DUNIA hukum tidak hanya dipenuhi oleh adagium, asas, dan peraturan, namun juga simbol atau logo hukum. Beberapa di antaranya yang paling terkenal adalah palu dan Themis. Arti lambang palu dalam hukum adalah kepastian hukum yang dibuat oleh seorang hakim. Kemudian, Themis merupakan dewi keadilan; lambang dari keadilan itu sendiri.Indonesia pernah lama menggunakan Themis sebagai lambang keadilan, sebelum menggantinya pada 1960 menjadi pohon beringin.
Ide pergantian ini diutarakan oleh Dr. Saharjo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Saharjo menilai bahwa Themis tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Mitologi Yunani tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Pergantian lambang itu ditetapkan dengan Surat KeputusanNo. J.S. 8/20/17. Pada 6 Desember 1960, pohon beringin dengan tulisan “pengayoman” resmi ditetapkan sebagai lambang hukum dan menjadi lambang Departemen Kehakiman.
Baca Juga: Cerita Dari Larantuka 1928 saat Raja Larantuka Mengasingkan Para Pembunuh “Soeanggi”
Untuk mengetahui sosok Saharjo siapakah dia dan dari latar Pendidikan apa beliau hingga apa sumbangsinya pada dunia peradilan? Mari kita simak tulisan ini sebagai pengetahuan kita terhadap sosok Saharjo.
Saharjo mungkin sedikit tidak asing bagi sejumlah orang terutama bagi mereka yang tinggal di ibu kota Jakarta. Jika hendak bepergian ke Pancoran dari daerah Manggarai, akses yang paling mudah ialah melewati jalan yang dinamai dengan nama tokoh satu ini. Ya, Jalan Dr Saharjo berada di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Bentangan jalannya membujur dari utara hingga selatan ke kawasan Tebet.
Pendidikan-Pekerjaan
Saharjo lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 26 Juni 1909. Ia adalah keturunan ningrat, putra sulung dari abdi dalem Keraton Surakarta yang bernama Raden Ngabei Sastroprayitno, pendidikan Saharjo pun dapat dikatakan sangat baik. Saharjo mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School) dan lulus tepat waktu hingga melanjutkan sekolah dokter di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen).Setamatnya dari ELS pada 1922, Saharjo lalu masuk ke sekolah dokter STOVIA di Jakarta.
Sadar tidak berbakat menjadi dokter, akhirnya Saharjo pindah sekolah ke AMS (Algemeene Middlebare School) bagian B (Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di mana ia tamat tepat pada waktunya. Setelah menyelesaikan pendidikan di AMS, ia bekerja sebagai guru di Perguruan Rakyat yang merupakan perguruan nasional. Meskipun sudah bekerja, Saharjo tetap mengasah ilmu pengetahuannya yang membuatnya memilih masuk ke RHS (Rechts Hoge School - Sekolah Tinggi Hukum).Setamat dari RHS dengan gelar Meester in de rechten, Saharjo bekerja di Departement Van Justicia Pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu pendudukan Jepang, Saharjo juga pernah memegang jabatan wakil Hooki Kyokoyu atau Kepala Kantor Kehakiman istilah zaman Indonesia merdeka.
Ia juga sempat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Purwakarta, tetapi hanya bertahan delapan bulan karena kembali ditarik ke Kantor Kehakiman di Jakarta, karier Saharjo di Departemen Kehakiman terus menanjak. Seusai kemerdekaan dan pada masa revolusi yakni pada tahun 1948, pria yang pandai memainkan biola dan bernyanyi itu dipercaya menduduki jabatan Kepala Bagian Hukum Tata Negara. Selama sepuluh tahun, Saharjo memangku jabatan ini dengan beberapa hasil kerja yang fenomenal yakni dua Undang-Undang Kewarganegaraan (1947 dan 1958) dan Undang-Undang Pemilihan Umum (1953).
Menteri Kehakiman
Sementara itu, pemerintah Indonesia dihadapkan pada urgensi pengubahan undang-undang yang dibuat pemerintah kolonial Belanda. Saat itu mereka menilai undang-undang tersebut harus diganti dan diubah karena dianggap sudah tak layak lagi diterapkan dan tidak sesuai dengan alam kemerdekaan serta kepribadian bangsa Indonesia. Ketika Saharjo menjabat Menteri Kehakiman (1959-1962), disarankan olehnya agar beberapa bagian dari undang-undang kolonial tidak dipakai lagi sebab tidak sesuai dengan kemajuan zaman.Selain dalam mengurus undang-undang, Saharjo juga mempunyai andil dalam mengubah sejumlah istilah-istilah kehukuman.
Pertama, ia mengganti istilah "penjara" dengan istilah "pemasyarakatan". Alasannya, di dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana tidak disiksa untuk menebus dosa-dosanya, melainkan dididik untuk mengatasi kelemahan dan kesalahannya. Dengan demikian diharapkan ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna setelah menjalani masa hukuman di penjara.Kemudian Istilah penjara diganti dengan "pemasyarakatan" pertama kali dipakai Saharjo pada 5 Juli 1963, saat membacakan pidato berjudul 'Pohon Beringin Pengayom Pancasila'. Ide Saharjo mengenai istilah ini lalu diterima melalui Konferensi Kepenjaraan di Bandung pada 27 April 1964.
Kemudian yang kedua, Saharjo mengganti istilah "terhukum" menjadi istilah "narapidana". Pemikiran Saharjo tentang orang terhukum yang diganti istilahnya ini berdasarkan beberapa rumusan, antara lain tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia sudah bersalah. Tidak boleh diperlihatkan kepada narapidana, bahwa ia diperlakukan sebagai penjahat, tetapi hendaklah diperlakukan sebagai manusia.Selain kedua istilah tersebut, Saharjo juga mengganti lambang hukum di Indonesia. Sebelumnya, lambang hukum di Indonesia menggunakan dewi keadilan mitologi Romawi, Dewi Yustisia (versi mitologi Yunani: Dewi Themis). Menurut Saharjo lambang ini tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai gantinya, Saharjo mengusulkan pohon beringin untuk menjadi lambang hukumnya.Pohon beringin sendiri melambangkan perlindungan rakyat yang mendambakan keadilan hukum. Lambang pohon beringin diterima oleh para peserta Seminar Hukum Nasional pada 1963. Desainnya dibuat oleh pelukis Derachman di mana lambangnya disebut Lambang Pengayoman. Walaupun sudah beberapa kali melakukan perubahan, lambang pohon beringin tetap dipertahankan dan bisa dilihat pada logo Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) saat ini.
Pada 6 November 1963, dalam kedudukannya sebagai Menteri Kehakiman Kabinet Kerja III Saharjo mempersembahkan gelar 'Pengayoman' kepada Presiden Soekarno dan menyematkan pula lambang keadilan. Sebagai bentuk tanda jasanya pada negara, ia pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Tak lama setelah itu, melalui SK Presiden RI No 245 tanggal 29 November 1963, Saharjo ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Baca Juga: Arsip Pengadilan 1928: 7 Fakta Sadisnya Pembunuhan 7 Orang Sekeluarga di NTT
Sumber :
Referensi: Trouw | Depsos RI, " Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional, Volume 4" | Mirnawati, "Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap"
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum