Cari Berita

Eddy Hiariej : Semua Upaya Paksa Dalam KUHAP Baru Harus Izin Ke Pengadilan

article | Berita | 2025-10-04 14:00:10

Yogyakarta – Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Seminar Nasional bertajuk “Pembaharuan Judicial Scrutiny dalam Rancangan KUHAP” pada Jumat (03/10/25). Kegiatan ini menghadirkan sejumlah pakar hukum pidana sebagai narasumber dan diikuti oleh akademisi, penegak hukum, serta mahasiswa. Seminar menjadi ruang diskusi penting terkait peran judicial scrutiny dalam hukum acara pidana di Indonesia.Seminar ini menghadirkan Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Edward Omar Sharif Hiariej, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia sekaligus Dosen Hukum Kriminologi Universitas Brawijaya, Fachrizal Affandi, serta Ketua Law and Gender and Society sekaligus Dosen Hukum Pidana UGM, Sri Wiyanti Eddyono.Dalam paparannya, Fachrizal menegaskan latar belakang pentingnya judicial scrutiny.“Tanpa pengawasan hakim yang ketat, prinsip rechtstaat terancam runtuh dan hukum acara pidana hanya menjadi instrumen kekuasaan,” tegasnya.Ia juga menjelaskan urgensi judicial scrutiny dalam melindungi hak asasi tersangka maupun terdakwa.“Judicial scrutiny yang kuat mencegah penyalahgunaan upaya paksa, menjaga proporsionalitas, dan memastikan prinsip negara hukum,” ujarnya.Lebih lanjut, Fachrizal memaparkan tiga model judicial scrutiny yang dikenal, yaitu rational basis review, intermediate scrutiny, dan strict scrutiny. Model-model tersebut dapat menjadi kerangka konseptual dalam merumuskan pembaruan KUHAP agar lebih berkeadilan.Sementara itu, Sri Wiyanti Eddyono menyoroti isu perlindungan perempuan dalam konteks hukum acara pidana.“Harus ada perhatian terkait penahanan terhadap perempuan yang berkonflik dengan hukum, terutama perempuan hamil dan menyusui,” ungkapnya.Adapun Wakil Menteri Hukum, Eddy Hiariej, menekankan perlunya keterlibatan pengadilan dalam seluruh upaya paksa sebagaimana diatur dalam KUHAP nanti.“Semua upaya paksa dalam KUHAP harus meminta izin kepada pengadilan,” tegasnya.Seminar ini sekaligus menjadi momentum refleksi akademik dan praktik dalam pembaruan hukum acara pidana.Pembahasan lengkap dapat dilihat di: https://www.youtube.com/watch?v=V-0yCIx-h2I (zm/fac)

Reformasi Acara Pidana: Mengembalikan Pengadilan ke Pusat Kontrol Keadilan

article | Berita | 2025-09-25 11:45:39

Jakarta – Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) terbuka bersama Komisi III DPR RI, Selasa (23/9/2025), Ombudsman Republik Indonesia menyampaikan sejumlah catatan krusial terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Di tengah sorotan publik pada penyidik dan penuntut, Ombudsman menekankan pentingnya menegaskan peran pengadilan dan hakim sebagai jangkar kepastian hukum dan kontrol institusional yang tak tergantikan.Ketua Ombudsman RI, Ahmad Novindri Aji Sukma, mengungkap bahwa laporan masyarakat terhadap pengadilan, meski menurun secara kuantitatif, masih didominasi keluhan soal eksekusi putusan yang tertunda.“Sudah inkrah sampai kasasi, bahkan PK, tapi eksekusinya tidak ada kepastian waktu pelaksanaannya. Penundaan berlarut ini merupakan bentuk maladministrasi yang merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan,” tegasnya.Ombudsman juga menyoroti pengaturan RUU KUHAP tentang penyitaan dan penggeledahan yang mewajibkan izin Ketua Pengadilan Negeri. Namun, rancangan tersebut justru membatasi objek praperadilan hanya pada tindakan tanpa izin hakim. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi telah memperluas objek praperadilan, termasuk pada tindakan yang telah mendapat izin pengadilan.“Ini perlu direviu lagi, apakah semua yang telah diputus oleh MK dapat menjadi objek praperadilan,” ujar Ahmad Novindri.Dalam sesi pendalaman, muncul kembali usulan untuk menghidupkan peran hakim pemeriksa pendahuluan. Fungsi ini dipandang penting untuk menilai kecukupan bukti sebelum status tersangka ditetapkan, sehingga dapat mencegah kriminalisasi dan memperkuat prinsip due process of law.“Sebelum status tersangka sah, pengadilan menerima notifikasi dan memverifikasi bukti permulaan,” jelas salah satu narasumber dari Indonesia Millenials Center.Ombudsman juga menyatakan dukungan penuh terhadap implementasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPTI), yang memungkinkan pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan lembaga pemasyarakatan terhubung dalam satu platform digital.“Dengan SPPTI, masyarakat bisa memantau proses hukum secara real-time, termasuk jadwal sidang dan status eksekusi,” kata Ahmad Novindri.Melalui berbagai masukan tersebut, Ombudsman menegaskan bahwa penyusunan KUHAP baru harus berpijak pada semangat memperkuat pengawasan yudisial dan perlindungan hak warga negara. Pembaharuan hukum acara pidana tidak cukup dengan memperluas kewenangan aparat, melainkan harus menjamin peran pengadilan sebagai pengawas utama jalannya keadilan. (al)

Komnas HAM : Restorative Justice Bukan Celah Transaksi Hukum

article | Berita | 2025-09-24 19:00:45

Jakarta – Komisi III DPR RI menyoroti potensi penyalahgunaan mekanisme restorative justice (RJ) dalam penanganan perkara pidana. Dalam rapat bersama Kementerian Hukum dan HAM serta Komnas HAM pada Senin (22/09/2025), Komnas HAM menekankan agar RJ tidak boleh dijadikan “jalan pintas” dalam kasus transaksional, terutama yang melibatkan korporasi atau konflik agraria.“Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah menerbitkan peraturan teknis mengenai restorative justice secara detil untuk mencegah penyalahgunaan RJ oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,” ujar Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah.Sebagaimana paparan Komnas HAM, sejumlah tindak pidana dikecualikan dari penerapan RJ, antara lain terorisme, korupsi, narkotika (kecuali pengguna), tindak pidana dengan ancaman lima tahun penjara ke atas, kekerasan seksual, hingga pelanggaran hak asasi manusia berat. Secara khusus, Pasal 77 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mengatur bahwa kasus kekerasan seksual harus dikeluarkan dari mekanisme RJ, dengan pertimbangan kerugian dan dampak negatif yang harus dialami korban.Komnas HAM juga memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, perlunya keberadaan fasilitator atau mediator independen di luar aparat penegak hukum guna mencegah penyalahgunaan RJ. Kedua, korban rentan dipaksa berdamai dalam kasus kekerasan domestik, sehingga tindak pidana kekerasan seksual perlu tetap dikecualikan dari RJ. Ketiga, diperlukan aturan teknis yang lebih jelas, termasuk melalui peraturan pemerintah, agar pelaksanaan RJ memiliki kepastian hukum. Keempat, RJ tidak boleh digunakan untuk kasus pelanggaran HAM berat karena berisiko menimbulkan impunitas.Selain itu, sejumlah anggota dewan menegaskan bahwa pengalaman di berbagai negara maju menunjukkan keberhasilan RJ hanya dapat dicapai jika didukung aturan yang kuat, aparat yang profesional, dan budaya hukum yang matang. “Saat ini kita sedang masuk ke dalam penyusunan substansi hukum. Untuk menghindari potensi penyalahgunaan RJ, perlu dukungan dari pemangku kepentingan terkait. Pemerintah juga perlu menggali aspirasi masyarakat agar mekanisme RJ yang dirumuskan benar-benar membingkai keadilan bagi seluruh pihak,” ujar I Wayan Soedirta, anggota Komisi III.Selain itu, Soedeson Tandra, juga menilai perlu ada pemisahan tegas antara RJ dan plea bargaining agar tidak terjadi tumpang tindih dalam praktik hukum. “Saat ini, asas unus testis nullus testis atau satu saksi bukan saksi dianggap sudah kuno di beberapa negara. Sebaliknya, kini berkembang prinsip maximum evidence yang menekankan pentingnya bukti maksimal, sehingga tidak cukup hanya dua bukti atau dua saksi untuk menguatkan pembuktian perkara, sehingga DPR sangat memerlukan masukan dari Komnas HAM dan Kementerian HAM agar pelaksanaan hukum acara pidana berjalan efektif dan tidak menimbulkan celah untuk mengelabui hukum”, tambahnya. (SNR/FAC)

RUU KUHAP Disorot KEMENHAM, Penangkapan Tanpa Kontrol Hakim Dinilai Berbahaya

article | Berita | 2025-09-24 17:30:16

Jakarta – Kementerian HAM menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan terhadap proses penangkapan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dalam RDP bersama Komisi III DPR dan Komnas HAM pada Senin (22/09/2025).“Pada periode Januari 2023-Desember 2024, Komnas HAM menerima dan memproses pengaduan HAM sebanyak 1.752 aduan, di mana 3 (tiga) pihak yang paling banyak diadukan adalah Kepolisian RI, Lembaga Peradilan dan Kejaksaan,” ujar Anis Hidayah, Ketua Komnas HAM.Selain itu, Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, mengusulkan agar prosedur penangkapan dan penahanan terhadap tersangka harus memperoleh persetujuan hakim sebagai mekanisme kontrol terhadap potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum.“Kementerian HAM hadir dalam pembahasan RUU KUHAP dengan dua alasan. Pertama, mandat dari Perpres 156 Tahun 2024 yang mengamanatkan agar kami memastikan semua regulasi berjalan dengan penghormatan, pelindungan dan pemajuan HAM. Kedua, Indonesia telah meratifikasi ICCPR melalui UU 12/2005 dan Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU 5/1998, sehingga standar HAM internasional mengikat menurut hukum,” tambah Mugiyanto.“Pasal 17 Rancangan KUHAP hanya mensyaratkan penangkapan didasarkan pada cukup alasan, tanpa standar yang jelas sehingga dinilai masih terlalu umum. Kami merekomendasikan untuk memperjelas kategori bukti permulaan sahih dan menghimbau penyidik melakukan pencatatan secara rinci serta meminta pengesahan hakim dalam waktu paling lambat 2x24 jam sesuai prinsip habeas corpus. Hal ini mengacu pada Pasal 9 ayat (1) dan (2) ICCPR serta General Command atas ICCPR nomor 38,” ujarnya.Menyikapi pernyataan tersebut, Legislator Komisi III memaparkan tantangan penerapan konsep habeas corpus dalam konteks penangkapan yang diatur dalam Rancangan KUHAP.“Dalam diskusi dengan Ketua Pengadilan di berbagai daerah, Komisi III dan MA sepakat perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap penyidik dalam melakukan penangkapan. Namun, kendala utama terletak pada keterbatasan jumlah hakim, terutama di Pengadilan Negeri yang kerap melayani dua hingga tiga kabupaten. Kondisi ini membuat hakim tingkat pertama kewalahan menerima laporan dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dalam tenggat 2x24 jam,” jelas Benny Utama.“Dalam praktik, terdapat keterbatasan sumber daya dan waktu yang sangat sempit bagi hakim untuk mengurusi laporan-laporan tersebut. Padahal, pengawasan dalam 2x24 jam merupakan prinsip fundamental habeas corpus,” ungkap anggota Komisi III dalam rapat bersama Kementerian Hukum dan HAM. (SNR/FAC)

PT Surabaya Bahas Evaluasi Pelaksanaan KUHAP dalam Kunker Komisi III DPR RI

article | Berita | 2025-09-18 13:45:15

Surabaya - Komisi III DPR RI melaksanakan Kunjungan Kerja (Kunker) Spesifik di Provinsi Jawa Timur masa persidangan I tahun sidang 2025-2026 pada Kamis (18/9) dalam rangka evaluasi pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di wilayah Jawa Timur, berlangsung di Mapolda Jatim. Dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Moh. Rano Alfath, diikuti oleh para mitra kerja Komisi III di daerah, antara lain Polda Jatim, Kejati Jatim, Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya, BNNP Jatim, dan beberapa Profesor ahli dari perguruan tinggi di Jawa Timur.Ketua PT Surabaya, Sujatmiko, didampingi Waka PT Surabaya, Puji Harian, Hakim Tinggi Bambang Kustopo dan Suhartanto, serta Plh. Sekretaris, dalam pemaparannya menyampaikan hambatan pelaksanaan hukum Acara Pidana diantaranya kurangnya koordinasi lembaga penegak hukum, perlunya perbaikan dan peningkatan kapasitas teknis aparat penegak hukum.“Secara teknis hambatan dalam efektifitas hukum acara pidana meliputi keterbatasan sumber daya manusia dan pengumpulan bukti elektronik, solusinya kerjasama antar lembaga harus ditingkatkan sejalan dengan penguatan mekanisme pengawasan,” jelas Sujatmiko.Sujatmiko juga menjelaskan mengenai persoalan penangkapan yang mengesankan adanya kesewenang-wenangan, permasalahan teknis dalam praperadilan serta ketimpangan KUHAP dalam mengakomodir perlindungan saksi dan korban.Selain pemaparan Ketua PT Surabaya, mitra kerja Komisi III dan para ahli juga turut menyampaikan presentasi mengenai aspek penegakan hukum dari perspektif masing-masing lembaga.Di akhir sesi, Ketua PT Surabaya memberi beberapa masukan terhadap draft RUU tentang Hukum Acara Pidana, yakni perlunya pengaturan tentang Penerapan Keadilan Restoratif dan Mediasi Penal. Aturan itu diperlukan agar penerapan keadilan restoratif para penegak hukum dapat seirama dan tidak memunculkan perbedaan perspektif publik. Misalnya Mahkamah Agung telah mengaturnya dalam PERMA No. 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, yang diterapkan hakim melalui pemulihan kerugian Korban dan/atau pemulihan hubungan antara Terdakwa, Korban, dan Masyarakat di dalam Putusan. Komisi III DPR RI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal penegakan hukum yang adil, transparan, dan akuntabel di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Timur. (SNR/LDR)

Pemerintah Tegaskan Batasan Praperadilan dan Peran Sentral Hakim dalam RKUHAP

article | Berita | 2025-09-18 13:40:21

Jakarta – Pemerintah kembali tekankan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang akan diberlakukan tahun 2026 akan berorientasi pada due process of law, khususnya terkait upaya praperadilan. Dalam hal ini, Eddy Hiariej, Wakil Menteri Hukum dalam paparannya pada peluncuran buku “Studi Pembaharuan KUHAP: Hal-Hal Mendasar”, Senin (15/09/2025), menyatakan bahwa filosofi dari hukum acara pidana adalah bukan untuk memproses pelaku kejahatan, melainkan untuk mengawasi dan mencegah kesewenang-wenangan negara terhadap individu.“Dalam rancangan KUHAP, pemerintah memastikan seluruh kewenangan (aparat penegak hukum) polisi, jaksa dan hakim harus diatur secara ketat sehingga tidak pelanggaran kewenangan dalam pelaksanaan tugas,” jelas Eddy Hiariej.Selain itu, Eddy menekankan bahwa terdapat penambahan bentuk upaya paksa yang akan diatur di dalam rancangan KUHAP mendatang.“Setiap tindakan aparat penegak hukum terkait pelaksanaan upaya paksa, di mana pada KUHAP yang lama terdapat 5 jenis upaya paksa, kini bertambah menjadi 9 jenis upaya paksa, antara lain: pencekalan, pemblokiran, penetapan tersangka dan penetapan,” tambahnya.Secara prinsip, pemerintah mengatur agar seluruh tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri. Hal ini merupakan upaya preventif agar kewenangan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum tidak disalahgunakan.Kemudian, kata Eddy, dalam hal-hal tertentu upaya paksa dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari ketua pengadilan negeri. Tetapi ada kewajiban bagi aparat penegak hukum agar dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak upaya hukum tersebut dilakukan harus meminta persetujuan dari ketua pengadilan negeri.Selain itu, dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak menerima surat permintaan persetujuan upaya paksa dari aparat penegak hukum, ketua pengadilan negeri harus mengeluarkan penetapan apakah upaya hukum tersebut sah atau tidak dilakukan.Dalam hal pengadilan negeri menetapkan bahwa upaya paksa yang dilakukan tersebut tidak sah, maka terhadap upaya paksa tersebut harus dihentikan seketika itu juga.Walaupun seluruh upaya paksa harus memperoleh persetujuan dari ketua pengadilan negeri, pemerintah tidak menutup pintu upaya praperadilan tetap terjadi.“Misalnya, terkait (upaya paksa) penyitaan di mana aparat penegak hukum mengajukan surat persetujuan penyitaan kepada ketua pengadilan negeri dan izin tersebut kemudian diberikan oleh ketua pengadilan negeri. Sangat mungkin, barang-barang yang disita tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan. Hal ini memberikan kesempatan untuk diajukannya praperadilan ke pengadilan,” ungkap Eddy Hiariej.Dalam diskusi tersebut, Eddy juga menyampaikan keseimbangan peran penting aparat penegak hukum dan advokat dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia melalui upaya praperadilan. (SNR/WI)

Eddy Hiariej: Usul Perkara Dengan Ancaman Pidana Mak. 5 Tahun Tak Bisa Kasasi

article | Berita | 2025-09-17 15:00:59

Jakarta – Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menegaskan bahwa pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akan membawa perubahan signifikan dalam tata cara beracara di pengadilan. Salah satu poin krusial adalah pembatasan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA).“KUHAP yang baru membatasi perkara. Perkara yang dapat dimintakan kasasi ke MA adalah perkara yang ancaman pidananya lebih dari lima tahun. Sementara perkara yang ancaman pidananya lima tahun hanya berhenti di tingkat pengadilan tinggi,” ujar Eddy dalam Diskusi Publik dan Peluncuran Studi Pembaruan KUHAP: Hal-Hal Mendasar.Menurut Eddy, aturan ini bertujuan memperbaiki pola penanganan perkara yang selama ini dianggap tidak efisien. Ia menyoroti fenomena membludaknya perkara kasasi yang masuk ke MA.“Di mana pun di dunia ini, jalannya perkara dari bawah ke atas itu ibarat kerucut, semakin ke atas semakin sedikit. Tapi di Indonesia ini seperti pipa paralon. Orang menganggap PK itu peradilan tingkat empat. Padahal, PK itu upaya hukum yang amat sangat luar biasa dan tidak bisa digunakan serampangan,” tegasnya.Pernyataan Eddy tersebut berkelindan dengan data manajemen perkara yang dirilis Mahkamah Agung dalam Laporan Tahunan yang rilis awal tahun 2025. Jumlah perkara kasasi yang masuk pada 2024 mencapai 20.370 perkara, meningkat tajam dari tahun sebelumnya sebanyak 16.179 perkara. Tren serupa juga terlihat pada perkara Peninjauan Kembali (PK) yang melonjak dari 3.501 perkara di 2023 menjadi 4.097 perkara di 2024.Pembaruan KUHAP, kata Eddy, diharapkan menjadi tonggak penting dalam sejarah hukum Indonesia. Sistem peradilan pidana yang baru dirancang untuk lebih mampu menjamin hak-hak dasar semua pihak, sekaligus memperkuat akuntabilitas dan mekanisme check and balances antar-lembaga penegak hukum.Diskusi publik yang berlangsung secara daring pada 15 September 2025 ini menghadirkan sejumlah pembicara, di antaranya Asfinawati dan Rifqi Sjarief Assegaf, pengajar dari STH Indonesia Jentera. Sejarawan JJ Rizal turut menjadi penanggap. (Jatmiko Wirawan/al)

Pergeseran Makna Putusan Lepas dalam RUU KUHAP dan Implikasinya

article | Opini | 2025-05-09 07:30:44

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia yang saat ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menjadi landasan penting dalam kerangka penegakan hukum pidana. Namun, seiring dengan perkembangan zaman serta kebutuhan untuk mewujudkan sistem peradilan yang diharapkan lebih adil dan modern, upaya pembaruan hukum acara pidana (revisi atas KUHAP) terus dilakukan. Salah satu aspek krusial yang menjadi perhatian dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP versi DPR RI tanggal 20 Maret 2025 (RUU KUHAP) adalah perluasan jenis putusan dari yang sebelumnya hanya dikenal 3 (tiga) bentuk putusan yakni putusan pemidanaan (veroordeling), putusan bebas (vrijspraak), atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP menjadi 4 (empat) bentuk putusan dengan ditambahkannya satu bentuk putusan baru yakni putusan pemaafan hakim (rechterlijk pardon) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 RUU KUHAP. Perluasan jenis putusan sebagaimana telah disinggung di atas, pada umumnya merupakan hal yang wajar apabila terjadi perubahan kalimat sebagai bentuk penyempurnaan seperti adanya perubahan dalam pengaturan tentang putusan pemidanaan dan putusan bebas dalam RUU KUHAP, namun perubahan kalimat tersebut tetap memiliki makna yang sama sebagaimana telah diatur sebelumnya dalam KUHAP. Akan tetapi, tidak demikian dengan pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”, sedangkan Pasal 230 ayat (3) RUU KUHAP menyebutkan bahwa “Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Perubahan kalimat dalam pengaturan tentang putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam RUU KUHAP membawa pergeseran makna dan implikasi yang signifikan dibandingkan dengan pengaturan dalam KUHAP yang saat ini masih berlaku. Kriteria putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang berlaku dalam KUHAP adalah: apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan, namun sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana (M. Yahya Harahap, 2021). Sedangkan, untuk kriteria putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang berlaku dalam RUU KUHAP adalah: apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan, namun sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa terdapat alasan yang meniadakan atau menghapuskan sifat pidana dari perbuatan tersebut. Makna secara tegas mengenai pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam KUHAP adalah perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu tidak ada diatur dan tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana, tetapi mungkin termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata, hukum dagang, hukum asuransi, atau bidang hukum lainnya. Lain halnya dengan pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam RUU KUHAP yang memiliki makna bahwa perbuatan yang didakwakan dan yang telah terbukti itu diatur dan termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana, tetapi hakim tidak menjatuhkan pidana dengan alasan adanya dasar peniadaan pidana. Dalam konteks hukum pidana, dasar peniadaan pidana merupakan konsep fundamental berisi alasan-alasan hukum yang menyebabkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana (delik) tidak dapat dipidana oleh hakim. Secara garis besar, dasar peniadaan pidana dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden). Alasan pembenar adalah keadaan-keadaan tertentu yang menghapus sifat melawan hukum dari suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Dengan adanya alasan pembenar, perbuatan yang awalnya terlihat sebagai pelanggaran hukum menjadi dianggap sebagai perbuatan yang dibenarkan oleh hukum. Fokus utama dari alasan pembenar adalah pada perbuatannya itu sendiri (objektif) dan situasi yang melatarbelakanginya, seperti: keadaan darurat (noodtoestand), pembelaan terpaksa (noodweer), menjalankan perintah undang-undang (wettelijk voorschrift), atau menjalankan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang (ambtelijk bevel). Sedangkan alasan pemaaf adalah keadaan-keadaan tertentu yang menghapus kesalahan (schuld) dari pelaku tindak pidana, meskipun perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang bersifat melawan hukum. Dengan adanya alasan pemaaf, pelaku tidak dapat dipersalahkan atau diminta pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya. Fokus utama dari alasan pemaaf adalah pada diri pelaku (subjektif) dan keadaan mental atau kondisi pribadinya pada saat melakukan tindak pidana, seperti: tidak mampu bertanggung jawab karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijk storing), daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer excess), atau menjalankan perintah jabatan yang tidak sah tetapi dilandasi dengan iktikad baik. Merujuk kembali pada konteks pengaturan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dalam praktik peradilan saat ini yang masih menggunakan KUHAP sebagai landasan hukum acara pidana, para hakim kerap memiliki pandangan yang berbeda ketika memformulasikan jenis putusan dalam perkara yang memiliki dasar peniadaan pidana. Sebagian hakim merumuskannya dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) sebagaimana dapat dilihat dari Putusan Nomor 72/Pid.B/2020/PN Enr,  671/Pid.Sus/2020/PN Ptk, dan 44/Pid.B/2021/PN Pts. Sementara itu, terdapat pula hakim yang merumuskannya dengan putusan bebas (vrijspraak) yaitu membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan penuntut umum sebagaimana dapat dilihat dari Putusan Nomor 254/Pid.Sus/2014/PN.Tbt, 391/Pid.B/2014/PN.Psp, dan 119/Pid.Sus/2019/PN Mgl. Terjadinya perbedaan pendapat hakim dalam memformulasikan jenis putusan meskipun terhadap perkara dengan kondisi yang serupa (adanya dasar peniadaan pidana) tersebut terjadi karena pada dasarnya, baik jenis putusan bebas yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP tidak mengakomodir secara expressis verbis terhadap perkara yang di dalamnya terdapat dasar peniadaan pidana. Menurut Yahya Harahap, apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi dasar peniadaan pidana, maka hal atau keadaan tersebut merupakan faktor alasan menjatuhkan putusan pembebasan terhadap terdakwa dari pemidanaan supaya penerapan tentang bentuk putusan bebas tidak semata-mata didasarkan pada hukum acara saja, tetapi juga yang diatur dalam hukum materiil (M. Yahya Harahap, 2021). Selain itu, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan khususnya pada bagian Tindak Pidana Umum poin nomor 14 memberikan kaidah hukum bahwa dalam kasus terdakwa yang mempunyai alasan pembenar dan unsur dari dakwaan tidak terpenuhi maka terdakwa diputus bebas (vrijspraak), sedangkan dalam kasus terdakwa yang mempunyai alasan pemaaf dan unsur dari dakwaan terpenuhi, tetapi terdapat hal eksepsional, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Dengan perubahan pengaturan tentang putusan lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana dalam Pasal 230 ayat (3) RUU KUHAP yang berbunyi “Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”, maka terdapat pergeseran makna dan kriteria dalam norma pasal a quo yang membawa implikasi bahwa terhadap perkara yang di dalamnya terdapat dasar peniadaan pidana baik berupa alasan pembenar maupun alasan pemaaf, hakim harus secara konsisten memformulasikan putusannya hanya dengan (solely on) jenis putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). (WI, FAC, LDR) Referensi M. Yahya Harahap. (2021). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika Gerry Geovant Supranata Kaban, S.H.Calon Hakim Pengadilan Negeri Blitar

Revisi KUHAP: Memperkuat Due Proces of Law

article | Opini | 2025-04-18 07:30:26

Herbert L. Packer dalam buku The Limits of The Criminal Sanction (1968) menggolongkan sistem peradilan pidana dalam dua jenis tipologi yakni crime control model dan due proces model, dimana due proces model merupakan kontra reaksi terhadap crime control model. Dua model sistem peradilan pidana tersebut secara prinsipil memang memiliki konsep dan karakter yang berbeda sebagai mesin operasionalisasi sistem peradilan pidana.Sistem crime control model tumbuh dilatarbelakangi oleh fenomena tingginya angka kriminalitas di Amerika. Atas kondisi tersebut, dibutuhkan sistem peradilan pidana yang efisien, artinya harus cepat dan tuntas agar kasus tidak menumpuk. Setiap perkara pidana yang masuk harus segera diproses dan diadili. Oleh sebab itu, asas yang digunakan adalah asas praduga bersalah (presumption of guilt). Bahwa setiap orang yang diperiksa dalam peradilan dianggap bersalah sampai dibuktikan sebaliknya.Crime control model memiliki beberapa ciri karakter khas diantaraya: tindakan represif sebagai reaksi terhadap terjadinya tindak pidana menjadi hal yang utama dalam proses peradilan pidana sehingga tersangka/terdakwa diletakkan sebagai obyek pemeriksaan, mengutamakan efisiensi waktu, penegakan hukum harus dilaksanakan berdasarkan prinsip cepat dan tuntas, menggunakan asas praduga bersalah (presumption of guilt), serta menitikberatkan kualitas temuan fakta administratif.Sedangkan due proces model, sebagai reaksi terhadap crime control model secara core menitikberatkan pada tiga aspek yakni perlindungan hak-hak individu (tersangka/terdakwa) dalam proses peradilan pidana, pengaturan kewenangan aparat penegak hukum secara limitatif, serta pengaturan kesetaraan kedudukan antara penuntut umum dan terdakwa dimana tersangka/terdakwa diletakkan sebagai subyek pemeriksaan bukan sebagai obyek pemeriksaan semata.Ciri dan karakter khas dari due proces model sebagai berikut: menekankan pada pencegahan dan penghapusan kesalahan mekanisme administrasi peradilan, menempatkan individu (tersangka/terdakwa) sebagai subyek yang dihormati hak-haknya dalam pemeriksaan, pengaturan kewenangan aparat penegak hukum agar tidak bertindak sewenang-wenang, asas praduga bersalah, pencarian fakta menggunakan prosedur formal, mengutamakan kualitas bukan kecepatan, dan kesetaraan hukum antara individu (tersangka/terdakwa) dan representasi negara (aparat penegak hukum).Konklusinya, crimes control model merupakan sistem peradilan pidana yang bersifat retributif dengan penekanan pada kontrol kekuasaan negara guna menciptakan ketertiban. Sedangkan due proces model merupakan sistem peradilan pidana yang bersifat protektif dengan penekanan pada pencegahan dan penghapusan kesalahan mekanisme administrasi peradilan, dengan menempatkan individu (tersangka/terdakwa) sebagai subyek pemeriksaan yang memiliki hak serta harkat-martabat sebagai manusia. Due proces model berusaha menjamin perlindungan individu dari kesewenang-wenangan representasi negara dalam penegakan hukum. Due proces model ini merupakan representasi dari prinsip due proces of law atau sistem penegakan hukum yang benar/adil. Karena pada prinsipnya, menegakkan hukum harus dilaksanakan dengan prosedur hukum yang fair, akuntabel, dan berkeadilan. Inilah esensi due proces of law.HIR dan KUHAPSecara retrospektif, sistem peradilan pidana di Indonesia sendiri pernah beraliran crimes control model yakni saat berlakunya Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang berlaku pada tahun 1941 sampai 1981. HIR merupakan pembaharuan dari Inlandsch Reglement (Stb. 1848 Nomor 16) yang berlaku di Hindia Belanda sejak 1848 sebagai aturan hukum acara pidana bagi warga Hindia Belanda (non Eropa) sedangkan bagi warga Eropa di Hindia Belanda berlaku Reglement op de Strafvordering (Stb. 1849 Nomor 63). Pada tahun 1981 melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 dibentuklah KUHAP yang saat itu disebut “Karya Agung” bangsa Indonesia. Pembentukan KUHAP mengandung dua nilai yakni prinsip dekolonialisasi dan penguatan due proces of law dalam konteks hukum acara pidana.Secara substantif, HIR memang cenderung kental beraliran crimes control model sedangkan KUHAP cenderung masuk dalam tipologi due proces model yang belum matang mengingat pembentukan KUHAP dibentuk di era otoritarianisme orde baru. Berikut perbandingan substansial antara HIR dan KUHAP. Pertama: dalam sistem tindakan, HIR menonjolkan kekuasaan dari pejabat pelaksana hukum, sedangkan KUHAP mengutamakan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.Kedua: dalam sistem pemeriksaan, HIR memberi perhatian lebih diutamakan pada fungsionalisasi pejabat yang diserahkan kekuasaan dan menempatkan terdakwa sebagai obyek, sedangkan KUHAP memberi perhatian yang lebih besar ditujukan kepada pembinaan sikap petugas pelaksana hukum dengan pembagian wewenang dan tanggung jawab secara tegas dan tersangka/terdakwa dilindungi oleh asas-asas “praduga tak bersalah” serta perangkat hak-hak tertentu. Ketiga. dalam sistem pengawasan, HIR memiliki pengawasan secara vertikal (dari atasan pejabat yang baru), sedangkan KUHAP memiliki pengawasan secara vertikal sekaligus horizontal (dari sesama instansi dan atau unsur-unsur penegak hukum lainnya, misalnya penasihat hukum melalui lembaga pra peradilan atau mekanisme prapenuntutan). Keempat, dalam tahap pemeriksaan, HIR memiliki proses pidana terdiri atas pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan sidang pengadilan (dan upaya hukum), lalu pelaksanaan putusan Hakim, sedangkan KUHAP memiliki proses pidana terdiri dari penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, kemudian pemeriksaan pengadilan (dan upaya hukum).Revisi KUHAPSetelah 44 tahun berlaku, revisi terhadap KUHAP merupakan sebuah konsekuensi logis dari kebutuhan dan dinamika berhukum kita khususnya terkait perubahan KUHP yang memerlukan substansi KUHAP yang sefrekuensi. Secara praktik, KUHAP masih memiliki banyak kekurangan khususnya terkait perlindungan hak-hak hukum tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana, misalnya praktik kekerasan dalam pemeriksaan yang terus berulang. Oleh sebab itu, revisi KUHAP menjadi urgen sebagai bagian memperkuat prinsip due proces of law dalam sistem peradilan pidana kita. Due proces of law merupakan sistem peradilan pidana yang menitikberatkan operasionalisasi peradilan pidana sebagai sarana untuk menjamin terciptanya proses peradilan yang fair, humanis, dan akuntabel guna mencegah praktik arogansi kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia.Revisi KUHAP sendiri saat ini tengah memasuki fase penyusunan. Berdasarkan Draft RUU KUHAP yang dibagikan oleh DPR, RUU KUHAP terdiri dari 20 Bab dan 334 Pasal dengan 7 hal substansi (dikutip dari Hukumonline.com, 15 April 2025). Pertama, RUU KUHAP tidak mengubah kewenangan aparat penegak hukum. Polisi masih sebagai penyidik utama, dan jaksa sebagai penuntut tunggal. Kedua, RUU KUHAP tak banyak mengubah banyak ketentuan KUHAP lama. Tapi intinya RUU KUHAP harus selaras kebaruan yang diusung dalam UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku efektif 1 Januari 2026. Ketiga, RUU KUHAP berupaya maksimal mencegah kekerasan yang kerap terjadi dalam pemeriksaan. Misalnya, Pasal 31 RUU KUHAP mewajibkan setiap tahap pemeriksaan harus ada kamera pemantau atau CCTV, termasuk setiap tempat penahanan. Keempat, ada bab khusus memperkuat peran advokat. Berbeda dengan KUHP lama, di mana peran advokat sangat terbatas yakni duduk, mencatat, dan mendengar tak boleh mengajukan keberatan. Tapi RUU KUHAP mengubah ketentuan itu sehingga advokat bisa protes jika dalam pemeriksaan terindikasi ada intimidasi. Kelima, memaksimalkan mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice (RJ) yang diatur dalam bab khusus. Arah RJ menegakan hukum dengan mengakomodasi kepentingan korban dan ganti kerugian korban. RJ berlaku dari penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan di pengadilan. Jika dalam berbagai tahap itu ada kesepakatan untuk RJ, perkara yang berjalan bisa dihentikan. Keenam, RUU KUHAP melindungi kelompok rentan, perempuan, lansia, dan disabilitas. Ketujuh, syarat penahanan, di mana KUHAP lama mengatur penahanan itu berdasarkan 3 hal subjektif yang ditafsirkan penyidik yaitu kekhawatiran melarikan diri, mengulangi pidana, dan menghilangkan barang bukti. RUU KUHAP mengubah syarat tersebut, sehingga harus ada tindakan konkret akan melakukan ketiga hal yang dikhawatirkan penyidik itu. Pada hakikatnya, semangat dan core utama dalam revisi KUHAP diarahkan untuk memperkuat sistem peradilan pidana berdasarkan konsep due proces of law dengan mempertimbangkan konsep daad-dader-victim strafrecht dalam hukum pidana materil yang baru (KUHP baru). Beberapa kekurangan KUHAP terkait perlindungan hak-hak hukum tersangka/terdakwa akan diperbaiki, misalnya terkait perubahan pengaturan perihal penahanan. Dalam KUHAP lama, penahanan menjadi core utama sepanjang terpenuhi syarat obyektif, sedangkan syarat subyektif seakan hanya menjadi stempel saja. Syarat subyektif yakni kekhawatiran tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana. Kedepan, alasan penahanan tidak sekadar kekhawatiran semata yang sifatnya subyektif melainkan kekhawatiran tersebut harus dapat dibuktikan dan terukur secara nyata. Selanjutnya, perlindungan terhadap tersangka/terdakwa dari potensi kekerasan dalam pemeriksaan diperkuat melalui pemasangan cctv dan penguatan peran advokat dalam pemeriksaan. Pada intinya, revisi KUHAP baru dikonstruksikan untuk menopang sistem peradilan pidana yang humanis, akuntabel, dan restoratif dengan titik keseimbangan perlindungan terhadap pelaku dan korban. (ldr/snr)