Parate eksekusi
dalam jaminan fidusia selama ini dimaknai sebagai kewenangan kreditur untuk
mengeksekusi objek jaminan secara langsung tanpa melalui putusan pengadilan,
berdasarkan titel eksekutorial yang melekat pada sertifikat jaminan fidusia
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia).
Konsep
ini lahir untuk memberikan kepastian dan efisiensi bagi kreditur, khususnya di
sektor pembiayaan dan perbankan, sehingga proses penyelesaian kredit bermasalah
dapat dilakukan dengan cepat tanpa prosedur panjang melalui lembaga peradilan.
Namun,
dalam praktiknya, kemudahan parate eksekusi sering kali menjadi celah
penyalahgunaan. Kreditur, baik langsung maupun melalui pihak ketiga seperti debt
collector yang tidak jarang melakukan penarikan paksa terhadap objek
jaminan tanpa persetujuan debitur, bahkan disertai ancaman, intimidasi, atau
kekerasan fisik.
Baca Juga: Arsip Pengadilan 1932 : Cikal Bakal Lahirnya Fidusia Di Indonesia
Kondisi
ini menimbulkan persoalan serius dari sudut pandang perlindungan hukum, karena
berpotensi melanggar hak asasi manusia, asas keadilan, dan kepastian hukum yang
seharusnya dijamin negara.
Mahkamah
Konstitusi melalui Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Nomor
2/PUU-XIX/2021 memberikan koreksi penting terhadap praktik tersebut. MK
menegaskan bahwa pelaksanaan parate eksekusi tetap dimungkinkan, namun hanya
sah dilakukan jika terdapat kesepakatan sukarela dari debitur untuk menyerahkan
objek jaminan.
Apabila
debitur menolak, eksekusi wajib ditempuh melalui penetapan pengadilan,
sebagaimana prosedur pelaksanaan putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht
van gewijsde).
Penekanan
ini muncul sebagai respons atas maraknya tindakan sewenang-wenang kreditur
dalam menarik objek jaminan, yang bertentangan dengan prinsip due process of
law dan perlindungan terhadap pihak yang lebih lemah secara ekonomi.
Dengan
demikian, Putusan MK ini menjadi titik penting dalam membatasi ruang lingkup
parate eksekusi demi menjaga keseimbangan kepentingan antara kreditur dan
debitur. Di satu sisi, kreditur tetap memiliki sarana hukum untuk menagih
piutang, namun di sisi lain, debitur mendapat perlindungan dari tindakan
pengambilan paksa yang tidak melalui mekanisme peradilan.
Konsep
Parate Eksekusi dalam UU
Jaminan Fidusia
Secara
etimologis, istilah parate eksekusi berasal dari kata paraat yang berarti “siap
di tangan”. Dalam kamus hukum, parate eksekusi diartikan sebagai pelaksanaan
eksekusi secara langsung tanpa melalui proses peradilan. (Wiguna et al., 2017)
Pada
dasarnya, tindakan eksekutorial adalah pelaksanaan putusan pengadilan. Pasal
195 HIR mendefinisikan eksekusi sebagai menjalankan putusan hakim oleh
pengadilan. Namun, titel eksekutorial tidak hanya terdapat pada putusan
pengadilan, tetapi juga pada akta otentik yang memuat frasa “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR.
Dalam konteks hukum jaminan, eksekusi adalah pelaksanaan hak kreditur terhadap
objek jaminan apabila debitur cedera janji (wanprestasi) atau gagal memenuhi kewajibannya
(Suyatno, 2016).
Parate
eksekusi berbeda dengan eksekusi biasa karena:
- Tidak memerlukan
perantaraan pengadilan;
- Tidak memerlukan
bantuan juru sita; dan
- Tidak memerlukan
proses penyitaan.
Dengan
demikian, parate eksekusi memberi kewenangan kepada kreditur untuk menjual
objek jaminan secara langsung. Kewenangan ini diberikan demi efektivitas
penagihan, mengingat eksekusi melalui pengadilan sering memakan waktu lama dan
biaya tinggi. Tanpa mekanisme ini, lembaga keuangan resmi akan enggan
memberikan kredit, terutama dalam jumlah kecil, karena biaya eksekusi tidak
sebanding dengan nilai tagihan (J. Satrio, 2002).
UU
Jaminan Fidusia secara aksiologis hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan pengaturan jaminan fidusia sebagai sarana pendukung kegiatan usaha
sekaligus memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan.
Titel
eksekutorial pada akta jaminan fidusia dimaksudkan untuk mempercepat
pelaksanaan hak kreditur secara sah dan langsung, demi kelancaran pembiayaan
dan perputaran ekonomi.
Namun,
praktik parate eksekusi tidak lepas dari problematika, terutama ketika kreditur
bertindak tanpa persetujuan atau kesukarelaan debitur, bahkan melibatkan pihak
ketiga seperti debt collector yang
sering bertindak di luar batas kewajaran. Kondisi inilah yang mendorong
pengujian konstitusional dan melahirkan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 yang mengoreksi pelaksanaan parate
eksekusi jaminan fidusia.
Koreksi
Mahkamah Konstitusi terhadap Praktik Parate Eksekusi (Putusan MK Nomor
18/PUU-XVII/2019 Jo Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021)
UU
Jaminan Fidusia memberi kewenangan kepada kreditur melakukan parate eksekusi,
yaitu pelaksanaan eksekusi langsung tanpa campur tangan pengadilan. Tujuan
awalnya adalah efisiensi: menghindari proses pengadilan yang berlarut-larut dan
mahal, sehingga kredit tetap dapat tersalurkan. Namun dalam praktik, mekanisme
ini kerap disalahgunakan, khususnya ketika kreditur atau debt collector melakukan
penarikan paksa tanpa persetujuan debitur.
Situasi
tersebut kemudian diuji melalui judicial review Pasal 15 ayat (2) dan
(3) UU Fidusia. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 Jo Putusan
Nomor 2/PUU-XIX/2021 menegaskan bahwa parate eksekusi tetap sah, namun
pelaksanaannya bersyarat. Eksekusi hanya dapat dilakukan apabila debitur
menyerahkan objek secara sukarela. Jika debitur menolak, maka kreditur wajib
menempuh jalur pengadilan dengan mengajukan permohonan eksekusi, bukan melalui
gugatan wanprestasi. Hal ini menunjukkan bahwa parate eksekusi tidak lagi
bersifat absolut, melainkan dibatasi oleh prinsip kesukarelaan dan pengawasan
yudisial.
Koreksi
MK merupakan penegasan atas prinsip due process of law, yang bertujuan
mencegah praktik sewenang-wenang kreditur maupun penyalahgunaan oleh pihak
ketiga seperti debt collector.
Secara
praktis, lembaga pembiayaan dan perbankan dituntut menyesuaikan prosedur
penagihan mereka agar tidak lagi mengandalkan penarikan paksa, melainkan
melalui mekanisme permohonan eksekusi kepada pengadilan ketika tidak ada
kesepakatan sukarela.
Dengan demikian, Mahkamah berhasil menyeimbangkan kepentingan kreditur dan perlindungan hak-hak debitur. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 Jo Putusan Nomor 2/PUU-XIX/2021 menjadi titik korektif penting: parate eksekusi tetap diakui, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka negara hukum yang berkeadilan, sehingga asas kepastian, kemanfaatan, dan keadilan dapat berjalan beriringan. (asn/ldr)
Daftar Pustaka
Santa
Wiguna, Kadek Octa, dan I. Ketut Markeling, ‘Pelaksanaan Eksekusi Hak
Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah Pada PT. BPR Partha Kencana
Tohpati’ (2017) 5 Jurnal Ilmu Hukum.
Baca Juga: Utamakan Kepentingan Negara, PN Jakpus Tolak Gugatan Artha Graha di Kasus Timah
Suyatno,
Anton, 2016, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui Eksekusi
Jaminan Hak Tanggungan tanpa Proses Gugatan Pengadilan, Jakarta, Kencana.
Satrio, J, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI