Cari Berita

Sepakat Damai Tanpa Ganti Kerugian, PN Sei Rampah Vonis Pencuri Sawit Pakai RJ

article | Sidang | 2025-06-20 17:00:39

Pengadilan Negeri (PN) Sei Rampah menghukum Terdakwa M. Rian Purba Alias Agok selama 10 hari penjara. Terdakwa di hukum karena telah terbukti mencuri 1 tandan buah kelapa sawit dengan berat keseluruhannya 15 Kg. Perkara tersebut diregister dalam perkara tindak pidana ringan. “Menyatakan Terdakwa M. Rian Purba Alias Agok telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian Ringan”. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) hari,” bunyi Putusan yang dibacakan oleh Hakim Tunggal M. Luthfan Hadi Darus dengan didampingi oleh Emily Fauzi Siregar sebagai Panitera Sidang, Jumat Siang 20/6. Kasus bermula saat Terdakwa bersama rekan Terdakwa mengambil 1 tandan kelapa sawit milik korban dengan maksud untuk dijual. Namun, belum sempat Terdakwa menjual sawit tersebut, pserbuatan Terdakwa diketahui oleh warga sekitar dan Terdakwa langsung diamankan serta diserahkan kepada pihak yang berwenang. “Pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap karena Terpidana dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana atau tidak memenuhi suatu syarat yang ditentukan sebelum lewat masa percobaan selama 1 bulan,” lebih lanjut bunyi amar tersebut. Berdasarkan pantauan Tim DANDAPALA, dalam persidangan tersebut antara Terdakwa dengan Saksi Korban telah terjadi perdamaian, dimana Terdakwa telah meminta maaf kepada Saksi Korban. Selain itu, Saksi Korban telah memaafkan korban dengan syarat korban tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selain itu, Saksi Korban juga tidak meminta ganti kerugian, dikarenakan jumlah kerugian yang dideritanya hanya 15 Kg dengan total kerugian Rp40.500.- Dipersidangan juga disampaikan, antara Terdakwa dan Saksi Korban telah berdamai, korban juga tidak meminta ganti kerugian serta tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa menimbulkan kerugian Rp40.500.- atau tidak lebih dari Rp2.5 juta, maka demi keadilan dan kemanfaatan Hakim dapat menerapkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. (ldr)

Restoratif Justice dalam Suasana Idul Fitri

article | Berita | 2025-04-09 19:05:32

Lhokseumawe- Memasuki hari kerja pertama pasca perayaan Idul Fitri, Pengadilan Negeri (PN) Lhokseumawe, Aceh langsung menggelar persidangan dalam perkara pidana, Selasa (8/4/2025). Dalam persidangan tersebut Majelis Hakim berhasil mendamaikan para pihak bertepatan di momen lebaran Idul Fitri 1446 Hijriah dalam perkara penganiayaan yang terdaftar dalam perkara Nomor 25/Pid.B/2025/PN Lsm. Duduk sebagai Majelis Hakim yang dipimpin Budi Sunanda, serta masing-masing anggota majelis Khalid dan Fitriani. "Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan Saksi, Majelis Hakim menasihati pihak yang berkonflik, baik pihak Saksi korban atas nama Dinda Azura dan pihak Terdakwa yaitu Melinia Febrina Binti Fitriadi dan Yuslinar Binti Nurdin untuk saling berdamai, hingga para pihak sepakat untuk berdamai dan saling memaafkan di ruang persidangan dan langsung menandatangani surat perdamaian yang dibuat oleh para pihak dihadapan Majelis Hakim,” berdasarkan rilis berita berita yang diterima DANDAPALA. Kesepakatan perdamaian yang dilakukan oleh Terdakwa dan korban di persidangan merupakan salah satu wujud penerapan restoratif justice yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Penyelesaian perkara pidana dengan Keadilan Restoratif dilaksanakan dengan menerapkan asas pemulihan keadaan, penguatan hak, kebutuhan dan kepentingan Korban, tanggung jawab Terdakwa, dan pidana sebagai upaya terakhir sebagaimana yang dituangkan dalam Pasal 2 huruf a, b, c, dan d, dengan tujuan untuk memulihkan Korban tindak pidana, memulihkan hubungan antara Terdakwa, Korban, dan/atau masyarakat, dan menganjurkan pertanggungjawaban Terdakwa sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 huruf a, b, dan c. Berdasarkan hasil perdamaian yang disepakati oleh Para Terdakwa dan korban, para pihak sepakat untuk melakukan peusijuk (tepung tawar secara adat) di tingkat Gampong (Desa) yang dilaksanakan di rumah pihak kedua dengan disaksikan oleh perangkat Desa Pusong Lama Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe, tutup rilis tersebut.

Perma Restorative Justice: Jalan Moderat Di Tengah Kekosongan Hukum

article | Opini | 2025-04-06 09:00:43

Restorative justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan, yang merupakan anti tesis dari sistem pemidanaan yang hanya befokus pada Terdakwa.Dalam konteks negara hukum penyelesaian perkara pidan melalui pendekatan restorative justice memerlukan legimitasi yuridis agar pemberlakuannya mempunyai daya ikat, menciptakan kesatuan hukum, kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam pelaksanaannya, selain itu dasar hukum juga diperlukan untuk memberi batasan pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif.Sejalan dengan itu Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) pada tanggal 02 Mei 2024 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang secara resmi diundangkan pada tanggal 07 Mei 2024, dan bila merujuk pada konsideran menimbang dalam Perma 1 tahun 2024 tersebut. Terdapat dua alasan utama yang menjadi latar belakang terbitnya Perma 1/2024, pertama, pergeseran sistem pemidaaan dari yang semula semata-mata hanya beroerientasi pada pemidaan Terdakwa bergeser ke arah penyelarasan kepentingan pemulihan korban. Kedua, Pendekatan keadilan restoratif telah menjadi diskurus pada proses peradilan tetapi belum cukup diatur dalam sistem peradilan pidana terutama mengenai jenis perkara, syarat, dan tata cara penerapannya dalam proses peradilan yang termuat pendekatan keadilan restoratif.Kebijakan Mahkamah Agung tentang Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara PidanaSyarat suatu tindak pidana dapat diadili berdasarkan Perma 1/2024, meliputi:Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat.b. Tindak pidana merupakan delik aduan.c. Tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;d. Tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil.e. Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.2. Terdakwa harus mengakui perbuatan/pengakuan bersalah (plea bargaining) pada tingkap pemeriksaan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), meliputi pengakuan akan perbuatan tanpa disertai keberatan atas berita acara pemeriksaan atau catatan dakwaan atau surat dakwaan, proses persidangan dapat langsung dilanjutkan disertai dengan mekanisme Keadilan Restoratif. Ketentuan ini menegaskan bahwa harus ada pembenaran atas perbuatan untuk bisa dilakukan mekanime retoratif justice, sehingga keberatan baik untuk sebagaian atau seluruhnya dengan sendirinya menggugurkan penggunaan mekanisme retoratif justice berdasarkan Perma 1/2024.3. Hakim Berwenang Melakukan Koreksi kesepakatan perdamaian diatur dalamPasal 9 ayat (1) yang memberi wewenang kepada hakim untuk memeriksa kesepakatan yang telah dibuat antara Terdakwa dan Korban tujuannya adalah untuk menghindari adanya kesesatan, paksaan, atau penipuan serta penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak.4. Pembuatan atau Pembaruan kesepakatan dengan prakarsa hakim, diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 15, di mana dalam konteks pembaruan kesepakatan sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (3) dapat dilakukan oleh Hakim dalam hal Terdakwa menyatakan tidak sanggup melaksanakan kesepakatan yang telah dibuat sebelum pemeriksaan perkara. Sementara dalam konteks Pasal 15 bila sebelumnya belum ada kesepakatan damai. Hakim dalam mengupayakan kesepakatan baru menggali informasi berupa, dampak tindak pidana terhadap Korban, kerugian ekonomi dan/atau kerugian lain yang timbul sebagai akibat tindak pidana, biaya perawatan medis dan/atau psikologis yang sudah dan akan dikeluarkan Korban, kemampuan Terdakwa untuk melaksanakan kesepakatan, ketersediaan layanan untuk membantu pemulihan Korban dan/atau Terdakwa; dan/atau informasi lain yang menurut Hakim perlu untuk diperiksa dan dipertimbangkan.5. Kesepakatan perdamaian menjadi pertimbangan dalam putusan Hakim (vide Pasal 12 ayat (3)) sebagai alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi dasar pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 19) serta dalam perkara delik aduan kesepakatan dapat berupa pencabutan pengaduan sepanjang masih dalam tenggang waktu yang secara hukum telah dianggap terlaksana saat perjanjian tersebut ditandatangani di depan Hakim (vide Pasal 14).6. Bentuk kesepakatan perdamaian, meliputi:a. Terdakwa mengganti kerugian;b. Terdakwa melaksanakan suatu perbuatan; dan/atauc. Terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan.7. Larangan dalam kesepakatan perdamaiana. Bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan.b. Melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait hak asasi manusia.c. Merugikan pihak ketiga; ataud. Tidak dapat dilaksanakan.8. Penerapan prinsip Keadilan Restoratif tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidanaKetentuan Pasal 3 ayat (2) dalam Perma 1/2024 menegaskan ciri klasik dari hukum pidana yang kita anut, di mana perdamaian tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana, karena penindakan pelanggaran pidana yang inisiatifnya dari negara bertujuan untuk melindungi ketertiban umum, bukan kepentingan korban semata.9. Hakim tidak berwenang menerapkan Perma 1/2024, dalam hal:a. Korban atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian.b. Terdapat Relasi Kuasa.c. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.Manfaat Restorative Justice Bagi Pengadilan1. Dapat menyelesaikan perkara secara sederhana, cepat dan biaya murahSejalan dengan prinsip penyelesaian perkara sederhana, cepat dan biaya murah, penerapan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif menyiapkan mekanisme yang lebih sederhana dan mendekati model plea bargaining. Kecepatan dalam penanganan perkara serta penjatuhan pidana yang ringan atau penjatuhan pidana selain pidana penjara juga dapat menghemat biaya yang timbul selama penahanan, persidangan serta pembinaan sebagai narapida di lembaga pemasyarakatan.2. Dapat mendorong Akuntabilitas dan Transparasi Penjatuhan PidanaMelalui penerapan restorative justice penjatuhan pidana bisa lebih transparan dan akuntabel, artinya pemidanaan terhadap Terdakwa yang perkaranya diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif pastilah berbeda dengan pemidanaan terhadap Terdakwa yang perkaranya tidak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.3. Memberi kepastian pada arah putusan hakimMekanisme keadilan restoratif yang dijalankan secara benar dan konsekuen, pastilah akan melahirkan suatu gambaran mengenai putusan yang predictable (dapat diprediksi), sehingga Terdakwa atau keluarga Terdakwa tidak perlu ragu untuk membuat komitmen perdamaian dengan korban tindak pidana, karena komitmen tersebut akan meringankan hukuman Terdakwa.PenutupPerma 1/2024 merupakan jalan yang paling moderat yang diambil oleh Mahkamah Agung di tengah kekosongan hukum mengenai restorative justice pada tingkat peradilan.Perma 1/2024 menyeragamkan pandangan mengenai keberlakuan pendekatan keadilan restoratif selama proses peradilan, sekaligus memberi dasar bagi hakim untuk melakukan penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif. (SNR, MNJ, FAC)*Hakim pada Pengadilan Negeri Bangkalan, sejak tanggal 05 Agustus 2024.

PN Sumedang Berhasil Restoratif Justice Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum

article | Berita | 2025-01-15 14:50:08

Sumedang – Hakim Pengadilan Negeri Sumedang berhasil melakukan pendekatan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana anak pada hari Rabu tanggal 15 Januari 2025;Zulfikar Berlian selaku Hakim dalam perkara anak pada saat melakukan pemeriksaan kepada H (59) selaku saksi korban mengupayakan perdamaian atas perbuatan yang dilakukan oleh anak DGS (17) dimana dalam persidangan Hakim mengingatkan akan pentingnya saling memaafkan dan mengingatkan kepada korban bahwasannya masa depan anak perlu diperhatikan agar kedepan anak dapat menjadi anak yang lebih baik. Perdamaian ini dilakukan bukan berarti perkara langsung berhenti namun perkara akan tetap lanjut sampai dengan putusan dimana perdamaian ini hanya sebagai bahan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak.Dimana setelah mendangarkan hal tersebut H (59) menyatakan telah memaafkan anak dikarenakan dari pihak anak juga telah memberikan ganti rugi kepadanya dan dia berharap kedepannya Anak menjadi anak yang lebih baik lagi;Dalam kesempatan ini juga telah ditandatangani surat kesepakatan damai oleh Anak dan Korban dengan disaksikan oleh Hakim, Jaksa, Bapas, Penasehat Hukum Anak dan Orang Tua Anak, dimana sebelum dilakukan penandatanganan kesepakatan kedua belah pihak saling memaafkan dan bersalaman.Menurut Desca Wisnubrata hal ini dilakukan karena merupakan kewajiban Hakim dalam perkara anak untuk melakukan penyelesaian perkara dengan pendekatan restoratif guna mengedepankan penyelesaian yang adil melalui Perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula hal ini senada dengan Perma 1 Tahun 2024, dengan berpedoman pada pasal 6 ayat 1 Perma tersebut.Dalam perkara ini tidak dilakukan diversi karena dakwaan dari Penuntut Umum tidak memenuhi persyaratan untuk diversi yang tertuang dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Undang-Undang Nomor 12 tahun Perma Nomor 4 Tahun 2014.