priori).
Ketiga, perbedaan paradigma antar hakim pada saat mengadili suatu perkara yang menyebabkan munculnya perbedaan perspektif dalam menyusun pertimbangan hukum.
Variabel lain yang mempengaruhi adalah pola susunan majelis hakim pemeriksa perkara. Hal ini berkaitan dengan unsur subjektif antar hakim yang akan mempengaruhi hasil akhir putusan pengadilan. Bahkan, cara pandang hakim di suatu wilayah tertentu dengan wilayah lain dapat berbeda mengingat adanya faktor pengaruh eksternal seperti pengaruh adat budaya dan kebiasaan masyarakat setempat dimana hakim bertugas, yang menyebabkan pola pikir antar hakim cenderung tidak sama.
Perbedaan perspektif antara jaksa penuntut umum dan hakim juga memberikan kontribusi signifikan terhadap disparitas vonis. Jaksa penuntut umum cenderung fokus pada aspek pembuktian dan kecukupan alat bukti, mempertimbangkan kemungkinan keberhasilan dalam upaya hukum, serta menilai secara konservatif untuk menghindari putusan lepas atau bebas. Sebaliknya, hakim melakukan penilaian komprehensif terhadap seluruh aspek perkara, mempertimbangkan dampak sosial dan efek jera, serta memiliki kebebasan dalam menilai berat ringannya perbuatan berdasarkan keyakinan hukumnya.
Sentencing Guidelines
Untuk mempersempit disparitas starfmaat, maka sudah tepat diberlakukan sentencing guidelines. Sentencing guidelines berperan penting sebagai katalis ideal guna mereduksi disparitas penjatuhan pidana. Artinya, pencantuman pertimbangan sentencing guidelines dalam putusan wajib dan harus dalam rangka memenuhi harapan masyarakat akan putusan yang berkeadilan, proporsional, dan ideal. Namun, implementasinya menghadapi tantangan utama dari internal korps hakim berupa resistensi terhadap perubahan paradigma, keengganan menggunakan pedoman yang dipandang membatasi diskresi, dan perlunya pelatihan intensif untuk memahami nuansa sentencing guidelines. Dari sisi masyarakat, tantangannya adalah kurangnya pemahaman tentang pergeseran paradigma hukum pidana, ekspektasi yang tidak realistis terhadap keseragaman mutlak putusan, dan perlunya edukasi tentang kompleksitas pertimbangan pemidanaan.
Keniscayaan implementasi sentencing guidelines perlu mendapat dukungan dari hakim dan masyarakat. Hakim harus mampu benar-benar menggali dan mempertimbangkan sentencing guidelines dalam setiap putusannya. Hakim perkara pidana secara nurani memiliki kewajiban menjelaskan secara benar dan wajar tentang apa yang diputuskan kepada terpidana dan masyarakat. Selain itu, masyarakat diharapkan bersikap objektif ketika menilai sebuah putusan. Guna mengetahui adanya disparitas putusan, wajib ada narasi komprehensif atau setidaknya kerelaan diri untuk sungguh-sungguh memahami keseluruhan pertimbangan hakim. Memahami bagaimana hukuman diputuskan penting guna menentukan pemidanaan sudah adil dan proporsional atau tidak.
Mahkamah Agung telah memberikan sinyal kuat melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Perma ini lahir dari kondisi disparitas putusan tipikor dan bertujuan menciptakan kepastian serta proporsionalitas dalam penjatuhan pidana tipikor, menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa. Adanya Perma ini menjadi sinyal kuat bahwa pedoman pemidanaan dibutuhkan untuk mewujudkan putusan pengadilan yang ideal.
Selain itu, KUHP Nasional memposisikan sentencing guidelines sebagai elemen wajib dalam putusan. Formula pemidanaan berubah menjadi kumulasi: Tindak Pidana + Pertanggungjawaban Pidana + Tujuan Pemidanaan + Pedoman Pemidanaan = Putusan Ideal. Dengan adanya pedoman pemidanaan, rumusan pemidanaan menjadi lebih komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Reformasi Sistem Pemidanaan
Disparitas vonis dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan fenomena kompleks yang memerlukan pendekatan holistik. Pada akhirnya, menakar rasa keadilan memerlukan keseimbangan antara konsistensi dan fleksibilitas, antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Sistem peradilan yang ideal adalah yang mampu memberikan putusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan dapat diterima secara sosial, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip equality before the law.
Rasa keadilan tidak dapat diukur semata-mata dari angka tahun penjara yang dijatuhkan, tetapi merupakan konsep kompleks yang mencakup keadilan retributif (pembalasan yang setimpal), keadilan restoratif (pemulihan kerusakan), dan keadilan distributif (kesetaraan perlakuan). Disparitas vonis yang dapat dijelaskan melalui pertimbangan hukum yang objektif dan komprehensif berdasarkan sentencing guidelines merupakan dinamika normal sistem peradilan. Sebaliknya, disparitas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan harus dieliminasi melalui reformasi sistem yang berkelanjutan dan implementasi pedoman pemidanaan yang efektif.
Untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih adil dan dapat diprediksi, diperlukan reformasi sistem pemidanaan melalui pengembangan pedoman pemidanaan yang lebih detail, peningkatan kapasitas penegak hukum melalui pelatihan berkala dan harmonisasi, transparansi dan akuntabilitas dalam publikasi data dan analisis putusan. Serta penelitian berkelanjutan untuk evaluasi efektivitas dan pengembangan instrumen pengukuran keadilan yang lebih objektif. Hanya dengan pendekatan komprehensif inilah disparitas vonis dapat diminimalkan tanpa mengorbankan esensi keadilan itu sendiri.
Sunoto SH MH
Hakim PN Jakpus/Hakim Tipikor
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI