Cari Berita

Tak Ada Satupun yang Dipidana Karena Pemikirannya Sendiri

Dr. Saut Erwin Hartono A. Munthe-Hakim PN Jakarta Selatan Klas IA Khusus - Dandapala Contributor 2025-12-19 15:45:42
Dok. Ist.

Salah satu ukuran utama dari negara hukum yang demokratis adalah kemampuannya melindungi kebebasan berpikir dan berekspresi warganya. Kebebasan ini bukan sekadar hak tambahan, melainkan fondasi bagi lahirnya kritik, diskursus publik, dan kontrol terhadap kekuasaan.

Konstitusi Indonesia secara eksplisit menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dipisahkan dari martabat manusia. Namun dalam praktik penegakan hukum pidana, jaminan tersebut kerap berhadapan dengan pasal-pasal yang justru digunakan untuk membatasi, bahkan menghukum, ekspresi pikiran warga negara

Ketegangan antara kebebasan berekspresi dan hukum pidana bukanlah fenomena baru. Sejak lama, pasal-pasal penghinaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, hingga makar menjadi instrumen yang sering digunakan untuk merespons ekspresi kritis, terutama yang diarahkan kepada kekuasaan.

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

Masalah utamanya bukan hanya pada keberadaan norma pidana tersebut, melainkan pada cara penafsiran dan penerapannya yang sering kali mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Akibatnya, hukum pidana berisiko bergeser dari alat perlindungan kepentingan publik menjadi sarana pembungkaman suara yang tidak sejalan.

Dalam konteks ini, adagium klasik cogitationis poenam nemo patitur (tidak seorang pun dapat dipidana karena pikirannya) memiliki relevansi yang sangat kuat. Prinsip ini menegaskan bahwa hukum pidana hanya boleh menyentuh perbuatan lahiriah yang nyata dan berbahaya, bukan pikiran, keyakinan, atau pendapat yang hidup dalam ruang batin seseorang. Ketika ekspresi pikiran diperlakukan sebagai kejahatan, maka sesungguhnya negara sedang melangkah ke wilayah yang berbahaya: mengontrol pikiran warganya.

Pengalaman praktik peradilan menunjukkan bahwa perbedaan antara kritik yang sah dan tindak pidana sering kali menjadi kabur. Dalam perkara pencemaran nama baik, misalnya, tidak jarang pengadilan mengabaikan unsur niat jahat yang spesifik, sehingga setiap pernyataan yang dirasa merugikan pihak tertentu dapat dengan mudah ditarik ke ranah pidana.

Kritik berbasis data, pendapat akademik, atau ekspresi kepentingan publik sering kali diperlakukan setara dengan serangan terhadap kehormatan pribadi. Padahal, dalam negara demokratis, kritik terhadap pejabat publik justru merupakan bagian dari mekanisme akuntabilitas.

Situasi menjadi semakin problematik ketika ekspresi politik diseret ke dalam delik makar. Ekspresi simbolik, pernyataan sikap, atau kritik keras terhadap pemerintah yang disampaikan secara damai kerap dipandang sebagai ancaman terhadap negara, meskipun tidak terdapat unsur kekerasan maupun permulaan pelaksanaan yang nyata. Penafsiran semacam ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip hukum pidana modern, tetapi juga menggerus esensi kebebasan berekspresi sebagai hak yang mendapat perlindungan paling tinggi.

Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2023 seharusnya menjadi momentum koreksi terhadap praktik tersebut. Secara normatif, KUHP baru mengklaim diri berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Namun, pembaruan norma tidak otomatis menjamin pembaruan praktik. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan ekspresi, khususnya penghinaan terhadap Presiden, lembaga negara, dan kekuasaan umum, masih menyisakan ruang penafsiran yang lentur. Tanpa panduan penafsiran yang tegas dan berbasis HAM, pasal-pasal tersebut berpotensi kembali digunakan untuk membungkam kritik yang sah.

Kekhawatiran lain muncul dari pengakuan terhadap “hukum yang hidup dalam masyarakat”. Konsep ini memiliki nilai sosiologis, tetapi juga menyimpan risiko serius. Jika tidak dikontrol secara ketat, standar moral mayoritas dapat dijadikan dasar untuk menghukum ekspresi yang berbeda, meskipun ekspresi tersebut tidak menimbulkan bahaya nyata. Dalam konteks ini, kebebasan berekspresi dapat dikorbankan atas nama kepatutan sosial yang bersifat subjektif.

Di tengah situasi tersebut, putusan pengadilan yang progresif menjadi sangat penting. Perkara Haris Azhar, misalnya, menunjukkan bahwa pengadilan dapat memainkan peran strategis sebagai benteng terakhir perlindungan kebebasan berekspresi.

Dengan menempatkan konteks kepentingan publik, posisi terdakwa, dan substansi kritik sebagai pertimbangan utama, pengadilan menegaskan bahwa hukum pidana tidak boleh digunakan untuk membungkam suara kritis. Putusan semacam ini membuktikan bahwa perlindungan kebebasan berekspresi bukanlah utopia, melainkan pilihan yuridis yang sah dan mungkin.

Peran amicus curiae dalam perkara-perkara kebebasan berekspresi juga patut diapresiasi. Pandangan dari masyarakat sipil membantu hakim melihat perkara secara lebih komprehensif, termasuk dampak struktural pemidanaan ekspresi terhadap demokrasi dan partisipasi publik.

Dalam sistem peradilan yang masih cenderung positivistik, amicus curiae berfungsi sebagai jembatan antara norma HAM internasional dan praktik hukum nasional. Kehadirannya bukan ancaman terhadap independensi hakim, melainkan pengayaan terhadap kualitas pertimbangan hukum.

Pada titik inilah adagium cogitationis poenam nemo patitur menemukan maknanya yang paling aktual. Prinsip ini menuntut kehati-hatian ekstra dalam menggunakan hukum pidana terhadap ekspresi. Tidak setiap pernyataan yang menyinggung, tidak setiap pendapat yang berbeda, dan tidak setiap kritik yang keras layak dipidanakan. Hukum pidana harus dibatasi pada perbuatan yang benar-benar menimbulkan bahaya nyata dan terukur terhadap kepentingan hukum yang sah.

Menghukum seseorang karena pikirannya atau karena ekspresi damai dari pikiran tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip negara hukum. Negara hukum yang sejati justru diuji ketika berhadapan dengan ekspresi yang tidak nyaman, keras, atau kritis. Apakah negara mampu menahan diri untuk tidak menggunakan hukum pidana sebagai alat pembalas, atau justru tergoda untuk membungkam demi stabilitas semu?

Baca Juga: Jalan Tengah: Solusi Alternatif Penyelesaian dalam Pelanggaran HAM Berat

Pada akhirnya, kualitas demokrasi tidak diukur dari seberapa banyak warga yang dapat dipidanakan karena ucapannya, melainkan dari sejauh mana negara mampu melindungi ruang kebebasan berpikir dan berekspresi. Selama hukum pidana masih digunakan untuk menghukum pikiran, maka adagium tak ada satu pun yang dihukum karena pemikirannya sendiri akan tetap menjadi cita-cita, bukan kenyataan. Tugas aparat penegak hukum dan pengadilanlah untuk menjadikan prinsip tersebut hidup dalam praktik, bukan sekadar hiasan dalam buku teks hukum. (ldr/asp)

Referensi:

  • Amicus Brief, Orang Tidak Boleh dimasukkan ke dalam Penjara Karena Mengekspresikan Pandangan Mereka, Elsam, 2023
  • Dian Rositawati, et al, Melindung Ekspresi: Analisis Pidana dan HAM Putusan Pengadilan di Indonesia, LeIP
  • Eddy OS Hiariej et al, Dasar-dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah, Teori, Asas, dan Filsafat Hukum, Rajagrafindo Persada
  • Mentari Anjhanie Ramadhianty et al, Kumpulan Putusan-Putusan Penting (Landmark Decisions) Penerapan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan dan Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo
  • Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP
  • Putusan Nomor 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt Tim

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…