Cari Berita

Konstruksi Tindakan dalam KUHP Nasional

Jon Mahmud-Hakim PN Rembang - Dandapala Contributor 2025-10-24 08:05:34
Dok. Penulis.

Politik hukum pidana nasional mengalami transformasi secara paradigmatif dan substansial sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional dan akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026 mendatang dengan menggantikan KUHP warisan kolonial Belanda yang secara substantif mengalami ketertinggalan dengan prinsip hukum pidana kontemporer. KUHP positif cenderung beraliran klasik yang menitikberatkan pada pelaku dan perbuatan sehingga meletakkan sanksi retributif yakni pidana penjara sebagai center of atension pemidanaan.

Implikasinya, orientasi pemidanaan penjara menjadi arus utama yang justru melahirkan efek yang kontraproduktif dengan esensi tujuan sistem peradilan pidana itu sendiri untuk meminimalisir tindak pidana dan melindungi masyarakat dari tindak pidana.

Faktanya, orientasi pidana penjara sebagai arus utama justru melahirkan masalah-masalah laten seperti praktik prisonisasi, over capacity, hingga terbentuknya jaringan kejahatan dalam penjara sehingga fungsi pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dalam sistem peradilan pidana gagal menjalankan fungsi pembinaan secara optimal.

Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023

Oleh sebab itu, pemberlakuan KUHP Nasional yang mengusung semangat pembaharuan memberikan angin segar bagi masa depan penegakan hukum pidana. Paradgima yang diusung KUHP Nasional adalah keseimbangan perhatian terhadap pelaku, tindak pidana, dan korban yang mana dalam KUHP positif perhatian terhadap korban tidak diperhatikan.

Selain itu, juga dilakukan reposisi terhadap pidana penjara yang tidak lagi diletakkan sebagai arus utama dalam pemidanaan. Salah satu spirit pembaharuan dalam KUHP Nasional adalah perihal dicantumkannya tujuan pemidanaan dan diterapkannya double track system melalui penerapan tindakan sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan tujuan pemidanaan.

Menurut Pasal 51 KUHP Nasional, tujuan pemidanaan adalah untuk:

·       mencegah dilakukannya tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;

·        memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;

·       menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat;

·       menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Tujuan pemidanaan tersebut diwujudkan dengan tiga sarana yakni penjatuhan pidana pokok, penjatuhan pidana tambahan, dan pengenaan tindakan. Mengenai pengaturan tindakan dalam KUHP Nasional pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari perubahan paradigma penegakan hukum pidana yang tidak retributf oriented melainkan keseimbangan antara keadilan korektif, rehabilitatif, dan restitutif.

Tindakan merupakan bagian dari sarana mewujudkan keadilan korektif dan rehabilitatif yang ditujukan kepada pelaku tindak pidana baik kepada subjek hukum individu, korporasi, maupun anak.

Tindakan ditujukan terhadap individu yang mampu bertanggungjawab, kurang mampu bertanggungjawab (Pasal 38 KUHP Nasional) maupun yang tidak mampu bertanggungjawab (Pasal 39 KUHP Nasional).

Terhadap yang mampu bertanggungjawab dan kurang mampu bertanggungjawab pengenaan tindakan merupakan bentuk penghukuman sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana sedangkan terhadap individu yang tidak mampu bertanggungjawab, pengenaan tindakan merupakan bagian bentuk treatments bukan sanksi penghukuman karena tidak ada pertanggungjawaban pidana.

Tindakan dalam KUHP Nasional

Menurut KUHP Nasional, tindakan dapat dikenakan terhadap individu sebagaimana diatur dalam Pasal 103 ayat (1) KUHP Nasional. Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa: a. konseling; b. rehabilitasi; c. pelatihan kerja; d. perawatan di lembaga; dan/ atau e. perbaikan akibat Tindak Pidana. \

Kemudian pada ayat (2) dinyatakan, Tindakan yang dapat dikenakan kepada setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 berupa: a. rehabilitasi; b. penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di lembaga; d. penyerahan kepada pemerintah; dan/ atau e. perawatan di rumah sakit jiwa.

Pasal ini menekankan orientasi hukum pada pemulihan, rehabilitasi, dan reintegrasi pelaku kedalam masyarakat. Pendekatan ini bertujuan menekan dan meminimalisir residivis serta memperbaiki perilaku dan kondisi psikososial pelaku dengan harapan dapat mengurangi beban lembaga permasyarakatan serta dampak sosial yang lebih luas.

Tindakan terhadap anak diatur dalam Pasal 113 KUHP Nasional. Pasal 113 ayat (1), setiap anak dapat dikenai tindakan berupa: a. pengembalian kepada Orang Tua/wali; b. penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di lembaga; e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/ atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/ atau g. perbaikan akibat tindak pidana.

Pasal ini menguraikan bahwa dengan Tindakan menunjukkan pendekatan rehabilitatif dan edukatif yang diutamakan untuk anak-anak terkhusus untuk anak di bawah umur 14 tahun tidak dapat dijatuhi pidana menegaskan perlunya perlindungan khusus bagi anak-anak yang sangat muda.

Selanjutnya Tindakan terhadap korporasi diatur dalam Pasal 123 KUHP Nasional. Menurut Pasal 123 KUHP Nasional, tindakan yang dapat dikenakan bagi korporasi: a. pengambilalihan korporasi; b. penempatan di bawah pengawasan; dan/ atau c. penempatan korporasi di bawah pengampuan.

Secara umum, ketiga tindakan ini memberikan spektrum opsi intervensi yang permasalahan yang dihadapi korporasi, mulai dari pengawasan hingga pengambilalihan adalah langka-langka yang perlu diterapkan dan memiliki implikasi dan tantangan tersendiri.

Secara esensial, konstruksi tindakan dalam KUHP Nasional merupakan bagian instrumen untuk mewujudkan tujuan pemidanaan. Oleh sebab itu, dalam menjatuhkan tindakan, hakim harus memperhatikan dua aspek yang menjadi landasan pertimbangan yakni tujuan pemidanaan serta pedoman pemidanaan.

Hal ini berdasar pada ketentuan Pasal 104 KUHP Nasional bahwa dalam menjatuhkan putusan berupa tindakan, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 54. Dengan demikian, putusan berupa tindakan menjadi lebih tepat dan sesuai dengan tujuan dan pedoman pemidanaan.

Dalam konteks tindakan terhadap individu ataupun korporasi pada dasarnya merupakan bentuk personalisasi penghukuman maupun treatments yang disesuaikan dengan kebutuhan yang terbaik bagi pelaku tindak pidana yang mana penilaiannya diserahkan pada hakim untuk menilainya. (ldr)

Refrensi:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Eddy O.S. Hiariej & Topo Santoso. Anotasi KUHP Nasional. Rajawali Pers. 2025

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI