Konteks kerugian yang nyata dalam
sebagai syarat untuk dilakukannya penghapusan atau pengaburan atas seluruh atau
sebagian Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik diluar dari jenis
perkara yang dikecualikan dalam SK KMA Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 tidak
dijelaskan parameter penentuannya.
Permintaan pihak yang
bersangkutan memang bisa saja dapat diproses melalui hasil pengujian
konsekuensi antara PPID bersama PPID Pelaksana yang dituangkan dalam Keputusan
tentang daftar informasi publik tertentu yang berpotensi dikecualikan.
Sayangnya dalam mengamini
aturan tersebut secara tekstual, beberapa mekanisme dan frasa masih belum
diatur jelas, misalnya Pengujian Konsekuensi dapat dilaksanakan hanya terhadap
daftar informasi publik yang sifatnya berpotensi dikecualikan, tetapi
potensialnya hanya atas dasar dan pertimbangan untuk dikecualikan dalam SK
tersebut condong pada kepentingan umum, padahal sifat permintaan anonimisasi/unpublished dikarenakan kerugian yang
dialami pihak secara pribadi.
Baca Juga: Implementasi Pasal 14 c KUHP dalam Putusan Mahkamah Agung
Pembahasan
Dalam UU Kekuasaan Kehakiman,
ketentuan mengenai publikasi putusan pengadilan terdapat dalam Pasal 52 ayat
(1) yaitu Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh
informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses
persidangan.
Selanjutnya berlaku
pula ketentuan di dalam Perma 1/2019 tentang
Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik dan
perubahannya yaitu Perma 7/2022. Berdasarkan Pasal 26 ayat (7) Perma 7/2022,
pada hari yang sama dengan pengucapan putusan, pengadilan memublikasikan
putusan/penetapan untuk umum pada SIP. SIP sendiri merupakan Sistem Informasi
Pengadilan yaitu seluruh sistem informasi yang disediakan oleh MA untuk memberi
pelayanan terhadap pencari keadilan yang meliputi administrasi, pelayanan
perkara, dan persidangan secara elektronik.
Sebagaimana Bab VIII. Poin H-I,
hlm. 44-45 SK KMA Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 berbunyi:
H. Permohonan
penghapusan atau pengaburan atas seluruh atau sebagian Informasi Elektronik
dan/ atau Dokumen Elektronik dari SIP atau sistem informasi lain yang digunakan
oleh Pengadilan yang menurut keputusan ini tidak termasuk informasi yang harus dikaburkan,
tidak dapat dilakukan, kecuali:
1.
permintaan dilakukan oleh pihak yang bersangkutan ke pada
Atasan PPID; dan
2.
permintaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib
disertai bukti yang menunjukkan kerugian yang nyata bagi pihak yang
bersangkutan.
I. Penghapusan atau pengaburan sebagaimana dimaksud pada huruf H, dilakukan
dengan cara:
1.
mengaburkan sebagian Informasi Elektronik/Dokumen
Elektronik dimaksud; dan
2.
tidak mempublikasikan Informasi Elektronik/Dokumen
Elektronik dimaksud di dalam SIP atau sistem informasi lain yang digunakan oleh
Pengadilan.
Akan tetapi
dilematisnya, satu-satunya cara untuk menentukan parameter hanyalah berdasarkan
hasil daripada pengujian konsekuensi antara PPID bersama PPID Pelaksana yang
dituangkan dalam Keputusan terkait klasifikasi informasi tertentu yang
dikecualikan. PPID dalam hal ini berwenang untuk mengubah daftar informasi
publik menjadi dikecualikan diluar dari SK tersebut. Ketentuan tersebut tertuang dalam bab X.
A, hlm. 49 SK KMA Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 yang berbunyi:
“PPID
mengkoordinasikan pengujian konsekuensi terhadap Informasi tertentu yang
dinilai berpotensi sebagai Informasi yang dikecualikan dengan PPID Pelaksana.”
Apabila diinterpretasikan
secara tekstual dan dikaitkan dengan ketentuan syarat pengkaburan, maka
terdapat kontradiksi bahwa informasi yang dapat dikecualikan sejatinya adalah
segala sesuatu yang sifatnya potensial terhadap hal-hal tertentu.
Potensi sebagaimana dimaksud
apabila dihubungkan dengan frasa “kerugian yang nyata” yang diinterpretasikan
secara ekstensif adalah dialami para pihak, dengan anggapan yang digunakan didasari
klasifikasi dalam Huruf I hlm. 17. Klasifikasi tersebut ternyata juga tidak
menjawab persoalan rill, frasa “kerugian yang nyata” secara tekstual sifatnya
adalah kerugian telah dialami dan telah dirasakan untuk dihitung-hitung/
ditakar secara nominal atau bentuk lain sebagai paradigma kerugian materiil.
Sederhanya tidak bersifat dalam bayang-bayang/prakira, melainkan telah terjadi
dan dirasakan kerugiannya secara konsekuensial/ langsung oleh pihak.
Selain itu juga klasifikasi
dasar pengecualian condong bersifat pada kepentingan umum saja, padahal
permintaan anonimisasi/unpublished
putusan didasari atas kerugian pihak terkait dalam putusan, sederhananya
anggapan tersebut tidak dapat digunakan khusus untuk permintaan diluar dari
jenis informasi yang dikecualikan. Tidak dilakukannya anonimisasi/ unpublished sejatinya tidak menimbulkan
kerugian bagi kepentingan umum namun menimbulkan kerugian bagi pribadi masing-masing
pihak yang terkait dalam suatu kasus.
Ketiadaan secara definitif
kerugian secara nyata hanya bisa dibayangi secara konstruktif pada aturan lain,
sebagai pijakan misal dalam KUHPerdata dalam unsur Pasal 1246 KUHPerdata
(Wanprestasi), maka ganti-kerugian tersebut terdiri dari 3 unsur yaitu;
- Biaya,
yaitu biaya-biaya pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata/tegas telah
dikeluarkan oleh Pihak.
- Rugi, yaitu kerugian karena
kerusakan/kehilangan barang dan/atau harta kepunyaan salah satu pihak yang
diakibatkan oleh kelalaian pihak lainnya.
- Bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya
diperoleh/diharapkan oleh salah satu pihak apabila pihak yang lain tidak
lalai dalam melaksanakannya.
Sedangkan dalam
konteks PMH Pasal 1365 KUHPerdata tidak ada pengaturan yang jelas mengenai
kerugian, hanya disebutkan eksplisit pada Pasal 1371 ayat (2)
KUHPerdata tersirat pedoman yang berbunyi
“Juga
penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah
pihak, dan menurut keadaan”.
Konteks kerugian
yang nyata tidak dapat ditemukan dalam penjelasan hukum manapun, sehingga dasar
satu-satunya mengukur dilakukannya anonimisasi/ unpublished tersebut adalah dengan menganalisa melalui pertimbangan
subjektif PPID dengan PPID Pelaksana dalam agenda pengujian konsekuensi.
Akan tetapi, tafsir
kerugian yang nyata tentu tidak akan terfragmentasi secara utuh untuk
dipedomani setiap pengadilan. Secara jelas terdapat parameter yang berbeda-beda
menentukan kerugian yang nyata sebagai syarat putusan anonimisasi/ unpublished untuk seluruh maupun
sebagian.
Kebingungan ini
bisa dilihat dari perbedaan antara Perusahaan A dan B mengalami Penurunan harga
saham (stock drop), dimana Investor
cenderung menjual saham karena menilai perusahaan berisiko/ memiliki reputasi
buruk, atau volatilitas pasar meningkat dimana saham menjadi lebih fluktuatif
karena spekulasi pasar yang rendah. Maka untuk menilai kerugian yang nyata
keduanya tidak lain adalah kerugian nominal, sayangnya dalam SK KMA Nomor
2-144/KMA/SK/VIII/2022 tidak menyebut minimal nominal kerugian, dan akan
melahirkan ketidakseragaman antar pengadilan karena minimum kerugian yang nyata
hanya atas dasar pengujian konsekuensi yang berbeda-beda di setiap pengadilan.
Kesimpulan
Belum jelasnya
parameter kerugian yang nyata sebagai dasar untuk anonimisasi/ unpublished diluar dari jenis perkara
yang dikecualikan dapat diilhami pembentuk kebijakan untuk segera merumuskan
dan parameter yang jelas agar meminimalisir terjadinya ketidakseragaman
penentuan pertimbangan dari analisa pengujian konsekuensi di tiap-tiap
pengadilan. Selain itu, pemisahan kategori dasar informasi yang dikecualikan
perlu dibedakan antara cakupan publik dan pribadi secara konstruktif, guna
mewujudkan keadilan bagi para pihak tidak hanya dalam proses persidangan,
melainkan juga pasca publikasi putusan. (ldr)
Referensi
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Undang-undang Nomor 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Baca Juga: Sikap Batin Pelaku dalam KUHP Nasional, Mengukur Sesuatu Tak Terlihat oleh Hakim
SK KMA Nomor
2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik di Pengadilan
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI