Cari Berita

Vonis Kasus Anak Viral, PN Curup: Tuntutan Tak Sesuai UU SPPA

article | Sidang | 2025-06-19 17:05:08

Rejang Lebong- Putusan PN Curup, Rejang Lebong, Bengkulu, terhadap anak BK (16 tahun) dan anak DDA (17 tahun) yang dijatuhkan selang satu minggu menarik perhatian masyarakat. Sebab, salah satu pelaku DDA dihukum kerja sosial membersihkan masjid. Selidik punya selidik, DDA bukanlah pelaku utama, perannya berupa menginjak kepala korban. Sebagaimana diberitakan, Hakim Eka Kurnia Nengsih, S.H., M.H menjatuhkan pidana terhadap anak DDA dengan pidana bersyarat berupa pelayanan masyarakat dengan kewajiban membersihkan Masjid At-Taqwa yang beralamat di Jalan Agus Salim Desa Puguk Lalang Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong selama 60 (enam puluh) jam dengan ketentuan pekerjaan dimaksud dilakukan sedemikian rupa oleh Anak tidak lebih 3 (tiga) jam perhari pada Rabu (04/6/2025).Hakim yang sama seminggu kemudian pada Rabu (11/6/2025) kembali menjatuhkan putusan pada anak BK.“Pidana penjara selama 2 (dua) tahun di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bengkulu,” bunyi amar putusan yang dibacakan di gedung pengadilan yang terletak di Jalan Basuki Rahmat 15, Rejang Lebong, Bengkulu.Perbedaan waktu pembacaan putusan telah memunculkan spekulasi, terlebih ketika dirasakan adanya disparitas. “Jauh dari tuntutan pidana penjara yang diiajukan Penuntut Umum,” ujar Ana Tasia Pase, pengacara yang mendampingi korban RA menanggapi kedua putusan.Sebagaimana diketahui, dalam perkara tersebut Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Rejang Lebong mengajukan tuntutan yang berbeda. Untuk anak DDA pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan terhadap anak BK pidana penjara selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan.Keduanya oleh Penuntut Umum dinyatakan terbukti melanggar dakwaan primer, Pasal Pasal 76C Jo Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Beda Peran Beda PutusanMerujuk pada rilis yang disampaikan PN Curup, perbedaan putusan dijatuhkan karena terdapat perbedaan peran anak DDA dan anak BK terhadap luka berat yang diderita anak korban RA.“Luka berat pada anak korban RA lumpuh dan belum dapat beraktifiras normal sejak September 2024 adalah luka akibat bacokan senjata tajam yang dilakukan anak BK, sedangkan anak DDA terbukti memijak bagian wajah setelahnya.“Karenanya anak BK terbukti dakwaan primer sedangkan anak DDA yang terbukti adalah dakwaan subsidair,” jelas Mantiko Sumanda Moechtar, Juru Bicara PN Curup.Tuntutan Tidak Sesuai SPPADalam putusannya, Hakim Eka Kurnia Nengsih, S.H., M.H  menyoroti tuntutan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Rejang Lebong terhadap anak BK.“Hakim tidak sependapat dengan tuntutan Penuntut Umum yang menuntut Anak dengan lamanya pidana penjara 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dengan dakwaan yang terbukti adalah dakwaan primair yaitu melanggar Pasal 76C Jo Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah),” sebagaimana bunyi pertimbangan yang dirilis PN Curup.Lebih lanjut Hakim mempertimbangkan “bahwa sebagaimana telah diatur dalam pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa “pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa”, namun dengan melihat tuntutan yang diajukan oleh Penuntut Umum, Hakim berpendapat bahwa Penuntut Umum tidak menerapkan isi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap penuntutan anak BK.” (seg).

Jadi Muncikari Anak, Rahmat Dihukum 3 Tahun Penjara oleh PN Kayuagung

article | Sidang | 2025-06-04 14:30:37

Kayuagung – Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel) menghukum Rahmat seorang tukang ojek di kawasan Kayuagung dengan penjara selama 3 tahun. Hukum tersebut dijatuhkan sebab ia terbukti telah membiarkan dilakukannya eksploitasi seksual terhadap anak.“Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membiarkan dilakukannya eksploitasi secara seksual terhadap Anak, menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun”, ucap Majelis Hakim pada persidangan yang digelar Rabu (04/06/2025) di Gedung PN Kayuagung, Jalan Letnan Mukhtar Saleh Nomor 119, Kayuagung, Kabupaten OKI, Sumsel.Kasus ini berawal pada awal November 2024, pihak kepolisian mendapatkan informasi mengenai sering terjadinya praktik prostitusi anak di Penginapan dan Karaoke Gita Home Kayuagung. Berdasarkan informasi tersebut, pihak kepolisian kemudian melakukan penggrebekan dan berhasil mengamankan Terdakwa, serta para anak yang sedang bersama pelanggannya.“Saat itu Terdakwa dan para anak mengakui jika Terdakwa adalah orang yang mencarikan pelanggan atau tamu yang akan menggunakan jasa prostitusi para anak. Di mana disepakati untuk waktu shortime (satu kali main) dengan bayaran sejumlah Rp200 ribu maka Terdakwa mendapatkan keuntungan sejumlah Rp 30 ribu, untuk waktu shortime (satu kali main) dengan bayaran sejumlah Rp 250 ribu maka Terdakwa mendapatkan keuntungan sejumlah Rp50 ribu, dan untuk waktu long time (satu malam) dengan bayaran sejumlah Rp 1,5 juta maka Terdakwa mendapatkan keuntungan sebesar Rp200 ribu”, ungkap Majelis Hakim.Setelah kesepakatan tersebut, Terdakwa kemudian mencarikan pelanggan yang akan menggunakan jasa prostitusi para anak tersebut dengan cara menggunakan foto para anak dan menawarkannya melalui aplikasi Michat, Whatsapp, maupun secara langsung. Selanjutnya Terdakwa memberitahu para anak melalui chat aplikasi Whatsapp bahwa ada pelanggan. Setelah itu para anak langsung menyuruh Terdakwa untuk mengantar pelanggan tersebut ke kamar yang Para anak sewa. Di mana jika para anak sedang melayani pelanggan, terhadap tamu tersebut para anak sampaikan kepada Terdakwa untuk menunggu.“Adapun total keuntungan yang didapat Terdakwa dari pekerjaannya mencarikan pelanggan untuk para anak dalam kurun waktu bulan Oktober sampai November tahun 2024 tersebut adalah sekitar sejumlah Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah) sampai dengan sejumlah Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”, jelas Majelis Hakim saat membacakan pertimbangannya.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai perbuatan Terdakwa yang menawarkan kepada para anak untuk mencarikan laki-laki yang akan menggunakan jasa seks para anak dengan kesepakatan Terdakwa akan memperoleh sejumlah keuntungan. Di mana meskipun kesepakatan antara Terdakwa dan para anak tersebut tidak didasari atas hubungan kerja sama, serta para anak yang menentukan biaya jasa dan fee. Namun perbuatan Terdakwa yang tidak melarang tindakan para anak untuk menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) dan justru mencarikan pelanggan untuk menggunakan jasa seks tersebut dinilai termasuk sebagai bentuk tindakan yang membiarkan terjadinya eksploitasi seksual terhadap para anak.“Sebagai alasan yang memberatkan, perbuatan Terdakwa dianggap sebagai perbuatan yang meresahkan masyarakat. Sementara untuk alasan meringankan, Majelis Hakim menilai Terdakwa menyesali perbuatannya dan sebelumnya Terdakwa tidak pernah dihukum”, lanjut Majelis Hakim dalam putusannya.Persidangan pembacaan putusan berjalan dengan lancar. Selama persidangan berlangsung Terdakwa dengan didampingi Penasihat Hukumnya maupun Penuntut Umum terlihat tertib dan saksama mendengar pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim. Atas putusan itu, baik Terdakwa menyatakan menerima, sementara Jaksa Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir. (AL)

Kejamnya Ayah Kandung Siksa Arie Hanggara dan Lahirnya Aturan Perlindungan Anak

article | History Law | 2025-04-19 16:10:53

Jakarta- Pada 1984, Indonesia pernah digegerkan dengan kekejaman Machtino yang menyiksa anak kandungnya Arie Hanggara yang masih anak-anak hingga tewas. Ikut menyiksa juga si ibu tiri, Santi. Bagaimana kisah kelam itu bisa terjadi?Dikutip dari buku ‘Kisah Arie Hanggara dan Kekerasan yang Menghantui Anak-Anak, Sabtu (19/4/2025), disebutkan Arie Hanggara adalah anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dan Dahlia Nasution. Arie tewas setelah dipukuli Machtino dan Santi pada 8 November 1984, karena dituduh mencuri uang di sekolahnya.  Bocah kelas 1 SD itu dipukuli dengan tangan ayahnya dan gagang sapu. Tak sempat mendapatkan pertolongan, Arie meninggal dalam perjalanan saat akan dibawa ke RSCM. Kasus pun bergulir ke meja hijau. Kala itu UU Perlindungan Anak belum lahir. Yang ada hanyalah aturan yang termuat dalam  KUHP yaitu Pasal 290, 292, 293, 294, 297. “Pada tanggal 23 Juli 1979 lahir UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian disusul pada tanggal 29 Februari 1988 lahir Peraturan Pelaksana Nomor 2 Tahun 1988 tentang Kesejahteraan Anak,” ungkap buku itu.Persidangan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada tahun 1985 dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) JR Bangun. Dalam dakwaaanya, JPU menuntut si ayah dengan hukuman 20 tahun penjara. Sedangkan, Santi, saat itu dituntut ancaman hukuman 15 tahun penjara. Setelah beberapa kali persidangan, majelis hakim yang diketuai Reni Reynowati menjatuhkan hukuman kepada Machtino Eddiwan selama 5 tahun penjara dan Santi selama 2 tahun penjara. “Santi dihukum lebih ringan dengan alasan sekadar membantu Machtino dengan membenturkan kepala Arie ke tembok yang berakibat mati kepada anak korban,” tulis M Rizal dengan judul ‘Mengapa Sekejam Itu kepada Arie Hanggara’.Kekejaman kasus itu akhirnya diangkat ke film layar lebar dengan judul ‘Arie Hanggara’ pada 1985. Selain itu, kasus ini juga mendorong Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak atau Convention on the Rights of the Child pada 5 September 1990 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak.Dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia berdasarkan asas pacta sunt servanda (itikad baik) berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Hak  Anak, khususnya memenuhi hak-hak anak secara umum. Termasuk memberikan perlindungan dan penghargaan kepada anak agar terhindar dari kekerasan dan pengabaian dalam lingkungan sosial. Sehingga sebagai upaya penguatan hukum perlindungan anak, lahirlah UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satunya yaitu Pasal 81 ayat 1 yang mengatur ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan minimal tiga tahun bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.  Disusul dengan lahirnya UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (EES/asp)