Cari Berita

PN Curup Vonis 2 Tahun Bui Pelaku Utama Penyebab Lumpuhnya Korban Pengeroyokan

article | Sidang | 2025-06-19 16:05:57

Rejang Lebong- PN Curup, Rejang Lebong, Bengkulu menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada anak yang berusia 16 tahun inisial BK. Ia adalah pelaku utama yang menyebabkan lumpuh korban RA. Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada gedung pengadilan yang terletak di Jalan Basuki Rahmat 15, Rejang Lebong, Bengkulu.“Menyatakan Anak BK terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Melakukan Kekerasan Terhadap Anak Yang Mengakibatkan Luka Berat sebagaimana dalam dakwaan primair dan        menjatuhkan pidana kepada Anak oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bengkulu,” bunyi amar putusan yang dibacakan Hakim PN Curup, Eka Kurnia Nengsih, S.H., M.H pada Rabu (11/6/2025). Selain menjatuhkan pidana penjara, hakim yang sebelumnya bertugas di PN Muara Bulian juga menghukum orang tua anak BY untuk membayar restitusi. Selengkapnya sebagaimana  rilis yang disampaikan PN Curup, amar lengkapnya: “Menghukum orang tua Anak untuk membayar pemberian restitusi sejumlah Rp90.137.813,00 (sembilan puluh juta seratus tiga puluh tujuh ribu delapan ratus tiga belas rupiah), dengan ketentuan apabila pemberian restitusi tersebut tidak dibayar paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam tenggang waktu tersebut, orang tua Anak tidak membayar Restitusi, maka pihak Anak Korban dan atau Keluarga Anak Korban melaporkan hal tersebut kepada Jaksa dengan tembusan kepada Ketua Pengadilan Negeri Curup. Dalam hal ternyata orang tua Anak belum melaksanakan pemberian Restitusi, Jaksa memerintahkan orang tua Anak untuk melaksanakan pemberian Restitusi paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat perintah diterima dan dalam hal pelaksanaan pemberian Restitusi kepada Anak Korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu tersebut, Anak Korban dan atau Keluarga Anak Korban memberitahukan hal tersebut kepada Jaksa, kemudian setelah menerima pemberitahuan itu, Jaksa menyita harta kekayaan orang tua Anak dan melelang harta kekayaan tersebut untuk memenuhi pembayaran Restitusi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari, lalu dalam hal harta kekayaan orang tua Anak tidak mencukupi untuk memenuhi pemberitan Restitusi, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.”Vonis terhadap anak BK dijatuhkan karena terbukti melanggar pasal dakwaan primer yakni Pasal 76C Jo Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, berupa melakukan kekerasan mengakibatkan korban luka berat.Luka berat yang menjadikan anak korban RA lumpuh dan belum dapat beraktifitas normal sejak September 2024 menjadi pertimbangan hakim sebagai hal yang memberatkan. Sedangkan kondisi anak BK yang belum pernah dihukum serta adanya itikad baik dengan memberikan bantuan pengobatan sebesar 5 juta rupiah menjadi hal yang meringankan. Berbeda Dengan Pelaku LainnyaVonis terhadap anak BK (16 tahun) tersebut seolah menjawab keraguan publik terhadap vonis yang telah dijatuhkan sebelumnya terhadap anak DDA (17 tahun). Sebagaimana ramai diberitakan, putusan yang dijatuhkan seminggu sebelum putusan terhadap anak BK, penjatuhan pidana bersyarat berupa pelayanan masyarakat kepada anak DDA dirasakan tidak adil.“Jauh dari tuntutan pidana penjara 2 tahun dan enam bulan,” ujar Ana Tasia Pase, pengacara yang mendampingi korban RA menanggapi putusan.Dari rilis yang disampaikan PN Curup, selengkapnya vonis yang dijatuhkan Hakim Eka Kurnia Nengsih, S.H., M.H adalah sebagai berikut: “Menjatuhkan pidana terhadap Anak tersebut oleh karena itu dengan pidana bersyarat berupa pelayanan masyarakat dengan kewajiban membersihkan Masjid At-Taqwa yang beralamat di Jalan Agus Salim Desa Puguk Lalang Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong selama 60 (enam puluh) jam dengan ketentuan pekerjaan dimaksud dilakukan sedemikian rupa oleh Anak tidak lebih 3 (tiga) jam perhari, disertai dengan syarat umum: Anak tidak melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat, dan syarat khusus: Anak menjalani wajib lapor 1 (satu) kali dalam 1 (satu) minggu kepada Penuntut Umum selama 1 (satu) bulan.”Pidana tersebut dijatuhkan karena anak DDA terbukti melakukan 1 (satu) perbuatan kekerasan saja yakni memijak bagian wajah Anak Korban sebanyak 1 (satu) kali dan perbuatan tersebut bukan penyebab lumpuhnya anak korban RA.“Menyatakan anak DDA tidak terbukti bersalah dalam dakwaan primer dan membebaskan dari dakwaan tersebut dan menyatakan terbukti melakukan tindak pidana ‘turut Serta Melakukan Kekerasan Terhadap Anak’ sebagaimana dalam dakwaan subsidair,” demikian bunyi amar putusan.Selain itu, putusan yang dijatuhkan Hakim Eka Kurnia Nengsih, S.H., M.H berbeda dengan tuntutan Penuntut Umum karena merujuk pada rekomendasi Hasil Penelitian Petugas Pembimbing Kemasyarakatan terhadap anak DDA.“Anak DDA bukan pelaku utama dan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak,” demikian bunyi pertimbangan Hakim dalam putusannya.Mantiko Sumanda Moechtar, Juru Bicara PN Curup menyampaikan bahwa terhadap kedua putusan yang dijatuhkan, diajukan upaya hukum banding. (seg/asp).

Tok! PN Kayuagung Hukum Pelaku Pengrusakan Polsek di Sumsel 2 Tahun Penjara

article | Sidang | 2025-05-07 15:05:37

Kayuagung – Hukuman 2 tahun penjara dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan (Sumsel), kepada Dandi Wiranto dan Darman. Sebab kedua Terdakwa tersebut dinilai terbukti secara bersama-sama telah melakukan pengrusakan kepada Polsek Pangkalan Lampam dan pemukulan terhadap anggota kepolisian.“Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang dan barang yang menyebabkan luka, menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun”, tutur Majelis Hakim yang dipimpin oleh Agung Nugroho Suryo Sulistio sebagai Hakim Ketua dalam sidang terbuka untuk umum, yang digelar di Gedung Pengadilan Negeri Kayuagung, Jalan Letnan Mukhtar Saleh Nomor 119, Kayuagung, Rabu (7/5/2025).Kasus bermula saat pihak kepolisian menangkap para pelaku penyalahgunaan Narkotika yang kemudian ditahan di Polsek Pangkalan Lampam. Selanjutnya salah seorang kerabat para pelaku tersebut mengajak Dandi Wiranto dan Darman, serta beberapa warga lainnya untuk melakukan demo meminta para pelaku Narkotika yang sedang ditahan di Polsek Pangkalan Lampam untuk dibebaskan.“Selanjutnya para Terdakwa ikut bersama dengan warga menuju Polsek Pangkalan Lampam dengan membawa senjata tajam, batu dan kayu. Ketika itu saksi Arisman Yanotama bersama rekan-rekan kepolisian lainnya segera keluar dan mengajak massa untuk berdiskusi. Namun karena saksi Arisman Yanotama tidak bersedia mengeluarkan para pelaku dari sel tahanan, membuat Darman dan saudara Joko memprovokasi massa untuk berbuat anarkis dan melakukan penyerangan terhadap Polsek Pangkalan Lampam”, ungkap Majelis Hakim yang beranggotakan Anisa Lestari dan Yuri Alpha Fawnia.Saat itu Dandi dan Darman, serta para pelaku lainnya melukai saksi Arisman Yanotama Bin Asri dan pihak kepolisian lainnya dengan melemparkan batu dan memukulkan kayu ke kaca jendela, pintu utama, televisi, printer dan fasilitas yang ada di Polsek Pangkalan Lampam. Kemudian saudara Joko dengan menggunakan kayu bersama warga yang lain langsung memukul saksi Arisman Yanotama menggunakan kayu dan tangan kosong. Selanjutnya saudara Joko juga berhasil merebut senjata api milik saksi Arisman Yanotama dan mengatakan akan mengembalikan senjata tersebut jika ia mau melepaskan tahanan yang ada di Polsek Pangkalan Lampam;“Saksi Arisman Yanotama Bin Asri tetap tidak mau menuruti permintaan tersebut, sehingga para pelaku langsung melakukan penggeroyokan terhadap saksi Arisman Yanotama. Selanjutnya Para Terdakwa bersama saudara Joko Bin Surai, saudara Alis, saudara Embang, saudara Kemi, saudara Rudi, saudara Mepel Alis Rampli, saudara Beha dan beberapa orang pelaku lainnya masuk ke dalam Polsek dan merusak dua buah kunci gembok ruang tahanan, lalu membebaskan saudara Iin dan saudara Angel”, ucap Majelis Hakim.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim PN Kayuagung menilai perbuatan Para Terdakwa yang telah melemparkan batu dan memukulkan kayu ke markas Polsek Pangkalan Lampam beserta anggotanya tersebut merupakan suatu tindak kekerasan yang dilakukan terhadap korban dan barang di suatu tempat umum secara bersama-sama. Di mana pada saat kejadian, Para Terdakwa berperan merusak kaca jendela Mapolsek Pangkalan Lampam dengan menggunakan batu, memukul punggung saksi Arisman Yanotama sebanyak 1 (satu) kali dengan menggunakan kayu, dan memprovokasi massa.“Perbuatan Para Terdakwa yang telah merusak Polsek Pangkalan Lampam dan memukul anggota kepolisian karena dipicu ingin membebaskan pelaku kasus Narkotika dianggap sebagai perbuatan yang tidak menghormati proses penegakan hukum, sehingga dinilai sebagai alasan yang memperberat penjatuhan pidana terhadap Terdakwa. Sementara riwayat Terdakwa yang belum pernah dihukum menjadi alasan yang meringankan pidana tersebut”, lanjut Majelis Hakim dalam putusannya.Persidangan pembacaan putusan berjalan dengan tertib dan lancar. Selama persidangan berlangsung Para Terdakwa maupun Penuntut Umum terlihat secara saksama mendengar pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim.Atas putusan itu, baik Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir. (AL)

Mengenal Jenis Sanksi Hukum di Jawa Abad ke-18, dari Cambuk hingga Dibuang

article | History Law | 2025-04-23 19:45:47

SISTEM hukum di Indonesia pada prinsipnya dipengaruhi oleh hukum adat, hukum Islam, dan hukum perdata barat. Lalu ada jenis sanksi apa saja kala sistem hukum Jawa abad ke-18?Di masa penjajahan ketika Indonesia masih belum bersatu dan berbentuk kerajaan salah satu sistem hukum yang berlaku adalah Sistem Hukum Jawa pada masyarakat Jawa. Secara periodisasi, salah satu yang menarik adalah bagaimana Sistem Hukum Jawa pada Abad Ke-18 pasca Perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian yaitu Surakarta (Kasunanan) dan Yogyakarta (Kasultanan) pada tanggal 13 Februari 1755 dan Perjanjian Salatiga pada bulan Februari 1757 yang memberikan Mangkunegara I tanah sejumlah 4000 karya dari Paku Buwana III. Pasca Perjanjian Giyanti struktur pemerintahan di dalam Sistem Hukum Jawa menjadi berbeda. Otoritas tertinggi di dalam struktur pemerintahan adalah Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta. Otoritas tertinggi membuat peraturan yang kemudian dilaksanakan oleh Angabei Amongpraja untuk pengadilan di Surakarta dan Angabei Nitipraja untuk pengadilan di Yogyakarta. Selain Angabei, pelaksanaan aturan tertinggi juga dilakukan oleh patih kedua kerajaan yaitu Adipati Sasradiningrat sebagai patih di kerajaan Surakarta dan Adipati Danureja sebagai patih di kerajaan Yogyakarta. Pada prinsipnya, di dalam Sistem Hukum Jawa apabila terdapat sengketa di masyarakat lebih diselesaikan secara damai tanpa perlu mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, apabila tidak bisa diselesaikan dengan damai bisa diajukan ke pengadilan dengan beberapa syarat yaitu: (1) Dengan surat; (2) Ada capnya; (3) Boleh diwakilkan; (4) Uraian perkara di dalam gugatan tersebut; dan (5) Untuk memperkuat gugatan harus bersumpah terlebih dahulu. Apabila gugatan sudah dimasukan maka pihak yang kalah akan dikenakan sanksi. Namun, yang unik di dalam Sistem Hukum Jawa pejabat hukum yang terkait dengan perkara tersebut dapat juga dikenakan sanksi apabila terbukti memperlambat atau menyalahi batas waktu penyelesaian perkara yang sudah ditentukan oleh otoritas. Berikut jenis-jenis sanksi yang terdapat di dalam Sistem Hukum Jawa:1. Sanksi Denda UangSanksi ini digunakan terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan masalah perdata.2. Sanksi PekerjaanSanksi ini masih dalam kaitannya dengan hukum perdata yang mana pihak yang kalah. Dalam hal ini, apabila seluruh harta yang dimiliki oleh pihak yang kalah sudah digunakan untuk membayar denda atau ganti rugi dan masih tidak cukup, maka pihak yang kalah diwajibkan mengabdi (mujang) kepada yang menang sesuai dengan kesepakatan.3. Sanksi CambukSanksi ini diberikan kepada pihak yang melakukan kejahatan sampai menghilangkan nyawa manusia. Sama dengan sanksi sebelumya, sanksi ini merupakan pilihan terakhir apabila sanksi denda tidak dibayarkan oleh pihak yang kalah kepada kerajaan.4. Sanksi RantaiSanksi ini diberlakukan tehadap siapapun yang dianggap bersalah baik itu perdata ataupun pidana yang mengakibatkan luka-luka dan kematian orang lain. Apabila perbuatan pelaku mengakibatkan luka-luka pada umumnya dikenakan sanksi diikat rantai selama 4 tahun dan apabila mengakibatkan kematian dapat dikenakan sanksi diikat rantai seumur hidupnya atau dibuang ke seberang lautan. 5. Sanksi Ganti KerugianSanksi ini diberlakukan terhadap siapapun baik itu bangsa kulit putih (Belanda) maupun Cina yang mengalami kerugian karena barang bawaannya telah dirampok atau dicuri di dalam suatu penginapan yang resmi. Namun, apabila ingin mendapatkan perlindungan hukum harus melaporkan terlebih dahulu kepada yang berwajib sehingga barang yang kehilangan tersebut dapat diganti rugi oleh kerajaan dan yang mengalami kehilangan harus bersumpah terlebih dahulu.6. Sanksi BersumpahSanksi ini dikenakan kepada seseorang yang ingin membersihkan kejahatannya. Dalam hal ini, apabila seseorang merasa tidak bersalah nama baiknya dapat direhabilitasi dengan mengucapkan sumpah bahwa memang dirinya tidak bersalah.7. Sanksi Copot JabatanSanksi ini hanya berlaku bagi para pejabat hukum ataupun pemerintahan yang dikenakan apabila terbukti menyalahi aturan yang telah ada dalam menyelesaikan suatu perkara. Dalam hal ini, sanksi dikenakan apabila pejabat tersebut terbukti memperlama atau memperlambat penyelesaian perkara peradilan di setiap tingkatan peradilan sehingga waktu penyelesaiannya berlarut-larut.8. Sanksi DibuangSanksi ini hanya berlaku bagi seseorang yang kesalahan dan dosanya tidak dapat diampuni lagi. Sanksi ini merupakan sanksi yang paling berat dibandingkan dengan jenis sanksi yang lain. Salah satu jenis perbuatan yang dihukum dengan sanksi ini adalah perbuatan pembunuhan yang didahului dengan penganiayaan dan pemerkosaan. Pada umumnya, Sanksi Dibuang didahului oleh Sanksi Cambuk. Sanksi Dibuang terdiri dari hukuman buang jaba rangkah (luar wilayah), jaba nigari (luar kerajaan), ing wana (di hutan), dan tanah sabrang (keluar pulau).Urutan Kualitas Sanksi Sebagaimana jenis sanksi yang sudah dijelaskan, sanksi-sanksi tersebut juga mempunyau urutan kualitas sanksi dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Berikut urutan kualitas sanksi dari yang paling ringan ke yang paling berat sebagai berikut: (1) Bersumpah adalah sanksi yang dapat dianggap sangat ringan karena tidak ada kerugian secara fisik maupun material namun yang lebih ditekankan dalam sanksi ini adalah moral yang dipertaruhkan; (2) Denda Uang adalah sanksi yang dianggap cukup ringan karena tidak adak kerugian fisik dalam sanksi tersebut; (3) Ganti Rugi adalah sanksi yang dianggap ringan karena walaupun ganti rugi berupa sanksi yang bersifat material namun penggantian dilakukan apabila pihak yang kalah tidak cukup mengganti barang yang telah ditetapkan oleh pengadilan sehingga sifat dari sanksi Ganti Rugi adalah mengganti kekurangan dari denda yang telah dibayar sebelumnya; (4) Denda Pekerjaan adalah sanksi yang dapat dianggap cukup berat karena pihak yang kalah harus menjalani kewajiban mengabdi kepada yang menang sesuai dengan kesepakatan. Sanksi ini dapat dikatakan memberikan kerugian secara moral, material, dan fisik; (5) Pencopotan Jabatan adalah sanksi yang dianggap berat karena target dari sanksi ini adalah pejabat yang melakukan kesalahan dan sanksi ini memberikan kerugian secara moral dan gengsi; (6) Cambuk adalah sanksi yang dianggap berat karena memberikan kerugian secara fisik dan pelaku kejahatan juga harus direhabilitasi moralnya; (7) Rantai adalah sanksi yang berat karena secara moral pelaku kejahatan tidak dapat diampuni lagi dan juga memberikan kerugian secara fisik bagi pelaku kejahatan; dan terakhir (8) Dibuang adalah sanksi paling berat karena perbuata pelaku sudah dianggap tidak lagi dapat diampuni secara moral dan juga sudah dianggap tidak layak lagi tinggal di antara masyarakat sehingga pelaku harus dibuang jauh dari masyarakat. Pada umumnya, sanksi ini diberlakukan setelah pelaku dikenakan Sanksi Cambuk terlebih dahulu. (AAR/YBB)Referensi:1. Sistem Hukum Jawa dalam Masyarakat Jawa Abad Ke-18 Tinjauan Sejarah (Prapto Yuwono, Tesis, 2004, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)2.https://www.tempo.co/politik/kilas-balik-perjanjian-salatiga-yang-membagi-kesultanan-mataram-dan-akhiri-perang-di-jawa-76815 3. Angger Pradata Akir: Peraturan Hukum di Kerajaan Jawa Sesudah Mataram (Ugrasena Pranidhana, Jurnal Makara Sosial Humaniora, Vol.7, No. 2 Desember 2003)   

Jejak Prasasti Jayapatra, Bukti Hukum Acara Pengadilan di Jawa Abad ke-9 M

article | History Law | 2025-04-19 14:35:25

PADA zaman masyarakat Jawa Kuno putusan-putusan pengadilan pada umumnya ditulis di dalam prasasti yang dinamakan Prasasti Jayapatra. Prasasti Jayapatra pada prinsipnya berisi catatan kemenangan dalam perkara hukum yang diberikan kepada pihak yang menang baik masalah sengketa utang-piutang maupun masalah kewarganegaraan yang lainnya. Di dalam Prasasti Jayapatra bisa diketahui pihak yang kalah dan menang dan juga bagaimana proses pengadilan serta pejabat hukum yang ada pada masa itu. Pada abad 9-10 Masehi masyarakat Jawa Kuno berada dalam kekuasaan kerajaan Mataram Kuno. Struktur kerajaan Mataram Kuno terbagi atas 3 kesatuan wilayah yaitu Rajya (pusat), Watak (daerah), dan Wanua (desa). Di tingkat pusat raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi termasuk juga pengadilan. Dalam menjalankan tugasnya raja dibantu oleh pejabat tinggi kerajaan yang bergelar Samgat yaitu Samgat Tiruan dan Samgat Manhuri. Samgat Tiruan merupakan pejabat tinggi kerajaan golongan pertama yang mempunyai kedudukan dan hak yang sama dengan para putera raja. Sementara itu, Samgat Manhuri merupakan pejabat tinggi kerajaan tingkatan golongan kedua yang kedudukannya berada di bawah Samgat Tiruan.Kemudian, di tingkat Watak kekuasaan dalam menjalankan pengadilan berada di tangan Samgat yaitu Samgat Pinapan yang bernama Pu Gawul dan Pu Gallam. Selain Samgat Pinapan, juga terdapat Samgat Padan, Samgat Lucem, dan Samgat Juru. Pada waktu itu, seorang hakim haruslah seorang pendeta yang sempurna pengetahuannya akan semua kitab sastra. Seorang hakim tidak boleh bingung menghadapi kesulitan dalam mencari persesuaian antara astadasawyawahara dengan hukum adat. Pandangannya harus tegas karena pengetahuan seorang hakim harus mendalam karena dianggap sudah memahami semua kitab sastra. Seorang hakim harus mampu memberikan keputusan dalam pengadilan atas semua sengketa yang terjadi di antara penduduk kerajaan. Seorang hakim juga harus ahli dalam salah satu atau berbagai cabang ilmu. Berjalannya Perkara di PengadilanPada prinsipnya, penyelesaian sengketa perdata pada masyarakat Jawa Kuno dapat diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan jalan damai. Namun apabila tidak bisa sepakat damai, maka perkara tersebut dapat diajukan melalui pejabat pengadilan yang terdapat di Watak. Apabila perkara tersebut tidak dapat diselesaikan di tingkat Watak, maka perkara tersebut akan diajukan ke tingkat pusat. Sama seperti kehidupan modern saat ini, apabila suatu perkara ingin diselesaikan melalui institusi pengadilan masyarakat harus membayar biaya administrasi yang telah ditentukan. Ketika perkara sudah masuk ke dalam pengadilan, pejabat pengadilan akan memanggil para pihak untuk didengarkan keterangannya di dalam persidangan. Ketika sudah selesai diperiksa kemudian hakim akan menjatuhkan putusan. Bagi pihak yang kalah pada umumnya sanksinya adalah denda. Sementara itu, bagi pihak yang menang akan diberikan tanda bukti kemenangan berupa Surat Jayapatra sebagai bukti apabila di kemudian hari si pemenang digugat kembali oleh seseorang. Dalam hal pembuktian ketika di dalam persidangan, terdapat 3 (tiga) jenis alat bukti yang diakui pada saat itu yaitu Saksi, Likhita, dan Bhukti. Dalam hal ini, Bhukti adalah alat bukti yang paling kuat dan Saksi adalah alat bukti yang paling lemah. Berikut penjelasan mengenai alat bukti:SaksiPada prinsipnya, saksi adalah orang lain yang menyaksikan atau mengalami sendiri suatu peristiwa. Dalam hal ini, terdapat 3 jenis saksi yaitu: (1) Saksi yang melihat dan mengalami sendiri suatu peristiwa; (2) Saksi yang memang sengaja diminta untuk menyaksikan suatu perbuatan hukum seperti menyaksikan pelunasan suatu hutang atau jual beli tanah; (3) Saksi yang mendengar suatu peristiwa dari orang lain (hearsay). Selanjutnya, terkait dengan jumlah saksi seorang tergugat baru dapat dikatakan bersalah bila telah dibuktikan minimal 3 orang saksi. Apabila saksi yang dihadirkan kurang dari 3 orang, maka penggugat wajib menghadirkan alat bukti yang lain.Selanjutnya, terkait dengan syarat untuk menjadi saksi yaitu laki-laki yang sudah berkeluarga, penduduk asli, orang terpercaya yang benar-benar mengerti tentang tugas dan kewajibannya, dan orang yang tidak mempunyai kepentingan dalam perkara itu dengan tujuan agar keterangannya objektif. Sementara itu, orang yang tidak dapat dijadikan saksi adalah orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu perkara seperti teman atau sekutu, terhukum, orang yang sakit keras, raja, para tukang dan pandai, para pendeta yang telah meninggalkan keduniawian, siswa spirituil yang sedang belajar weda, brahmana ahli, budak, orang yang tercemar namanya, pelayan, orang yang menduduki jabatan terlarang, orang tua, orang cacat, anak kecil, orang dari kasta terendah, orang yang sedang berduka, pemabuk, orang gila, orang yang menderita lapar dan haus, orang yang tertekan karena lelah, orang yang tersiksa oleh nafsu, orang yang pemarah, dan pencuri.     2. Likhita (keterangan tertulis)Pada prinsipnya Likhita merupakan suatu akte yang sengaja dibuat sebagai alat bukti dari sebuah perbuatan hukum. Kekuatan pembuktian Likhita lebih kuat dari Saksi. Secara umum. Likhita dibagi menjadi dua yaitu: (1) Akte yang dibuat oleh pejabat yang berwenang; (2) Akte yang dibuat sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini, baik akte yang dibuat oleh pejabat yang berwenang maupun akte yang dibuat oleh para pihak mempunyai kekuatan pembuktian yang sama sebagai alat bukti tertulis.    3. Bhukti Pengertian dari Bhukti adalah sesuatu yang telah dilakukan oleh para pihak sebagai akibat dari suatu perjanjian atau bisa juga sesuatu yang telah dinikmati. Bhukti merupakan alat bukti terkuat di antara alat bukti yang lain. Dalam hal ini, contoh dari Bhukti yaitu pembayaran cicilan hutang atau gadai. Dalam perkara hutang-piutang yang termasuk dalam Bhukti adalah pembayaran bunga bulanan atau tahunan. Selain itu, dalam perkara sengketa tanah yang termasuk dalam Bhukti adalah keterangan atau informasi bahwa si pemilik tanah sudah bertahun-tahun menikmati hasil dari tanahnya tanpa ada yang menggugat.  Selanjutnya, setelah pembuktian selesai Samgat akan menjatuhkan putusan mengabulkan atau menolak gugatan. Bagi pihak yang kalah mendapatkan hukuman berupa denda sementara itu bagi pihak yang menang akan diberikan surat tanda bukti kemenangan berupa Surat Jayapatra untuk disimpan. Hal ini bertujuan agar perkara tersebut tidak diungkit-ungkit lagi (AAR/YBB)Referensi:Proses Pengadilan Pada Masyarakat Jawa Kuno Jaman Mataram Abad IX-X Masehi Berdasarkan Prasasti Jayapatra (Skripsi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1987)https://www.merahputih.com/post/read/susunan-pengadilan-dalam-kerajaan-majapahit https://historia.id/kuno/articles/main-judi-masa-jawa-kuno-vYMd5/page/5 

Tok! PN Rengat Vonis 3 Tahun Penjara ke Ibu Tusuk Anak Kandung

article | Sidang | 2025-04-17 21:05:57

Indragiri Hulu- Pengadilan Negeri (PN) Rengat, Riau menghukum seorang ibu yang menusuk anak kandungnya. Pengacara terdakwa berdalih kliennya sakit jiwa, tapi ditampik majelis.“Menjatuhkan pidana penjara selama 3  tahun serta denda sejumlah Rp 100 juta rupiah dengan ketentuan pengganti denda berup kaurungan selama tiga bulan,” kata ketua majelis hakim Sapri Tarigan dalam sidang di PN Rengat, Kamis (17/4/2025).Duduk sebagai anggota majelis Petrus Arjuna Sitompul dan Adityas Nugraha. Majelis menemukan fakta hukum bahwa si terdakaterbukti menusuk perut anak korban sebanyak dua kali. Kemudian terdakwa kembali melakukan tindakan dengan mengiris urat nadi tangan kanan anak korban hingga mengeluarkan banyak darah.“Hasil pemeriksaan Visum Et Repertum menunjukkan adanya luka terbuka pada perut korban dengan usus keluar serta luka pada pergelangan tangan kanan akibat benda tajam,” ujar majelis.Dalam pembelaannya, terdakwa dan penasihat hukumnya mengajukan keberatan terhadap hasil visum et repertum psikiatrikum yang dijadikan dasar penuntutan. Dengan alasan terdakwa mengalami gangguan mental dan tidak dapat bertanggung jawab atas perbuatannya sesuai Pasal 44 KUHP. Mereka juga menyatakan terdakwa tidak memiliki motif rasional untuk melukai anak kandungnya.Menanggapi pembelaan tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa berdasarkan visum et repertum psikiatrikum dari rumah sakit jiwa, tidak ditemukan adanya gangguan psikotik pada terdakwa. “Selain itu, selama pemeriksaan persidangan, terdakwa dinilai mampu berkomunikasi dengan baik, mampu mengingat perbuatannya, mengakui kesalahannya, serta memahami sebab dan akibat dari tindakannya itu,” ungkapnya.Mengenai tidak adanya motif rasional, majelis hakim berpendapat bahwa sebenarnya terdakwa memiliki niat atau motif untuk membunuh anaknya yakni dengan keyakinan agar derajat keluarganya diangkat di sisi Tuhan. Dengan mengingat tidak ditemukan adanya gangguan psikotik maka disitulah letak kekeliruan terdakwa dalam berfikir atau mengontrol dirinya sendiri.“Dengan mempertimbangkan asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa adalah orang yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Pidana yang akan dijatuhkan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak, untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” beber majelis.Majelis Hakim menyatakan tidak menemukan adanya alasan pemaaf atau pembenar atas perbuatan terdakwa.“Sehingga terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana penjara,” pungkasnya. (asp)

Cekik Kekasihnya hingga Tewas, Rega Divonis 12 Tahun Penjara

article | Sidang | 2025-04-17 10:30:30

Kayuagung – Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel) menjatuhkan hukuman penjara selama 12 Tahun kepada Rega Ivanka. Vonis ini dijatuhkan sebab pria berusia 24 tahun tersebut terbukti telah menghilangkan nyawa Khetrin Margareta yang merupakan kekasihnya.“Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan, menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun”, ucap majelis hakim yang diketuai Agung Nugroho Suryo Sulistio dalam persidangan yang digelar di Gedung PN Kayuagung, Jalan Letnan Mukhtar Saleh Nomor 119, Kayuagung, pada hari Rabu (16/04/2025) kemarin.Kasus saat Terdakwa mendapatkan kabar jika korban sedang bersama saudara Faisal mengkonsumsi ekstasi pada Minggu (10/11/2024). Terdakwa yang merasa cemburu kemudian berusaha untuk menjemput korban, namun tidak berhasil menemukannya. Keesokan harina, korban mengirimkan pesan meminta Terdakwa untuk menjemputnya.“Setelah menjemput korban, keduanya kemudian pulang ke rumah Terdakwa. Di dalam kamar tersebut, Terdakwa dan korban sempat cekcok mulut sehingga membuat Terdakwa semakin marah lalu membenturkan kepalanya sendiri ke dinding kamar tersebut sebanyak 2 kali, dan setelah itu Terdakwa menggulingkan badannya ke atas kasur,” ucap majelis hakim yang beranggotakan Anisa Lestari dan Yuri Alpha Fawnia tersebut.Kemudian korban memeluk badan Terdakwa dari belakang sambil meminta maaf, namun Terdakwa yang masih marah dan emosi langsung berdiri di depan korban dan mencekik leher korban dengan menggunakan kedua tangannya. Selanjutnya Terdakwa langsung mendorong korban ke arah dinding, sehingga kepala korban terbentur ke dinding kamar tersebut sebanyak 1  kali. Korban lalu kembali mendekati Terdakwa, tetapi Terdakwa justru kembali mendorong badan korban dengan tangan sehingga terjatuh ke lantai kamar dan badan korban menabrak kursi sampai kursi tersebut jatuh.“Tindakan Terdakwa tersebut membuat korban menangis sambil mengerang kesakitan. Karena takut diketahui oleh keluarganya, Terdakwa lalu mencoba membangunkan tubuh korban dari belakang dengan posisi badan korban dalam keadaan duduk. Kemudian Terdakwa mencekik leher korban dengan menggunakan kedua tangannya dari belakang sambil menyuruh korban untuk diam,” lanjut majelis hakim.Setelah korban tidak menjerit dan menangis baru Terdakwa berhenti mencekik leher korban. Kemudian Terdakwa memastikan korban sudah meninggal dunia. Sejurus kemudian, Terdakwa melepaskan cekikannya sehingga korban terjatuh ke lantai kamar. Perbuatan Terdakwa tersebut mengakibatkan korban meninggal dunia.“Bahwa sebagaimana hasil Visum et repertum, penyebab kematian korban adalah terhalangnya udara masuk ke saluran pernafasan akibat benda dengan kecenderungan permukaan lebar dan halus disertai retak pada kepala kiri bagian belakang sehingga terjadi pendarahan pada rongga kepala akibat kekerasan benda tumpul,” ungkap majelis hakim dalam pertimbangannya.Lebih lanjut, majelis hakim dalam putusannya mempertimbangkan perbuatan Terdakwa telah meninggalkan luka yang mendalam bagi keluarga korban menjadi alasan yang memperberat penjatuhan pidana terhadap Terdakwa, sementara riwayat Terdakwa yang belum pernah dihukum dan Terdakwa yang menyesali perbuatannya menjadi alasan-alasan yang meringankan pemidanaan terhadap Terdakwa.Selama persidangan berlangsung, Terdakwa dengan didampingi penasihat hukumnya, terlihat tertib mengikuti jalannya persidangan pembacaan putusan yang turut dihadiri oleh Penuntut Umum tersebut. (AL/asp)

Susanto Pelaku Bom Ikan Dihukum 13 Bulan Penjara oleh PN Donggala

article | Berita | 2025-04-16 13:10:10

Donggala - PN Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng) menjatuhkan pidana penjara selama 13 bulan kepada Susanto alias Lasusa. Ia terbukti melakukan melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom) di wilayah perairan Tanjung Libo, Donggala.Putusan diketok dalam sidang terbuka untuk umum digelar di Gedung PN Donggala, Jalan Vatubala No. 4, Donggala, Kamis (10/4/2025). Duduk sebagai ketua majelis yaitu Niko Hendra Saragih didampingi hakim anggota yaitu Andi Aulia Rahman dan Vincencius Fascha Adhy Kusuma.Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “sebagai Nelayan Kecil yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak yang merugikan dan membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. “Oleh karenanya Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 1 (satu) bulan,” kata majelis hakim.Dikutip dalam putusan tersebut, kasus bermula pada Februari 2025. Di mana Terdakwa berangkat ke perairan Tanjung Libo untuk menangkap ikan dan setibanya di lokasi, Terdakwa meledakkan bom ikan yang sudah disiapkan dan dirakit sendiri olehnya. Setelah bom meledak kemudian Terdakwa menyelam dan mengumpulkan ikan dengan menggunakan jaring dan menyimpan ke dalam perahu. Hasil tangkapan Terdakwa ketika itu adalah ikan jenis lolosi dan ruma-ruma sebanyak kurang lebih 50 kilogram.“Sesuai fakta persidangan, bom ikan yang diledakkan Terdakwa merupakan bahan peledak dengan kategori Home Made Bom serta memiliki daya ledak yang tinggi dan mencapai radius 30-50 meter yang apabila digunakan dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan kelestarian Sumber Daya Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan sangat berbahaya bagi pelaku/pengguna itu sendiri,” sebut majelis hakim.Lebih lanjut, majelis hakim menyinggung pentingnya kelestarian sumber daya alam. Menurutnya, Sumber Daya Kelautan dan Perikanan merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada manusia untuk dilestarikan dan dinikmati sebagai suatu kekayaan alam, karena mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan. “Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan melakukan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak (bom) telah menunjukkan adanya potensi kerusakan ekosistem Sumber Daya Kelautan dan Perikanan yang luar biasa. Oleh karena itu, Majelis Hakim selanjutnya akan menjatuhkan hukuman pidana kepada Terdakwa yang mencerminkan keberpihakan dan perlindungan khusus terhadap ekosistem Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dan pelestarian lingkungan hidup secara umum,” tegas majelis hakim.Terdakwa diketahui sebelumnya telah 2x mendekam dalam penjara akibat perbuatan tindak pidana yang sama, sehingga hal tersebut turut pula menjadi alasan yang memberatkan pada diri Terdakwa. “Diketahui bahwa ancaman pidana pada diri Terdakwa adalah paling lama 1 (satu) tahun penjara, namun Majelis Hakim dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 486 jo. Pasal 103 KUHP, Majelis Hakim menjatuhkan putusan yang lebih berat dengan alasan agar memberikan efek jera bagi Terdakwa, dan masyarakat secara umum,”  sebut Majelis Hakim.Atas putusan tersebut, Terdakwa dan Penuntut Umum menyatakan menerima. Sehingga putusan telah berkekuatan hukum tetap. (YBB, CAS)

Dikenal Sejak Raja Babilonia, Asas Praduga Tak Bersalah Eksis hingga Saat Ini

article | History Law | 2025-04-12 12:10:01

SOBAT DANDAPALA tentu tidak asing dengan asas praduga tak bersalah. Tapi tahukah anda bila asas ini mulai dikenal sejak zaman Raja Babilonia?Sebagaimana informnasi yang dihimpun DANDAPALA, Sabtu (12/4/2025), sejarah pertama asas praduga tak bersalah lahir pada zaman Raja Babilonia ke-6 yang dikenal sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Mesopotamia. Memerintah dari sekitar tahun 1792 hingga 1750 SM, ia tidak hanya mengubah wajah pemerintahan di Babilonia, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam pengembangan sistem hukum yang masih menjadi acuan hingga saat ini. Dikutip Dandapala di situs Encyclopedia Britannica, Hukum Hammurabi yang berisikan  282 kasus hukum meliputi ketentuan ekonomi (harga, tarif, perdagangan, dan niaga), hukum keluarga (perkawinan dan perceraian), serta hukum pidana (penyerangan dan perncurian), dan hukum perdata (perbudakan utang). Hukum Hammurabi adalah contoh paling awal dari seorang terdakwa yang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah (asas praduga tak bersalah). Dalam hukum ketiga Hammurabi menuliskan bahwa:Jika seseorang mengajukan tuduhan kejahatan apa pun di hadapan para penatua atau hakim istilah zaman sekarang, dan tidak dapat membuktikan apa yang dituduhkannya, jika itu tuduhan berat, maka penuduh harus dihukum mati. Hukum tersebut menggambarkan asas praduga tak bersalah pada masa pemerintahan Hammurabi. Di mana seseorang tidak langsung dinyatakan bersalah ketika mendapat tuduhan, melainkan tuduhan tersebut harus benar-benar dibuktikan. Dan jika penuduh yang berbohong (melakukan fitnah), maka penuduh akan mendapat hukuman. Filosofi praduga tak bersalah menekankan bahwa lebih baik membiarkan seorang yang bersalah bebas daripada menghukum yang tidak bersalah.Kemudian asas praduga tak bersalah ini diadopsi dalam hukum Romawi kuno. Hal itu dengan bukti dokumen Inggris seperti Magna Carta pada abad ke-13. Kemudian pada abad ke-18 dan ke-19 diikuti oleh sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law). Kemudian Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia membawa sistem hukum ini dan memberlakukannya di seluruh wilayah jajahannya (asas konkordasi).Seperti dikutip DANDAPALA dari Farihan Aulia, Sholahuddin Al-Fatih ‘Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Lasw dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir’ Legality, Vol.25, No.1, Maret 2017-Agustus 2017, diterangkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan dalam Pasal 8 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Itulah sekelumit sejarah singkat asas praduga tak bersalah atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan presumption of innocence yang kita kenal saat ini.(EES/asp)

Dibui 8 Tahun, Marisa Putri Penabrak Mati IRT Usai Pesta Narkoba Ajukan PK

article | Berita | 2025-04-09 21:55:48

Pekanbaru- Masih ingat Marisa Putri yang menabrak hingga mati seorang IRT di Pekanbaru beberapa waktu lalu? Marisa yang menabrak usai pesta narkoba itu dihukum 8 tahun penjara. Kini, ia mengajukan Peninjauan Kembali (PK).Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru yang dikutip DANDAPALA, Rabu (9/4/2025), saat ini Marisa Putri sedang mengajukan PK.“5 Maret 2025 Permohonan PK,” demikian bunyi keterangan SIPP PN Pekanbaru itu. Marisa Putri memberikan kuasa proses PK itu kepada advokat Senator Boris Panjaitan. Proses PK itu masih berlangsung.Sebagaimana diketahui, Marisa Putri mengendarai mobil usai dugem di KTV Furaya Hotel pada 3 Agustus 2024 subuh. Saat itu ia di bawah pengaruh narkoba jenis sabu.Saat melintas di Jalan Tuanku Tambusai, Marpoyan Damai, Marisa Putri memacu kendarannya hingga 90 km/jam. Di waktu bersamaan melintas sepeda motor yang dikendarai Renti Marningsih. Bruk! Marisa Putri menabrak sepeda motor sampai terlempar 10 meter dan Renti tewas di lokasi.Marisa Putri bukannya berhenti tapi malah tancap gas. Namun warga yang melihatnya langsung mengejarnya. Marisa Putri lalu diproses secara hukum hingga ke pengadilan. PN Pekanbaru lalu menyatakan Marisa  bersalah melanggar Pasal 311 ayat 5 dan Pasal 310 Ayat 1 UU Lalu Lintas.“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 tahun. Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM) A atas nama Marisa Putri alias Marisa binti Edy Ujang  selama 2 tahun terhitung sejak selesai menjalani pidana,” demikian majelis hakim dengan ketua Hendah Karmila Dewi serta anggota Fitrizal Yanto dan Sugeng Harsoyo pada 12 Desember 2024. (asp/asp)

Inilah Perjanjian Ekstradisi Pertama Kali yang Dibuat Indonesia

article | History Law | 2025-04-09 10:55:37

Jakarta- Ekstradisi adalah suatu penyerahan tersangka WNI dari negara asing untuk diadili dan dipidana di Indonesia. Tapi kapan perjanjian ekstradisi pertama kali yang dilakukan pemerintah Indonesia?Dikutip DANDAPALA dari buku Hukum Internasional Islam karya Mardani, Rabu (9/4/2025 ), perjanjian ekstradisi yang dilakukan Indonesia pertama kali dilakukan dengan Malaysia pada tanggal 7 Juni 1974 yang diratifikasi dengan UU No 9 tahun 1974. Setelah itu disusul dengan Filipina yang diratifikasi dengan UU No 10 tahun 1976. Kemudian dengan Thailand yang diratifikasi dengan UU No 2 tahun 1978. “Setelah berlakunya UU No 1 tahun 1979, Indonesia menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Australia yang diratifikasi dengan UU No 8 tahun 1994,” ujarnya.Disusul lagi dengan Hong Kong yang diratifikasi dengan UU Nomor 1 tahun 2001. Dan dengan Korea Selatan ditandatangani tahun 2001. Sedangan dengan Singapura ditandatangani tanggal 27 April 2007.“Seluruh perjanjian tersebut disepakati secara bilateral,” urainya,Prinsip ekstradisi ini dimuat dalam UU Nomor 1 /2023 Tentang KUHP yang kita kenal dengan Asas Nasionalitas Aktif yang tercantum dalam Pasal 5 KUHP. Asas personalitas ini pun diperluas dengan Pasal 7 KUHP baru 2023 yang disamping mengandung asas nasionalitas aktif (asas personalitas) juga asas nasionalitas pasif (asas perlindungan). Yang prinsipnya adalah melindungi warga negara ketika berhadapan hukum di negara lain.Bunyi Pasal 7 sebagai berikut :Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia atas dasar suatu perjanjian internasional yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana.Maka seseorang dapat diekstradisikan karena disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan, selain jenis pidana tersebut harus dapat dipidana menurut hukum Negara Republik Indonesia dan menurut hukum negara yang meminta ekstradisi atau yang lebih dikenal dengan istilah asas double criminality. Hal tersebut juga disampaikan oleh Andi Hamzah dalam bukunya Asas–Asas Hukum Pidana (halaman 72-73). Pada intinya, Andi Hamzah menerangkan bahwa asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik dan negara mana ia berada. Nah Sobat Dandafelas, inilah prinsip utama dari ekstradisi bahwa hukum pidana Indonesia yang bisa diketahui. Bahwa prinsip tersebut mengikuti warga negaranya ke mana pun ia berada dan perjanjian ekstradisi tersebut hanya mengikat para peserta perjanjian tersebut saja. (EES/asp).

Harmonisasi Konsep Pemaafan Hakim (Recterlijk Pardon) dalam Rancangan KUHAP

article | Opini | 2025-04-07 14:05:02

KITAB Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht/KUHP) yang berlaku di Republik Indonesia selama ini merupakan warisan kolonial Belanda dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah. Wetboek Van Strafrecht dilandasi oleh aliran klasik yang terfokus pada perbuatan atau tindak pidana terjadi, sehingga dalam perkembangannya sudah tertinggal jauh dan tidak lagi mengakomodir kepentingan pelaku. Sementara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), mendasarkan pada pemikiran Neo Klasik yang terfokus menjaga keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan) dan faktor subjektif (sikap batin), dimana tidak hanya tertuju pada perbuatan atau tindak pidana namun tertuju pada aspek individual pelaku.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkat maka tingkat kejahatan semakin kompleks sehingga perlu dilakukan pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana materiil sudah dilakukan pemerintah dengan mengesahkan dan mengundangkan KUHP Baru pada tanggal 2 Januari 2023, yang mulai berlaku efektif pada tanggal 2 Januari 2026, sedangkan pembaharuan hukum pidana formil (Rancangan KUHAP) saat ini masih dalam tahap pembahasan. Dalam Pasal 54 ayat (2) KUHH Baru memperkenalkan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). Secara expressis verbis ketentuan dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru menyatakan,”ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Menurut Penulis, konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) merupakan putusan yang dijatuhkan Majelis hakim kepada Terdakwa yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan namun Terdakwa tidak dikenakan pidana penjara, kurungan, denda maupun tindakan termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) berasal dari Negara Belanda dengan merevisi Wetbook van Strafrecht Nederland dan memasukkannya dalam Pasal 9a. Beberapa Negara yang telah menggunakan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) adalah Belanda, Yunani, Portugal dan Uzbekistan. Tujuan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) adalah untuk memberikan rasa keadilan kepada pelaku tindak pidana yang sifatnya ringan sehingga pemidanaan tidak merendahkan martabat manusia namun hakim wajib menegakan hukum dan keadilan. Dimana pemidanaan merupakan ultimum remedium adalah upaya terakhir dalam penegakan hukum. Selain itu, dengan konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) untuk mengurangi overcapacity di Lembaga Pemasyarakatan yang selama ini terjadi. Berpedoman dalam ketentuan Pasal 51 dan Pasal 52 serta Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, terdapat tujuan pemidanaan salah satunya adalah menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Kemudian dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Sehingga tujuan pemidanaan sangat relevan dengan Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon). Bahwa Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru dapat dilihat dari 3 (tiga) kategori yakni: Ringannya perbuatanKeadaan pribadi pelakuKeadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian. Dalam KUHP Baru, untuk frasa ringannya perbuatan diatur dalam beberapa pasal yaitu: Tindak Pidana Penghinaan Ringan, diatur dalam Pasal 436, menyatakan penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis  yang dilakukan terhadap orang lain baik dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun dimuka orang  yang dihina tersebut  secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan  dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Penganiayaan Ringan, diatur dalam Pasal 471, menyatakan selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana denda paling lama banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Pencurian Ringan, diatur dalam Pasal 478, menyatakan dilakukan tidak dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya dan harga barang yang dicurinya tidak lebih dari Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), dipidana karena pencurian ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak Pidana Penggelapan Ringan, diatur dalam Pasal 487, menyatakan jika yang digelapkan bukan ternak atau barang yang bukan sumber mata pencaharian atau nafkah yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486, dipidana karena penggelapan ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).Tindak pidana Penipuan Ringan, diatur dalam Pasal 494, menyatakan dipidana karena penipuan ringan dengan pidana denda paling banyak kategori II jika barang yang diserahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 492 bukan ternak, bukan sumber mata pencaharian, utang, atau piutang yang nilainya tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau nilai keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) bagi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 493. Selanjutnya untuk frasa keadaan pribadi pelaku  dapat  berpedoman dalam Pasal 70  Ayat (1) KUHP Baru,  berbunyi dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan, jika dijumpai keadaan: Terdakwa adalah Anak;Terdakwa berumur di atas 70 (tujuh puluh) tahun;Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;Terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;Korban tindak pidana mendorong  atau menggerakkan terjadinya tindak pidana tersebut;Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;Pembinaan diluar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa;Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga dan/ atau;Tindak pidana terjadi karena kealpaan. Selanjutnya keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian.   Menurut Penulis  frasa keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian sebagai alasan pemaafan hakim  (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Bary, dimana  maksud frasa ini apakah perbuatan tindak pidana tersebut dilakukan direncanakan terlebih dahulu (voorbedachte rade) atau tindak pidana tersebut dilakukan dengan kesengajaan (dolus) atau dilakukan karena kelalaian (culpa), kalau tindak pidana dilakukan dengan kelalaian (culpa) maka termasuk tindak pidana ringan, kemudian apakah tindak pidana tersebut masuk dalam tindak pidana percobaan (poging) atau tindak pidana yang merupakan delik yang selesai baik tindak pidana formil (menitik beratkan pada perbuatan dilarang) dan materil (menitik beratkan pada akibat dilarang), apabila tindak pidana dilakukan merupakan percobaan (poging) maka termasuk tindak pidana ringan dan selanjutnya apakah tindak pidana tersebut masuk dalam kategori tindak penyertaan yakni pleger, doen pleger, medepleger, uitloking, atau masuk dalam membantu tindak pidana (medeplictige), kalau ternyata pelaku hanya berperan sebagai medeplictige maka termasuk kategori tindak pidana ringan. Konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) di Negara Belanda selain diatur dalam hukum pidana materiil juga diatur dalam hukum pidana formil. Di Negara Belanda mengenal 4 (empat) jenis putusan yakni putusan pemidanaan, putusan bebas, putusan lepas dan putusan pemaafan. KUHP yang saat ini berlaku (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946) termasuk KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), sama sekali tidak mengatur mengenai konsep Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon), sehingga ada kekosongan norma. Selama ini Hakim dalam menjatuhkan Putusan Perkara Pidana terhadap Terdakwa mengenal 3 (tiga) bentuk Putusan yakni: Putusan Pemidanaan (verrordeling). Jika Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 Ayat 1 KUHAP).Putusan bebas (vrij spraak). Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas (Pasal 191 Ayat (1) KUHAP).Putusan lepas (onslag van recht vervolging). Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 Ayat 2 KUHAP). Penulis mencermati adanya pertentangan antara Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 193 ayat (1) KUHAP dan Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP. Dimana konsep pemafaan hakim dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru, menyatakan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat menjadi dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenai tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dalam arti Majelis Hakim dalam putusan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana namun Terdakwa tidak dikenakan atau dijatuhi pidana baik pidana penjara, kurungan, denda maupun tindakan termasuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling). Sedangkan dalam KUHAP saat ini, ketika Hakim dalam putusannya menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka Hakim dalam putusannya terhadap Terdakwa harus dijatuhi pidana atau tindakan. Apabila salah satunya tidak ada dijatuhi pidana atau tindakan maka mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 Ayat (1) dan (2) KUHAP. Sehingga pengaturan terhadap Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) tidak dapat hanya diatur dalam KUHP Baru yang hanya memuat hukum pidana materil, namun pengaturan Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) harus diharmonisasikan dengan Rancangan KUHAP, sehingga adanya kepastian hukum. Sehingga konsep pemaafan hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP Baru perlu diharmonisasikan dalam Rancangan KUHAP menjadi:Pemidanaan (verrordeling)Putusan Bebas (vrij spraaak),Putusan lepas (onslag van recht vervolging);Putusan pemaafan Hakim (rechterlik pardon)

Saat PN Sintang Berhasil Terapkan Restorative Justice Kasus Kades vs Warga

article | Berita | 2025-03-24 14:00:01

Sintang- Pengadilan Negeri (PN) Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar) berhasil melakukan upaya keadilan restoratif antara Kepala Desa (Kades) Vs warganya. Bagaimana ceritanya?Sebagaimana dirangkum DANDAPALA, Senin (24/3/2025), kasus itu tertuang dalam perkara Nomor 211/Pid.B/2024/PN Stg. Perkara tersebut berawal dari konflik yang terjadi antara Kades dengan warga Desa Penjernang, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Konflik muncul akibat pemberlakuan peraturan desa tentang larangan penjualan minuman keras dan praktik perjudian yang mendapat penolakan oleh sebagian warga desa. Penolakan tersebut membuat Kades Penjernang melakukan tindak pidana perusakan kaca mobil dan pintu rumah milik para warga yang kontra dengan pemberlakuan peraturan tersebut. Para warga tidak terima dengan sikap Terdakwa. Kemudian melaporkan perbuatan perusakan tersebut ke kepolisian hingga akhirnya perkara tersebut dilimpahkan ke PN Sintang. Konflik tersebut juga telah menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat desa. Sebagian mendukung Terdakwa dan sebagian lagi mendukung para korban. Perseteruan ini berlangsung lama dan telah menjadi konflik sosial yang mendapatkan perhatian dan penanganan serius dari Pemkab Sintang. Namun sayangnya sampai dengan perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan persoalan tersebut tidak dapat didamaikan sebab para korban menolak untuk berdamai.Awal mula persidangan, Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 406 ayat (1) KUHP. Maka sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf c Perma 1/2024, majelis hakim menerapkan keadilan restoratif dan kemudian menganjurkan Terdakwa dan Para Korban untuk menempuh jalan damai dan membuat kesepakatan perdamaian.Berdasarkan anjuran dari majelis hakim, Terdakwa dan para korban bersedia untuk membuat kesepakatan perdamaian, kemudian sesuai dengan Pasal 12 dan Pasal 15 Perma 1/2024 tersebut, majelis hakim menggali informasi antara lain berupa:a. dampak tindak pidana terhadap Para Korban;b. kerugian ekonomi dan/atau kerugian lain yang timbul sebagai akibat tindak pidana; danc. kemampuan Terdakwa untuk melaksanakan kesepakatan;Kemudian Terdakwa dan Para Korban sepakat untuk membuat kesepakatan perdamaian sebagai berikut:1. Terdakwa telah memohon maaf kepada Korban Stepanus Lewi dan Korban Stepanus Lewi telah memaafkan kesalahan Terdakwa;2. Terdakwa dan Korban Stepanus Lewi sepakat berdamai dan tidak akan menuntut apabila dalam Pengadilan Negeri Sintang menyatakan Terdakwa lepas dari semua tuntutan;3. Terdakwa bersedia membayar ganti kerugian sejumlah Rp 5 juta kepada Korban Stepanus Lewi;4. Terdakwa dan Korban Matius Bungsu sepakat untuk berdamai;5. Terdakwa telah mengganti kerugian yang dialami Korban Matius Bungsu dan melaksanakan syarat Adat Istiadat (Mali Rumah); dan6. Korban Matius Bungsu berjanji tidak akan menuntut dalam bentuk apa pun kepada Terdakwa di kemudian hari;Berdasarkan kesepakatan perdamaian tersebut dan oleh karena poin-poin dalam kesepakatan perdamaian tersebut telah dilaksanakan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 19 Perma Nomor 1/2024, majelis hakim menggunakan kesepakatan perdamaian tersebut sebagai alasan yang meringankan hukuman bagi Terdakwa dan kemudian menjatuhkan pidana bersyarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (asp)

Buah Beracun dalam Sistem Peradilan Pidana itu Bernama Penyiksaan

article | Opini | 2025-03-22 12:20:51

PENYIKSAAN hanya buah dari sebab “fruit of the poisenous tree”. Selama “pohonnya” tidak disehatkan maka selama itu pula buah-buah beracun itu akan ada setiap saat. Hal tersebut disampaikan oleh Luhut MP Pangaribuan, Advokat Senior dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam Diskusi Penyiksaan dalam Peradilan Pidana yang dilaksanakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dan REVISI, pada 21 Maret 2025. Luhut juga melanjutkan pernyataannya bahwa penyiksaan dan peradilan ini secara diametral saling bertentangan. Karena jika berbicara Peradilan maka seharusnya wujudnya adalah suatu pengayoman yang religius. Oleh karena itu adanya “penyiksaan” dalam peradilan, yang religius dan konstitusional di Indonesia, sungguh menjadi hal yang tidak masuk akal.Negara Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan pada 28 September 1998 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia). Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan tersebut mengedepankan sebuah definisi mengenai tindakan-tindakan yang merupakan “penyiksaan” yang disepakati secara internasional. Pasal ini menetapkan bahwa:istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan apa pun yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.Dalam acara yang sama, Ichzan Zikry (Direktur Eksekutif REVISI) memaparkan bahwa dari 150 putusan yang diindeksasi, tercatat hanya 63 perkara yang klaim penyiksaannya diperiksa oleh Pengadilan. Dari 63 perkara hanya 19 perkara yang klaimnya diterima Pengadilan. Data ini didapatkan dari proses indeksasi dan analisa atas 313 putusan pada tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali dalam kurun waktu 2005-2021. Zikry memandang perbedaan sikap Pengadilan ini dalam memeriksa atau tidak memeriksa klaim tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa tidak adanya mekanisme yang jelas untuk memeriksa klaim penyiksaan bahwa keterangan pihak pengaku yang diperoleh merupakan dari tindakan kekerasan.Perihal klaim penyiksaan dan kekerasan yang dialami Terdakwa, penelusuran DANDAPALA menemukan beberapa putusan yang menerima klaim tersebut dan berujung pada bebasnya Terdakwa.Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1565 K/PID/2013, dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:putusan Judex Facti telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar bahwa saksi kunci SUANTO Bin SAIFUL HAQ dan saksi ROBY SUGARA Bin SUMADEN telah mencabut keterangan mereka di muka penyidik karena unsur tertekan dan takut, pencabutan keterangan itu beralasan karena mereka ditembak di kaki dalam keadaan mata tertutup. Sedangkan di muka persidangan kedua orang saksi ini menerangkan tidak pernah mencuri dua sepeda motor tersebut dan tidak pernah menyerahkannya kepada Terdakwa untuk dijual, bahkan kedua orang saksi ini telah diadili selaku Terdakwa kasus pencurian dua sepeda motor tersebut dengan putusan bebasDalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menolak kasasi Penuntut Umum yang mengajukan permohonan kasasi atas putusan bebas Pengadilan Negeri Surabaya. Selanjutnya adalah Putusan Nomor 109 K/Pid/2019, Mahkamah Agung menyatakan:Bahwa di persidangan Terdakwa menolak dan menyangkal dengan keras tidak pernah melakukan perbuatan yang didakwakan Penuntut Umum kepadanya, sewaktu pemeriksaan pendahuluan di penyidikan Terdakwa terpaksa mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya karena tidak tahan dengan penyiksaan yang dilakukan oknum penyidik, Terdakwa dipukuli, ditendang dan bahkan direndam dalam bak mandi;Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Padang Sidempuan telah tepat membebaskan Terdakwa dan menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum. Putusan lainnya adalah Putusan Nomor 1905 K/Pid.Sus/2017. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan:Saksi Afrizon telah mencabut keterangannya di Berita Acara Penyidikan Polisi (BAP Polisi), demikian juga Terdakwa juga telah mencabutkan keterangannya di BAP Polisi, karena baik Terdakwa maupun saksi Afrizon masih mengalami trauma karena setelah ditangkap Terdakwa dan saksi Afrizon telah dibawa ke suatu tempat dan dipukuli oleh Polisi yang menangkap sehingga pada saat pemeriksaan oleh Penyidik masih merasa tertekan dan ketakutan;Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang telah membebaskan Terdakwa. (YPY)

PN Sinjai Hukum Kakek Pelaku Rudapaksa Menantu 9 Tahun Penjara

article | Berita | 2025-03-21 10:05:19

Sinjai- Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sinjai, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang diketuai oleh Rizal Ihutraja Sinurat beranggotakan Rizky Heber dan Dhiyaur Rifki telah menjatuhkan putusan kepada Terdakwa Pelaku Rudapaksa Menantu dengan pidana penjara selama 9 tahun. Putusan tersebut diucapkan Pada Selasa (18/03/2025), bertempat di ruang Sidang Cakra PN Sinjai,.“Menyatakan Terdakwa K (60 tahun) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana telah menyalahgunakan kedudukan, hubungan keadaan dan memaksa orang untuk melakukan persetubuhan dengannya yang dilakukan terhadap anak, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 9 tahun dan denda sejumlah Rp 50 Juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 1 bulan”, putus Majelis Hakim dalam amarnya.Kasus berawal pada Rabu (28/08/2024), pukul 06.00 WITA, saat Anak Korban S yang merupakan Menantu Terdakwa dan berumur 16 tahun sedang melipat pakaian di dalam kamarnya, yang mana rumah tersebut sekaligus merupakan rumah Terdakwa. Tiba-tiba Terdakwa masuk ke dalam kamar dan langsung menutup mulut Anak Korban S dengan menggunakan handuk kecil berwarna biru, sehingga Anak Korban S memberontak dengan menggerakkan tangannya akan tetapi Terdakwa langsung menidurkan Anak Korban S di atas Kasur. Kemudian Terdakwa mengikat kedua tangan Anak Korban S dengan tali raffia, selanjutnya Terdakwa membuka celana dan baju Anak Korban S begitupun dengan Terdakwa yang kemudian membuka celana dan bajunya, kemudian Terdakwa memasukkan alat kelamin Terdakwa ke dalam alat kelamin Anak Korban S.“Setelah menyetubuhi Anak Korban S, Terdakwa lalu melepaskan ikatan tangan Anak Korban S, dan menyuruh Anak Korban S untuk mandi, setelah selesai mandi Terdakwa mengatakan jangan bongkar kejadian, rahasia, kalau sampai kamu bongkar saya bunuhko”, ungkap Majelis Hakim.Kejadian kemudian berlanjut pada hari Kamis (29/08/2024), pukul 06.00 WITA, saat itu Anak Korban S sedang mencuci piring kemudian Terdakwa menyuruh Anak Korban S untuk membuat kopi, sehingga saat itu Anak Korban S memasak air. Saat memasak air Terdakwa langsung menutup mulut Anak Korban S dari arah belakang menggunakan handuk kecil warna biru, kemudian menarik Anak Korban S ke dalam kamar. Di dalam kamar, Terdakwa mengikat kedua tangan Anak Korban S dengan menggunakan tali rapiah, setelah itu Terdakwa membuka celana dan baju Anak Korban S, begitu juga dengan Terdakwa. Lalu Terdakwa langsung memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin Anak Korban S. Setelah itu Terdakwa melepaskan ikatan tangan Anak Korban S dan mengatakan “pergiko mandi, jangan bongkar kejadian ini sama bapakmu sama suamimu” setelah itu Anak Korban S pergi untuk mandi.“Akibat kejadian tersebut Anak Korban S mengalami trauma dan masih dalam tahap pemulihan psikologis sehingga butuh pendampingan untuk mengembalikan kepercayaan dirinya, sebagaimana hasil pemeriksaan yang termuat dalam Surat Keterangan Pemeriksaan Kedokteran Jiwa yang dikeluarkan oleh RSUD Kabupaten Sinjai, Laporan Hasil Assesment yang dilakukan oleh UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Sinjai, serta Laporan Sosial yang dibuat oleh Pekerja Sosial Perlindungan Anak pada Dinas Sosial Kabupaten Sinjai.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai perbuatan Terdakwa yang mengakibatkan trauma psikologis bagi korban dan mengakibatkan dampak yang berkepanjangan bagi Anak Korban di masyarakat menjadi alasan yang memperberat penjatuhan pidana terhadap Terdakwa.Terhadap Putusan Majelis Hakim, Terdakwa menyatakan menerima, sementara Penuntut Umum menyatakan pikir-pikir.

Sidang Pembunuhan Sadis Mahasiswi UTM, Pengunjung Berdesakan di PN Bangkalan

article | Berita | 2025-03-20 07:20:49

Bangkalan- Pengadilan Negeri (PN) Bangkalan, Jawa Timur (Jatim) menggelar sidang kedua perkara pembunuhan sadis mahasiswa UTM, Tabu (19/3) kemarin. Persidangan ini dipimpin oleh Danang Utaryo dengan didampingi Kadek Dwi Krisna Ananda dan Benny Haninta Surya sebagai hakim anggota.Perkara ini menarik perhatian khalayak umum sejak ditemukan jenazah korban dengan kondisi terbakar di area gudang kosong. Yaitu di Desa Banjar Kecamatan Galis Kabupaten Bangkalan,diketahui korban merupakan mahasiswi Universitas Trunojoyo Madura (UTM) berinisial EJ.Adapun, sidang pertama Rabu (12/3) lalu dilaksanakan terbuka untuk umum dengan agenda pembacaan dakwaan oleh Penuntut Umum. Sidang dimulai dengan ketua majelis hakim menanyakan identitas terdakwa.“Apakah benar saudara bernama Moh. Maulidi Al-Izhaq Bin Umar Faruq?” tanya ketua majelis hakim pada sidang pertama.Did adapan Majelis Hakim, Terdakwa menyatakan dirinya dalam keadaan sehat dan bisa mengikuti persidangan. Selanjutnya, Terdakwa dengan didampingi penasihat hukumnya mendengarkan pembacaan surat dakwaan oleh Penuntut Umum. Terdakwa didakwakan dengan dakwaan subsidaritas melanggar pasal 340 KUHP mengenai tindak pidana pembunuhan berencana dan pasal 338 KUHP mengenai tindak pidana pembunuhan. Dalam sidang pembacaan dakwaan ini, antusias pengunjung sidang cukup tinggi hingga bangku penonton sidang terisi penuh. Bahkan ada beberapa pengunjung sidang yang rela berdiri di bagian sisi kanan-kiri belakang ruang sidang.Pada persidangan kedua ini, Rabu (19/30, atensi pengunjung sidang meningkat drastis. Banyak sekali mahasiswa yang ikut menyaksikan langsung sidang perkara pembunuhan ini. Untuk mengantisipasi hal tersebut, PN  Bangkalan telah menyediakan ruang tambahan (ekstensi) yang menyiarkan persidangan perkara pembunuhan tersebut dengan menggunakan layar video conference. “Langkah antisipasi ini diharapkan dapat memberikan kenyamanan bagi pengunjung sidang yang tidak mendapatkan tempat duduk di dalam ruangan persidangan. Hingga persidangan selesai dilaksanakan, sidang berjalan kondusif,” ungkap Humas PN Bangkalan, Wienda Kresnantyo saat ditemui oleh Tim DANDAPALA.Sidang selanjutnya dilaksanakan pada hari Selasa (25/3).“Ddengan agenda pemeriksaan saksi kedua oleh jaksa penuntut umum,” pungkasnya.(EES/ASP)

Melihat Patriotisme Hakim di NTT Naik Motor Blusukan Tembus Hutan untuk Sidang

photo | Berita | 2025-02-27 14:45:15

Larantuka- Hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Bagus Sujatmiko melaksanakan sidang pemeriksaan setempat (PS). Sidang ini berkaitan dengan perkara permohonan pengangkatan anak. Ternyata perjuangannya tidak mudah menuju lokasi!“Uniknya, lokasi PS yang cukup sulit membuat hakim harus menggunakan sepeda motor untuk dapat sampai di lokasi,” demikian bunyi keterangan pers Humas PN Larantuka, Kamis (27/2/2025).Hakim Bagus Sujatmiko harus blusukan menembus hutan dan pesisir pantai utara Flores Timur pada Kamis (27/2) pagi ini. Sebab, lokasi berjarak sekitar 30 Km dari kantor pengadilan.“Kami memutuskan untuk menggunakan sepeda motor agar perjalan lebih mudah. Selain itu kita juga tidak ingin memberatkan pemohon untuk membayar biaya PS, jadi kita menggunakan kendaraan seadanya untuk bisa sampai di lokasi. Lebih baik uangnya digunakan untuk kepentingan pemohon dan anaknya,” kata Bagus Sujatmiko.PS ini merupakan komitmen dari pengadilan untuk memberikan pelayanan hukum prima kepada masyarakat. Hal itu sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Permohonan ini berawal atas kehendak MD yang ingin mengangkat anak perempuan berusia empat tahun. Sang anak sudah ia besarkan sejak lahir, sebab ibu kandungnya yang masih berusia belia hamil di luar nikah. Akhirnya sang anak dititipkan kepada Pemohon dan suaminya. Untuk memenuhi ketentuan pengangkatan anak terutama dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983, hakim memutuskan perlu dilakukan pemeriksaan setempat, di mana calon anak angkat berada.

Acungkan Parang ke Teman, Eks Anggota Koperasi Sawit Dibui 5 Bulan

article | Berita | 2024-12-20 09:00:43

Kuantan Singigi - Seorang mantan anggota koperasi sawit di Kuantan Singingi, Riau, Sufriadi (33) dihukum 5 bulan penjara karena mengancam temannya dengan parang. Vonis itu diterima oleh terdakwa dan jaksa penuntut umum (JPU) sehingga berkekuatan hukum tetap."Menyatakan Terdakwa Sufriadi Als Densup Bin Sofian Efendi tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Secara Melawan Hukum Memaksa Orang Lain Supaya Tidak Melakukan Sesuatu Dengan Ancaman Kekerasan terhadap orang lain sebagaimana dalam dakwaan tunggal. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan,"  demikian bunyi putusan Pengadilan Negeri (PN) Teluk Kuantam sebagaimana dikutip DANDAPALA, Jumat (20/12/2024).Kasus itu berawal saat Safriadi diberhentikan secara sepihak oleh teman-temannya sebagai anggota koperasi. Safriadi tidak terima dan mendatangi teman-temannya di Pos Jumbo milik koperasi kebun sawit Siampo Pelangi di Desa Pesikaian Kecamatan Cerenti, Kuantan Singingi pada 5 September 2024 pagi."Terdakwa telah diberhentikan oleh pengurus koperasi pada tanggal 26 Agustus 2024 serta gaji terdakwa tidak di bayar sehingga Terdakwa emosi dan mengayunkan parang ketika berdebat mengenai kepemilikan tanah dengan saksi korban," urai majelis.Seorang saksi menahan ayunan itu sehingga tidak terjadi pembacokan."Saksi Ali Asmar  telah berdamai dengan Terdakwa secara lisan namun belum ada pengembalian kerugian yang disepakati dari Terdakwa kepada saksi Ali," ucap majelis dalam pertimbangannya.Vonis itu diketok oleh ketua majelis Yosep Butar Butar dengan anggota Agung Rifqi Pratama dan Faiq Irfan Rofii pada Kamis (19/12/2024) kemarin. Penuntut Umum menuntut agar Terdakwa dihukum penjara selama 8 bulan."Majelis Hakim memandang tuntutan Penuntut Umum tersebut terlalu berat dan tidak adil dan tidak sesuai dengan tingkatkesalahan Terdakwa serta justru menimbulkan korban baru yaitu istri dan 3 orang anak-anak Terdakwa (termasuk 1 dalam kandungan) yang kesusahan dalam mencari kebutuhan hidup akibat masuknya Terdakwa dalam penjara," pungkas majelis. (YB/ASP/WI)