Cari Berita

Dari Ne Bis In Idem ke Una Via: Dialektika Keadilan Lintas Rezim di Persimpangan Peradilan

Bony Daniel (Hakim PN Serang) - Dandapala Contributor 2025-12-01 07:05:28
Dok. Penulis. Bony Daniel (Hakim PN Serang)

Arsitektur hukum modern memisahkan sanksi pidana (ultimum remedium, retributif) dan administrasi (primum remedium, korektif). Namun, proliferasi hukum pidana administratif mengaburkan dikotomi ini, menciptakan tumpang tindih yurisdiksi. Konsekuensi fundamentalnya adalah patologi duplicatio poenae (sanksi ganda) atas idem factum (fakta material yang sama).

Problematika ini berakar pada interpretasi restriktif asas ne bis in idem (Pasal 76 KUHP). Secara formalistik, asas ini ditafsirkan terbatas hanya pada larangan penuntutan ganda dalam rezim pidana (intra rezim). Akibatnya, tercipta rechtsvacuum (kekosongan hukum): sanksi administratif, terlepas dari substansi punitifnya, tidak menghalangi proses pidana atas fakta yang identik, begitu pula sebaliknya.

Kesalahan interpretasi klasik terletak pada fokus terhadap idem delictum (kesamaan delik/forum), bukan perlindungan atas idem factum. Hal ini memungkinkan negara, sebagai entitas tunggal, menjatuhkan sanksi dua kali melalui aparatus berbeda (yudikatif dan administratif).

Baca Juga: Nebis In Idem Dalam Perkara Pidana Perbuatan Berlanjut (Vorgezette Handling)Yang Diajukan Penuntutan Secara Terpisah

Meskipun sanksi administratif formalnya bukan pidana, secara substantif ia menghasilkan efek penghukuman kedua (quasi punitive effect). Inkonsistensi ini secara langsung mencederai prinsip proporsionalitas dan kepastian hukum (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945).

Untuk mengatasi ambiguitas ini dan mencegah interpretatio subjectiva, penting untuk melakukan diferensiasi konseptual yang tegas antara “sanksi administratif murni” dan “sanksi administratif punitif”. Demarkasi ini harus didasarkan pada kriteria objektif. Referensi doktrinal yang otoritatif adalah Kriteria Engel (Engel Criteria), yang dirumuskan oleh European Court of Human Rights (ECtHR) dalam putusan Engel v. Netherlands (1976).

Kriteria ini menguji kapan suatu sanksi, terlepas dari label formalnya, memiliki sifat “pidana” secara substantif, melalui tiga parameter fundamental. Pengujian dimulai dengan melihat klasifikasi hukum pelanggaran menurut hukum nasional. Selanjutnya, yang lebih krusial, adalah analisis terhadap sifat dasar pelanggaran, yakni apakah tujuan sanksi tersebut bersifat punitif dan preventif, ataukah murni korektif. Terakhir, pengujian mempertimbangkan tingkat keparahan sanksi yang mungkin dijatuhkan.

Dengan menerapkan Kriteria Engel, kita dapat membedah contoh kasus secara presisi. Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) pasca putusan pidana korupsi inkracht bukanlah hukuman kedua atas idem factum. PTDH adalah tindakan administratif kepegawaian murni yang memiliki ratio administratif independen, yakni hilangnya syarat subjektif untuk menduduki jabatan publik. Sifat dasarnya adalah korektif (menjaga marwah birokrasi), bukan punitif substantif.

Sebaliknya, patologi duplicatio poenae manifes secara ekstrem dalam hukum pemilu (vide Pasal 285 UU 7/2017), di mana putusan pidana inkracht secara imperatif mengaktivasi sanksi administratif pembatalan calon. Dalam konstruksi ini, sanksi administratif kehilangan ratio korektifnya. Hak konstitusional untuk dipilih tidak otomatis hilang karena pidana ringan atau percobaan. Sanksi pembatalan tersebut bertransformasi menjadi disguised punishment yang bersifat punitif murni, sebuah "hukuman mati politik". Karena tingkat keparahannya yang ekstrem, sanksi ini secara substantif harus dikategorikan sebagai pidana.

Konsekuensi dari hal ini adalah insufisiensi doktrin ne bis in idem klasik dalam membendung duplikasi sanksi lintas rezim. Dengan demikian, sistem yang terfragmentasi ini menciptakan dilema yudisial akut di dua kamar peradilan. Hakim pidana menghadapi paradoks. Saat menerapkan asas proporsionalitas, misalnya menjatuhkan vonis ringan, hakim pidana secara de facto sadar bahwa putusan proporsional tersebut akan menjadi instrumen predikat hukum untuk mengaktivasi sanksi kedua yang ekstrem disproporsional di luar yurisdiksinya. Putusan yang dianggap adil justru melahirkan ketidakadilan yang lebih besar.

Sementara itu, hakim PTUN dihadapkan pada benturan formalitas legalistik. Ketika subjek hukum menggugat Surat Keputusan administratif pembatalan tersebut, hakim PTUN seringkali terkunci pada pengujian formalitas prosedural: Apakah SK KPU didasarkan pada putusan pidana inkracht? Jika ya, SK tersebut cenderung dianggap sah menurut hukum positif (Pasal 285).

Fenomena ini termanifestasi nyata dalam hukum elektoral. Sebagai ilustrasi, seorang kandidat yang melakukan pelanggaran minor dijatuhi pidana percobaan oleh Hakim Pidana, sebuah vonis yang proporsional. Namun, ironisnya, putusan terukur ini secara mekanistik digunakan penyelenggara pemilu sebagai dasar deterministik untuk mendiskualifikasi kandidat tersebut. Sanksi administratif ini, sebuah "hukuman mati politik", secara ekstrem disproporsional dibandingkan pidana awalnya.

Ketika legalitas diskualifikasi ini diuji di PTUN, pengadilan cenderung terkunci pada pengujian formal: keberadaan putusan pidana inkracht dianggap cukup untuk memvalidasi keputusan administratif, tanpa menguji proporsionalitas atau AUPB. Implikasinya, meskipun hakim PN dan hakim PTUN bertindak sesuai koridor formalnya, output kolektif sistem ini adalah ketidakadilan substantif yang dilembagakan.

Keterbatasan ne bis in idem klasik menuntut evolusi pemikiran hukum menuju asas una via (electa una via non datur recursus ad alteram): "ketika satu jalan telah dipilih, tidak boleh ada jalan lain yang ditempuh". Asas una via adalah perluasan logis ne bis in idem dalam konteks modern, yang menggeser fokus dari idem delictum (kesamaan delik) ke idem factum (kesamaan fakta).

Prinsipnya fundamental: negara, sebagai entitas tunggal, harus memilih jalurnya (via) dalam merespons satu fakta perbuatan. Jika jalur administratif punitif (berdasarkan Kriteria Engel) dipilih, jalur pidana tertutup. Sebaliknya, jika jalur pidana dipilih, sanksi administratif tambahan yang bersifat menghukum (bukan konsekuensi status) tidak boleh dijatuhkan.

Untuk mengoperasionalkan asas una via secara efektif lintas sektor, penerapannya harus dipadukan dengan asas lex specialis derogat legi generali. Legislasi sektoral (lex specialis), seperti UU Pemilu atau UU Lingkungan Hidup, harus diharmonisasikan dengan asas umum una via melalui norma delegatif yang jelas. Norma ini harus memberikan kewenangan diskresioner kepada regulator sektoral sebagai gatekeeper untuk menentukan pilihan jalur penegakan hukum secara definitif di tahap awal. 

Gagasan ini bukanlah utopia yuridis. Sistem hukum Indonesia secara progresif telah mengadopsinya. Preseden termutakhir adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Pasal 100A UU P2SK secara eksplisit memberikan OJK kewenangan diskresioner untuk memilih jalur pidana atau jalur sanksi administratif. Ini adalah pilihan hukum (pilihan via) yang dirancang secara sadar untuk mengakhiri sanksi ganda.

Duplicatio poenae yang timbul dari tumpang tindihnya rezim sanksi adalah patologi hukum yang secara fundamental bertentangan dengan asas proporsionalitas dan keadilan substantif yang diamanatkan Pancasila, khususnya Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Sila ke-2) dan Keadilan Sosial (Sila ke-5). Perluasan ne bis in idem menjadi una via adalah keniscayaan doktrinal.

Untuk mengatasi ini, diperlukan solusi legislatif (hulu). Pembentuk undang-undang harus melakukan revisi legislasi sektoral yang tumpang tindih (khususnya UU Pemilu) dengan mengadopsi model gatekeeper progresif seperti Pasal 100A UU P2SK, yang terharmonisasi dalam kerangka lex specialis. Berikan kewenangan diskresioner tunggal kepada regulator (seperti Bawaslu, KLHK, Dirjen Pajak) untuk memilih jalur administratif punitif atau jalur pidana.

Sembari menunggu solusi legislatif, Hakim diharapkan tidak terperangkap sebagai bouche de la loi yang kaku. Melalui kewenangan rechtsvinding, Hakim PN dapat secara eksplisit mencatat pertimbangan disproporsionalitas sanksi ganda dalam ratio decidendi putusannya.

Secara lebih progresif, dalam menguji SK administratif, hakim didorong untuk tidak hanya berhenti pada pengujian formalitas. Hakim harus berani menguji substansi SK tersebut terhadap AUPB (khususnya asas proporsionalitas), menerapkan Kriteria Engel untuk menilai sifat punitif sanksi, dan mengujinya terhadap nilai-nilai Keadilan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi, memastikan bahwa putusan akhir sistem peradilan secara kolektif menghasilkan keadilan substantif, bukan sekadar legalitas formal yang represif. (ldr)

Baca Juga: Mencermati Nebis In Idem dalam Perkara Perceraian

 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…