Cari Berita

Menjaga Martabat Peradilan Hakim di Tengah Kicauan Nitijen Media Sosial

Anissa Larasati dan Aji Malik - Dandapala Contributor 2025-10-01 08:10:17
Dok. Ist.

Media sosial pada era digital menjelma menjadi arena baru bagi pertarungan narasi hukum. Putusan pengadilan yang dahulu hanya tercatat dalam berkas kini dapat tersebar luas, dikomentari, bahkan dibelokkan oleh opini publik.

Fenomena ini melahirkan istilah trial by social media, yakni kondisi ketika ruang digital seolah-olah mengambil alih kewenangan pengadilan dalam mengadili. Bahaya laten muncul ketika legitimasi peradilan bergeser dari teks hukum ke riuhnya komentar maya yang emosional. Dalam situasi demikian, martabat hakim yang berdiri di atas prinsip independensi diuji secara serius.

Mampukah Hakim Tetap Independen di Tengah Trial by Social Media ?

Baca Juga: Diskusi RUU JH, Ketua PN Jakpus Soroti Mudahnya Data Pribadi Hakim Didoxing 

Independensi hakim merupakan pilar utama negara hukum. Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan kekuasaan kehakiman bersifat merdeka, sebuah jaminan konstitusional agar hakim bebas dari intervensi eksternal. Akan tetapi, ancaman terhadap kemerdekaan hakim hari ini tidak lagi hanya datang dari tekanan politik maupun ekonomi, melainkan dari derasnya opini publik yang bergulir di media sosial.

Di satu sisi, transparansi merupakan prasyarat peradilan modern yang akuntabel. Publik berhak mengawasi jalannya peradilan melalui saluran resmi seperti Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dan direktori putusan Mahkamah Agung. Saluran ini dimaksudkan agar informasi hukum dapat diakses secara utuh, sahih, dan berimbang.

Namun, di sisi lain, jagat maya sering kali menyajikan potongan narasi yang tidak lengkap, diselimuti emosi, dan dibalut kepentingan tertentu. Potensi distorsi ini menimbulkan benturan antara tuntutan transparansi dan keharusan menjaga independensi hakim.

Fenomena trial by social media juga memperlihatkan dilema. Jika hakim terlalu acuh, ia dapat dicap tidak peka terhadap aspirasi publik. Sebaliknya, jika ia larut dalam tekanan opini digital, maka dasar yuridis putusan akan tereduksi oleh kehendak mayoritas maya.

Dalam ruang ini, populisme hukum bisa mengambil alih rasionalitas hukum, menjadikan putusan lebih tunduk pada selera publik ketimbang kaidah normatif. Benturan tersebut menuntut keteguhan hati dan kedewasaan sikap hakim agar tetap berpijak pada integritas, profesionalitas, serta nurani hukum.

Instrumen normatif sesungguhnya telah tersedia dengan melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penegakan Disiplin Kerja Hakim, Perma Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, serta Perma Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan menegaskan pentingnya menjaga akuntabilitas, integritas, dan disiplin hakim.

Walau tidak secara spesifik mengatur trial by social media, peraturan ini relevan untuk memperkuat martabat hakim di tengah derasnya tekanan eksternal. Di samping itu, pengadilan dapat mengoptimalkan fungsi juru bicara dan kanal resmi sebagai sarana klarifikasi serta edukasi publik agar tidak terjadi kekosongan informasi yang diisi oleh narasi liar.

Konteks global menunjukkan persoalan serupa. Di banyak yurisdiksi, fenomena online shaming dan digital mob memengaruhi persepsi publik atas keadilan. Peradilan sering kali berada di persimpangan antara menjaga keterbukaan dan menolak intervensi opini massa.

Indonesia dapat belajar dari praktik terbaik negara lain yang menyeimbangkan transparansi dengan mekanisme komunikasi publik yang terkendali. Hal ini penting agar keterbukaan informasi tidak berubah menjadi senjata untuk melemahkan independensi peradilan.

Dengan demikian, benturan utama yang dihadapi hakim saat ini adalah bagaimana tetap menjaga jarak kritis terhadap opini viral, tanpa menutup diri dari kebutuhan akuntabilitas publik. Independensi bukan berarti anti kritik, melainkan memastikan bahwa kritik disalurkan melalui mekanisme yang sah, bukan melalui tekanan digital yang mengancam objektivitas putusan.

Kesimpulan dan Saran

Trial by social media merupakan tantangan serius bagi martabat hakim di era digital. Ia berpotensi menurunkan wibawa peradilan dengan menempatkan opini publik di atas hukum. Namun, situasi ini juga momentum memperkuat integritas peradilan, asalkan hakim konsisten menjaga independensi.

Secara praktis, ada tiga langkah strategis.

Pertama, hakim wajib menjadikan hukum positif dan nurani sebagai dasar, bukan tunduk pada tekanan publik.

Kedua, Mahkamah Agung dan pengadilan harus memperkuat komunikasi publik melalui kanal resmi agar narasi liar tidak mendominasi.

Ketiga, literasi hukum masyarakat ditingkatkan agar pemahaman publik tidak berhenti pada potongan emosional, melainkan menelaah pertimbangan hukum utuh.

Baca Juga: Segarnya Curug Cibeureum Cianjur, Harmoni Alam yang Sejukkan Hati

Dengan demikian, martabat peradilan tetap terjaga. Independensi hakim bukan sekadar simbol, tetapi syarat keadilan sejati. Pada akhirnya, tegaknya hukum bertumpu pada keberanian moral hakim berdiri di atas kebenaran meski gempuran opini digital silih berganti. (asp/ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI