Jakarta- Dalam masa pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia, semua elemen masyarakat bahu membahu berjuang dari segala lini. Baik secara kooperatif, atau nonkooperatif. Salah satunya yang dilakukan Susanto Tirtoprodjo.
Hal itu sebagaimana dikutip DANDAPALA, dari buku Drs Susanto Tirtoprodjo SH: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Buku itu ditulis Masykuri yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983.
Susanto Tirtoprodjo lahir di Solo pada 3 Maret 1900. Salah satu adik Susanto Tirtoprodjo, yaitu Wiryono Prodjodikoro belakangan menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) kedua pada 1952-1966. Ayah Susanto, M Ng Rekoprodjo merupakan penewu (pejabat pamong praja setingkat camat) di Kasunanan Surakarta.
Baca Juga: Susanto: Ketua Pengadilan, Menteri, Pimpin Perang Gerilya Lawan Belanda (2)
Sebagai anak priyayi, Susanto Tirtoprodjo bisa menempuh pendidikan yang setara dengan orang Belanda. Yaitu di Europeesche Lageree School di Solo. Setelah lulus dilanjutkan Rechtschool di Batavia dan lulus pada 1920 dengan angka terbaik.
Karena mendapatkan peringkat terbaik, Susanto Tirtoprodjo mendapatkan beasiswa dari Belanda untuk kuliah di Universitas Leiden. Selama menjadi mahasiswa di Belanda, Susanto Tirtoprodjo aktif di gerakan mahasiswa yang mendorong kemerdekaan Indonesia yaitu Perhimpunan Indonesia (PI).
Pada 1925 ia menyelesaikan kuliahnya di Belanda. Sepulangnya ke Indonesia, Susanto Tirtoprodjo lalu berkerja di pengadilan.
“Pada 1925 itu juga Drs Susanto Tirtoprodjo SH pulang ke tanah air dan mulai bekerja di Pengadilan Negeri Solo,” tulis buku di halaman 3.
Selain bekerja di pengadilan, Susanto Tirtoprodjo aktif dalam perjuangan Indonesia merdeka. Namun ia memilih taktik kooperatif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Alasannya untuk menyiapkan sistem dan struktural apabila Indonesia merdeka nantinya. Namun ia menghormati pilihan kawan seperjuannya yang menempuh jalan nonkooperatif dalam meraih kemerdekaan.
“Susanto bersedia diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi pegawai negeri yaitu hakim sesuai dengan pendidikan yang telah ditempuhnya dengan tujuan mendapatkan pengalaman dalam jabatan-jabatan penting agar kelak apabila cita-cita kemerddekaan tercapai, kita telah memiliki tenaga yang berpengalaman dalam jabatan-jabatan penting, terutama dalam pemerintahan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, ia memilih menjadi Kepala Departemen Sosial Ekonomi Partai Indonesia Raya (Parindra), sebuah partai yang dipimpin Dr Sutomo dan merupakan gabungan Boedi Oetomo dan Perserikatan Bangsa Indonesia. Parindra memilih jalan kooperatif dengan Belanda. Susanto Tirtoprodjo mendorong terbentuknya koperasi di berbagai pelosok desa di Jawa Timur dan memberantas lintah darat di desa-desa. Pada 1936, Parindra sudah membentuk serikat sopor, serikat kusir, serikat buruh pelabuhan dan serikat buruh percetakan di berbagai tempat.
Setekah 8 tahun menjadi hakim/ketua pengadilan (1925-1933), Susanto Tirtoprodjo dipindah oleh pemerintah Belanda sebagai Gudeputeerde Dewan Perwakilan Provinsi Jawa Timur pada 1933-1941. Setelah itu, Susanto Tirtoprodjo dipilih menjadi Wali Kota Madiun. Pada 1944-1945 ia menjadi Bupati Pacitan dan setelahnya menjadi Residen Madiun.
Baca Juga: Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië, Pendahulu Mahkamah Agung pada Masa Kolonial Belanda
Setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Soekarno-Hatta, Susanto Tirtoprodjo langsung bergabung dengan kabinet dan ikut menyusun sejumlah agenda penting. Susanto Tirtoprodjo juga dipercaya menjadi Menteri Kehakiman.
Saat terjadi agresi militer, Susanto Tirtoprodjo tidak tinggal diam. Ia memimpin perang gerilya melawan Belanda. Bagaimana kisahnya? Simak terus di artikel selanjutnya.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum