Cari Berita

Potensi Pelanggaran Etik Hakim di Penggunaan AI dalam Bikin Putusan

article | Opini | 2025-04-09 17:50:56

Tren penggunaan kecerdasan buatan (AI) semakin meningkat di kalangan masyarakat. Perkembangan ini turut merambah pelayanan publik yang adaptif, termasuk di lingkungan lembaga peradilan. Sejarah mencatat, konsep kecerdasan buatan telah muncul sejak tahun 1955-1956 dengan program awal bernama Logic Theorist. Namun, adopsi masif terhadap AI baru terjadi dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kemunculan ChatGPT dari OpenAI. Produk ini memperkenalkan antarmuka interaktif yang mudah diakses, memungkinkan masyarakat umum merasakan langsung pengalaman berinteraksi dengan sistem AI. Berbagai pembaruan fitur membuat teknologi ini semakin menjanjikan, bahkan membuka peluang penggunaannya dalam penyusunan putusan pengadilan. Namun demikian, mengingat fungsi lembaga peradilan yang sangat prudent, analisa terhadap potensi pelanggaran etik menjadi krusial sebelum adopsi AI diterapkan dalam praktik peradilan. Bagaimana Kecerdasan Buatan Bekerja?Untuk memahami potensi pelanggaran etik, harus dipahami terlebih dahulu cara kerja kecerdasan buatan. Secara umum, teknologi ini mampu menyelesaikan persoalan menggunakan prinsip dasar logika premis jika–maka. Konsep ini menyerupai pola berpikir manusia dalam menarik kesimpulan berdasarkan kejadian tertentu. Seiring waktu, pendekatan tersebut berkembang menjadi lebih kompleks melalui penggunaan basis data yang luas dan pola-pola probabilistik. Kompleksitas ini mengaburkan batas premis sederhana dan menjadikan AI mampu menghasilkan kesimpulan yang kontekstual.Dalam konteks ChatGPT, setidaknya ada empat syarat agar AI dapat berfungsi sebagaimana mestinya:Basis data yang besar. AI dilengkapi dengan miliaran kata dari beragam sumber teks.Kemampuan memahami pola dan asosiasi antar data. AI tidak hanya menyimpan, tetapi juga memaknai konteks antar basis data.Kemampuan memahami instruksi (prompt). AI menerjemahkan pertanyaan, perintah, maupun sanggahan.Kemampuan merespons secara kontekstual dan dinamis. AI menyesuaikan jawaban dengan konteks dan dapat diperbaiki bila ada klarifikasi.Bagaimana dengan AI berbasis gambar, suara, atau animasi? Prinsip kerjanya serupa, hanya saja basis datanya berbeda. Misalnya, dalam pengolahan gambar, AI mengenali gaya (style) visual yang umum muncul. Gaya ini menjadi dasar penilaian terhadap elemen dalam gambar, seperti wajah, tubuh, atau latar belakang. Dengan demikian, instruksi seperti “hapus latar belakang” akan dieksekusi berdasarkan identifikasi pola visual. Prinsip yang sama berlaku pada AI yang memproses suara, animasi, dan lainnya. Bagaimana Hakim Menyusun Putusan?Penyusunan putusan oleh hakim dimulai dengan musyawarah untuk meneguhkan fakta hukum yang diperoleh dari pembuktian kemudian menentukan pertimbangan hukum untuk menuju pada amar putusan. Setelah musyawarah selesai, hakim menyusun putusan sesuai dengan konsep dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 359/KMA/SK/XII/2022. Dalam praktiknya, hakim akan memindahkan isi penting dari berita acara persidangan ke dalam konsep putusan, menuliskan pertimbangan hukum dan menuliskan amar dalam konsep tersebut. Setelah disusun, putusan direviu untuk menghindari kesalahan redaksional, lalu dibacakan dan ditandatangani. Bagaimana AI Dapat Mengambil Alih Penyusunan Putusan?AI berpotensi mengambil alih penyusunan putusan jika dipenuhi empat prasyarat tadi, dengan tambahan bahwa AI diberi akses pada data hukum dan yurisprudensi. Simulasi berikut menggambarkan skenario tersebut:Hakim mengunggah berita acara persidangan ke AI, dan AI diminta menyimpulkan fakta hukumnya. AI yang telah mempelajari alat bukti dan kekuatan pembuktian, akan menampilkan hasil berupa fakta hukum.Hakim memerintahkan AI menyusun pertimbangan dan amar putusan berdasarkan fakta tersebut. AI yang telah mempelajari berbagai dokumen hukum, akan menampilkan hasil berupa pertimbangan dan amar putusan. Hakim memerintahkan AI menyusun putusan lengkap sesuai format SK KMA. AI yang telah mempelajari konsep putusan, akan menampilkan hasil putusan yang siap dibacakan. Apakah Menyusun Putusan dengan AI Melanggar Etika?Etika hakim diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dalam konteks ini, ada dua butir etika yang patut diperhatikan:Pelanggaran Etika Bertanggungjawab (Butir 6.2 KEPPH)Hakim dilarang mengungkap atau menggunakan informasi rahasia di luar tugas peradilan. Meski penyusunan putusan adalah tugas peradilan, ketika proses tersebut diserahkan pada sistem eksternal seperti ChatGPT, timbul potensi eksploitasi data. Terlebih, dalam Terms of Use ChatGPT (per-11 Desember 2024), dinyatakan bahwa input pengguna dapat digunakan untuk pengembangan layanan, termasuk kemungkinan dibaca oleh pihak manusia. Risiko kebocoran data—terutama dalam perkara asusila atau yang menyangkut rahasia negara—menjadi ancaman nyata terhadap integritas peradilan. Pelanggaran Etika Bersikap Profesional (Butir 10.4 KEPPH)Hakim wajib menghindari kekeliruan dalam membuat putusan. Namun, ChatGPT sendiri menyatakan bahwa output-nya tidak selalu akurat dan tidak dapat dijadikan sumber kebenaran tunggal. Dengan demikian, AI tidak bisa menjadi pengganti otoritas profesional hakim tanpa melanggar prinsip etik ini.Bagaimana Bersikap Adaptif terhadap AI?Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa AI memiliki keunggulan. Sikap adaptif dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:Baca Ketentuan PenggunaanKetahui batasan dan kebijakan layanan sebelum memakai AI. Jika bertentangan dengan etika hakim, sebaiknya dihindari.Gunakan Akun AnonimGunakan identitas acak agar penyedia layanan tidak mengaitkan identitas pengguna dengan data perkara. Selain itu, gunakan juga opsi pengecualian dalam melakukan perekaman data jika disediakan oleh penyedia.Hindari Mengunggah Dokumen PersidanganDokumen persidangan baik sebagian maupun seluruhnya yang dimasukkan, bisa masuk ke dalam basis data AI dan dapat muncul dalam sesi lain.Bangun AI Internal SendiriMasalah etika bukan pada teknologinya, melainkan pada siapa yang mengendalikannya. Lembaga peradilan sebaiknya membangun sistem AI sendiri, dengan jaminan keamanan dan kontrol terhadap data yang diproses. OpenLLM menjadi salah satu AI yang dapat dibangun dengan sumber daya internal.Jadikan AI Sebatas Rekan DiskusiKelebihan AI ada pada basis datanya, semakin banyak basis datanya maka semakin luas pemahamannya. Namun diantara seluruh kelebihan itu, masih dimungkinkan terdapat kekeliruan dalam pemahaman yang dirangkai oleh AI. Itu artinya, AI tidak dapat digunakan untuk menggantikan kecerdasan murni. Meskipun demikian, seluruh pemahaman yang dimiliki oleh AI dapat dimanfaatkan dalam nuansa rekan diskusi.Sebagai rekan diskusi, AI dapat digunakan untuk men-challenge logika hakim sebelum penyampaian pendapat ketika bermusyawarah. AI dapat juga digunakan untuk menjabarkan dasar hukum, itupun dengan verifikasi penuh oleh hakim. Rekan diskusi berbasis AI ini, selama anonimitas hakim terjaga, dapat menjadi gaya baru sebagai bahan musyawarah-penyusunan putusan hakim. AI secara umum tidak memiliki kepentingan untuk memberikan pendapat/penilaian, sehingga lebih netral dalam memberikan sudut pandang tertentu. PenutupAI memberikan banyak peluang untuk efisiensi kerja, namun dalam konteks penyusunan putusan oleh hakim, kehati-hatian menjadi hal yang mutlak. Etika, kerahasiaan, dan tanggung jawab profesi tetap menjadi pilar utama yang tidak boleh dikompromikan. Referensi Gugerty, Leo. (2006). Newell and Simon's Logic Theorist: Historical Background and Impact on Cognitive Modeling. Proceedings of the Human Factors and Ergonomics Society Annual Meeting. 50. 880-884. 10.1177/154193120605000904.Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 359/KMA/SK/XII/2022https://openai.com/policies/privacy-policy/https://openai.com/policies/row-terms-of-use/

Ini Cara Panitera Pengganti Membuat Berita Acara Sidang Berbasis AI

article | Opini | 2025-04-07 09:00:38

Pada hari Kamis, 6 Maret 2025 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan telah berhasil mengimplementasikan Grok AI dalam proses pembuatan putusan. Hal tersebut merupakan inovasi yang luar dalam menggali potensi LLM AI (Large Language Model Artificial Intelligence). Selain dapat digunakan dalam pembuatan putusan oleh para hakim, LLM AI juga dapat digunakan oleh para panitera pengganti dalam membuat berita acara sidang (BAS). Dalam tulisan ini Penulis akan membuat skenario dimana LLM AI akan diminta untuk menganalisa sebuah BAS, BAS yang digunakan adalah BAS rekaan yang diisi dengan kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam praktik persidangan. Dalam skenario ini Penulis menggunakan LLM AI yang berbeda dengan yang digunakan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Teluk Kuantan, Penulis menggunakan DeepSeek R1 dengan pertimbangan Deepkseek R1 relatif lebih hemat sumber daya ketika dijalankan secara lokal. Idealnya, LLM AI untuk lembaga peradilan dijalankan pada server khusus. Hal ini krusial mengingat dokumen persidangan sering memuat data sensitif, seperti informasi pribadi atau masalah keamanan negara.Berikut adalah 3 skenario yang dapat digunakan oleh Para Panitera Pengganti dalam membuat BAS:Skenario 1. Kesalahan pengetikan pada perkara perdataPenulis melakukan pengunggahan sebuah BAS untuk permohonan perbaikan nama. Dalam berita acara tersebut sengaja ada kesalahan dalam pengetikan.Respon DeepSeek R1: “Berikut adalah hasil pemeriksaan dan perbaikan untuk dokumen BAS yang Anda kirimkan. Perbaikan mencakup penyesuaian ejaan dan tata bahasa:"Fotocopy" → "Fotokopi" (sesuai KBBI)."bukrti" → "bukti" (paragraf ke-4)."mahssiawa" → "mahasiswa" (pada identitas saksi ke-2)."dilahkrn" → "dilahirkan" (jawaban saksi ke-2)."Pemohin" → "Pemohon" (terdapat di beberapa bagian)."tohan lahir" → "tahun lahir" (pertanyaan Hakim kepada saksi ke-2).”Skenario 2. Kesalahan diksi pada perkara perdataPenulis melakukan pengunggahan sebuah BAS untuk permohonan perbaikan nama. Dalam berita acara tersebut sengaja ada kesalahan diksi.Respon DeepSeek R1Berikut hasil pemeriksaan konsistensi dan perbaikan untuk dokumen Berita Acara Sidang:“Meskipun dalam berita acara akhir disebutkan perubahan ijazah sekolah (yang tidak tercantum dalam permohonan awal), hal ini kemungkinan merupakan kesalahan administratif. Oleh karena itu, penetapan harus dipastikan hanya mencakup perubahan nama, bulan lahir, dan jenis kelamin sesuai permohonan asli.”Skenario 3. Kesalahan diksi pada perkara pidanaPenulis melakukan pengunggahan sebuah BAS untuk permohonan perbaikan nama. Dalam berita acara tersebut sengaja ada kesalahan diksi.Respon DeepSeek R1:“Berikut hasil pemeriksaan konsistensi dan alur perkara untuk dokumen Berita Acara Sidang ketiga (perkara pidana):Barang bukti yang disebutkan (pahat, palu, jaket, topi) konsisten di seluruh dokumen. Namun, pada keterangan saksi ke-3 , disebutkan barang bukti berupa "alat GPS dan Radio Orari milik M. Isa". Ini tidak konsisten dengan barang bukti sebelumnya.→ Rekomendasi: Perjelas apakah barang bukti ini relevan dengan perkara.Pertanyaan Hakim kepada Saksi ke-3:"Sehubungan dengan masalah apa Saksi dihadapkan kepersidangan ini?"Jawaban: "Sehubungan dengan masalah Terdakwa telah melakukan percobaan pencurian sarang motor honda."→ Ketidakkonsistenan: Perkara yang dibahas adalah pencurian sarang burung walet, bukan motor honda.→ Rekomendasi: Perbaiki jawaban saksi agar sesuai dengan konteks perkara.”Dari ketiga skenario di atas, dapat disimpulkan bahwa AI memiliki manfaat signifikan dalam proses pembuatan BAS, terutama dalam memeriksa kesalahan penulisan dan alur perkara. Para Panitera Pengganti dapat lebih mendalami potensi LLM AI dengan memanfaatkannya untuk tugas-tugas yang lebih kompleks, seperti analisis konsistensi fakta atau penyusunan dokumen hukum.Keberhasilan penggunaan LLM AI bergantung pada kemampuan prompting (pemberian perintah). Misalnya, perintah 'Periksa kesalahan ejaan dalam BAS berikut' akan menghasilkan output berbeda dengan 'Identifikasi ketidakkonsistenan fakta antara kesaksian dan dakwaan.' Untuk itu, pelatihan teknis bagi panitera dalam merumuskan perintah yang spesifik dan terstruktur menjadi kunci efektivitas LLM AI.;LLM AI tidak sepenuhnya menghasilkan jawaban yang tepat, Panitera Pengganti tetap berperan sebagai pemeriksa akhir dari sebuah berita acara sidang maka dari itu dibutuhkan kekritisan dalam menelaah produk LLM AISampai saat ini Mahkamah Agung Republik Indonesia belum memiliki LLM AI khusus, yang tersedia adalah yang sifatnya umum seperti Grok, Deepseek dan ChatGPT yang memiliki resiko pada keamanan data. Jika Para Panitera Pengganti ingin memanfaatkan LLM AI umum tersebut lebih baik menghapus dulu data-data penting yang ada didalam BAS. Penggunaan LLM AI dalam praktek persidangan adalah fondasi baru bagi peradilan modern dengan mengurangi beban kerja dan meningkatkan kualitas dari produk Pengadilan. Mari kita bersama terus berinovasi untuk mewujudkan peradilan yang unggul dan tangguh. (FAC)*Hakim Pengadilan Negeri Bobong

Mengawal Masa Depan: Peran Hukum dalam Memastikan Kemajuan Teknologi yang Etis

article | Opini | 2025-04-01 08:10:47

Dengan berkembangnya teknologi kecerdasan buatan (AI) dan bioteknologi, kita menghadapi peluang besar sekaligus dilema etis. Inovasi ini menjanjikan transformasi dalam kesehatan, pertanian, dan berbagai aspek kehidupan. Namun, juga menghadirkan risiko atas hak asasi manusia, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial. Kerangka hukum yang kuat berbasis etika manusia-sentris dan lingkungan sangat penting untuk menjawab tantangan zaman yang baru ini.Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan teknologi sering melampaui regulasi hukum. Akibatnya, masyarakat menghadapi konsekuensi inovasi yang tidak terkendali. Potensi kerusakan lingkungan (akibat pemakaian energi yang kian tinggi seiring meningkatnya kecanggihan teknologi) dan ketidaksetaraan sosial adalah beberapa contohnya. Kini, dengan perkembangan pesat AI dan bioteknologi, taruhannya semakin tinggi. Perlindungan hukum diperlukan untuk memastikan teknologi ini menguntungkan seluruh umat manusia, bukan hanya segelintir orang beruntung yang kebetulan sudah terlanjur kaya.Etika Manusia-sentris dalam Regulasi TeknologiSelaras dengan pendapat John Rawls, hukum jelas harus melindungi hak individu dan menegakkan keadilan sosial. Lebih lanjut, Martha Nussbaum pun menekankan pentingnya meningkatkan kapabilitas dan kesejahteraan manusia. Dengan memprioritaskan kerangka etis ini, kita dapat mengembangkan regulasi yang melindungi martabat manusia dan memperjuangkan kebaikan bersama.Etika Lingkungan dan Dampak TeknologiHans Jonas pada prinsipnya menekankan kewajiban mempertimbangkan dampak jangka panjang tindakan kita terhadap generasi mendatang dan lingkungan. Prinsip ini relevan dengan regulasi AI dan bioteknologi. Lebih lanjut, Aldo Leopold pun memandang manusia sebagai anggota komunitas ekologi yang lebih luas. Pendapat-pendapat tersebut dapat membimbing pembuatan perundang-undangan yang melindungi lingkungan alam kita. Bahkan sejak zaman dahulu, perspektif spiritual dalam banyak kepercayaan animisme pun memiliki penghormatan khusus terhadap alam dan kesakralan elemen alami. Kita sebaiknya menghormati dan melindungi lingkungan sebagai entitas hidup, dan dengan demikian berusaha untuk seoptimal mungkin menyelaraskan kemajuan teknologi dengan preservasi alam semesta.Mengatasi Ketidakadilan Sosial dalam Penggunaan TeknologiAda beberapa jenis teknologi yang bersifat selaras dengan semangat keadilan sosial, seperti contohnya internet. Orang yang sangat kaya kini boleh jadi menikmati hiburan yang sama dengan anggota kelas menengah pada umumnya, selama mereka sama-sama memiliki gawai. Dengan hanya bermodalkan wi-fi, anggota kelas menengah yang memiliki pendapatan minimum kabupaten sudah dapat menikmati film seri yang sama dengan yang ditonton oleh miliuner ibukota di Netflix.Namun ada juga jenis teknologi yang boleh jadi memperbesar jurang antara si kaya dan si miskin. Misalnya terkait rekayasa genetika. Selama ini kita tahu bahwa belum tentu orang kaya secara karakter maupun kecerdasan lebih baik dari orang miskin. Namun apabila dengan rekayasa genetika si orang kaya dapat menentukan sendiri keturunan macam apa yang dia inginkan. Misalnya memiliki potensi tinggi badan, otot seperti atlet namun disertai dengan potensi kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual setara para pemimpin besar dunia. Apabila teknologi seperti CRISPR hanya dapat diakses oleh orang kaya karena harganya yang mahal, boleh jadi ketidaksetaraan genetik akan terjadi. Apabila tidak diatur dengan baik, bisa jadi di masa depan orang kaya memang akan selalu lebih baik (dalam hal bentuk fisik, karakter, dan kecerdasan) dibandingkan dengan orang miskin. Terkait hal ini, Yuval Noah Harari dalam Homo Deus memperingatkan tentang ketimpangan kekuasaan dan kekayaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.Kita memerlukan perundang-undangan yang memastikan akses adil terhadap kemajuan teknologi. Ini termasuk mengatur harga penggunaan CRISPR dan bioteknologi lainnya agar lebih terjangkau. Sedangkan terhadap AI, pedoman lebih ketat juga diperlukan untuk menghilangkan bias dalam pengkodean dan penerapannya.Kerangka Hukum Indonesia dan InternasionalMengkaji kerangka hukum yang ada penting untuk mengidentifikasi praktik terbaik dan area yang perlu diperbaiki. Perjanjian internasional seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Deklarasi Universal UNESCO tentang Bioetika dan Hak Asasi Manusia boleh jadi memberikan prinsip-prinsip dasar yang diperlukanDi Indonesia sendiri masih diperlukan perundang-undangan yang lebih spesifik tentang masalah etika terkait dengan AI dan bioteknologi. Ada kebutuhan mendesak untuk kerangka hukum komprehensif yang mengintegrasikan etika manusia-sentris dan lingkungan dalam tata kelola teknologi.Tujuan Akhir InovasiTujuan akhir inovasi adalah meningkatkan kebahagiaan manusia dan menjawab misteri alam semesta. Berdasarkan kerangka hukum pada etika manusia-sentris dan lingkungan, serta menangani risiko sosial ekonomi dalam teknologi ini, kita memastikan manfaat dari AI dan bioteknologi dibagikan secara adil dan berkelanjutan.Masa depan perkembangan teknologi ada di tangan kita. Terserah kita untuk memastikan bahwa itu dipandu oleh prinsip-prinsip yang mencerminkan standar etika tertinggi dan penghormatan terdalam kita terhadap jalinan kehidupan yang saling terkait.

Kembangkan Aplikasi PTSP+, Ditjen Badilum Sosialisasi Ke 10 Pengadilan Pilot Project

photo | Berita | 2025-03-28 14:30:44

Jakarta - Setelah mengembangkan aplikasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu Plus (PTSP+),  langkah berikutnya dilakukan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) dengan mengadakan sosialisasi kepada 10 pengadilan yang menjadi pilot project aplikasi ini pada Rabu (26/03/2025).Acara tersebut dilaksanakan dari Command Center Ditjen Badilum, sosialisasi dipimpin langsung oleh Dirjen Badilum, Bambang Myanto.“Aplikasi PTSP+ ini dikembangkan Ditjen Badilum, untuk integrasi pelayanan dengan pengadilan di daerah, serta mempercepat dan meningkatkan kualitas pemberian layanan kepada pencari keadilan”, tutur Dirjen Badilum, Bambang Myanto.Pengadilan yang mengikuti sosialisasi tersebut yaitu PT Riau, PT Yogyakarta, PT Nusa Tenggara Barat, PN Jakarta Pusat, PN Jambi, PN Kupang, PN Oelamasi, PN Klaten, PN Madiun, dan PN Tanjung. Kesepuluh satuan kerja ini menjadi peserta pilot project penerapan aplikasi PTSP+.Turut hadir dalam sosialisasi Sekretaris Ditjen Badilum, Kurnia Arry Soelaksono, Direktur Pembinaan Tenaga Teknis, Hasanudin dan Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Umum, Zahlisa Vitalita."Diharapkan Aplikasi PTSP+ ini dapat memudahkan pengurusan persuratan, permohonan, pos bantuan hukum dan administrasi layanan di pengadilan tinggi dan pengadilan negeri seluruh Indonesia," tutup Dirjen Badilum.

PN Teluk Kuantan Vonis Pria 6 Tahun Bui di Kasus Sabu, Draf Putusan Disusun AI

article | Berita | 2025-03-06 14:05:38

Teluk Kuantan- Pengadilan Negeri (PN) Teluk Kuantan, Kuantan Singingi, Riau, menjatuhkan vonis 6 tahun penjara kepada Maralis als Buyit (30),  atas kepemilikan narkotika jenis sabu. Dalam menyusun draft putusan itu, majelis hakim dibantu kecerdasan buatan/Artificial intelligence (AI).“PN Teluk Kuantan menjatuhkan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) kepada Maralis,” kata ketua majelis saat membacakan putusan dalam sidang, Kamis (6/3/2025).Sebagai informasi, putusan ini menandai sejarah baru sebagai putusan pertama di PN Teluk Kuantan yang hampir sepenuhnya disusun dengan bantuan Grok. Grok adalah kecerdasan buatan (AI) yang dikembangkan oleh xAI, dirancang untuk memberikan jawaban yang akurat dan kontekstual berdasarkan data yang diberikan, sering kali dengan pendekatan analitis dan objektif. Dalam kasus ini, Grok digunakan untuk menyusun draf putusan berdasarkan fakta hukum, keterangan saksi, dan bukti, dengan Majelis Hakim berperan sebagai tim quality assurance. Mereka memverifikasi, menyempurnakan, dan memastikan kualitas dokumen putusan tersebut, serta memberikan perubahan yang penting, terutama di bagian pertimbangan unsur pasal yang digunakan.Kembali kepada kasus Maralis, Kasus ini bermula pada 26 Agustus 2024, sekitar pukul 16.30 WIB, ketika Tim Reskrim Polsek Kuantan Hilir menangkap Maralis di sebuah pondok terpencil di Desa Kampung Medan, Kecamatan Kuantan Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi. Penangkapan dilakukan berdasarkan laporan masyarakat yang mencurigai aktivitas peredaran narkoba di lokasi tersebut. Saat ditangkap, Maralis bersama seorang pria bernama Depri Helmizah als Idep, yang berhasil melarikan diri.“Dalam penggeledahan, polisi menemukan lima paket sabu seberat 0,46 gram, timbangan digital, bong, dan dua unit telepon genggam,” ujar Jaksa Penuntut Umum Riva Cahya Limba saat membacakan dakwaan dalam perkara ini. Penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa pondok tempat Maralis ditangkap tersebut telah lama digunakan sebagai tempat peredaran narkoba yang sulit terdeteksi oleh aparat. Hasil uji laboratorium mengonfirmasi bahwa barang bukti yang ditemukan mengandung metamfetamina, yang tergolong narkotika golongan I.Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menilai bahwa meskipun Maralis tidak terbukti menjual atau menawarkan narkotika karena tidak ada bukti konkret yang menunjukkan ia terlibat peredaran, ia tetap setidak-tidaknya menguasai barang ilegal tersebut. Dengan demikian, Maralis terbukti melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, selaras dengan tuntutan Jaksa Pentuntut Umum yang bersidang. Putusan ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa karena mempertimbangkan dampak negatif perbuatannya terhadap upaya pemberantasan narkoba di daerah terpencil.Selain menjatuhkan hukuman kepada Maralis, Majelis Hakim memerintahkan pemusnahan barang bukti berupa sabu dan alat konsumsi narkoba, sementara telepon genggam yang disita dirampas untuk negara. Kasus ini juga membuka pertanyaan tentang jaringan yang lebih luas, termasuk keterlibatan Depri Helmizah yang masih buron, serta dugaan peran Rio Contus sebagai pemasok.Putusan ini menyoroti tantangan besar dalam pemberantasan narkoba di pedesaan, di mana pondok-pondok terpencil terkadang menjadi tempat peredaran gelap yang sulit terdeteksi. Kasus Maralis juga menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan ketat serta sinergi antara aparat dan masyarakat dalam memerangi peredaran narkotika.Untuk diketahui, putusan itu diketok oleh ketua majelis Timothee Kencono Malye dengan anggota Samuel Pebriyanto Marpaung dan Nurul Hasanah.

Bahaya Laten AI dalam Etika Profesi

article | Opini | 2024-12-31 17:20:49

Bandar Lampung - Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa perkembangan teknologi kecerdasan buatan / artificial intelligence (AI) begitu cepat melakukan penetrasi ke seluruh aspek kehidupan sehingga memberikan kemudahan dalam banyak bidang pekerjaan. AI menghadirkan cara dan prosedur yang lebih efektif dan efisien. Awalnya melalui mesin pencari seperti Google kita dapat mendapatkan informasi yang melimpah. Ternyata kemudian dengan hanya mengisi satu perintah dalam prompt chatGPT diperoleh informasi lebih cepat, terstruktur dan nyaris sempurna. Kehadirannya tentu membawa harapan ke arah peradaban publik yang lebih baik. AI telah menjadi simbol modernisasi. Di sisi lain AI juga membawa dampak negatif, proses otomatisasi menciptakan mesin-mesin dan program-program yang menggantikan peran manusia dalam pekerjaan yang sifatnya rutin dan berulang. Ketika kemudian ChatGPT, Meta AI, Gemini, dan AI generatif lainnya menjadi barang publik dan populer, maka kekurangan informasi bukan lagi menjadi masalah, sebaliknya informasi yang melimpah ruah menjadi masalah baru. Tidak menggunakan sama sekali atau menolaknya tentu bukan pilihan yang realistis.Pemanfaatan Artificial  Intelligence  (AI)  dalam  sistem  hukum  di  Indonesia  telah  menjadi  topik  yang  menarik serta menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, pendukung pemanfaatan AI dalam  hukum  mendasarkanpada potensi  yang dimiliki untuk merampingkan proses administratif, menganalisis data dalam jumlah besar, menyusun dokumen, mengidentifikasi kasus-kasus terdahulu dan selanjutnya menyajikan probabilistik hasil litigasi. Hal tersebut tentunya meningkatkan  efisiensi,  akurasi,  dan  aksesibilitas  sehingga mengurangi biaya, waktu dan mengubah cara pandang terhadap sistem  peradilan. Di sisi lain, pendapat kontra  terkait  dengan  pemanfaatan AI dalam hukum mengungkapkan kekhawatiran tentang transparansi dan akuntabilitas keputusan AI, masalah privasi data, serta keabsahan dan keandalan algoritma yang digunakan.Dalam kajian akademis, persinggungan antara kecerdasan buatan dan etika hukum merupakan salah satu tema kajian yang paling provokatif dalam filsafat hukum kontemporer. Dalam “Law Without Mind,” Joshua P. Davis berargumen bahwa; Meskipun AI memiliki potensi untuk merevolusi sistem hukum, perannya dalam membuat penilaian moral yang substantif menimbulkan dilema etika yang mendalam. Dapatkah sebuah sistem yang tidak memiliki moralitas dan empati manusia benar-benar mewujudkan esensi keadilan?. Hukum bukan sekadar sistem aturan, hukum adalah kerangka kerja sosial yang mewujudkan kejujuran, keadilan, dan pertanggungjawaban moral. Kualitas-kualitas ini berasal dari pertimbangan manusia, empati, dan pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai masyarakat, di mana elemen-elemen tersebut tidak dimiliki dan berada di luar jangkauan AI. Pengambilan keputusan oleh AI yang diperoleh dari algoritma yang tersembunyi dan sifat “black box” menimbulkan pertanyaan filosofis tentang akuntabilitas dan kerisauan atas hilangnya transparansi landasan keadilan. Ketika pemanfaatan hukum sebatas untuk tujuan deskriptif atau prediktif, maka kehadiran AI menjadi sangat efektif dalam menganalisis kumpulan data yang sangat besar untuk memberikan prediksi suatu perkara atau mengidentifikasi tren dan kebutuhan yang diperlukan dalam proses pembentukan aturan hukum. Namun di sisi lain, ketika interpretasi hukum membutuhkan panduan moral, AI gagal. Positivisme hukum tidak akan dapat menjawab kewajiban moral yang melekat dalam hukum, tanpa didukung integritas etika melalui pendekatan non-positivis.Di antara beberapa penyebab kelemahan AI adalah kekuranglengkapan dan kekurangberagamnya data, serta subjektifitas perancang dalam proses pelatihan program, sehingga outputnya mengandung bias dan stereotip dalam masyarakat. Sebagaian besar sistem AI beroperasi dalam ruang gelap dan tidak tersentuh. Di mana para perancang dapat bertindak dan memutuskan tanpa diketahui siapa pun. Ketidaktransparan ini dapat menimbulkan masalah yang serius. Pertanyaannya, siapa yang bertanggungjawab ketika sistem AI membuat kesalahan dan menimbulkan kerugian bagi orang lain?. Euforia potensi AI untuk meningkatkan efisiensi perlu diimbangi dengan fondasi moral dan panduan etik dalam dalam pemanfaatan dan penggunaannya. Demikian juga bagi hakim ketika memanfaatkan AI dalam tugas profesinya memerlukan pendekatan etika profesi sebagai sebuah pedoman yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai.Hakim harus mandiri, mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ketergantungan berlebih dengan menyandarkan diri pada informasi yang disajikan oleh teknologi AI dalam mempertimbangkan dan memutuskan perkara yang diperiksa, sesungguhnya sama saja dengan bergantung kepada pihak lain. Selalu mengandalkan informasi yang diperoleh dari program AI lambat laun akan membentuk individu yang mudah dipengaruhi, dikendalikan dan dimobilisasi, kehilangan kemampuan berpikir kritis dalam membuat penilaian mandiri, sehingga lupa pentingnya menempa diri menjadi profesional. Dalam memanfaaatkan AI, seorang hakim lebih baik berperilaku rendah hati, dengan cara menempatkan diri sebagai kaum awam dalam urusan teknologi, sehingga muncul kesadaran diri untuk terus belajar dan bersikap hati hati dalam menggunakannya. AI sesungguhnya hanyalah alat bantu yang dapat meringankan pekerjaan namun tidak mampu menjawab seluruh pertanyaan ataupun menyelesaikan masalah. Informasi yang diperoleh dijadikan informasi awal yang sangat membantu namun perlu diperiksa kebenarannya, dikaitkan dengan informasi lainnya yang relevan, dan paling penting adalah melakukan verifikasi ulang berdasar pengetahuan yang dimiliki. Ketika AI diintegrasikan ke dalam sistem hukum, harus ditarik batas yang jelas antara tugas-tugas yang dapat dilakukan secara otomatis by sistem dan keputusan yang membutuhkan penilaian manusia yang memiliki penalaran moral dan pertimbangan etika. Disrupsi digital harus diimbangi dengan peningkatan profesionalisme dan berpegang teguh pada etika profesi.Enan Sugiarto, S.H., M.H.Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Karang, Lampung dan mahasiswa Program Doktor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.