Media sosial pada era digital menjelma menjadi arena baru bagi pertarungan narasi hukum. Putusan pengadilan yang dahulu hanya tercatat dalam berkas kini dapat tersebar luas, dikomentari, bahkan dibelokkan oleh opini publik.
Fenomena ini melahirkan istilah trial
by social media, yakni kondisi ketika ruang digital seolah-olah mengambil
alih kewenangan pengadilan dalam mengadili. Bahaya laten muncul ketika
legitimasi peradilan bergeser dari teks hukum ke riuhnya komentar maya yang
emosional. Dalam situasi demikian, martabat hakim yang berdiri di atas prinsip
independensi diuji secara serius.
Mampukah Hakim Tetap Independen
di Tengah Trial by Social Media ?
Baca Juga: Diskusi RUU JH, Ketua PN Jakpus Soroti Mudahnya Data Pribadi Hakim Didoxing
Independensi hakim
merupakan pilar utama negara hukum. Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945
menegaskan kekuasaan kehakiman bersifat merdeka, sebuah jaminan konstitusional
agar hakim bebas dari intervensi eksternal. Akan tetapi, ancaman terhadap
kemerdekaan hakim hari ini tidak lagi hanya datang dari tekanan politik maupun
ekonomi, melainkan dari derasnya opini publik yang bergulir di media sosial.
Di satu sisi, transparansi merupakan prasyarat peradilan modern yang akuntabel. Publik berhak mengawasi jalannya peradilan melalui saluran resmi seperti Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dan direktori putusan Mahkamah Agung. Saluran ini dimaksudkan agar informasi hukum dapat diakses secara utuh, sahih, dan berimbang.
Namun, di sisi lain, jagat maya sering kali menyajikan potongan
narasi yang tidak lengkap, diselimuti emosi, dan dibalut kepentingan tertentu.
Potensi distorsi ini menimbulkan benturan antara tuntutan transparansi dan
keharusan menjaga independensi hakim.
Fenomena trial by social media juga memperlihatkan dilema. Jika hakim terlalu acuh, ia dapat dicap tidak peka terhadap aspirasi publik. Sebaliknya, jika ia larut dalam tekanan opini digital, maka dasar yuridis putusan akan tereduksi oleh kehendak mayoritas maya.
Dalam ruang ini, populisme hukum bisa mengambil alih
rasionalitas hukum, menjadikan putusan lebih tunduk pada selera publik
ketimbang kaidah normatif. Benturan tersebut menuntut keteguhan hati dan
kedewasaan sikap hakim agar tetap berpijak pada integritas, profesionalitas,
serta nurani hukum.
Instrumen normatif sesungguhnya telah tersedia dengan melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penegakan Disiplin Kerja Hakim, Perma Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, serta Perma Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan menegaskan pentingnya menjaga akuntabilitas, integritas, dan disiplin hakim.
Walau tidak secara spesifik mengatur trial by
social media, peraturan ini relevan untuk memperkuat martabat hakim di tengah
derasnya tekanan eksternal. Di samping itu, pengadilan dapat mengoptimalkan
fungsi juru bicara dan kanal resmi sebagai sarana klarifikasi serta edukasi
publik agar tidak terjadi kekosongan informasi yang diisi oleh narasi liar.
Konteks global menunjukkan persoalan serupa. Di banyak yurisdiksi, fenomena online shaming dan digital mob memengaruhi persepsi publik atas keadilan. Peradilan sering kali berada di persimpangan antara menjaga keterbukaan dan menolak intervensi opini massa.
Indonesia dapat belajar dari praktik terbaik negara lain yang
menyeimbangkan transparansi dengan mekanisme komunikasi publik yang terkendali.
Hal ini penting agar keterbukaan informasi tidak berubah menjadi senjata untuk
melemahkan independensi peradilan.
Dengan demikian,
benturan utama yang dihadapi hakim saat ini adalah bagaimana tetap menjaga
jarak kritis terhadap opini viral, tanpa menutup diri dari kebutuhan
akuntabilitas publik. Independensi bukan berarti anti kritik, melainkan
memastikan bahwa kritik disalurkan melalui mekanisme yang sah, bukan melalui
tekanan digital yang mengancam objektivitas putusan.
Kesimpulan dan Saran
Trial
by social media merupakan tantangan serius bagi martabat
hakim di era digital. Ia berpotensi menurunkan wibawa peradilan dengan
menempatkan opini publik di atas hukum. Namun, situasi ini juga momentum
memperkuat integritas peradilan, asalkan hakim konsisten menjaga independensi.
Secara praktis, ada tiga langkah strategis.
Pertama, hakim wajib menjadikan hukum positif dan nurani sebagai dasar, bukan tunduk pada tekanan publik.
Kedua, Mahkamah Agung dan pengadilan harus memperkuat komunikasi publik melalui kanal resmi agar narasi liar tidak mendominasi.
Ketiga, literasi hukum masyarakat ditingkatkan agar
pemahaman publik tidak berhenti pada potongan emosional, melainkan menelaah
pertimbangan hukum utuh.
Baca Juga: Segarnya Curug Cibeureum Cianjur, Harmoni Alam yang Sejukkan Hati
Dengan demikian,
martabat peradilan tetap terjaga. Independensi hakim bukan sekadar simbol,
tetapi syarat keadilan sejati. Pada akhirnya, tegaknya hukum bertumpu pada
keberanian moral hakim berdiri di atas kebenaran meski gempuran opini digital
silih berganti. (asp/ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI