Aplikasi EIS
berfungsi sebagai alat kontrol dan evaluasi untuk memastikan kepatuhan
pengadilan terhadap standar operasional Sistem Informasi Penelusuran Perkara
(SIPP). Sejak aplikasi Evaluasi Implementasi SIPP (EIS) diluncurkan telah
menjadi aplikasi yang esensial dalam mendukung kegiatan teknis di pengadilan.
Aplikasi EIS mengambil peran penting untuk menyajikan data-data terkait
kinerja, kepatuhan, kelengkapan dan kesesuaian data SIPP. Data tersebut
selanjutnya menjadi acuan evaluasi kinerja satuan kerja yang dipergunakan pada
kegiatan pembinaan maupun rapat bulan.
Aplikasi
EIS telah beberapa kali mengalami perubahan hingga sekarang (versi 3).
Perubahan versi tersebut juga dibarengi dengan perbaikan terkait
indikator-indikator penilaian EIS. Meski demikian penulis melihat masih
terdapat hal-hal yang dapat ditingkatkan khususnya terkait fitur penyajian data
pada aplikasi EIS. Pertama, mengenai EIS tidak menyajikan detil nomor perkara
yang terjadi ketidaksesuaian. Kedua, aplikasi EIS belum terintegrasi/terhubung
dengan penilaian kinerja pada aplikasi MIS SIPP.
Pertama,
permasalahan penyajian detail data nomor perkara menjadi penting untuk
dihadirkan dalam EIS. Hal ini menjadi penting karena dengan adanya detail nomor
perkara yang terjadi ketidaksesuaian akan memudahkan bagi pimpinan bahkan hakim
pengawas bidang untuk menemukan permasalahan ketidaksesuaian tersebut. Tentu
saja hal ini dapat menghemat waktu (efisien) untuk menemukan masalah serta
menyelesaikan masalah tersebut.
Baca Juga: MA Update 3 Aplikasi SIPP dan e-BERPADU untuk Modernisasi Peradilan, Apa Saja?
Praktiknya
selama ini untuk menemukan ketidaksesuaian pada EIS harus dilakukan secara
manual. Pemeriksaan secara manual tentu akan memakan waktu, bahkan tidak
menutup kemungkinan permasalahan itu tidak diketemukan di perkara nomor berapa.
Apabila ketidaksesuaian tersebut terjadi pada satuan kerja dengan beban perkara
sedikit dan ketidaksesuaiannya hanya berjumlah kurang dari sepuluh dari seluruh
jumlah perkara yang ditangani, tentu permasalahan ini tidak terasa signifikan.
Namun jika hal sebaliknya yang terjadi, yakni terjadi pada satuan kerja dengan satuan
kerja lebih dari 500/tahun tentu untuk melakukan pemeriksaan secara manual akan
sangat menyulitkan.
Sebagai
contoh penulis menyajikan data ketidaksesuaian pada salah satu satker yakni Kepatuhan
Penundaan Jadwal Sidang (198), Unggah Putusan Akhir (76), Tanda Tangan
Elektronik Salinan Putusan Perkara Pidana (117), Pencatatan Saksi (36), Dokumen
Elektronik Berita Acara Sidang (205), Dokumen Elektronik Putusan Anonimisasi,
Verifikasi Dokumen Elektronik Elitigasi (198). Untuk memeriksa secara manual di
perkara nomor berapa, kapan terjadi ketidaksesuaian, serta dilakukan oleh siapa
(siapa Hakim, Panitera, Panitera Pengganti, Panmud atau Jurusita yang melakukan
ketidaksesuaian tersebut) akan memakan waktu sangat lama.
Kondisi
ini tentu menyulitkan untuk menyelesaikan masalah dan mengevaluasi person
yang bertanggungjawab atas ketidaksesuaian itu. Akhirnya apabila letak
permasalahan (dinomor berapa), kapan, dan oleh siapa tidak diketemukan maka
pembinaan/rapat hanya dilakukan secara umum dan tidak tepat sasaran. Setelah
masalah itu terjadi, maka akan terjadi efek bola salju (snowball)
lainnya yakni person yang sudah berkinerja baik harus tetap mendengarkan
teguran, sementara person yang melakukan ketidaksesuain tersebut belum
tentu menyadari kesalahannya. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep kerja
yang profesional dan konsep reward and punisment.
Sebagaimamana
diketahui bersama dinamika perkerjaan sebagai aparatur peradilan juga diwarnai
oleh mutasi. Bila person yang melakukan ketidaksesuaian tersebut tidak
diketahui dan telah pula mutasi, jangan sampai teguran tersebut dibebankan pada
person yang tidak melakukan kesalahan. Dalam hukum pidana kita
mengetahui prinsip tiada pemidanaan tanpa kesalahan dan error in persona,
penulis berharap hal itu dapat pula diadopsi pada lingkungan kerja peradilan
khususnya pada saat melakukan evaluasi kinerja/pembinaan.
Seharusnya
person yang bertanggungjawab atas ketidaksesuaian itulah yang harusnya
mendapat teguran dan person yang sudah berkinerja baik haruslah
diapresiasi. Dari aspek kebudayaan, jangan sampai terjadi pribahasa “satu orang
makan nangka, semua kena getahnya” dalam pelaksanaan tugas diperadilan. Jadi
permasalahan ketiadaan fitur detail nomor perkara, waktu ketidaksesuaian
terjadi dan dilakukan oleh siapa bukan sekedar permasalahan penyajian data
saja, melainkan juga berkaitan dengan efisiensi waktu, penyelesaian masalah
yang tepat sasaran (on point), prinsip profesionalitas dan
pertanggungjawaban.
Menurut
penulis penambahan fitur penyajian data yang lebih lengkap, terkait detail
nomor perkara, waktu ketidaksesuaian terjadi dan user SIPP (history
ketidaksesuaian) yang bertanggungjawab tidaklah sulit. Hal ini karena secara
prinsip Aplikasi EIS yang melakukan penarikan data dari Aplikasi SIPP, maka EIS
dapat diprogram sejauhmana melakukan penarikan data dan sedetail apa EIS
memaparkan data tersebut.
Kedua,
selama ini aplikasi EIS belum terintegrasi/terhubung dengan penilaian kinerja
pada aplikasi MIS SIPP. Kinerja pada MIS SIPP hanya berdasarkan rasio beban
perkara yang ditunjuk dengan perkara yang telah diselesaikan. Bahwa tugas-tugas
yang dilakukan oleh aparatur teknis peradilan tidaklah sesederhana berkaitan
rasio penyelesaian perkara saja. Indikator ketidaksesuaian pada Aplikasi EIS
juga dapat menjadi parameter untuk mengukur kinerja dari aparatur teknis peradilan.
Ketidaksesuaian
yang terjadi pada Aplikasi EIS oleh person (aparatur teknis peradilan)
seharusnya juga bisa ditarik sebagai paramater penilaian kinerja. Contoh bila
hakim terlambat mengunggah putusan akan muncul skoring/penilaian keterlambatan
unggah putusan, bila Panitera Pengganti terlambat unggah tuntutan juga dapat
dinilai dan tugas-tugas lainnya. Sehingga bila ketidaksesuaian EIS juga dapat
mempengaruhi penilaian kinerja MIS SIPP, pada saat pembinaan atau evaluasi
kinerja dilakukan benar-benar berbasis data.
Melalui
penilaian kinerja berbasis data antara EIS dengan MIS tercipta penilaian kinerja
yang riil, terukur, menyeluruh dan obyektif. Penilaian kinerja ini semacam
“rapor kinerja” yang selanjutnya dapat menjadi acuan pemberian reward and
punisment bagi aparatur tersebut (acuan untuk promosi jabatan, demosi dan
mutasi). Rapor kinerja berbasis data EIS ini tentu saja akan mendorong profesionalitas
kerja aparatur peradilan.
Baca Juga: Sst! Ditjen Badilum Wanti-wanti Jangan Memanipulatif Data EIS
Peningkatan
fitur EIS menjadi penting untuk dilakukan. Karena melalui Penyempurnaan EIS dengan
cara penambahan fitur data detil nomor perkara (riwayat ketidaksesuaian) dapat
mempermudah pimpinan atau hakim pengawas untuk menemukan, menyelesaikannya dan
mengevaluasi permasalahan ketidaksesuaian tersebut. Selanjutnya penilaian
ketidaksesuaian diintegrasikan ke aplilkasi MIS SIPP sebagai salah satu tolak
ukur penilaian kinerja aparatur peradilan. Sehingga penilaian kinerja MIS SIPP
juga mengalami peningkatan yakni penilaian kinerja berbasis data lebih
kompleks/menyeluruh, terukur dan obyektif.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mencari kesalahan, melainkan untuk memperbaiki dan menciptakan sistem kerja peradilan yang lebih modern, efisien, profesinal. Salah satu hal yang bisa mencapai tujuan dan harapan tersebut yakni dengan terus meningkatkan aplikasi EIS sebagai alat kontrol, evaluasi kepatuhan, dan kinerja Satker beserta aparatur didalamnya. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI