Cari Berita

Urgensi Peningkatan Fitur Aplikasi Evaluasi Implementasi SIPP (EIS)

Taufik Hidayat-Hakim PN Bengkalis - Dandapala Contributor 2025-12-26 11:55:17
Dok. Penulis.

Aplikasi EIS berfungsi sebagai alat kontrol dan evaluasi untuk memastikan kepatuhan pengadilan terhadap standar operasional Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). Sejak aplikasi Evaluasi Implementasi SIPP (EIS) diluncurkan telah menjadi aplikasi yang esensial dalam mendukung kegiatan teknis di pengadilan. Aplikasi EIS mengambil peran penting untuk menyajikan data-data terkait kinerja, kepatuhan, kelengkapan dan kesesuaian data SIPP. Data tersebut selanjutnya menjadi acuan evaluasi kinerja satuan kerja yang dipergunakan pada kegiatan pembinaan maupun rapat bulan.

Aplikasi EIS telah beberapa kali mengalami perubahan hingga sekarang (versi 3). Perubahan versi tersebut juga dibarengi dengan perbaikan terkait indikator-indikator penilaian EIS. Meski demikian penulis melihat masih terdapat hal-hal yang dapat ditingkatkan khususnya terkait fitur penyajian data pada aplikasi EIS. Pertama, mengenai EIS tidak menyajikan detil nomor perkara yang terjadi ketidaksesuaian. Kedua, aplikasi EIS belum terintegrasi/terhubung dengan penilaian kinerja pada aplikasi MIS SIPP.

Pertama, permasalahan penyajian detail data nomor perkara menjadi penting untuk dihadirkan dalam EIS. Hal ini menjadi penting karena dengan adanya detail nomor perkara yang terjadi ketidaksesuaian akan memudahkan bagi pimpinan bahkan hakim pengawas bidang untuk menemukan permasalahan ketidaksesuaian tersebut. Tentu saja hal ini dapat menghemat waktu (efisien) untuk menemukan masalah serta menyelesaikan masalah tersebut.

Baca Juga: MA Update 3 Aplikasi SIPP dan e-BERPADU untuk Modernisasi Peradilan, Apa Saja?

Praktiknya selama ini untuk menemukan ketidaksesuaian pada EIS harus dilakukan secara manual. Pemeriksaan secara manual tentu akan memakan waktu, bahkan tidak menutup kemungkinan permasalahan itu tidak diketemukan di perkara nomor berapa. Apabila ketidaksesuaian tersebut terjadi pada satuan kerja dengan beban perkara sedikit dan ketidaksesuaiannya hanya berjumlah kurang dari sepuluh dari seluruh jumlah perkara yang ditangani, tentu permasalahan ini tidak terasa signifikan. Namun jika hal sebaliknya yang terjadi, yakni terjadi pada satuan kerja dengan satuan kerja lebih dari 500/tahun tentu untuk melakukan pemeriksaan secara manual akan sangat menyulitkan.

Sebagai contoh penulis menyajikan data ketidaksesuaian pada salah satu satker yakni Kepatuhan Penundaan Jadwal Sidang (198), Unggah Putusan Akhir (76), Tanda Tangan Elektronik Salinan Putusan Perkara Pidana (117), Pencatatan Saksi (36), Dokumen Elektronik Berita Acara Sidang (205), Dokumen Elektronik Putusan Anonimisasi, Verifikasi Dokumen Elektronik Elitigasi (198). Untuk memeriksa secara manual di perkara nomor berapa, kapan terjadi ketidaksesuaian, serta dilakukan oleh siapa (siapa Hakim, Panitera, Panitera Pengganti, Panmud atau Jurusita yang melakukan ketidaksesuaian tersebut) akan memakan waktu sangat lama.

Kondisi ini tentu menyulitkan untuk menyelesaikan masalah dan mengevaluasi person yang bertanggungjawab atas ketidaksesuaian itu. Akhirnya apabila letak permasalahan (dinomor berapa), kapan, dan oleh siapa tidak diketemukan maka pembinaan/rapat hanya dilakukan secara umum dan tidak tepat sasaran. Setelah masalah itu terjadi, maka akan terjadi efek bola salju (snowball) lainnya yakni person yang sudah berkinerja baik harus tetap mendengarkan teguran, sementara person yang melakukan ketidaksesuain tersebut belum tentu menyadari kesalahannya. Hal ini tentu bertentangan dengan konsep kerja yang profesional dan konsep reward and punisment.

Sebagaimamana diketahui bersama dinamika perkerjaan sebagai aparatur peradilan juga diwarnai oleh mutasi. Bila person yang melakukan ketidaksesuaian tersebut tidak diketahui dan telah pula mutasi, jangan sampai teguran tersebut dibebankan pada person yang tidak melakukan kesalahan. Dalam hukum pidana kita mengetahui prinsip tiada pemidanaan tanpa kesalahan dan error in persona, penulis berharap hal itu dapat pula diadopsi pada lingkungan kerja peradilan khususnya pada saat melakukan evaluasi kinerja/pembinaan.

Seharusnya person yang bertanggungjawab atas ketidaksesuaian itulah yang harusnya mendapat teguran dan person yang sudah berkinerja baik haruslah diapresiasi. Dari aspek kebudayaan, jangan sampai terjadi pribahasa “satu orang makan nangka, semua kena getahnya” dalam pelaksanaan tugas diperadilan. Jadi permasalahan ketiadaan fitur detail nomor perkara, waktu ketidaksesuaian terjadi dan dilakukan oleh siapa bukan sekedar permasalahan penyajian data saja, melainkan juga berkaitan dengan efisiensi waktu, penyelesaian masalah yang tepat sasaran (on point), prinsip profesionalitas dan pertanggungjawaban.

Menurut penulis penambahan fitur penyajian data yang lebih lengkap, terkait detail nomor perkara, waktu ketidaksesuaian terjadi dan user SIPP (history ketidaksesuaian) yang bertanggungjawab tidaklah sulit. Hal ini karena secara prinsip Aplikasi EIS yang melakukan penarikan data dari Aplikasi SIPP, maka EIS dapat diprogram sejauhmana melakukan penarikan data dan sedetail apa EIS memaparkan data tersebut.

Kedua, selama ini aplikasi EIS belum terintegrasi/terhubung dengan penilaian kinerja pada aplikasi MIS SIPP. Kinerja pada MIS SIPP hanya berdasarkan rasio beban perkara yang ditunjuk dengan perkara yang telah diselesaikan. Bahwa tugas-tugas yang dilakukan oleh aparatur teknis peradilan tidaklah sesederhana berkaitan rasio penyelesaian perkara saja. Indikator ketidaksesuaian pada Aplikasi EIS juga dapat menjadi parameter untuk mengukur kinerja dari aparatur teknis peradilan.

Ketidaksesuaian yang terjadi pada Aplikasi EIS oleh person (aparatur teknis peradilan) seharusnya juga bisa ditarik sebagai paramater penilaian kinerja. Contoh bila hakim terlambat mengunggah putusan akan muncul skoring/penilaian keterlambatan unggah putusan, bila Panitera Pengganti terlambat unggah tuntutan juga dapat dinilai dan tugas-tugas lainnya. Sehingga bila ketidaksesuaian EIS juga dapat mempengaruhi penilaian kinerja MIS SIPP, pada saat pembinaan atau evaluasi kinerja dilakukan benar-benar berbasis data.

Melalui penilaian kinerja berbasis data antara EIS dengan MIS tercipta penilaian kinerja yang riil, terukur, menyeluruh dan obyektif. Penilaian kinerja ini semacam “rapor kinerja” yang selanjutnya dapat menjadi acuan pemberian reward and punisment bagi aparatur tersebut (acuan untuk promosi jabatan, demosi dan mutasi). Rapor kinerja berbasis data EIS ini tentu saja akan mendorong profesionalitas kerja aparatur peradilan.

Baca Juga: Sst! Ditjen Badilum Wanti-wanti Jangan Memanipulatif Data EIS

Peningkatan fitur EIS menjadi penting untuk dilakukan. Karena melalui Penyempurnaan EIS dengan cara penambahan fitur data detil nomor perkara (riwayat ketidaksesuaian) dapat mempermudah pimpinan atau hakim pengawas untuk menemukan, menyelesaikannya dan mengevaluasi permasalahan ketidaksesuaian tersebut. Selanjutnya penilaian ketidaksesuaian diintegrasikan ke aplilkasi MIS SIPP sebagai salah satu tolak ukur penilaian kinerja aparatur peradilan. Sehingga penilaian kinerja MIS SIPP juga mengalami peningkatan yakni penilaian kinerja berbasis data lebih kompleks/menyeluruh, terukur dan obyektif.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mencari kesalahan, melainkan untuk memperbaiki dan menciptakan sistem kerja peradilan yang lebih modern, efisien, profesinal. Salah satu hal yang bisa mencapai tujuan dan harapan tersebut yakni dengan terus meningkatkan aplikasi EIS sebagai alat kontrol, evaluasi kepatuhan, dan kinerja Satker beserta aparatur didalamnya. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…