Cari Berita

Refleksi Natal: Kesederhanaan Sang Imanuel Bersama Kelompok Rentan

Samuel Fajar Hotmangara Tua Siahaan-Hakim PN Manna - Dandapala Contributor 2025-12-25 12:00:57
Dok. Penulis.

Natal adalah hari raya umat Kristen untuk mengenang kelahiran Tuhan Yesus Kristus di dunia. Di dalam tradisi dan kalender Gerejawi, Natal mulai dirayakan sejak berakhirnya masa Advent, yakni pada tanggal 25 Desember, serta berakhir sebelum dimulainya masa Epifani pada tanggal 6 Januari, yang mana dikenal sebagai 12 (Dua Belas) Hari Natal (The Twelve Days of Christmas).

Natal pertama terjadi di Betlehem sekitar akhir abad pertama Sebelum Masehi (para ahli memprediksi terjadi sekitar tahun 7-1 SM). Kelahiran Tuhan Yesus Kristus menimbulkan paradoks bagi dunia. Di satu sisi sebelum kelahiran-Nya, Malaikat Gabriel memberitakan bahwa Dia yang akan lahir adalah Imanuel, yakni Allah menyertai kita. Pesan Gabriel ini merupakan realita Ilahi karena Sang Anak yang akan lahir adalah Anak Allah, yakni Pribadi Kedua dari Allah Tritunggal, Allah dari Allah, Dia yang diperanakkan sejak kekal oleh Bapa-Nya di dalam Roh Kudus. Namun di sisi lain, tidak ada pesta meriah penyambutan kelahiran-Nya di dunia, melainkan kesederhanaan bersama kelompok marjinal. Di dalam Natal pertama, setidaknya terdapat 3 (tiga) kesederhanaan yang dirayakan oleh 3 (tiga) kaum marjinal pada masanya.

Ketiga kesederhanaan tersebut tergambar dalam kenosis-Nya dalam inkarnasi, kehadiran-Nya dalam keluarga tukang kayu, dan kelahiran-Nya di kandang domba. Kenosis adalah doktrin kristologi yang mengajarkan bahwa sekalipun Tuhan Yesus Kristus setara dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, namun sejak inkarnasi dalam fase perendahan-Nya (status exinanitio), Dia mengenyampingkan sementara atribut Ilahi-Nya, sehingga Dia serupa dengan manusia biasa. Status exinanitio dimulai sejak pengandungan-Nya sampai pada wafat-Nya. Selama masa pengandungan-Nya, Sang Firman Pencipta rela berdiam dan bertumbuh secara insani dengan, dalam, dan melalui rahim Maria sang anak dara. Setelah kelahiran-Nya pun, Sang Raja Sorga memilih keluarga tukang kayu sederhana sebagai keluarga-Nya, yaitu Yusuf sang tunangan Maria. Bahkan Sang Jalan memilih lahir di kandang domba, tepat-Nya di dalam palungan ternak, ketika para penduduk tidak memberikan jalan masuk ke dalam rumah mereka di tengah dini hari yang gelap nan dingin.

Baca Juga: Kesederhanaan Hidup: Benteng Integritas, Nilai Keagamaan dan Perlindungan Sosial

Namun kesederhanaan Natal tersebut dirayakan secara nikmat oleh 3 (tiga) kelompok marjinal yang rentan akan diskriminasi pada masanya.

Pertama kelompok perempuan, yang diwakili seorang anak gadis yang bernama Maria. Tanpa persetubuhan, dia menikmati berdiam-Nya Sang Pengandung Dunia di dalam kandungan-Nya. Dia menerima segala kecurigaan dari para orang dekat-Nya dengan tetap memuliakan Allah.

Kedua Natal dinikmati oleh para gembala yang mewakili kelompok miskin. Di dalam kandang domba, Sang Gembala Sejati rela meletakkan kepala-Nya di atas palungan, serta menjadikan para gembala domba sebagai saksi kelahiran-Nya.

Ketiga Natal dinikmati oleh orang-orang Majus, yakni mewakili kelompok masyarakat gentile atau goyim yang tersisihkan karena perbedaan bangsa dan agama. Di dalam Perjanjian Lama, Allah memilih Abraham, lalu Allah memilih bangsa Israel, lalu Allah memilih benih Raja Daud, yang mana hal tersebut merujuk maksud Allah untuk mempersiapkan kelahiran Anak-Nya dalam Natal. Namun kelahiran tersebut dihadiahkan bukan pertama kali kepada para imam dan ahli Taurat Israel, melahirkan kepada orang-orang bijak dari Timur, yaitu orang-orang Majus.

Nilai kesederhanaan yang diteladani oleh Sang Imanuel sejatinya dapat ditemukan dalam nilai-nilai etika, khususnya nilai perilaku rendah hati yang tercantum dalam kode etik hakim. Kerendah hatian hendak membentuk kesadaran akan keterbatasan dan ketidak angkuhan.

Dengan demikian terdapat jembatan refleksi antara Natal dengan perayaan kesederhanaan karena dengan Kristus Sang Hakim Mahaagung telah mencontohkan-Nya terlebih dahulu melalui kenosis-Nya saat Natal. Terlebih dalam situasi Indonesia yang sedang mengalami duka bencana di beberapa titik daerah, kesederhanaan Natal menjadi perlu ditunjukkan sebagai bentuk empati kepada saudara-saudari yang saat ini terhalang merayakan Natal.

Suka cita kelompok rentan yang terpinggirkan juga menjadi fokus Natal sebagaimana peristiwa Natal pertama. Di masa kini, dalam penegakan hukum, pengadilan telah semakin ramah dengan kelompok rentan pencari keadilan. Guna melindungi hak dan kepentingan hukum kelompok tidak mampu, telah ada ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan. Guna melindungi hak dan kepentingan hukum kelompok perempuan, telah ada ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Guna melindungi hak dan kepentingan hukum kelompok disabilitas, telah ada ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Mengadili Perkara bagi Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum di Pengadilan.

Akhir kata kiranya Natal dapat dirayakan dengan penuh kesederhanaan oleh setiap aparatur pengadilan (khususnya para hakim) yang merayakannya, seperti kesederhanaan Natal pertama Sang Imanuel. Demikian pula kiranya Natal tetap pada kodratnya, yaitu menjadi peristiwa suka cita bagi mereka yang terpinggirkan. Tergenapilah sabda bahagia yang menyatakan, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Matius 5: 3); “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.” (Matius 5: 4).

Baca Juga: Sidang Zitting Plaats di Natal, Upaya Memberikan Keadilan di Tanah Mandailing

Selamat Natal. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. (Lukas 2: 11). (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…