Dalam
sengketa perdata, para pihak mengajukan penyelesaian
ke pengadilan dengan harapan memperoleh kepastian hukum dan keadilan. Besarnya
biaya dan lamanya proses diharapkan sebanding dengan pemulihan hak yang diterima
serta pihak yang kalah akan melaksanakan putusan secara sukarela.
Dalam tataran
implementasi, tidak semua pihak yang kalah mau secara sukarela melaksanakan
amar putusan, sehingga dibutuhkan bantuan dari pengadilan, sebagai pihak yang
diberi wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan untuk memaksa pihak yang
kalah melaksanakan putusan. Tindakan pengadilan untuk memaksa pihak yang kalah
melaksanakan amar putusan ini disebut dengan eksekusi.
Secara umum,
pelaksanaan eksekusi sengketa perdata di Indonesia diatur dalam Herzien
Inlandsch Reglement (HIR), Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg)
dan Reglement of de Rechtsvordering (Rv). Pelaksanaan eksekusi
melibatkan beberapa pejabat pengadilan tingkat pertama, yaitu: ketua
pengadilan, panitera dan juru sita [Pasal 54 Ayat (2) Undang-Undang (UU) No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman].
Baca Juga: Aplikasi Perkusi Badilum Sebagai Upaya Transparansi Pelaksanaan Eksekusi
Ketua pengadilan dalam jabatannya (ex-officio) merupakan pihak yang berwenang memimpin dan memerintahkan pelaksanaan eksekusi sengketa perdata. Kewenangan-kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 195 Ayat (1) HIR atau Pasal 206 Ayat (1) RBg.
Diberikannya tugas untuk memimpin eksekusi kepada ketua pengadilan tingkat pertama berdampak langsung pada bertambahnya tanggung jawab ketua pengadilan selain memutus perkara dan memimpin pengadilan. Jargon “mahkota hakim adalah putusan, dan mahkota ketua pengadilan adalah eksekusi putusan” menjadi beban tersendiri bagi seorang hakim manakala ia diangkat menjadi ketua pengadilan.
Sebab,
keberhasilan seorang ketua pengadilan melaksanakan tugas sebagai ketua
pengadilan tidak hanya dilihat dari bagaimana ia membuat putusan yang
berkualitas, melainkan juga bagaimana ia mengelola pengadilan dan memberikan
pelayanan publik kepada masyarakat, termasuk jumlah eksekusi sengketa perdata
yang berhasil dilaksanakan. Hal ini membuat fokus ketua pengadilan dalam
bekerja rentan terpecah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu diupayakan adanya pembaruan hukum untuk membantu ketua pengadilan tingkat pertama dalam memimpin eksekusi perkara perdata.
Pembahasan
Ketua
pengadilan adalah tokoh utama dalam proses eksekusi di lembaga peradilan. Dalam
ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa pengadilan
membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Ketua Pengadilan Negeri (KPN) yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap, putusan kuasi perdata, maupun akta-akta yang memiliki kekuatan eksekutorial wajib memperhatikan asas peradilan tersebut dan juga memperhatikan asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
Dalam
perspektif tersebut, putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap,
putusan kuasi perdata, maupun akta-akta yang memiliki kekuatan eksekutorial
adalah wajib untuk dilaksanakan.
Pelaksanaan putusan perkara perdata (eksekusi) secara paksa yang dalam praktiknya dewasa ini tidak sesederhana dan semudah seperti yang tertulis dalam aturan-aturan eksekusi dalam HIR yang masih sangat sederhana.
Karena itu, sudah seharusnya ketentuan tentang eksekusi yang diatur dalam HIR harus disesuaikan dengan perkembangan hukum dan kompleksitas permasalahan hukum di masyarakat karena semakin hari pelaksanaan putusan perkara perdata ini semakin banyak ditemukan kendala dan hambatan dengan segala permasalahan yang semakin kompleks.
Di sisi
lain, masyarakat menilai bahwa kegagalan dalam melaksanakan eksekusi merupakan
kegagalan pengadilan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam
mewujudkan keadilan dan kepastian hukum, masyarakat semakin kritis memberikan
penilaian kinerja pimpinan pengadilan dengan menggunakan tolok ukur seberapa
banyak yang bersangkutan mampu melaksanakan eksekusi di wilayahnya.
Kegagalan eksekusi
tidak semata mata karena kurangnya profesionalisme KPN dalam melaksanakan dan
mengawasi jalannya eksekusi. Dalam praktik ditemukan banyak kendala di lapangan
yang menjadi penghambat eksekusi yang dilaksanakan pengadilan. Tanggung jawab
eksekusi tidak dapat semata-mata dibebankan ke pundak KPN saja.
Merujuk pada praktik di negara lain yang serupa dengan Indonesia di mana eksekusi sengketa perdata juga dilaksanakan oleh pengadilan, dalam hal ini Italia dan Jerman, tanggung jawab eksekusi tidak berada di ketua pengadilan, melainkan di pihak lain di internal pengadilan.
Di Italia, eksekusi ditangani oleh hakim eksekusi
(execution judge), yang terdapat di setiap tingkatan pengadilan,
termasuk pengadilan banding (LeIP 2019). Tugasnya memeriksa dapat tidaknya
suatu putusan dieksekusi untuk memastikan eksekusi tersebut sah menurut hukum.
Setiap permohonan eksekusi diperiksa dan diputus oleh hakim eksekusi sebagai
pihak yang akan mengeluarkan precetto atau perintah eksekusi.
Di Jerman, pelaksanaan
eksekusi juga menjadi tanggung jawab pengadilan, dalam hal ini oleh
pelayan/pembantu hukum (rechtspfleger) sebagai pegawai pengadilan yang
menjalankan tugas yang diatur dalam Rechtspflegergesetz (aturan yang
melengkapi Kitab UU Hukum Acara Perdata/Code of Civil Procedure).
Berbeda dengan Italia dan Jerman, tanggung jawab eksekusi sengketa perdata di Belanda berada di luar pengadilan, yaitu dijalankan oleh pihak swasta yang bernama Koninklijke Beroepsorganisatie van Gerechtsdeurwaarders (KBvG) atau The Royal Professional Organization of Judicial Officers in The Netherlands.
KBvG merupakan organisasi profesi yudisial yang dibentuk berdasarkan UU tentang Judicial Officers. KBvG memiliki tugas pokok untuk menjaga kehormatan dan hak pada judicial officers, serta melaksanakan UU terkait, khususnya dalam pelaksanaan tugas judicial officer yang profesional dan berkualitas.
Adapun tugas pokok judicial officers
adalah mirip seperti juru sita namun dengan kewenangan yang lebih luas. KBvG
merupakan institusi yang independen, tidak terikat dengan pemerintah maupun
dengan kekuasaan pengadilan, juga tidak mendapatkan dukungan sumber dana dari
anggaran negara. Namun berdasarkan UU diperkenankan untuk meminta biaya atas
jasa yang diberikan.
Praktik eksekusi sengketa
perdata di berbagai negara menunjukkan bahwa eksekusi tidak harus menjadi
tanggung jawab ketua pengadilan. Untuk efisiensi, perlu dibentuk jabatan khusus
setingkat hakim di pengadilan tingkat pertama yang fokus menangani eksekusi,
sebagai perantara antara ketua pengadilan dan juru sita. Eksekusi juga
seharusnya menjadi tanggung jawab bersama para pemangku kepentingan sesuai
mandat undang-undang, guna mewujudkan keadilan dan kepastian hukum.
Baca Juga: Sempat Tegang, PN Magelang Berhasil Eksekusi Putusan Perdata Tanah-Rumah
Penutup
Ketentuan mengenai eksekusi saat ini belum cukup efisien karena memberikan tanggung jawab yang sangat besar kepada KPN. Demi mendukung kelancaran pelaksanaan eksekusi, idealnya KPN ditempatkan sebagai “Koordinator Eksekusi” yang memiliki kewenangan berdasar UU untuk memerintahkan instansi lain di wilayah hukumnya untuk menaati kebijakan-kebijakan yang diambilnya dalam pelaksanaan eksekusi; atau kewenangan untuk memimpin eksekusi diserahkan kepada pejabat atau jabatan tertentu setingkat hakim di pengadilan yang secara khusus diberi tanggung jawab untuk mengurus eksekusi sengketa perdata. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dimaksud, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Hukum Acara Perdata [Pasal 196 dan 197 HIR] dan UU Kekuasaan Kehakiman [Pasal 54 Ayat (2)] yang mengatur bahwa tindakan-tindakan eksekusi dipimpin oleh ketua pengadilan. (asn/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI