Salah satu ukuran utama dari negara hukum yang demokratis adalah kemampuannya melindungi kebebasan berpikir dan berekspresi warganya. Kebebasan ini bukan sekadar hak tambahan, melainkan fondasi bagi lahirnya kritik, diskursus publik, dan kontrol terhadap kekuasaan.
Konstitusi
Indonesia secara eksplisit menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi
sebagai bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dipisahkan dari martabat
manusia. Namun dalam praktik penegakan hukum pidana, jaminan tersebut kerap
berhadapan dengan pasal-pasal yang justru digunakan untuk membatasi, bahkan
menghukum, ekspresi pikiran warga negara
Ketegangan antara kebebasan berekspresi dan hukum pidana bukanlah fenomena baru. Sejak lama, pasal-pasal penghinaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, hingga makar menjadi instrumen yang sering digunakan untuk merespons ekspresi kritis, terutama yang diarahkan kepada kekuasaan.
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Masalah utamanya bukan hanya pada keberadaan norma pidana tersebut,
melainkan pada cara penafsiran dan penerapannya yang sering kali mengabaikan
prinsip-prinsip hak asasi manusia. Akibatnya, hukum pidana berisiko bergeser
dari alat perlindungan kepentingan publik menjadi sarana pembungkaman suara
yang tidak sejalan.
Dalam konteks ini, adagium klasik cogitationis
poenam nemo patitur (tidak seorang pun dapat dipidana karena pikirannya) memiliki
relevansi yang sangat kuat. Prinsip ini menegaskan bahwa hukum pidana hanya
boleh menyentuh perbuatan lahiriah yang nyata dan berbahaya, bukan pikiran,
keyakinan, atau pendapat yang hidup dalam ruang batin seseorang. Ketika
ekspresi pikiran diperlakukan sebagai kejahatan, maka sesungguhnya negara
sedang melangkah ke wilayah yang berbahaya: mengontrol pikiran warganya.
Pengalaman praktik peradilan menunjukkan bahwa perbedaan antara kritik yang sah dan tindak pidana sering kali menjadi kabur. Dalam perkara pencemaran nama baik, misalnya, tidak jarang pengadilan mengabaikan unsur niat jahat yang spesifik, sehingga setiap pernyataan yang dirasa merugikan pihak tertentu dapat dengan mudah ditarik ke ranah pidana.
Kritik berbasis data, pendapat akademik, atau ekspresi kepentingan publik
sering kali diperlakukan setara dengan serangan terhadap kehormatan pribadi.
Padahal, dalam negara demokratis, kritik terhadap pejabat publik justru
merupakan bagian dari mekanisme akuntabilitas.
Situasi menjadi semakin problematik ketika ekspresi
politik diseret ke dalam delik makar. Ekspresi simbolik, pernyataan sikap, atau
kritik keras terhadap pemerintah yang disampaikan secara damai kerap dipandang
sebagai ancaman terhadap negara, meskipun tidak terdapat unsur kekerasan maupun
permulaan pelaksanaan yang nyata. Penafsiran semacam ini tidak hanya
bertentangan dengan prinsip hukum pidana modern, tetapi juga menggerus esensi
kebebasan berekspresi sebagai hak yang mendapat perlindungan paling tinggi.
Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2023 seharusnya menjadi momentum koreksi terhadap praktik tersebut. Secara normatif, KUHP baru mengklaim diri berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Namun, pembaruan norma tidak otomatis menjamin
pembaruan praktik. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan ekspresi, khususnya
penghinaan terhadap Presiden, lembaga negara, dan kekuasaan umum, masih
menyisakan ruang penafsiran yang lentur. Tanpa panduan penafsiran yang tegas
dan berbasis HAM, pasal-pasal tersebut berpotensi kembali digunakan untuk
membungkam kritik yang sah.
Kekhawatiran lain muncul dari pengakuan terhadap
“hukum yang hidup dalam masyarakat”. Konsep ini memiliki nilai sosiologis,
tetapi juga menyimpan risiko serius. Jika tidak dikontrol secara ketat, standar
moral mayoritas dapat dijadikan dasar untuk menghukum ekspresi yang berbeda,
meskipun ekspresi tersebut tidak menimbulkan bahaya nyata. Dalam konteks ini,
kebebasan berekspresi dapat dikorbankan atas nama kepatutan sosial yang
bersifat subjektif.
Di tengah situasi tersebut, putusan pengadilan yang progresif menjadi sangat penting. Perkara Haris Azhar, misalnya, menunjukkan bahwa pengadilan dapat memainkan peran strategis sebagai benteng terakhir perlindungan kebebasan berekspresi.
Dengan menempatkan konteks kepentingan
publik, posisi terdakwa, dan substansi kritik sebagai pertimbangan utama,
pengadilan menegaskan bahwa hukum pidana tidak boleh digunakan untuk membungkam
suara kritis. Putusan semacam ini membuktikan bahwa perlindungan kebebasan
berekspresi bukanlah utopia, melainkan pilihan yuridis yang sah dan mungkin.
Peran amicus curiae dalam perkara-perkara kebebasan berekspresi juga patut diapresiasi. Pandangan dari masyarakat sipil membantu hakim melihat perkara secara lebih komprehensif, termasuk dampak struktural pemidanaan ekspresi terhadap demokrasi dan partisipasi publik.
Dalam sistem
peradilan yang masih cenderung positivistik, amicus curiae berfungsi sebagai
jembatan antara norma HAM internasional dan praktik hukum nasional.
Kehadirannya bukan ancaman terhadap independensi hakim, melainkan pengayaan
terhadap kualitas pertimbangan hukum.
Pada titik inilah adagium cogitationis poenam nemo
patitur menemukan maknanya yang paling aktual. Prinsip ini menuntut
kehati-hatian ekstra dalam menggunakan hukum pidana terhadap ekspresi. Tidak
setiap pernyataan yang menyinggung, tidak setiap pendapat yang berbeda, dan
tidak setiap kritik yang keras layak dipidanakan. Hukum pidana harus dibatasi
pada perbuatan yang benar-benar menimbulkan bahaya nyata dan terukur terhadap
kepentingan hukum yang sah.
Menghukum seseorang karena pikirannya atau karena
ekspresi damai dari pikiran tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap
prinsip negara hukum. Negara hukum yang sejati justru diuji ketika berhadapan
dengan ekspresi yang tidak nyaman, keras, atau kritis. Apakah negara mampu
menahan diri untuk tidak menggunakan hukum pidana sebagai alat pembalas, atau
justru tergoda untuk membungkam demi stabilitas semu?
Baca Juga: Jalan Tengah: Solusi Alternatif Penyelesaian dalam Pelanggaran HAM Berat
Pada akhirnya, kualitas demokrasi tidak diukur dari
seberapa banyak warga yang dapat dipidanakan karena ucapannya, melainkan dari
sejauh mana negara mampu melindungi ruang kebebasan berpikir dan berekspresi.
Selama hukum pidana masih digunakan untuk menghukum pikiran, maka adagium tak
ada satu pun yang dihukum karena pemikirannya sendiri akan tetap menjadi
cita-cita, bukan kenyataan. Tugas aparat penegak hukum dan pengadilanlah untuk
menjadikan prinsip tersebut hidup dalam praktik, bukan sekadar hiasan dalam
buku teks hukum. (ldr/asp)
Referensi:
- Amicus
Brief, Orang Tidak Boleh dimasukkan ke dalam Penjara Karena Mengekspresikan
Pandangan Mereka, Elsam, 2023
- Dian
Rositawati, et al, Melindung Ekspresi: Analisis Pidana dan HAM Putusan
Pengadilan di Indonesia, LeIP
- Eddy
OS Hiariej et al, Dasar-dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah, Teori, Asas, dan
Filsafat Hukum, Rajagrafindo Persada
- Mentari
Anjhanie Ramadhianty et al, Kumpulan Putusan-Putusan Penting (Landmark
Decisions) Penerapan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), Lembaga Kajian
dan Advokasi Independensi Peradilan dan Norwegian Centre for Human Rights,
University of Oslo
- Undang-Undang
RI Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP
- Putusan Nomor 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt Tim
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI