Cari Berita

Menerjemahkan Arkham Asylum, Refleksi Kemanusiaan dalam Implementasi Pasal 38 dan 39 KUHP Baru

Muhammad Redha Azhari - Dandapala Contributor 2025-11-20 09:15:23
Dok. Web PN Bobong.

Gotham selalu tampak gelap, bahkan ketika lampu-lampu kota menyala. Namun malam itu, kegelapan terasa lebih pekat ketika kendaraan lapis baja milik aparat keamanan memasuki gerbang tinggi bertuliskan Arkham Asylum For the Criminally Insane. Bangunan tua itu berdiri di atas pulau yang terisolasi, dikelilingi pagar listrik dan kabut pekat. Di dalamnya, bukan sekadar para penjahat berbahaya yang ditahan, tetapi juga mereka yang pikirannya telah pecah oleh trauma, kegilaan, atau obsesi.

Di lorong utama, terdengar langkah kaki penjaga bergema di antara jeruji. Di balik pintu-pintu baja, tiga nama besar menjadi simbol dari sisi tergelap Gotham yakni Joker, Harley Quinn, dan Two-Face.Mereka bukan sekadar kriminal mereka adalah cerminan kompleks dari gangguan mental yang berlapis-lapis. Para dokter di Arkham berjuang menembus kabut psikis para pasien itu. Dalam catatan medis mereka, terlihat upaya manusiawi untuk memahami bukan hanya menghukum.

Batman melangkah perlahan melewati ruang observasi, menatap wajah-wajah yang pernah mengancam kota. Dalam hatinya ia bergumam, “Arkham is where the broken go. Some can be fixed others just need to be understood.” (“Arkham adalah tempat bagi mereka yang hancur. Sebagian bisa diperbaiki, sebagian lain hanya perlu dipahami.”) Kata-kata itu menjadi refleksi mendalam tentang batas antara kejahatan dan penyakit jiwa antara kesalahan dan penderitaan.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Pertanyaan moral yang menggema di Arkham sesungguhnya juga hadir dalam realitas hukum Indonesia.Melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional Tahun 2023, negara menegaskan pengakuan terhadap kompleksitas tanggung jawab pidana bagi pelaku yang menyandang disabilitas mental atau intelektual.

Pasal 38 KUHP menyebutkan:

“Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.”

Sementara Pasal 39 KUHP menegaskan:

“Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.”

Kedua pasal ini memperlihatkan pergeseran mendasar dalam paradigma hukum pidana Indonesia dari hukuman sebagai pembalasan, menuju hukuman sebagai perawatan dan pemulihan.

Dalam dunia Batman, Arkham Asylum digambarkan bukan hanya sebagai tempat pengurungan, tetapi juga sebagai pusat rehabilitasi mental dengan pendekatan medis dan keamanan tinggi. Para pasien, seperti Joker dan Harley Quinn, menjalani terapi intensif, sesi evaluasi psikiatris, hingga pengawasan khusus oleh tim forensik.Namun, Arkham juga memperlihatkan risiko besar ketika sistem perawatan mental tidak didukung dengan etika dan profesionalisme.
Kerap kali, kegagalan moral dan struktural di tempat itu membuat proses rehabilitasi berubah menjadi penderitaan baru dan menciptakan gambaran ekstrem tentang bagaimana lembaga penegakan hukum bisa kehilangan sisi kemanusiaannya.

Dalam konteks Indonesia, inspirasi dari konsep Arkham Asylum dapat diterjemahkan secara konstruktif melalui pembentukan rumah sakit jiwa forensik, lembaga yang berfungsi untuk menangani pelaku tindak pidana dengan gangguan mental secara medis, aman, dan bermartabat. Tempat ini bukanlah “penjara dengan dinding putih”, tetapi ruang rehabilitasi hukum yang berpihak pada pemulihan mental, dengan pengawasan negara. Dengan fasilitas seperti itu, implementasi Pasal 38 dan 39 KUHP dapat berjalan nyata, bukan hanya menjadi norma ideal.

Pasal-pasal tersebut sejatinya menegaskan bahwa keadilan harus bersifat therapeutic, bukan semata punitive. Negara tidak menutup mata terhadap fakta bahwa sebagian pelaku kejahatan melakukan tindakannya karena gangguan mental yang membuatnya kehilangan kendali atau kemampuan memahami akibat perbuatannya.

Batman sendiri pernah berkata dalam momen reflektif di Arkham:

“Sometimes it’s not about locking them away. It’s about helping them find what’s left of their humanity.”
(“Kadang bukan soal mengurung mereka, tetapi membantu mereka menemukan kembali sisi kemanusiaannya.”)

Filosofi ini sejalan dengan semangat Pasal 38 dan 39 KUHP, yang menempatkan hukum pidana dalam bingkai kemanusiaan dan rehabilitasi, bukan semata pembalasan. Pendekatan seperti ini juga sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama sila kedua: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”
Dalam praktiknya, hukum pidana tidak hanya berfungsi melindungi masyarakat dari kejahatan, tetapi juga melindungi pelaku dari ketidakadilan akibat kondisi mental yang tidak stabil.

Arkham Asylum dalam kisah Batman adalah cermin bagi setiap sistem hukum di dunia. Ia memperlihatkan betapa tipisnya batas antara keadilan yang melindungi dan keadilan yang menghancurkan. Namun di balik kegelapan Gotham, tersimpan pesan mendalam,bahwa setiap manusia, bahkan yang tersesat sekalipun, masih memiliki sisi kemanusiaan yang bisa disembuhkan. Melalui KUHP Nasional yang baru, Indonesia memiliki kesempatan untuk menerjemahkan pesan itu ke dalam kebijakan nyata  dengan menghadirkan Arkham Asylum versi Indonesia yang berlandaskan kemanusiaan, hukum, dan ilmu pengetahuan.

Baca Juga: Menelisik Perbedaan Pengaturan Recidive dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Sebagaimana Batman pernah merenung di akhir malam yang panjang:

“Maybe the asylum isn’t a prison. Maybe it’s a mirror that showing us what justice without compassion truly looks like.” (“Mungkin Arkham bukanlah penjara, melainkan cermin yang memperlihatkan seperti apa keadilan tanpa belas kasih itu.”) (zm/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…