Cari Berita

Dialektika Ius Constituendum dan Ius Constitutum: Persimpangan Reforma Agraria dan Sanksi Tata Ruang

Bony Daniel - Dandapala Contributor 2025-12-01 07:25:20
Dok. Penulis.

Pembangunan hukum nasional Indonesia bersemayam dalam dualitas antara kepastian hukum (ius constitutum) dan keadilan sosial (ius constituendum). Dalam konteks agraria, polaritas ini direpresentasikan secara distingtif oleh dua agenda. Di satu kutub, berdiri rezim Penataan Ruang sebagai instrumen ius constitutum yang dirancang untuk mewujudkan pemanfaatan ruang yang tertib dan berkelanjutan. Fondasinya adalah Rencana Tata Ruang (RTR), produk hukum yang diposisikan sebagai referensi imperatif. Untuk menjamin ketertiban ini, rezim tata ruang dibekali aparatus sanksi komprehensif, yang secara tegas memisahkan hak kepemilikan (property right) dari hak membangun (development right).

Di kutub diametral, bersemayam spirit Reforma Agraria (RA/land reform) sebagai manifestasi ius constituendum yang berfokus pada keadilan dan kesejahteraan. Dalam kerangka ini, Penataan Aset (legalisasi aset) bukanlah tujuan akhir, melainkan instrumen modal dasar untuk menggapai tujuan luhur, yakni Penataan Akses. Penataan Akses didesain secara eksplisit untuk memberdayakan subjek RA agar menjadi produktif. Ironisnya, kedua agenda strategis ini seringkali berjalan dalam silo regulasi yang terpisah, membawa imperatif teleologis yang bertentangan pada sebidang tanah yang sama. Rezim tata ruang menuntut kepatuhan statis, sementara RA menuntut produktivitas dinamis. Antinomi norma ini bermuara di ruang sidang, menempatkan hakim dalam dilema yuridis antara kepastian hukum positivistik dan keadilan substantif.

Permasalahan hukum fundamental yang mengemuka adalah bagaimana hakim, dalam kapasitasnya sebagai corong keadilan, harus memosisikan diri ketika mengadili sengketa di mana seorang subjek penerima Redistribusi Tanah, yang didorong oleh mandat negara untuk produktif melalui Penataan Akses, dihadapkan pada ancaman sanksi administratif maupun pidana akibat aktivitas produktifnya (misalnya, mendirikan unit usaha skala kecil) dianggap melanggar ius constitutum berupa RTR yang berlaku, seperti zonasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

Baca Juga: Mengenal Jenis Sanksi Hukum di Jawa Abad ke-18, dari Cambuk hingga Dibuang

Apakah penegakan sanksi tata ruang secara kaku demi kepastian hukum dapat dibenarkan, sekalipun tindakan tersebut secara simultan mendelegitimasi dan menggagalkan esensi program Penataan Akses RA?

Sebaliknya, apakah spirit keadilan sosial RA dapat serta merta menganulir kekuatan mengikat RTR dan memberikan imunitas hukum bagi subjeknya? Di sinilah letak dialektika yuridis yang mendesak untuk ditemukan titik temunya.

Analisis rigiditas ius constitutum dalam rezim penataan ruang menunjukkan paradigma pengendalian mutlak. Dokumen tata ruang memanifestasikan kehendak negara dalam alokasi spasial, di mana setiap jengkal tanah ditentukan peruntukannya. Instrumen sentralnya adalah Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). KKPR menjadi tiket yuridis bagi pemegang property right untuk memperoleh development right. Tanpa KKPR, pemanfaatan ruang, meski di atas tanah hak milik, adalah ilegalitas. Konsekuensinya, regulasi penataan ruang menggariskan sanksi berlapis, dari administratif hingga pidana. Paradigma ini relevan dalam kawasan lindung seperti LP2B. Secara tekstual, pendirian bangunan non pertanian di zona LP2B oleh subjek RA adalah pelanggaran yang memenuhi unsur sanksi.

Pada kutub diametral, analisis teleologis ius constituendum dalam kerangka Reforma Agraria (RA) menyajikan imperatif berbeda. Program ini tidak berhenti pada Penataan Aset, melainkan membebankan positive obligation (kewajiban positif) negara untuk menjamin suksesnya Penataan Akses. Arahan kebijakan ini menuntut agar subjek penerima manfaat difasilitasi, melalui modal, bibit, pelatihan, untuk mencapai produktivitas lahan lebih tinggi. Sertifikat hak atas tanah didesain sebagai collateral bankabel, memungkinkannya dibebani Hak Tanggungan guna mengakses modal usaha.

Di sinilah antinomi norma (benturan kaidah) mengemuka. Aktivitas produktif yang didorong mandat Reforma Agraria dihadapkan pada kewajiban imperatif Pemerintah Daerah sebagai penegak ius constitutum penataan ruang. Pemerintah Daerah wajib menertibkan pemanfaatan ruang yang tidak selaras dengan RTR. Konsekuensinya, wirausaha yang sama, implementasi Penataan Akses, secara yuridis formal dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran tata ruang karena tidak sesuai zonasi. Pelanggaran ini, dalam optik rezim tata ruang, membuka ruang sanksi administratif hingga pidana. Subjek RA, esensinya kelompok rentan, terperangkap dalam kontradiksi kebijakan negara: satu instrumen negara memberi mandat pemberdayaan, sementara instrumen lainnya menyediakan aparatus sanksi atas pelaksanaan mandat tersebut.

Hakim yang dihadapkan pada antinomi ini tidak dapat berlindung di balik adagium lex dura sed tamen scripta (undang-undang itu keras, tetapi sudah tertulis). Menerapkan sanksi tata ruang secara membabi buta berarti hakim telah mengingkari tujuan sosial dari penerbitan sertipikat RA. Ini adalah praktik summum ius, summa injuria, keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi. Di sinilah hakim wajib melakukan rechtsvinding, bergerak dari positivisme yuridis menuju realisme hukum yang sosiologis.

Pertama, hakim harus menguji proporsionalitas pelanggaran. Apakah pelanggaran yang dilakukan subjek RA bersifat substansial dan merusak ekosistem (misalnya, membangun pabrik di zona lindung), ataukah bersifat subsisten dan produktif (membangun warung untuk menopang hidup)? Skala pelanggaran harus menjadi pertimbangan utama.

Kedua, hakim wajib menginterogasi penerapan asas ultimum remedium (pidana sebagai upaya terakhir). Dokumen tata ruang sendiri menyebutkan sanksi pidana, namun juga mengutamakan sanksi administratif. Apakah Pemerintah Daerah telah menempuh jalur pembinaan terlebih dahulu, sebagaimana diamanatkan pula oleh rezim penataan ruang? Jika pembinaan tidak dilakukan, penjatuhan sanksi adalah sebuah cacat prosedural.

Ketiga, hakim dapat menggali fakta koordinasi kelembagaan. Kerangka kerja Penataan Akses itu sendiri secara normatif mengamanatkan adanya 'Hubungan Kelembagaan' antar pemangku kepentingan yang menuntut sinkronisasi kebijakan. Pada saat yang sama, regulasi penataan ruang menegaskan peran sentral Kementerian ATR/BPN, instansi yang notabene juga menjadi pelaksana Reforma Agraria, dalam proses pembahasan lintas sektor dan penerbitan persetujuan substansi RTR. Hakim dapat mempertanyakan apakah dalam proses penyusunan RTR tersebut, Pemerintah Daerah telah secara ex officio mengintegrasikan dan memetakan lokasi-lokasi obyek Reforma Agraria sebagai zona dengan perlakuan khusus yang mengakomodasi kebutuhan produktif Penataan Akses.

Putusan hakim yang adil bukanlah yang memenangkan satu rezim hukum atas rezim lainnya. Putusan yang progresif adalah yang mampu memaksa kedua rezim tersebut untuk berdamai. Hakim dapat, misalnya, menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran tata ruang secara de jure, namun menyatakan sanksi (terutama pidana atau pembongkaran) tidak proporsional dan tidak dapat dieksekusi (unexecutable), mengingat adanya mandat kontradiktif dari program Penataan Akses.

Sebagai gantinya, putusan dapat bersifat korektif: memerintahkan Pemerintah Daerah untuk melakukan pembinaan dan memfasilitasi subjek RA tersebut untuk mendapatkan KKPR melalui mekanisme dispensasi atau memerintahkan dilakukannya revisi RTR parsial yang mengakomodasi kebutuhan produktif skala kecil bagi subjek RA.

Dialektika antara ius constitutum yang diwakili oleh kepastian hukum sanksi tata ruang dan ius constituendum yang diwakili oleh keadilan sosial Penataan Akses Reforma Agraria menuntut hakim untuk tidak sekadar menjadi bouche de la loi (mulut undang-undang). Titik temu antara keduanya tidak terletak pada penerapan teks hukum secara literal, melainkan pada interpretasi teleologis dan uji proporsionalitas. Hakim harus memosisikan diri sebagai penjaga harmoni antara ketertiban dan keadilan.

Putusan yang dihasilkan harus mampu mengakui validitas RTR namun sekaligus melindungi hak subsisten dan produktif subjek RA yang lahir dari mandat negara. Dengan demikian, putusan hakim tidak hanya menyelesaikan sengketa in concreto, tetapi juga berkontribusi pada sinkronisasi kebijakan nasional, memastikan bahwa kepastian hukum tidak menindas keadilan sosial, dan program kesejahteraan tidak menjelma menjadi jebakan yuridis bagi rakyat kecil. (ldr)

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung


Penulis Dr. Bony Daniel, S.H., M.H. adalah Hakim PN Serang

Tulisan ini pendapat pribadi penulis yang tidak mewakili pendapat lembaga.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…