Politik hukum pidana
nasional mengalami transformasi secara paradigmatif dan substansial sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Nasional dan akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026
mendatang dengan menggantikan KUHP warisan kolonial Belanda yang secara
substantif mengalami ketertinggalan dengan prinsip hukum pidana kontemporer.
KUHP positif cenderung beraliran klasik yang menitikberatkan pada pelaku dan
perbuatan sehingga meletakkan sanksi retributif yakni pidana penjara sebagai center of atension pemidanaan.
Implikasinya,
orientasi pemidanaan penjara menjadi arus utama yang justru melahirkan efek
yang kontraproduktif dengan esensi tujuan sistem peradilan pidana itu sendiri
untuk meminimalisir tindak pidana dan melindungi masyarakat dari tindak pidana.
Faktanya,
orientasi pidana penjara sebagai arus utama justru melahirkan masalah-masalah
laten seperti praktik prisonisasi, over
capacity, hingga terbentuknya jaringan kejahatan dalam penjara sehingga
fungsi pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dalam sistem peradilan pidana
gagal menjalankan fungsi pembinaan secara optimal.
Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023
Oleh
sebab itu, pemberlakuan KUHP Nasional yang mengusung semangat pembaharuan
memberikan angin segar bagi masa depan penegakan hukum pidana. Paradgima yang
diusung KUHP Nasional adalah keseimbangan perhatian terhadap pelaku, tindak
pidana, dan korban yang mana dalam KUHP positif perhatian terhadap korban tidak
diperhatikan.
Selain
itu, juga dilakukan reposisi terhadap pidana penjara yang tidak lagi diletakkan
sebagai arus utama dalam pemidanaan. Salah satu spirit pembaharuan dalam KUHP Nasional
adalah perihal dicantumkannya tujuan pemidanaan dan diterapkannya double track system melalui penerapan
tindakan sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan tujuan pemidanaan.
Menurut
Pasal 51 KUHP Nasional, tujuan pemidanaan adalah untuk:
·
mencegah dilakukannya tindak
Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman
masyarakat;
·
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;
·
menyelesaikan konflik
yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta
mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat;
·
menumbuhkan rasa
penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Tujuan
pemidanaan tersebut diwujudkan dengan tiga sarana yakni penjatuhan pidana
pokok, penjatuhan pidana tambahan, dan pengenaan tindakan. Mengenai pengaturan
tindakan dalam KUHP Nasional pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari
perubahan paradigma penegakan hukum pidana yang tidak retributf oriented melainkan keseimbangan antara
keadilan korektif, rehabilitatif, dan restitutif.
Tindakan
merupakan bagian dari sarana mewujudkan keadilan korektif dan rehabilitatif
yang ditujukan kepada pelaku tindak pidana baik kepada subjek hukum individu,
korporasi, maupun anak.
Tindakan
ditujukan terhadap individu yang mampu bertanggungjawab, kurang mampu
bertanggungjawab (Pasal 38 KUHP Nasional) maupun yang tidak mampu
bertanggungjawab (Pasal 39 KUHP Nasional).
Terhadap
yang mampu bertanggungjawab dan kurang mampu bertanggungjawab pengenaan
tindakan merupakan bentuk penghukuman sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana sedangkan
terhadap individu yang tidak mampu bertanggungjawab, pengenaan tindakan
merupakan bagian bentuk treatments bukan
sanksi penghukuman karena tidak ada pertanggungjawaban
pidana.
Tindakan
dalam KUHP Nasional
Menurut
KUHP Nasional, tindakan dapat dikenakan terhadap individu sebagaimana diatur
dalam Pasal 103 ayat (1) KUHP Nasional. Tindakan yang dapat dikenakan
bersama-sama dengan pidana pokok berupa: a. konseling; b. rehabilitasi; c.
pelatihan kerja; d. perawatan di lembaga; dan/ atau e. perbaikan akibat Tindak
Pidana. \
Kemudian
pada ayat (2) dinyatakan, Tindakan yang dapat dikenakan kepada setiap orang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 berupa: a. rehabilitasi; b.
penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di lembaga; d. penyerahan kepada
pemerintah; dan/ atau e. perawatan di rumah sakit jiwa.
Pasal
ini menekankan orientasi hukum pada pemulihan, rehabilitasi, dan reintegrasi
pelaku kedalam masyarakat. Pendekatan ini bertujuan menekan dan meminimalisir residivis serta
memperbaiki perilaku dan kondisi psikososial pelaku dengan harapan dapat
mengurangi beban lembaga permasyarakatan serta dampak sosial yang lebih luas.
Tindakan
terhadap anak diatur dalam Pasal 113 KUHP Nasional. Pasal 113 ayat (1), setiap
anak dapat dikenai tindakan berupa: a. pengembalian kepada Orang Tua/wali; b.
penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di
lembaga; e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/ atau pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi;
dan/ atau g. perbaikan akibat tindak pidana.
Pasal
ini menguraikan bahwa dengan Tindakan menunjukkan pendekatan rehabilitatif dan
edukatif yang diutamakan untuk anak-anak terkhusus untuk anak di bawah umur 14
tahun tidak dapat dijatuhi pidana menegaskan perlunya perlindungan khusus bagi
anak-anak yang sangat muda.
Selanjutnya
Tindakan terhadap korporasi diatur dalam Pasal 123 KUHP Nasional. Menurut Pasal
123 KUHP Nasional, tindakan yang dapat dikenakan bagi korporasi: a.
pengambilalihan korporasi; b. penempatan di bawah pengawasan; dan/ atau c.
penempatan korporasi di bawah pengampuan.
Secara
umum, ketiga tindakan ini memberikan spektrum opsi intervensi yang permasalahan
yang dihadapi korporasi, mulai dari pengawasan hingga pengambilalihan adalah
langka-langka yang perlu diterapkan dan memiliki implikasi dan tantangan
tersendiri.
Secara
esensial, konstruksi tindakan dalam KUHP Nasional merupakan bagian instrumen
untuk mewujudkan tujuan pemidanaan. Oleh sebab itu, dalam menjatuhkan tindakan,
hakim harus memperhatikan dua aspek yang menjadi landasan pertimbangan yakni
tujuan pemidanaan serta pedoman pemidanaan.
Hal
ini berdasar pada ketentuan Pasal 104 KUHP Nasional bahwa dalam menjatuhkan
putusan berupa tindakan, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54. Dengan demikian, putusan berupa
tindakan menjadi lebih tepat dan sesuai dengan tujuan dan pedoman pemidanaan.
Dalam konteks tindakan terhadap individu ataupun korporasi pada dasarnya merupakan bentuk personalisasi penghukuman maupun treatments yang disesuaikan dengan kebutuhan yang terbaik bagi pelaku tindak pidana yang mana penilaiannya diserahkan pada hakim untuk menilainya. (ldr)
Refrensi:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru
Eddy O.S. Hiariej & Topo Santoso. Anotasi KUHP
Nasional. Rajawali Pers. 2025
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI