Natal adalah hari raya umat Kristen untuk mengenang
kelahiran Tuhan Yesus Kristus di dunia. Di dalam tradisi dan kalender Gerejawi,
Natal mulai dirayakan sejak berakhirnya masa Advent, yakni pada tanggal 25
Desember, serta berakhir sebelum dimulainya masa Epifani pada tanggal 6
Januari, yang mana dikenal sebagai 12 (Dua Belas) Hari Natal (The Twelve
Days of Christmas).
Natal pertama terjadi di Betlehem sekitar akhir abad
pertama Sebelum Masehi (para ahli memprediksi terjadi sekitar tahun 7-1 SM). Kelahiran
Tuhan Yesus Kristus menimbulkan paradoks bagi dunia. Di satu sisi sebelum
kelahiran-Nya, Malaikat Gabriel memberitakan bahwa Dia yang akan lahir adalah
Imanuel, yakni Allah menyertai kita. Pesan Gabriel ini merupakan realita Ilahi
karena Sang Anak yang akan lahir adalah Anak Allah, yakni Pribadi Kedua dari
Allah Tritunggal, Allah dari Allah, Dia yang diperanakkan sejak kekal oleh
Bapa-Nya di dalam Roh Kudus. Namun di sisi lain, tidak ada pesta meriah
penyambutan kelahiran-Nya di dunia, melainkan kesederhanaan bersama kelompok
marjinal. Di dalam Natal pertama, setidaknya terdapat 3 (tiga) kesederhanaan
yang dirayakan oleh 3 (tiga) kaum marjinal pada masanya.
Ketiga kesederhanaan tersebut tergambar dalam kenosis-Nya
dalam inkarnasi, kehadiran-Nya dalam keluarga tukang kayu, dan kelahiran-Nya di
kandang domba. Kenosis adalah doktrin kristologi yang mengajarkan bahwa
sekalipun Tuhan Yesus Kristus setara dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, namun sejak
inkarnasi dalam fase perendahan-Nya (status exinanitio), Dia
mengenyampingkan sementara atribut Ilahi-Nya, sehingga Dia serupa dengan
manusia biasa. Status exinanitio dimulai sejak pengandungan-Nya sampai
pada wafat-Nya. Selama masa pengandungan-Nya, Sang Firman Pencipta rela berdiam
dan bertumbuh secara insani dengan, dalam, dan melalui rahim Maria sang anak
dara. Setelah kelahiran-Nya pun, Sang Raja Sorga memilih keluarga tukang kayu
sederhana sebagai keluarga-Nya, yaitu Yusuf sang tunangan Maria. Bahkan Sang
Jalan memilih lahir di kandang domba, tepat-Nya di dalam palungan ternak,
ketika para penduduk tidak memberikan jalan masuk ke dalam rumah mereka di
tengah dini hari yang gelap nan dingin.
Baca Juga: Kesederhanaan Hidup: Benteng Integritas, Nilai Keagamaan dan Perlindungan Sosial
Namun kesederhanaan Natal tersebut dirayakan secara nikmat
oleh 3 (tiga) kelompok marjinal yang rentan akan diskriminasi pada masanya.
Pertama kelompok perempuan, yang diwakili
seorang anak gadis yang bernama Maria. Tanpa persetubuhan, dia menikmati
berdiam-Nya Sang Pengandung Dunia di dalam kandungan-Nya. Dia menerima segala
kecurigaan dari para orang dekat-Nya dengan tetap memuliakan Allah.
Kedua Natal dinikmati oleh para gembala yang
mewakili kelompok miskin. Di dalam kandang domba, Sang Gembala Sejati rela
meletakkan kepala-Nya di atas palungan, serta menjadikan para gembala domba sebagai
saksi kelahiran-Nya.
Ketiga Natal dinikmati oleh orang-orang Majus,
yakni mewakili kelompok masyarakat gentile atau goyim yang
tersisihkan karena perbedaan bangsa dan agama. Di dalam Perjanjian Lama, Allah
memilih Abraham, lalu Allah memilih bangsa Israel, lalu Allah memilih benih
Raja Daud, yang mana hal tersebut merujuk maksud Allah untuk mempersiapkan
kelahiran Anak-Nya dalam Natal. Namun kelahiran tersebut dihadiahkan bukan pertama
kali kepada para imam dan ahli Taurat Israel, melahirkan kepada orang-orang
bijak dari Timur, yaitu orang-orang Majus.
Nilai kesederhanaan yang diteladani oleh Sang Imanuel
sejatinya dapat ditemukan dalam nilai-nilai etika, khususnya nilai perilaku
rendah hati yang tercantum dalam kode etik hakim. Kerendah hatian hendak
membentuk kesadaran akan keterbatasan dan ketidak angkuhan.
Dengan demikian terdapat jembatan refleksi antara Natal
dengan perayaan kesederhanaan karena dengan Kristus Sang Hakim Mahaagung telah
mencontohkan-Nya terlebih dahulu melalui kenosis-Nya saat Natal. Terlebih dalam
situasi Indonesia yang sedang mengalami duka bencana di beberapa titik daerah,
kesederhanaan Natal menjadi perlu ditunjukkan sebagai bentuk empati kepada
saudara-saudari yang saat ini terhalang merayakan Natal.
Suka cita kelompok rentan yang terpinggirkan juga menjadi
fokus Natal sebagaimana peristiwa Natal pertama. Di masa kini, dalam penegakan
hukum, pengadilan telah semakin ramah dengan kelompok rentan pencari keadilan.
Guna melindungi hak dan kepentingan hukum kelompok tidak mampu, telah ada
ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian
Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan. Guna melindungi hak
dan kepentingan hukum kelompok perempuan, telah ada ketentuan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan dengan Hukum. Guna melindungi hak dan kepentingan hukum kelompok
disabilitas, telah ada ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2025
tentang Pedoman Mengadili Perkara bagi Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan
Hukum di Pengadilan.
Akhir kata kiranya Natal dapat dirayakan dengan penuh
kesederhanaan oleh setiap aparatur pengadilan (khususnya para hakim) yang
merayakannya, seperti kesederhanaan Natal pertama Sang Imanuel. Demikian pula
kiranya Natal tetap pada kodratnya, yaitu menjadi peristiwa suka cita bagi
mereka yang terpinggirkan. Tergenapilah sabda bahagia yang menyatakan, “Berbahagialah
orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan
Sorga” (Matius 5: 3); “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena
mereka akan dihibur.” (Matius 5: 4).
Baca Juga: Sidang Zitting Plaats di Natal, Upaya Memberikan Keadilan di Tanah Mandailing
Selamat Natal. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat,
yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. (Lukas 2: 11). (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI