Perkara selesai dan ditutup.
Tok… tok… tok…
Baca Juga: Penerapan Keadilan Restoratif Bagi Pelaku Dewasa Melalui Mekanisme Diversi
Orang mungkin berpikir jika putusan telah diucapkan, maka tugas hakim pun selesai. Namun, apakah tugas hakim benar-benar berakhir di situ?
Pada kenyataannya, justru sejak putusan diucapkan, tanggung jawab seorang hakim memasuki babak baru yang tidak kalah penting: putusan hakim masuk dalam ujian moral, intelektual, institusional, bahkan historis.
Putusan hakim adalah norma hukum konkret yang mengikat para pihak. Namun lebih dari itu, ia akan dibaca oleh pengacara, dibedah oleh akademisi, diperbincangkan di media, bahkan dipersoalkan di ruang makan keluarga. Dalam konteks ini, hakim tidak hanya menjadi problem solver, tetapi juga penulis sejarah republik.
Hans Kelsen, seorang ahli hukum, mengatakan bahwa putusan hakim adalah bagian dari Stufenbau des Recht (hirarki norma hukum). Sebuah putusan, apalagi yang menjadi yurisprudensi, memiliki posisi strategis dalam sistem hukum. Dengan kata lain, satu putusan yang penalarannya keliru akan menjadi catatan suram sejarah negara. Sebaliknya, putusan yang adil dan argumentatif dapat menjadi kontribusi intelektual bagi peradaban hukum nasional.
Dalam praktik peradilan di berbagai negara, kesadaran akan tanggung jawab pasca-putusan sangat dijaga. Di Amerika Serikat, para hakim federal menyadari bahwa setiap reasoning mereka akan diuji publik, dibandingkan dengan preseden, dan mungkin akan dikutip puluhan tahun kemudian. Putusan benar-benar menjadi mahkota hakim. Putusan retak, mahkota pun retak.
Di Indonesia, putusan hakim sangat gampang dikonsumsi publik. Apalagi dalam era digital, setiap putusan berpotensi viral. Rasio decidendi bisa menjadi bahan edukasi hukum, tapi juga bisa menjadi sasaran kritik, satire, bahkan menjadi bahan komedi di TV Nasional. Mahkamah Agung pun berkepentingan agar setiap putusan mencerminkan martabat lembaga, karena dalam setiap reasoning hukum, terselip citra institusi yang dijaga oleh ribuan hakim di seluruh Indonesia. Seperti kata pepatah: nila setitik, rusak susu sebelanga.
Baca Juga: Catatan Terakhir Seorang Mentor Untuk Calon Hakim
Hakim memang bukan politisi. Ia tidak mencari popularitas. Namun ia juga bukan petapa yang lepas dari tuntutan publik. Hakim adalah manusia hukum yang berpikir, memeriksa, menimbang, dan mengadili. Karena itu, sesudah putusan dijatuhkan, tugasnya tidak serta-merta selesai. Ia tetap bertanggung jawab terhadap argumentasi hukum yang ia rumuskan, terhadap dampak sosial yang mungkin timbul, dan terhadap nilai keadilan yang ia bawa atas nama konstitusi dan nurani.
Kita perlu menghidupkan kesadaran bahwa setiap putusan adalah warisan. Warisan kepada sistem hukum, kepada pencari keadilan, dan kepada sejarah Republik. Itu sebabnya, tugas hakim tidak cukup hanya karena putusannya telah memenuhi legalitas. Lebih dari itu, ia harus memenuhi legitimasi (pengakuan dari akal sehat publik). Putusan adalah catatan sejarah Republik. Dan ditulis langsung oleh hakim. (SNR/LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI