article | Opini | 2025-07-09 12:05:05
DI ERA ketika linimasa media sosial kita terasa lebih tahu soal diri kita ketimbang ibu kita sendiri, dunia intelijen pun ikut bermain di ranah digital. Lembaga seperti CIA (Central Intelligence Agency) dan NSA (National Security Agency), yang dulu identik dengan mata-mata berjas rapi atau operasi rahasia di lorong gelap, kini bermain dengan data dan algoritma. Dunia digital ini seperti medan perang baru, tapi senjatanya tak kasat mata: kode, algoritma, dan konten yang dipersonalisasi.Ronald Kessler dalam bukunya Inside the CIA menggambarkan bagaimana kerja intelijen sering berpijak pada data yang tak lengkap. Potongan informasi, yang kadang cuma secuil, bisa memicu keputusan besar—bahkan kalau konteksnya masih abu-abu. Dulu, kesalahan penilaian mungkin berujung pada pengintaian yang salah sasaran. Sekarang, di era algoritma, risikonya jauh lebih pelik. Jejak digital—mulai dari like, retweet, sampai komentar—bisa disusun ulang jadi narasi yang membahayakan. Dan ini bukan teori konspirasi, ini fakta yang terungkap dari bocoran seperti kasus Edward Snowden, yang menunjukkan kolaborasi NSA dengan raksasa teknologi untuk mengakses data pengguna.Sebagaimana kita ketahui bersama, media sosial dengan algoritmanya yang cerdas tentu tak selalu netral. Apabila kepentingan tersebut terlalu dianggap terlalu represif oleh negara-negara lainnya, ada potensi akan timbul “splinternet”: fenomena di mana internet terpecah menjadi jaringan-jaringan terpisah akibat perbedaan selera regulasi, sensor, atau kontrol teknologi antar negara.[MPK2] Tujuan akhirnya ya kedaulatan digital. Maka dari itu oknum-oknum yang boleh jadi sebagian ada pada negara yang disebut di atas pun sepatutnya tidak terlalu merasa sebagai dewa yang mampu menjadi polisi moral bagi seluruh dunia. Apalagi sampai secara diam-diam melakukan dorongan konten-konten tertentu guna mempengaruhi pola pikir seseorang agar sesuai dengan kemauan dan kepentingannya. Sebagai ilustrasi, apabila sebuah entitas hendak melakukan framing bahwa seseorang itu terindikasi terkait dengan organisasi radikal, bisa saja konten sosial media yang di-push di sosial media orang tersebut dibuat mengandung ujaran kebencian terhadap pemerintah yang berdaulat. Hanya saja ujaran kebenciannya dimunculkan setelah konten tersebut ditekan dalam telepon genggam orang yang ditarget. Selain dapat digunakan untuk melakukan surgical strike terhadap orang-perorangan secara spesifik seperti di atas, tentunya internet juga bisa dilakukan untuk melakukan kampanye masif yang dapat mempengaruhi persepsi rakyat di sebuah negara secara besar-besaran. Misalnya push saja konten tentang kebobrokan seorang pejabat tertentu yang dianggap mengganggu kepentingan asing di platform yang dipakai oleh rerata orang di sebuah negara (misalnya Instagram atau TikTok). Boleh jadi konten-konten tersebut sebetulnya tidak salah (memang pejabat tersebut ada melakukan kesalahan), namun proporsinya dibesar-besarkan sedemikian rupa sehingga seakan-akan segala hal buruk yang ada di dunia ini terjadi karena pejabat tersebut. Masyarakat pun jadi senang karena dengan menghina-hina pejabat tersebut, masalah hidupnya seakan-akan terlupakan. Padahal utamanya si pejabat tersebut menjadi target operasi ya karena mengganggu kepentingan bisnis negara asing. Mungkin saat ini kita merasa aman-aman saja, tapi suatu saat saat bisa saja kita yang duduk di kursi panas, bisa jadi kita yang menjadi target. Perlu diingat bahwa alangkah baiknya untuk tidak merasa paling suci karena kesalahan bisa dicari-cari. Masih hangat dalam ingatan kita bahwa Ketua Mahkamah Agung (MA) saat ini pun pernah menjadi target black campaign di platform X saat pemilihan Ketua MA berlangsung. Padahal sepanjang pengetahuan Penulis, reputasi beliau di mata warga peradilan pada umumnya sangatlah baik. Untuk mengatasi hal ini, kebijaksanaan masyarakat Indonesia dalam membaca framing melalui sosial media perlu ditingkatkan. Lebih lanjut, transparansi dan pengawasan atas algoritma yang digunakan platform pun perlu digalakkan.Media sosial dan internet pada umumnya jadi ladang subur untuk membentuk persepsi. Konten yang kita lihat di linimasa bukan muncul begitu saja; ia disaring, diprioritaskan, bahkan kadang diarahkan untuk tujuan tertentu. Iklan bertarget, unggahan yang “di-boost” algoritma, atau bahkan suggested feed bisa perlahan menggiring seseorang ke sudut pandang ekstrem. Yang lebih mengerikan, algoritma ini tak cuma dipakai perusahaan teknologi untuk jualan iklan. Lembaga intelijen, dengan akses ke data dan teknologi, bisa ikut memanfaatkannya untuk mengarahkan narasi atau memantau “ancaman”. Pertanyaannya: siapa yang menentukan ancaman itu? Dan bagaimana kalau label itu disematkan karena motif yang tak sepenuhnya murni?Bukan rahasia lagi bahwa tak semua oknum di lembaga negara bekerja dengan netralitas penuh. Ada kepentingan bisnis, relasi dengan konglomerasi, atau agenda politik yang bisa memengaruhi siapa yang diawasi, didiskreditkan, atau bahkan dicap ekstremis. Dalam ekosistem digital yang memungkinkan penyebaran pesan secara selektif, seseorang bisa didorong ke arah radikalisasi tanpa sadar. Yang jadi masalah, tidak menutup kemungkinan konten “radikal” tersebut malah dipush oleh platform karena ada kepentingan tertentu. Tanpa bermaksud menuduh tanpa pembuktian, tapi kemungkinan seperti ini tidaklah 0%.Yang lebih mengganggu lagi adalah dampak algoritma yang tak cuma membentuk opini, tapi juga bisa mendorong ke arah kehancuran. Kalau algoritma bisa mendorong seseorang ke jurang bunuh diri, bukankah itu bisa disebut sebagai bentuk “terorisme digital”? Bukan bom fisik, tapi bom psikologis yang tak kalah mematikan. Pelakunya pun bukan individu sembarangan, melainkan entitas besar—korporasi teknologi atau bahkan lembaga resmi dengan akses ke data dan kekuasaan. Bedanya dengan terorisme konvensional? Mungkin cuma soal metode, tapi dampaknya sama: trauma, pelanggaran HAM, bahkan kematian. Dan yang ironis, ini dilakukan dengan alasan “keamanan” atau lebih parah lagi: “kepentingan bisnis”.Di tengah semua ini, tuduhan “teori konspirasi” atau “paranoid” sering dilontarkan untuk meredam diskusi. Tapi coba pikir: kalau algoritma bisa memengaruhi kesehatan mental hingga ke titik tragis, apa susahnya memanipulasi persepsi seseorang untuk dicap sebagai ancaman? Kekuatan untuk menyusun narasi di ruang digital jauh lebih besar ketimbang pengawasan konvensional. Dan ketika seseorang vokal mengkritik kebijakan atau menyuarakan ketidakadilan, jejak digitalnya bisa dengan mudah dipelintir jadi senjata melawan dirinya sendiri.Tapi jangan salah paham, ini bukan soal menuduh semua tindakan ekstrem sebagai hasil rekayasa intelijen atau algoritma. Banyak kasus memang murni dari motif pribadi. Tapi ekosistem digital membuka celah untuk intervensi yang tak terlihat. Informasi yang kita terima di linimasa, sekali lagi, bukan acak. Ada kode di baliknya, ada prioritas, dan kadang ada agenda.Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Publik tak bisa cuma mengandalkan lembaga pengawas yang transparansinya sering dipertanyakan. Tanggung jawab ada di kita: untuk kritis terhadap apa yang kita baca, bagikan, dan percayai. Jadi, ini bukan soal apakah pengaruh digital itu nyata—kita tahu itu nyata. Pertanyaannya: sejauh mana pengaruh itu digunakan, oleh siapa, dan untuk apa? Dan yang lebih penting: bagaimana kita memastikan kekuatan itu tak jadi alat untuk membungkam, tapi justru melindungi kebebasan kita? Karena, seperti matahari yang pasti terbit di timur, bayang-bayang di balik layar digital ini tak akan hilang begitu saja. Kita hanya perlu lebih jeli melihatnya.Timothee Kencono Malye(Hakim PN Teluk Kuantan, Riau)