Sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system menurut Herbert L. Packer, adalah sistem dari common law dimana masyarakat mengidentifikasi, mendakwa atau menuntut, memeriksa, memutuskan dan mempidana mereka yang melanggar ketentuan pidana dengan pola penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan (administration of criminal justice system) yang terdiri dari beberapa komponen-komponen yaitu penyidikan dilakukan oleh kepolisian,penuntutan oleh kejaksaan, mengadili oleh pengadilan dengan bantuan juri.
Sedangkan Romli
Atmasasmita dalam bukunya Juvenile Justice in Indonesia. Bandung: Mandar
Maju, 1997, mendefinisikan sistem peradilan pidana sebagai istilah yang
menunjukkan mekanisme kerja dalam mengatasi kejahatan dengan menggunakan
pendekatan sistem dasar. Sebagai sistem peradilan pidana, terdapat tiga
pendekatan, yaitu pendekatan normatif, administratif, dan sosial sebagai
lembaga pelaksana hukum dan peraturan yang berlaku, sehingga aparat penegak
hukum itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem penegak hukum itu
sendiri.
Tahukah sahabat
dandafelas Istilah sistem peradilan pidana atau dikenal dengan criminal
justice system pada mulanya dikemukakan oleh pakar hukum pidana dan para
ahli di Amerika Serikat dikenal “criminal justice science” kemudian
seorang pakar hukum Frank Remington yang berasal dari Amerika Serikat pada
tahun 1958 , dalam pilot projectnya memperkenalkan konsep rekayasa
admimnistrasi peradilan pidana sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan mekanisme
kerja aparat penegak hukum yang tidak mampu mengatasi kriminalitas yang semakin
meningkat pada tahun 1960-an. Hingga Herbert L. Packer, memperkenalkan
beberapa model peradilan pidana yakni Crime Control
Model, Due Process Model,Family Model dan Integrated
Model.
Baca Juga: Saharjo: Dari Hakim, Menteri hingga Ganti Dewi Yustisia dengan Pohon Beringin
Sebelumnya sejarah perkembangan sistem
peradilan pidana merupakan proses evolusi yang panjang dan kompleks, yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, politik, dan hukum yang berbeda di
setiap negara. Pada masa awal peradaban, konsep peradilan pidana belum memiliki
bentuk yang terorganisir sebagaimana yang dikenal saat ini. Pada zaman kuno,
hukum pidana sering kali bersifat represif dan dijalankan secara pribadi, di
mana korban atau keluarga korban diberikan hak untuk membalas dendam secara
langsung kepada pelaku tindak kejahatan, seperti yang terlihat dalam sistem
hukum "Lex Talionis" atau hukum pembalasan, yang tercermin
dalam hukum Hammurabi di Babilonia maupun hukum adat di berbagai komunitas
awal. Pada era ini, keadilan cenderung bersifat primitif, dengan penekanan pada
balas dendam dan penghukuman tanpa memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan
hak individu.
Seiring perkembangan peradaban,
khususnya di era Yunani dan Romawi Kuno, muncul konsep hukum yang lebih formal
dengan diperkenalkannya institusi peradilan. Pada periode ini, sistem hukum
mulai dibentuk oleh negara dengan pengadilan dan hakim yang berwenang untuk
menengahi perselisihan dan menghukum pelaku tindak pidana berdasarkan aturan
hukum yang tertulis. Hukum Romawi, terutama melalui Corpus Juris Civilis
yang disusun oleh Kaisar Justinianus, memberikan kontribusi besar terhadap
pengembangan prinsip-prinsip dasar hukum pidana, seperti asas legalitas dan
prinsip perlindungan terhadap hak-hak terdakwa, yang kemudian menjadi fondasi
bagi banyak sistem hukum modern.
Memasuki abad ke-20, muncul kesadaran
yang lebih besar akan pentingnya rehabilitasi dibandingkan penghukuman semata,
yang diwujudkan dalam reformasi sistem penjara dan perlakuan terhadap pelaku
tindak pidana. Selain itu, pembentukan lembaga-lembaga internasional seperti
Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court) yang
didirikan pada 17 Juli 1998 semakin memperkuat arah perkembangan sistem
peradilan pidana yang berfokus pada keadilan, transparansi, dan perlindungan
hak-hak individu di berbagai belahan dunia.
Pada Kongres Hukum Nasional (Tahun 1994
di Hotel HORISON/Ancol), disepakati bahwa aparatur penegak hukum itu dapat
dibedakan menjadi : Aparatur penegak hukum pada jajaran administrasi negara.
Disini tempatnya penyidik, jaksa penuntut umum, hakim, LAPAS, dan lain-lain
yang dikenal dengan nama Panca Wangsa Penegak Hukum agar terhubung secara
koheren, koordinatif, dan integrated guna mencari dan menemukan
kebenaran materiil.
Sejak Resmi diberlakukan pada tanggal 31
Desember 1981, kemudian diberlakukannya “karya agung”KUHAP 1981 yang condong
pada Crime Control
Model, merupakan
produk inovatif untuk zamannya, membawa prinsip-prinsip humanistik yang telah menggantikan
HIR dan RBg setelah hampir 134 tahun menjadi hukum acara pidana di Hindia
Belanda dan Indonesia.
Sehingga pemberlakuan Sistem Peradilan
Pidana Terpadu Indonesia menggunakan empat komponen penegak hukum, yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Sehingga kini dikenal dengan sistem
peradilan pidana atau integrated
criminal justice system untuk menciptakan sistem yang lebih adil,
akuntabel, dan responsif dan salah satu asas yang paling mendasar adalah asas
praduga tidak bersalah “Presumption of Innocence”, yang menyatakan bahwa setiap
individu dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya melalui putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang merupakan bagian integral dari
sistem peradilan pidana yang menjamin bahwa setiap individu diperlakukan dengan
adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Referensi:
-
Joko
Sriwidodo, Perkembangan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,
Yogyakarta,Kepel Press,2020,h.119.
-
Marwan
Efendy, Sistem Peradilan Pidana ; Tinjauan Terhadap Beberapa
Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta : Referensi, 2012, Hlm iii.
-
M. Yahya
Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, Hlm 90.
-
Michael
Barama. 2016. Model Sistem Peradilan Pidana dalam Perkembangan. Jurnal
Ilmu Hukum. 3(8): , Hlm. 9.
-
Moh.
Hatta, Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan
Implementasi), Yogyakarta : Galang Press, 2008, Hlm 47-48.
Baca Juga: Femisida Dalam Kerangka Hukum Indonesia
-
Marjono
Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Edisi
Pertama, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1994, Hlm
89.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI