Cari Berita

Parate Eksekusi Jaminan Fidusia: Dari Eksekusi Mandiri Menuju Penetapan Pengadilan

Guntur Pambudi Wijaya-Ketua PN Kotabaru - Dandapala Contributor 2025-09-03 08:05:09
Dok. Penulis.

Parate eksekusi dalam jaminan fidusia selama ini dimaknai sebagai kewenangan kreditur untuk mengeksekusi objek jaminan secara langsung tanpa melalui putusan pengadilan, berdasarkan titel eksekutorial yang melekat pada sertifikat jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia).

Konsep ini lahir untuk memberikan kepastian dan efisiensi bagi kreditur, khususnya di sektor pembiayaan dan perbankan, sehingga proses penyelesaian kredit bermasalah dapat dilakukan dengan cepat tanpa prosedur panjang melalui lembaga peradilan.

Namun, dalam praktiknya, kemudahan parate eksekusi sering kali menjadi celah penyalahgunaan. Kreditur, baik langsung maupun melalui pihak ketiga seperti debt collector yang tidak jarang melakukan penarikan paksa terhadap objek jaminan tanpa persetujuan debitur, bahkan disertai ancaman, intimidasi, atau kekerasan fisik.

Baca Juga: Arsip Pengadilan 1932 : Cikal Bakal Lahirnya Fidusia Di Indonesia

Kondisi ini menimbulkan persoalan serius dari sudut pandang perlindungan hukum, karena berpotensi melanggar hak asasi manusia, asas keadilan, dan kepastian hukum yang seharusnya dijamin negara.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Nomor 2/PUU-XIX/2021 memberikan koreksi penting terhadap praktik tersebut. MK menegaskan bahwa pelaksanaan parate eksekusi tetap dimungkinkan, namun hanya sah dilakukan jika terdapat kesepakatan sukarela dari debitur untuk menyerahkan objek jaminan.

Apabila debitur menolak, eksekusi wajib ditempuh melalui penetapan pengadilan, sebagaimana prosedur pelaksanaan putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

Penekanan ini muncul sebagai respons atas maraknya tindakan sewenang-wenang kreditur dalam menarik objek jaminan, yang bertentangan dengan prinsip due process of law dan perlindungan terhadap pihak yang lebih lemah secara ekonomi.

Dengan demikian, Putusan MK ini menjadi titik penting dalam membatasi ruang lingkup parate eksekusi demi menjaga keseimbangan kepentingan antara kreditur dan debitur. Di satu sisi, kreditur tetap memiliki sarana hukum untuk menagih piutang, namun di sisi lain, debitur mendapat perlindungan dari tindakan pengambilan paksa yang tidak melalui mekanisme peradilan.

Konsep Parate Eksekusi dalam UU Jaminan Fidusia

Secara etimologis, istilah parate eksekusi berasal dari kata paraat yang berarti “siap di tangan”. Dalam kamus hukum, parate eksekusi diartikan sebagai pelaksanaan eksekusi secara langsung tanpa melalui proses peradilan. (Wiguna et al., 2017)

Pada dasarnya, tindakan eksekutorial adalah pelaksanaan putusan pengadilan. Pasal 195 HIR mendefinisikan eksekusi sebagai menjalankan putusan hakim oleh pengadilan. Namun, titel eksekutorial tidak hanya terdapat pada putusan pengadilan, tetapi juga pada akta otentik yang memuat frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR. Dalam konteks hukum jaminan, eksekusi adalah pelaksanaan hak kreditur terhadap objek jaminan apabila debitur cedera janji (wanprestasi) atau gagal memenuhi kewajibannya (Suyatno, 2016).

Parate eksekusi berbeda dengan eksekusi biasa karena:

  1. Tidak memerlukan perantaraan pengadilan;
  2. Tidak memerlukan bantuan juru sita; dan
  3. Tidak memerlukan proses penyitaan.

Dengan demikian, parate eksekusi memberi kewenangan kepada kreditur untuk menjual objek jaminan secara langsung. Kewenangan ini diberikan demi efektivitas penagihan, mengingat eksekusi melalui pengadilan sering memakan waktu lama dan biaya tinggi. Tanpa mekanisme ini, lembaga keuangan resmi akan enggan memberikan kredit, terutama dalam jumlah kecil, karena biaya eksekusi tidak sebanding dengan nilai tagihan (J. Satrio, 2002).

UU Jaminan Fidusia secara aksiologis hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pengaturan jaminan fidusia sebagai sarana pendukung kegiatan usaha sekaligus memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan.

Titel eksekutorial pada akta jaminan fidusia dimaksudkan untuk mempercepat pelaksanaan hak kreditur secara sah dan langsung, demi kelancaran pembiayaan dan perputaran ekonomi.

Namun, praktik parate eksekusi tidak lepas dari problematika, terutama ketika kreditur bertindak tanpa persetujuan atau kesukarelaan debitur, bahkan melibatkan pihak ketiga seperti debt collector yang sering bertindak di luar batas kewajaran. Kondisi inilah yang mendorong pengujian konstitusional dan melahirkan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 yang mengoreksi pelaksanaan parate eksekusi jaminan fidusia.

Koreksi Mahkamah Konstitusi terhadap Praktik Parate Eksekusi (Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 Jo Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021)

UU Jaminan Fidusia memberi kewenangan kepada kreditur melakukan parate eksekusi, yaitu pelaksanaan eksekusi langsung tanpa campur tangan pengadilan. Tujuan awalnya adalah efisiensi: menghindari proses pengadilan yang berlarut-larut dan mahal, sehingga kredit tetap dapat tersalurkan. Namun dalam praktik, mekanisme ini kerap disalahgunakan, khususnya ketika kreditur atau debt collector melakukan penarikan paksa tanpa persetujuan debitur.

Situasi tersebut kemudian diuji melalui judicial review Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Fidusia. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 Jo Putusan Nomor 2/PUU-XIX/2021 menegaskan bahwa parate eksekusi tetap sah, namun pelaksanaannya bersyarat. Eksekusi hanya dapat dilakukan apabila debitur menyerahkan objek secara sukarela. Jika debitur menolak, maka kreditur wajib menempuh jalur pengadilan dengan mengajukan permohonan eksekusi, bukan melalui gugatan wanprestasi. Hal ini menunjukkan bahwa parate eksekusi tidak lagi bersifat absolut, melainkan dibatasi oleh prinsip kesukarelaan dan pengawasan yudisial.

Koreksi MK merupakan penegasan atas prinsip due process of law, yang bertujuan mencegah praktik sewenang-wenang kreditur maupun penyalahgunaan oleh pihak ketiga seperti debt collector.

Secara praktis, lembaga pembiayaan dan perbankan dituntut menyesuaikan prosedur penagihan mereka agar tidak lagi mengandalkan penarikan paksa, melainkan melalui mekanisme permohonan eksekusi kepada pengadilan ketika tidak ada kesepakatan sukarela.

Dengan demikian, Mahkamah berhasil menyeimbangkan kepentingan kreditur dan perlindungan hak-hak debitur. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 Jo Putusan Nomor 2/PUU-XIX/2021 menjadi titik korektif penting: parate eksekusi tetap diakui, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka negara hukum yang berkeadilan, sehingga asas kepastian, kemanfaatan, dan keadilan dapat berjalan beriringan. (asn/ldr)


Daftar Pustaka

Santa Wiguna, Kadek Octa, dan I. Ketut Markeling, ‘Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah Pada PT. BPR Partha Kencana Tohpati’ (2017) 5 Jurnal Ilmu Hukum.

Baca Juga: Utamakan Kepentingan Negara, PN Jakpus Tolak Gugatan Artha Graha di Kasus Timah

Suyatno, Anton, 2016, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan tanpa Proses Gugatan Pengadilan, Jakarta, Kencana.

Satrio, J, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI