Gegara Cekik Anak Tetangga, Pelaku Didenda Rp 5 Juta oleh PN Kayuagung

article | Sidang | Selasa, 01 Jul 2025 10:15 WIB

Kayuagung – Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel) menjatuhkan pidana denda sejumlah Rp5 juta subsider kurungan 2 bulan kepada Andri Dedi Kasih. Hukuman tersebut dikenakan lantaran ia terbukti telah melakukan kekerasan terhadap anak tetangganya.Berdasarkan informasi yang dihimpun DANDAPALA, putusan itu diketok dalam sidang terbuka untuk umum, yang digelar di Gedung PN Kayuagung, Jalan Letnan Mukhtar Saleh Nomor 119, Kayuagung, Sumsel, Senin (30/06/2025), Majelis Hakim yang terdiri dari Guntoro Eka Sekti, Anisa Lestari dan Yuri Alpha Fawnia membacakan amar putusan yang pada pokoknya ‘Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan terhadap anak, menjatuhkan pidana denda sejumlah Rp 5 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan’.Perkara bermula pada Jumat (29/11/2024), Terdakwa mendengar suara anaknya menangis di depan rumah. Selanjutnya Terdakwa melihat anak korban sedang memegang bambu seperti ingin menakut-nakuti anak perempuan Terdakwa. Setelah itu Anak korban langsung pergi ke depan rumah saudara Sayuti.“Terdakwa lalu menghampiri Anak korban dan setelah cukup dekat, Terdakwa langsung menarik kerah baju Anak korban. Pada saat itu Anak korban ingin berlari dan Terdakwa kemudian menarik kerah baju Anak korban sebanyak 2 (dua) kali menggunakan tangan kanan Terdakwa,” ungkap Majelis Hakim dalam sidang yang dihadiri oleh Penuntut Umum dan Terdakwa dengan didampingi Penasihat Hukumnya.Setelahnya Terdakwa melepaskan kerah baju Anak korban dan kemudian Anak korban dibawa oleh tetangganya, yang lalu menceritakan peristiwa tersebut kepada Nenek Anak korban.“Adapun penyebab Terdakwa menarik kerah baju Anak korban dikarenakan Anak korban telah mengganggu anak Terdakwa hingga menyebabkan anak Terdakwa menangis. Di mana dari hasil Visum et repertum diperoleh kesimpulan dari hasil pemeriksaan terhadap Anak korban diketahui Anak korban mengalami kemerahan pada leher sebelah kanan bagian. Oleh karenanya Majelis Hakim menilai tindakan tersebut termasuk sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap Anak”, tutur Majelis Hakim.Terkait ancaman pidana yang akan dijatuhkan terhadap Terdakwa, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyampaikan ketentuan Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, mengatur ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadap setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76C berupa pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau dengan paling banyak Rp72 juta. Didasarkan atas bunyi pasal tersebut Majelis Hakim menilai terdapat 2 jenis pemidanaan yang dapat dijatuhkan bagi setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76C, yang mana pengenaannya tidak hanya dapat bersifat kumulatif berupa penjatuhan pidana penjara dan pidana denda, tetapi juga dapat bersifat alternatif dengan memilih penjatuhan salah satu pidana berupa pidana penjara atau pidana denda.“Terkait pengenaan jenis pidana yang layak dijatuhkan terhadap diri Terdakwa, Majelis Hakim mendasarkan tidak hanya kepada dampak dari perbuatan Terdakwa dan keadaan yang memberatkan maupun meringankan, tetapi juga mempertimbangkan efektifitas dari penjatuhan pemidanaan tersebut untuk menimbul efek jera bagi diri Terdakwa”, ucap Majelis Hakim.Lebih lanjut berdasarkan fakta sidang, Majelis Hakim berpendapat dari akibat yang dialami oleh Anak korban akibat perbuatan Terdakwa, serta kedudukan Terdakwa yang mempunyai peran ganda dalam mengasuh anak-anaknya, maka Majelis Hakim menilai penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan akan dikhawatirkan menimbulkan penderitaan yang besar, baik terhadap Terdakwa maupun terhadap keluarganya. Selain itu Terdakwa juga dinilai beriktikad baik untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapinya yaitu dengan tertib menghadiri setiap tahapan proses persidangan sekalipun Terdakwa tidak ditahan. “Didasarkan atas pertimbangan tersebut, Majelis Hakim berkesimpulan penjatuhan pidana denda dirasa lebih efektif untuk dikenakan terhadap perbuatan Terdakwa”, putus Majelis Hakim dalam pertimbangannya.Perbuatan Terdakwa yang dinilai meresahkan masyarakat tersebut menjadi keadaan yang memberatkan pidana terhadap Terdakwa. Sedangkan untuk keadaan yang meringankan, Terdakwa dinilai menyesali perbuatannya dan sebelumnya Terdakwa belum pernah dihukum, serta Terdakwa mempunyai anak yang masih membutuhkan perhatiannya.Persidangan pembacaan putusan berjalan dengan tertib dan lancar, selama persidangan berlangsung baik Terdakwa yang didampingi Penasihat Hukumnya maupun Penuntut Umum terlihat secara saksama mendengar pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim. Atas putusan itu, Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya maupun Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir. (AL) 

Vonis Kasus Anak Viral, PN Curup: Tuntutan Tak Sesuai UU SPPA

article | Sidang | Kamis, 19 Jun 2025 17:05 WIB

Rejang Lebong- Putusan PN Curup, Rejang Lebong, Bengkulu, terhadap anak BK (16 tahun) dan anak DDA (17 tahun) yang dijatuhkan selang satu minggu menarik perhatian masyarakat. Sebab, salah satu pelaku DDA dihukum kerja sosial membersihkan masjid. Selidik punya selidik, DDA bukanlah pelaku utama, perannya berupa menginjak kepala korban. Sebagaimana diberitakan, Hakim Eka Kurnia Nengsih, S.H., M.H menjatuhkan pidana terhadap anak DDA dengan pidana bersyarat berupa pelayanan masyarakat dengan kewajiban membersihkan Masjid At-Taqwa yang beralamat di Jalan Agus Salim Desa Puguk Lalang Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong selama 60 (enam puluh) jam dengan ketentuan pekerjaan dimaksud dilakukan sedemikian rupa oleh Anak tidak lebih 3 (tiga) jam perhari pada Rabu (04/6/2025).Hakim yang sama seminggu kemudian pada Rabu (11/6/2025) kembali menjatuhkan putusan pada anak BK.“Pidana penjara selama 2 (dua) tahun di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bengkulu,” bunyi amar putusan yang dibacakan di gedung pengadilan yang terletak di Jalan Basuki Rahmat 15, Rejang Lebong, Bengkulu.Perbedaan waktu pembacaan putusan telah memunculkan spekulasi, terlebih ketika dirasakan adanya disparitas. “Jauh dari tuntutan pidana penjara yang diiajukan Penuntut Umum,” ujar Ana Tasia Pase, pengacara yang mendampingi korban RA menanggapi kedua putusan.Sebagaimana diketahui, dalam perkara tersebut Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Rejang Lebong mengajukan tuntutan yang berbeda. Untuk anak DDA pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan terhadap anak BK pidana penjara selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan.Keduanya oleh Penuntut Umum dinyatakan terbukti melanggar dakwaan primer, Pasal Pasal 76C Jo Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Beda Peran Beda PutusanMerujuk pada rilis yang disampaikan PN Curup, perbedaan putusan dijatuhkan karena terdapat perbedaan peran anak DDA dan anak BK terhadap luka berat yang diderita anak korban RA.“Luka berat pada anak korban RA lumpuh dan belum dapat beraktifiras normal sejak September 2024 adalah luka akibat bacokan senjata tajam yang dilakukan anak BK, sedangkan anak DDA terbukti memijak bagian wajah setelahnya.“Karenanya anak BK terbukti dakwaan primer sedangkan anak DDA yang terbukti adalah dakwaan subsidair,” jelas Mantiko Sumanda Moechtar, Juru Bicara PN Curup.Tuntutan Tidak Sesuai SPPADalam putusannya, Hakim Eka Kurnia Nengsih, S.H., M.H  menyoroti tuntutan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Rejang Lebong terhadap anak BK.“Hakim tidak sependapat dengan tuntutan Penuntut Umum yang menuntut Anak dengan lamanya pidana penjara 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dengan dakwaan yang terbukti adalah dakwaan primair yaitu melanggar Pasal 76C Jo Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah),” sebagaimana bunyi pertimbangan yang dirilis PN Curup.Lebih lanjut Hakim mempertimbangkan “bahwa sebagaimana telah diatur dalam pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa “pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa”, namun dengan melihat tuntutan yang diajukan oleh Penuntut Umum, Hakim berpendapat bahwa Penuntut Umum tidak menerapkan isi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap penuntutan anak BK.” (seg).

PN Curup Vonis 2 Tahun Bui Pelaku Utama Penyebab Lumpuhnya Korban Pengeroyokan

article | Sidang | Kamis, 19 Jun 2025 16:05 WIB

Rejang Lebong- PN Curup, Rejang Lebong, Bengkulu menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada anak yang berusia 16 tahun inisial BK. Ia adalah pelaku utama yang menyebabkan lumpuh korban RA. Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada gedung pengadilan yang terletak di Jalan Basuki Rahmat 15, Rejang Lebong, Bengkulu.“Menyatakan Anak BK terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Melakukan Kekerasan Terhadap Anak Yang Mengakibatkan Luka Berat sebagaimana dalam dakwaan primair dan        menjatuhkan pidana kepada Anak oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bengkulu,” bunyi amar putusan yang dibacakan Hakim PN Curup, Eka Kurnia Nengsih, S.H., M.H pada Rabu (11/6/2025). Selain menjatuhkan pidana penjara, hakim yang sebelumnya bertugas di PN Muara Bulian juga menghukum orang tua anak BY untuk membayar restitusi. Selengkapnya sebagaimana  rilis yang disampaikan PN Curup, amar lengkapnya: “Menghukum orang tua Anak untuk membayar pemberian restitusi sejumlah Rp90.137.813,00 (sembilan puluh juta seratus tiga puluh tujuh ribu delapan ratus tiga belas rupiah), dengan ketentuan apabila pemberian restitusi tersebut tidak dibayar paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam tenggang waktu tersebut, orang tua Anak tidak membayar Restitusi, maka pihak Anak Korban dan atau Keluarga Anak Korban melaporkan hal tersebut kepada Jaksa dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri Curup. Dalam hal ternyata orang tua Anak belum melaksanakan pemberian Restitusi, Jaksa memerintahkan orang tua Anak untuk melaksanakan pemberian Restitusi paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat perintah diterima dan dalam hal pelaksanaan pemberian Restitusi kepada Anak Korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu tersebut, Anak Korban dan atau Keluarga Anak Korban memberitahukan hal tersebut kepada Jaksa, kemudian setelah menerima pemberitahuan itu, Jaksa menyita harta kekayaan orang tua Anak dan melelang harta kekayaan tersebut untuk memenuhi pembayaran Restitusi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari, lalu dalam hal harta kekayaan orang tua Anak tidak mencukupi untuk memenuhi pemberitan Restitusi, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.”Vonis terhadap anak BK dijatuhkan karena terbukti melanggar pasal dakwaan primer yakni Pasal 76C Jo Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, berupa melakukan kekerasan mengakibatkan korban luka berat.Luka berat yang menjadikan anak korban RA lumpuh dan belum dapat beraktifitas normal sejak September 2024 menjadi pertimbangan hakim sebagai hal yang memberatkan. Sedangkan kondisi anak BK yang belum pernah dihukum serta adanya itikad baik dengan memberikan bantuan pengobatan sebesar 5 juta rupiah menjadi hal yang meringankan. Berbeda Dengan Pelaku LainnyaVonis terhadap anak BK (16 tahun) tersebut seolah menjawab keraguan publik terhadap vonis yang telah dijatuhkan sebelumnya terhadap anak DDA (17 tahun). Sebagaimana ramai diberitakan, putusan yang dijatuhkan seminggu sebelum putusan terhadap anak BK, penjatuhan pidana bersyarat berupa pelayanan masyarakat kepada anak DDA dirasakan tidak adil.“Jauh dari tuntutan pidana penjara 2 tahun dan enam bulan,” ujar Ana Tasia Pase, pengacara yang mendampingi korban RA menanggapi putusan.Dari rilis yang disampaikan PN Curup, selengkapnya vonis yang dijatuhkan Hakim Eka Kurnia Nengsih, S.H., M.H adalah sebagai berikut: “Menjatuhkan pidana terhadap Anak tersebut oleh karena itu dengan pidana bersyarat berupa pelayanan masyarakat dengan kewajiban membersihkan Masjid At-Taqwa yang beralamat di Jalan Agus Salim Desa Puguk Lalang Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong selama 60 (enam puluh) jam dengan ketentuan pekerjaan dimaksud dilakukan sedemikian rupa oleh Anak tidak lebih 3 (tiga) jam perhari, disertai dengan syarat umum: Anak tidak melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat, dan syarat khusus: Anak menjalani wajib lapor 1 (satu) kali dalam 1 (satu) minggu kepada Penuntut Umum selama 1 (satu) bulan.”Pidana tersebut dijatuhkan karena anak DDA terbukti melakukan 1 (satu) perbuatan kekerasan saja yakni memijak bagian wajah Anak Korban sebanyak 1 (satu) kali dan perbuatan tersebut bukan penyebab lumpuhnya anak korban RA.“Menyatakan anak DDA tidak terbukti bersalah dalam dakwaan primer dan membebaskan dari dakwaan tersebut dan menyatakan terbukti melakukan tindak pidana ‘turut Serta Melakukan Kekerasan Terhadap Anak’ sebagaimana dalam dakwaan subsidair,” demikian bunyi amar putusan.Selain itu, putusan yang dijatuhkan Hakim Eka Kurnia Nengsih, S.H., M.H berbeda dengan tuntutan Penuntut Umum karena merujuk pada rekomendasi Hasil Penelitian Petugas Pembimbing Kemasyarakatan terhadap anak DDA.“Anak DDA bukan pelaku utama dan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak,” demikian bunyi pertimbangan Hakim dalam putusannya.Mantiko Sumanda Moechtar, Juru Bicara PN Curup menyampaikan bahwa terhadap kedua putusan yang dijatuhkan, diajukan upaya hukum banding. (seg/asp).

Jadi Muncikari Anak, Rahmat Dihukum 3 Tahun Penjara oleh PN Kayuagung

article | Sidang | Rabu, 04 Jun 2025 14:30 WIB

Kayuagung – Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel) menghukum Rahmat seorang tukang ojek di kawasan Kayuagung dengan penjara selama 3 tahun. Hukum tersebut dijatuhkan sebab ia terbukti telah membiarkan dilakukannya eksploitasi seksual terhadap anak.“Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membiarkan dilakukannya eksploitasi secara seksual terhadap Anak, menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun”, ucap Majelis Hakim pada persidangan yang digelar Rabu (04/06/2025) di Gedung PN Kayuagung, Jalan Letnan Mukhtar Saleh Nomor 119, Kayuagung, Kabupaten OKI, Sumsel.Kasus ini berawal pada awal November 2024, pihak kepolisian mendapatkan informasi mengenai sering terjadinya praktik prostitusi anak di Penginapan dan Karaoke Gita Home Kayuagung. Berdasarkan informasi tersebut, pihak kepolisian kemudian melakukan penggrebekan dan berhasil mengamankan Terdakwa, serta para anak yang sedang bersama pelanggannya.“Saat itu Terdakwa dan para anak mengakui jika Terdakwa adalah orang yang mencarikan pelanggan atau tamu yang akan menggunakan jasa prostitusi para anak. Di mana disepakati untuk waktu shortime (satu kali main) dengan bayaran sejumlah Rp200 ribu maka Terdakwa mendapatkan keuntungan sejumlah Rp 30 ribu, untuk waktu shortime (satu kali main) dengan bayaran sejumlah Rp 250 ribu maka Terdakwa mendapatkan keuntungan sejumlah Rp50 ribu, dan untuk waktu long time (satu malam) dengan bayaran sejumlah Rp 1,5 juta maka Terdakwa mendapatkan keuntungan sebesar Rp200 ribu”, ungkap Majelis Hakim.Setelah kesepakatan tersebut, Terdakwa kemudian mencarikan pelanggan yang akan menggunakan jasa prostitusi para anak tersebut dengan cara menggunakan foto para anak dan menawarkannya melalui aplikasi Michat, Whatsapp, maupun secara langsung. Selanjutnya Terdakwa memberitahu para anak melalui chat aplikasi Whatsapp bahwa ada pelanggan. Setelah itu para anak langsung menyuruh Terdakwa untuk mengantar pelanggan tersebut ke kamar yang Para anak sewa. Di mana jika para anak sedang melayani pelanggan, terhadap tamu tersebut para anak sampaikan kepada Terdakwa untuk menunggu.“Adapun total keuntungan yang didapat Terdakwa dari pekerjaannya mencarikan pelanggan untuk para anak dalam kurun waktu bulan Oktober sampai November tahun 2024 tersebut adalah sekitar sejumlah Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah) sampai dengan sejumlah Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”, jelas Majelis Hakim saat membacakan pertimbangannya.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai perbuatan Terdakwa yang menawarkan kepada para anak untuk mencarikan laki-laki yang akan menggunakan jasa seks para anak dengan kesepakatan Terdakwa akan memperoleh sejumlah keuntungan. Di mana meskipun kesepakatan antara Terdakwa dan para anak tersebut tidak didasari atas hubungan kerja sama, serta para anak yang menentukan biaya jasa dan fee. Namun perbuatan Terdakwa yang tidak melarang tindakan para anak untuk menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) dan justru mencarikan pelanggan untuk menggunakan jasa seks tersebut dinilai termasuk sebagai bentuk tindakan yang membiarkan terjadinya eksploitasi seksual terhadap para anak.“Sebagai alasan yang memberatkan, perbuatan Terdakwa dianggap sebagai perbuatan yang meresahkan masyarakat. Sementara untuk alasan meringankan, Majelis Hakim menilai Terdakwa menyesali perbuatannya dan sebelumnya Terdakwa tidak pernah dihukum”, lanjut Majelis Hakim dalam putusannya.Persidangan pembacaan putusan berjalan dengan lancar. Selama persidangan berlangsung Terdakwa dengan didampingi Penasihat Hukumnya maupun Penuntut Umum terlihat tertib dan saksama mendengar pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim. Atas putusan itu, baik Terdakwa menyatakan menerima, sementara Jaksa Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir. (AL)

19 Tahun Bui dan Durjananya Ayah Pemerkosa Anak Kandung Sejak Kelas 6 SD

article | Sidang | Rabu, 28 Mei 2025 16:30 WIB

Teluk Kuantan- Ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Teluk Kuantan, Riau, menjadi saksi bisu pengungkapan kasus yang mengguncang nurani. Seorang ayah kandung yang menjadi Terdakwa, duduk di kursi pesakitan atas perbuatan keji: memerkosa Anak Korban, putri kandungnya sendiri, sejak korban masih duduk di bangku kelas 6 SD. Sidang lanjutan pada 7 dan 14 Mei 2025 menguak detail mengerikan yang menghancurkan jiwa seorang remaja berusia 15 tahun.Persidangan di gedung PN Teluk Kuantan tersebut berlangsung tertutup untuk umum. Hakim Ketua Nurul Hasanah, bersama Hakim Anggota Timothee Kencono Malye dan Samuel Pebrianto Marpaung memimpin sidang dengan ketelitian penuh. Terdakwa dihadirkan dalam keadaan sehat dengan didampingi penasihat hukumnya. Namun, di balik raut wajahnya yang tampak tenang, tersimpan kisah kelam yang membuat bulu kuduk berdiri.Anak Korban, dengan suara lirih namun penuh keberanian, memberikan keterangannya di muka sidang. Ia menceritakan bagaimana Terdakwa berulang kali memaksanya menonton video porno sebelum melakukan pemerkosaan. Kejadian pertama yang diingatnya terjadi pada 15 Oktober 2024, di kamar rumah mereka. Saat itu, ibunya sedang ke warung, dan adik-adiknya bermain di luar. Terdakwa memanfaatkan momen sepi untuk memaksa Anak Korban, dengan bujukan yang berubah menjadi ancaman dan kekerasan fisik.Ketika korban menolak, Terdakwa tak segan menarik tangannya dengan paksa, mendorongnya ke dinding, bahkan mengancam dengan pisau cutter. Sidang juga mengungkap kejadian serupa pada 21 Oktober dan 27 November 2024, dengan pola yang sama yaitu bujukan, ancaman, dan trauma yang kian membekas.Saksi Ibu tampak terpukul saat memberikan keterangan. Ia mengaku sering melihat tingkah mencurigakan Terdakwa, seperti memeluk Anak Korban secara tak wajar. Namun, ia tak menduga suaminya melakukan perbuatan sekeji itu hingga Anak Korban menceritakannya kepada neneknya pada Desember 2024. Saksi Ibu menyebut Anak Korban kini sering menangis, melamun, dan trauma berat.Salah satu Saksi yang merupakan kakak ipar Terdakwa, memperkuat keterangan Anak Korban. Ia menuturkan bagaimana Anak Korban berani mengaku pada 8 Desember 2024, setelah Terdakwa kembali meminta hubungan badan. “Dia menangis, bilang sudah disetubuhi sejak kelas 6 SD. Kepalanya bahkan pernah dibenturkan ke pohon kelapa sawit sampai berdarah,” ujar Saksi Kerabat. Keterangan ini selaras dengan hasil pemeriksaan Saksi Ahli, seorang psikolog, yang dihadirkan pada 14 Mei 2025. Saksi Ahli menyatakan Anak Korban mengalami trauma mendalam, cemas, dan merasa tak punya tempat berlindung. “Kondisinya lesu, tak bersemangat, dengan luka psikis yang sangat serius,” katanya.Terdakwa sendiri tak banyak membantah. Ia mengakui perbuatannya, yang dimulai sejak Anak Korban berusia sekitar 12 tahun“Saya menyesal,” katanya, meski pengakuannya terdengar datar. Kasus ini bukan sekadar kejahatan seksual, tetapi juga kegagalan keluarga melindungi anak dari predator terdekat. Terdakwa, yang ditangkap polisi pada 9 Desember 2024 di rumahnya akhirnya divonis 19 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Voni situ dibacakan PN Teluk Kuantan, Rabu (28/5) siang ini.Akankah Luka Korban Dapat Sembuh?Kisah Anak Korban adalah cerminan luka mendalam akibat kekerasan dalam rumah tangga. Trauma yang dialaminya mungkin tak akan pernah sembuh sepenuhnya, namun keberaniannya bersuara di muka sidang adalah langkah menuju keadilan.Kasus ini menyoroti urgensi edukasi dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan keluarga. Lembaga perlindungan anak dan psikolog setempat yang mendampingi Anak Korban, berupaya untuk memulihkan jiwanya yang terluka. Namun di balik dinding pengadilan, pertanyaan besar menggantung:  akankah luka batin si Anak Korban dapat sembuh?

Gegara Miras, 3 Anak Pelaku Gang Rape di Sumsel Dihukum 4 Tahun Penjara

article | Sidang | Selasa, 20 Mei 2025 09:20 WIB

Kayuagung – Vonis penjara selama 4 tahun di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dijatuhkan oleh Hakim Anak Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), kepada para Anak pelaku Gang Rape di Kabupaten OKI. Hukuman tersebut dijatuhkan lantaran para Anak dinilai terbukti telah menyetubuhi anak korban. “Menyatakan para Anak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun di LPKA dan pelatihan kerja selama 4 bulan di LPKS,” tutur Hakim Anak dalam sidang pembacaan putusan yang digelar terbuka untuk umum, di Gedung PN Kayuagung, Jalan Letnan Mukhtar Saleh Nomor 119, Kayuagung, OKI, Sumsel, pada Senin (19/5/2025) kemarin.Kasus bermula saat teman anak korban berkenalan dengan salah satu Anak dan berjanji untuk bertemu. Setelah bertemu anak korban dan temannya dibawa menuju ke rumah salah seorang Anak, yang mana di rumah tersebut telah berkumpul beberapa orang. Salah satu Anak kemudian membeli minuman keras, yang lalu disodorkan kepada anak korban dan temannya.“Salah seorang Anak kemudian mendekati anak korban dan anak saksi, menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas bekas minuman hingga penuh dan selanjutnya memaksa anak korban dan anak saksi untuk meminum minuman tersebut, dengan cara tangan kanannya memegang dagu dan menekan kedua pipi anak korban hingga mulut anak korban terbuka,” ucap Hakim.Setelahnya 4 empat orang anak kemudian menyetubuhi anak korban di dalam kamar secara bergantian, sementara beberapa orang lainnya melakukan perbuatan cabul kepada anak saksi di kamar lain. Anak korban dan anak saksi yang dalam kondisi mabuk tidak sempat memberikan perlawanan pada saat perbuatan tersebut terjadi. “Dari hasil pemeriksaan psikologis diperoleh hasil jika anak korban mengalami pengalaman traumatis yang tercermin pada perubahan pola pikir, suasana hati, dan perilaku yang mengarah pada gejala kecemasan,” ungkap Hakim dalam putusannya.Dalam pertimbangannya, Hakim menilai meskipun pada saat kejadian tersebut tidak terdapat kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan para Anak kepada anak korban dikarenakan sebelumnya Anak korban telah terlebih dahulu dicekoki oleh minuman keras, namun perbuatan Anak yang telah menyetubuhi anak korban sehingga mengalami penderitaan secara fisik, seksual, dan psikis sebagaimana Visum et repertum dan Pemeriksaan Psikologis tersebut, dianggap termasuk sebagai pengertian kekerasan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.Terkait penjatuhan pidana, Hakim mempertimbangkan hasil Penelitian Kemasyarakatan yang menyebutkan perbuatan tersebut dilakukan karena faktor lingkungan pergaulan dan kurangnya pengawasan dari orang tua para Anak, yang kemudian merekomendasikan penjatuhan pidana berupa pidana penjara di LPKA.“Meskipun Anak ditempatkan di LPKA, tetapi Anak masih tetap dapat melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah khusus yang disediakan di LPKA tersebut. Selain itu, Anak dapat melakukan berbagai kegiatan positif dengan bimbingan dan pengawasan dari pihak yang profesional. Serta diharapkan ke depannya Anak dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan tidak lagi mengulangi melakukan perbuatan yang melanggar hukum,” tukas Hakim.Persidangan pembacaan putusan berjalan dengan tertib dan lancar. Selama persidangan berlangsung para Anak yang didampingi Penasihat Hukumnya maupun Penuntut Umum terlihat secara saksama mendengar pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim.Atas putusan itu, Penasihat Hukum para Anak dan Jaksa Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir. (AL)

PN Purwodadi Hukum Guru yang Cabuli Siswi Selama 15 Tahun Penjara

article | Sidang | Jumat, 25 Apr 2025 20:05 WIB

Grobogan- Pengadilan Negeri (PN) Purwodadi, Jawa Tengah (Jateng), menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara kepada guru berinisial R. Ia terbukti mencabuli seorang siswinya.“Menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara,” kata ketua majelis Pranata Subhan dalam sidang di PN Purwodadi, Kamis (24/4/2025) kemarin.Majelis hakim menyatakan R terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan tunggal. Yakni melanggar Pasal 82 ayat (1/3) UU RI nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan Perppu RI nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Selain penjara 15 tahun, terdakwa juga dipidana denda sebesar Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan. Hal yang memberatkan dalam putusan itu antara lain yakni posisi terdakwa sebagai guru yang seharusnya melindungi korban. Sedangkan, hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum penjara.Terhadap putusan tersebut, terdakwa maupun jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir. Sedangkan ibu korban kasus pencabulan ini menyatakan puas atas putusan tersebut. (asp/asp)

PN Putussibau Berhasil Akhiri Sengketa Nafkah Anak Pasca Perceraian

article | Sidang | Selasa, 22 Apr 2025 16:15 WIB

Putussibau- Pengadilan Negeri (PN) Putussibau, Kalimantan Barat (Kalbar) berhasil mendamaikan para pihak yang bersengketa. Perkara tersebut mengenai gugatan nafkah anak pasca-perceraian yang sedang berjalan di PN Putussibau.Kasus itu mengantongi perkara Nomor 5/Pdt.G/2025/PN Pts. Mediasi dipimpin oleh Didik Nursetiawan sebagai Hakim Mediator pada Rabu (16/4) lalu.“Dengan menggunakan pendekatan interpersonal yang mengedepankan musyawarah dan iktikad baik dari kedua belah pihak, akhirnya pada pertemuan ketiga, mediasi tersebut berhasil membuahkan kesepakatan perdamaian antara Para Pihak,” demikian bunyi siaran pers sebagaimana dikutip DANDAPALA, Selasa (22/4/2025).Proses mediasi yang berlangsung pada tanggal 16 April 2025 ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Para pihak yang bersengketa hadir secara langsung dan menjalani tahapan mediasi yang dilaksanakan secara tertutup di ruang mediasi PN Putussibau.“Dengan tercapainya perdamaian antara Para Pihak pada tahap mediasi ini, proses persidangan perkara tersebut tidak dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pokok perkara. Nantinya, Akta Perdamaian yang disahkan dan diputuskan oleh Majelis Hakim memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan dan mengikat bagi Para Pihak sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum acara perdata,” lebih lanjut rilis tersebut.Perceraian bukanlah akhir dari tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak mereka. Meski hubungan suami istri telah berakhir secara hukum, kewajiban sebagai orang tua tetap melekat dan tidak terputus, terutama dalam hal memberikan nafkah kepada anak. Dalam hukum perdata yang berlaku di Indonesia, baik menurut hukum agama maupun hukum positif, seorang ayah tetap memiliki kewajiban utama untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya setelah perceraian, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf b Undang-Undang Nomor Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.“Dengan adanya kesepakatan perdamaian ini, diharapkan pihak Ayah tidak lagi lalai dari tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Sebab anak adalah tanggung jawab bersama yang harus dijaga hak-haknya, termasuk hak untuk hidup layak, memperoleh pendidikan, dan kasih sayang meskipun kedua orang tua telah berpisah,” tutup rilis tersebut. (asp/asp)

Kejamnya Ayah Kandung Siksa Arie Hanggara dan Lahirnya Aturan Perlindungan Anak

article | History Law | Sabtu, 19 Apr 2025 16:10 WIB

Jakarta- Pada 1984, Indonesia pernah digegerkan dengan kekejaman Machtino yang menyiksa anak kandungnya Arie Hanggara yang masih anak-anak hingga tewas. Ikut menyiksa juga si ibu tiri, Santi. Bagaimana kisah kelam itu bisa terjadi?Dikutip dari buku ‘Kisah Arie Hanggara dan Kekerasan yang Menghantui Anak-Anak, Sabtu (19/4/2025), disebutkan Arie Hanggara adalah anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dan Dahlia Nasution. Arie tewas setelah dipukuli Machtino dan Santi pada 8 November 1984, karena dituduh mencuri uang di sekolahnya.  Bocah kelas 1 SD itu dipukuli dengan tangan ayahnya dan gagang sapu. Tak sempat mendapatkan pertolongan, Arie meninggal dalam perjalanan saat akan dibawa ke RSCM. Kasus pun bergulir ke meja hijau. Kala itu UU Perlindungan Anak belum lahir. Yang ada hanyalah aturan yang termuat dalam  KUHP yaitu Pasal 290, 292, 293, 294, 297. “Pada tanggal 23 Juli 1979 lahir UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian disusul pada tanggal 29 Februari 1988 lahir Peraturan Pelaksana Nomor 2 Tahun 1988 tentang Kesejahteraan Anak,” ungkap buku itu.Persidangan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada tahun 1985 dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) JR Bangun. Dalam dakwaaanya, JPU menuntut si ayah dengan hukuman 20 tahun penjara. Sedangkan, Santi, saat itu dituntut ancaman hukuman 15 tahun penjara. Setelah beberapa kali persidangan, majelis hakim yang diketuai Reni Reynowati menjatuhkan hukuman kepada Machtino Eddiwan selama 5 tahun penjara dan Santi selama 2 tahun penjara. “Santi dihukum lebih ringan dengan alasan sekadar membantu Machtino dengan membenturkan kepala Arie ke tembok yang berakibat mati kepada anak korban,” tulis M Rizal dengan judul ‘Mengapa Sekejam Itu kepada Arie Hanggara’.Kekejaman kasus itu akhirnya diangkat ke film layar lebar dengan judul ‘Arie Hanggara’ pada 1985. Selain itu, kasus ini juga mendorong Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak atau Convention on the Rights of the Child pada 5 September 1990 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak.Dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia berdasarkan asas pacta sunt servanda (itikad baik) berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Hak  Anak, khususnya memenuhi hak-hak anak secara umum. Termasuk memberikan perlindungan dan penghargaan kepada anak agar terhindar dari kekerasan dan pengabaian dalam lingkungan sosial. Sehingga sebagai upaya penguatan hukum perlindungan anak, lahirlah UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satunya yaitu Pasal 81 ayat 1 yang mengatur ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan minimal tiga tahun bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.  Disusul dengan lahirnya UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (EES/asp)

Terdesak Sepeda Motor Rusak, Anak Nekat Curi Baterai Aki

article | Berita | Jumat, 21 Mar 2025 10:35 WIB

Kayuagung – PN Kayuagung, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), menjatuhkan pidana berupa Pembinaan di dalam lembaga selama 4 bulan kepada Anak pelaku pencurian baterai aki di Kabupaten Ogan Ilir. Pidana tersebut dijatuhkan sebab Anak dinilai terbukti telah mengambil 4 buah baterai aki milik saksi korban Asmadi.“Menyatakan Anak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pencurian dalam keadaan memberatkan, menjatuhkan pidana Pembinaan di dalam lembaga selama 4 bulan di LPKS Dharmapala Kabupaten Ogan Ilir”, ucap Hakim dalam amar putusannya yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum yang digelar di Ruang Sidang Anak, Gedung PN Kayuagung, Jalan Letnan Mukhtar Saleh Nomor 119, Kayuagung, Senin (17/03/2025).Kasus bermula pada Sabtu (15/02/2025), ketika itu Anak hendak meminjam uang kepada saudaranya untuk memperbaiki sepeda motor. Tidak berhasil mendapatkan pinjaman tersebut, kemudian pada malam harinya timbul niat Anak untuk mengambil baterai aki yang dilihatnya terpasang pada mobil truk yang berada di seberang rumah saudaranya tersebut.“Sekitar pukul 00.30 WIB, dengan menggunakan 1 unit sepeda motor Honda Beat warna hitam, Anak pergi menuju ke rumah saksi Asmadi Bin Abu (Alm) sambil membawa sebuah obeng yang Anak simpan dalam bawah jok motor. Sesampainya di tujuan, Anak langsung masuk ke dalam pekarangan rumah saksi Asmadi Bin Abu (Alm) dengan memanjat pagar dan menuju ke mobil dum truk, kemudian mengambil baterai aki yang terpasang pada mobil dum truk tersebut”, ungkap Hakim.Selanjutnya Anak mengambil baterai aki tersebut dengan cara mencongkel kabel yang terpasang di baterai aki menggunakan obeng, sehingga kabel yang terpasang di baterai aki lepas. Anak kemudian mengangkat baterai aki dari tempatnya yang berada di bawah bak mobil sebelah kiri dan setelah itu Anak melanjutkan mengambil baterai aki yang ada di mobil dum truk yang lainnya yang juga terparkir dengan cara dan alat yang sama.“Tujuan Anak mengambil baterai aki tersebut adalah untuk dijual. Di mana 2  buah baterai aki telah Anak jual dengan harga Rp 120 Ribu per satu baterai aki. Adapun uang hasil penjualan tersebut kemudian Anak pergunakan untuk memperbaiki sepeda motornya. sedangkan 2 buah baterai lagi belum sempat dijual oleh Anak”, tutur Hakim.Dalam pertimbangannya, Hakim menilai jika tindakan Anak yang dipicu lantaran Anak membutuhkan uang untuk memperbaiki sepeda motornya, dan saksi korban yang telah memaafkan perbuatan Anak dianggap sebagai alasan yang meringankan penjatuhan pidana terhadap Anak. “Perbuatan yang dilakukan oleh Anak tidak membahayakan masyarakat, serta perbuatan tersebut dilakukan karena Anak terdorong adanya kebutuhan untuk memperbaiki sepeda motornya, dan Korban telah memaafkan perbuatan Anak serta sudah mendapatkan ganti rugi atas barangnya yang telah hilang. Berdasarkan pertimbangan tersebut Hakim menilai terhadap perbuatan Anak layak untuk dijatuhi pidana berupa pembinaan di dalam lembaga”, lanjut Hakim saat membacakan pertimbangannya.Selama persidangan berlangsung, Anak dengan didampingi Penasihat Hukumnya, Andi Wijaya, PK Bapas, dan ibu kandungnya, terlihat kooperatif mengikuti jalannya persidangan pembacaan putusan, yang dihadiri pula oleh JPU dari Kejaksaan Negeri Ogan Ilir.Atas putusan itu, Anak melalui Penasihat Hukumnya menyatakan menerima, sedangkan Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir. (AL)