Cari Berita

Masyarakat Terbuka: Antara Idealisme, Realitas dan Hukum

Timothee Kencono Malye - Dandapala Contributor 2025-09-18 09:00:41
Dok. Penulis.

Ketika George Soros memperkenalkan gagasan "masyarakat terbuka" pada dekade 1990-an, ia seolah menawarkan sebuah mimpi yang nyaris sempurna: sebuah ruang di mana perbedaan hidup berdampingan, dialog meredam konflik, dan pluralisme menjadi fondasi stabilitas.

Siapa yang tidak tertarik dengan visi dunia yang inklusif dan adil ini? Namun, saat idealisme tersebut dibawa ke dalam praktik, realitas sering kali menunjukkan jurang yang menganga. Alih-alih meredakan ketegangan, banyak negara yang mengadopsi prinsip ini justru menghadapi polarisasi dan menguatnya identitas primordial.

Mengapa visi ini seringkali gagal di lapangan? Masalahnya terletak pada kecenderungan untuk melihat manusia semata-mata sebagai makhluk rasional. Soros, yang terinspirasi dari Karl Popper, meyakini bahwa dengan kebebasan berekspresi dan akses informasi, manusia akan secara otomatis bergerak menuju moderasi.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Namun, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa selain rasional, manusia juga makhluk tribal. Rasa kebersamaan yang berbasis etnis, ideologi, agama, atau bahkan gaya hidup, sering kali lebih kuat dari logika.

Di ruang yang terbuka, identitas-identitas ini tidak mencair, melainkan justru semakin mengeras dan bersaing, diantaranya misalnya karena adanya rasa iri ataupun tendensi untuk bersikap kompetitif antar individu.

Lebih dari itu, gagasan ini juga seringkali abai terhadap faktor lingkungan dan biologi yang membentuk karakter manusia. Perbedaan sosial tidak hanya soal "warna kulit" atau simbol budaya, tetapi juga dipengaruhi oleh tempat kita tumbuh, iklim, dan bahkan variasi biologis.

Menafikan aspek ini hanya akan membuat masyarakat terbuka kehilangan realisme. Keterbukaan menjadi paradoks: ia adalah kekuatan sekaligus kerentanan. Sistem yang mengandaikan semua pihak bermain adil dan berkompromi akan runtuh jika ada kelompok yang memanfaatkan keterbukaan untuk mendominasi dan menguatkan benteng eksklusifnya.

Gagasan ini juga bermasalah karena seringkali memperlakukan masyarakat sebagai "laboratorium sosial," seakan manusia adalah objek pasif yang tidak dapat memberikan consent dalam eksperimen ideologis.

Ini adalah pandangan yang naif dan berbahaya. Dalam hukum internasional, percobaan terhadap manusia tanpa persetujuan merupakan pelanggaran serius. Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) misalnya, pada pokoknya melarang penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat.

Eksperimen sosial yang memperlakukan manusia sebagai objek, tanpa persetujuan dan tanpa perlindungan, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini. Lebih jauh, secara lebih spesifik dalam Pasal 3 (1) pada EU Charter of Fundamental Rights pada pokoknya mengatur bahwasanya setiap orang berhak atas penghormatan terhadap integritas fisik dan mentalnya.

Adapun eksperimentasi terhadap kondisi psikologis manusia, misalnya dengan menggunakan algoritma sosial media, jelas saja bertentangan dengan prinsip ini. Setiap orang berhak diperlakukan sebagai subjek yang bermartabat, bukan sebagai alat untuk tujuan politik atau ideologis.

Dengan demikian, mendorong masyarakat untuk dijadikan “laboratorium sosial” bukan hanya persoalan akademis, melainkan berpotensi melanggar norma dasar hukum internasional. Visi ini berisiko melukai martabat manusia, sebab warga negara adalah subjek yang berdaulat, bukan objek penelitian.

Lantas, haruskah kita meninggalkan ide "masyarakat terbuka" sepenuhnya? Boleh jadi tidak juga. Sebagai cita-cita, ia tetap memiliki peranan setidaknya sebagai penangkal otoritarianisme. Yang kita butuhkan adalah versi yang lebih realistis, yaitu model keterbukaan yang mengakui tribalitas manusia dan menghormati martabatnya.

Untuk itu, diperlukan beberapa syarat:

pertama, mengakui dan mengelola perbedaan alih-alih mencoba meniadakannya.

Kedua, adanya distribusi keadilan yang merata untuk meredam rasa iri dan kompetisi.

Ketiga, institusi yang kuat untuk mengelola ketegangan.

Dan keempat, kebijaksanaan budaya, seperti filosofi Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia, yang dapat menjadi jembatan lokal untuk mewujudkan keterbukaan yang membumi.

Bagi Indonesia, keragaman yang luar biasa bukanlah bahan eksperimen, melainkan rumah bersama yang harus dirawat. Menyebutnya "laboratorium sosial" terdengar akademis, tetapi bagi warganya, itu terasa menyakitkan.

Masyarakat terbuka yang realistis bukanlah tentang menghapus perbedaan, melainkan tentang mengelolanya agar tidak berujung pada dominasi. Ini tentang memastikan bahwa identitas apa pun dapat hidup tanpa menindas yang lain, lahir dari penghormatan tulus terhadap martabat setiap individu.

Baca Juga: Urgensi Remunerasi Berbasis Kinerja Bagi Hakim dan Tenaga Teknis Peradilan

Idealisme Soros hanya akan menjadi utopia jika tidak dikaitkan dengan sifat dasar manusia, realitas lingkungan, dan martabat yang menolak untuk dijadikan bahan eksperimen. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI