Keadaan yang memberatkan dan
yang meringankan terdakwa harus termuat dalam sebuah putusan. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, lebih lanjut Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan yaitu
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template
dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat
Banding Pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung memberikan
pedoman bagi hakim dalam menyusun sebuah putusan juga mencantumkan “keadaan
yang meringankan” untuk dimuat dalam putusan.
Keadaan yang meringankan dalam
sebuah putusan mempunyai dampak yang sangat besar. Tidak dimuatnya keadaan yang
meringankan dalam putusan menjadikan sebuah putusan batal demi hukum
sebagaimana dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Hal demikian membuat Hakim
mempertimbangkan dari aspek sosiologis dalam penjatuhan putusan.
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengatur: “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.” Tidak jarang kita melihat terdakwa bersikap sopan atau berterusterang dalam persidangan dijadikan sebagai keadaan yang meringankan.
Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif
Namun apakah hal itu termasuk dalam aspek sifat baik sebagaimana
yang dimaksudkan dalam undang-undang sehingga dengan mempertimbangkannya
sebagai keadaan yang meringankan adalah tepat dan sejalan dengan penjatuhan
pidana yang diberikan? Atau justru bersikap sopan dan berterus terang merupakan
sifat mutlak yang dimiliki oleh Terdakwa selama persidangan?
Terdakwa
Bersikap Sopan atau Berterus Terang Dalam Persidangan
Apabila kita menilik di KUHP,
beberapa kondisi dari terdakwa yang mendapat pengurangan ancaman hukuman
misalnya seperti percobaan melakukan tindak pidana dikurangi sepertiga dari maksimum
pidana pokok dan terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur
hidup, ancaman pidana penjaranya menjadi paling lama 15 (lima belas) tahun. Pengurangan
tersebut bukan berdasarkan terdakwa bersikap sopan dan terus terang di
persidangan.
Menurut KBBI versi daring, sikap
sopan salah satunya adalah hormat dan takzim dan baik kelakuannya. Sedangkan
berterus terang yaitu mengaku (mengatakan) secara jujur sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya.
Pasal 4 ayat (5) PERMA Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PERMA Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, mengatakan “Setiap Orang yang hadir dalam ruang sidang wajib menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan.”
Pertimbangan tentang sifat baik terdakwa selain ketentuan Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga sesuai dengan pendapat
Hessick terkait memberatkan pidana atas dasar sifat jahat (prior bad acts)
dan meringankan pidana atas dasar sifat baik (prior good acts), bahwa
terdakwa bersikap sopan di persidangan, hal itu tidak termasuk kriteria dan
batasan di atas, karenanya hal itu kurang tepat dipertimbangkan sebagai keadaan
meringankan karena bersikap sopan di persidangan adalah kewajiban setiap orang (Hananta,
Dwi. 2018, hal.99).
Putusan Nomor 2094 K/Pid.Sus/2012 yang merupakan landmark decision, Majelis Hakim pada tingkat kasasi memberikan pertimbangan di dalam putusannya yaitu menyangkut hal yang meringankan sebagai berikut: Bahwa, hal-hal yang meringankan Terdakwa dalam putusan Judex Facti (Pengadilan Negeri) berupa bersikap sopan dan berterusterang di persidangan tidaklah dapat digunakan, jika hal itu menghalangi Judex Facti untuk menjatuhkan putusan maksimum, mengingat ada kepentingan Negara dan bangsa yang lebih besar khususnya dalam mengantisipasi bahaya Narkotika.
Beberapa faktor bersikap sopan dan berterus
terang bukanlah pertimbangan yang tepat untuk dijadikan keadaan yang
meringankan terdakwa dapat disimpulkan dengan alasan, yaitu: karena bersikap
sopan dan berterus terang dalam persidangan merupakan kewajiban setiap orang
dan juga ketika Judex Facti ingin menjatuhkan pidana maksimum terhadap
terdakwa.
Mengenai menjatuhkan pidana
maksimum tentu dikarenakan berbagai pertimbangan seperti terhadap perkara yang
merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) mengingat ada
kepentingan Negara dan bangsa yang lebih besar dengan dampak sangat luas dan
serius, mengancam keamanan, perdamaian, dan kesejahteraan masyarakat, dan tidak
tertutup kemungkinan juga bahkan bagi dunia. Selain itu, juga melihat perbuatan
yang dilakukan terdakwa dari aspek sosiologis dan nilai kepatutan.
Pengakuan terdakwa atas
kesalahannya dan sikap menyesal terdakwa akan lebih tepat jika dijadikan
sebagai pertimbangan yang meringankan terdakwa. Terdapat juga beberapa jenis
pertimbangan yang meringankan seperti terdakwa masih berusia muda dan berstatus
sebagai pelajar sehingga diharapkan masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki
diri, terdakwa memiliki tanggungan keluarga dengan pertimbangan pemidanaan yang
dialami terdakwa berdampak pada keluarganya juga, terdakwa pernah mendapatkan
penghargaan berupa bintang jasa utama dari Presiden RI hal ini berkaitan dengan
sifat baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Hananta, Dwi. 2018, hal.99).
Kesimpulan
Beberapa faktor bersikap sopan dan berterus terang bukanlah pertimbangan yang tepat untuk dijadikan keadaan yang meringankan terdakwa, yaitu: karena bersikap sopan dan berterus terang dalam persidangan merupakan kewajiban setiap orang dan juga ketika Judex Facti ingin menjatuhkan pidana maksimum terhadap terdakwa.
Mengenai menjatuhkan pidana maksimum tentu dengan pertimbangan seperti terhadap perkara yang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) mengingat ada kepentingan Negara dan bangsa yang lebih besar dengan dampak sangat luas dan serius, mengancam keamanan, perdamaian, dan kesejahteraan masyarakat, dan tidak tertutup kemungkinan juga bahkan bagi dunia.
Selain itu, juga melihat perbuatan yang dilakukan terdakwa dari aspek sosiologis dan nilai kepatutan. Sehingga pengakuan terdakwa atas kesalahannya dan sikap menyesal yang ada pada diri terdakwa akan lebih tepat jika dijadikan sebagai pertimbangan hal yang meringankan terdakwa termasuk pula melihat adanya kesempatan terdakwa untuk memperbaiki diri, pertimbangan pemidanaan yang dialami terdakwa berdampak pada keluarganya juga, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan sifat baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Agar majelis hakim dapat menemukan fakta selama proses persidangan yang berkaitan dengan sifat baik terdakwa untuk dijadikan pertimbangan keadaan yang meringankan dalam menjatuhkan putusan pada terdakwa. (ikaw/ldr).
Referensi:
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6
Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020
Tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan.
Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan
Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada Empat
Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung.
Dwi Hananta. Pertimbangan Keadaan-Keadaan
Meringankan dan Memberatkan dalam Penjatuhan Pidana. Jurnal Hukum dan
Peradilan, Vol. 7, No. 1, 2018.
Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI