article | Opini
| 2025-07-16 09:05:47
Keadilan merupakan salah satu tujuan utama yang
hendak dicapai dalam suatu proses penegakan hukum, hal ini diungkap oleh Gustav
Radbruch seorang ahli hukum dan mantan Menteri Kehakiman Jerman dalam “ide
das recht”, dimana menurut Radbruch keadilan merupakan nilai tertinggi
diantara 2 (dua) tujuan hukum lainya, yakni kemanfaatan dan kepastian hukum.
Demikian juga Immanuel Kant dalam “The
Metaphysics of Morals” berpendapat “If Justice is lost, there is no reason for humans to live
long on earth” yang berarti apabila
keadilan telah hilang, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk tinggal lebih
lama di bumi, Kalimat ini mengekspresikan sebuah pandangan
bahwa keberadaan manusia di dunia sangat bergantung pada adanya
keadilan. Jika keadilan tidak lagi ada, maka hidup di dunia ini menjadi
tidak bermakna dan tidak ada alasan untuk tetap tinggal.
Sebelumnya penegakan hukum pidana di Indonesia
berorentasi pada keadilan retributif, hal ini dikarenakan Indonesia masih
menggunakan hukum pidana penginggalan Belanda, pada dasarnya keadilan
retributif adalah sebuah prinsip penegakan hukum yang menitikberatkan pada
suatu pembalasan sebagai hukuman akibat dari suatu perbuatan pelanggaran atau
kejahatan.
Dalam keadilan retributif perbuatan pelaku
menjadi ukuran dari hukuman yang akan dijatuhkan, misalnya seseorang yang
melakukan pembunuhan maka menurut prinsip keadilan retributif hukuman yang
pantas dan sebanding dengan perbuatan pelaku adalah hukuman mati, artinya
hukuman yang dijatuhkan harus sebanding dengan perbuatan yang dilakukan. Fokus
dari prinsip tersebut seakan memberikan pesan agar perbuatan pelanggaran atau
kejahatan tersebut tidak terulang lagi pada masa yang akan datang dengan
memberikan hukuman atau sanksi yang berat, hal ini dikenal dengan “de net
deteren efeck.”
Seiring berkembangnya zaman penerapan prinsip
keadilan retributif mulai diperdebatkan efektivitasnya, karenanya lahir sebuah
prinsip keadilan restoratif sebagai pembanding dalam praktik penegakan hukum
yang dinilai lebih progresif dan mampu memberikan dampak yang positif terhadap
persoalan hukum itu sendiri.
Prinsip keadilan restoratif (restorative
justice) adalah pendekatan, konsep, atau cara pandang yang memfokuskan diri
pada pemulihan (restore) kepada keadaan semula seperti saat peristiwa
pidana tersebut belum terjadi, baik untuk pelaku maupun korban tindak pidana.
Konsep ini merupakan gagasan yang menolak proses pencarian keadilan dengan
konsep keadilan retributif yang menekankan pada pembalasan (Putri, 2022, hal. 3).
Keadilan restoratif pertama kali diperkenalkan
oleh Albert Eglash yang menyebutkan istilah restorative justice dalam
tulisannya mengulas tentang reparation, menyatakan bahwa restorative justice
adalah suatu alternatif “pendekatan” restitutif dan keadilan rehabilitative
(Mukti & Susanti,
2023, hal. 73).
Kemudian dalam Handbook on Restorative Justice Programmes Second Edition
menyatakan “Restorative justice is an approach that offers offenders, victims
and the community an alternative pathway to justice” (UNODC, 2020,
hal. 4).
Lebih dari 80 (delapan puluh) negara menerapkan
beberapa jenis pendekatan restoratif untuk menangani kejahatan, (ICRC, 2013, hal. 107) salah satunya adalah
Indonesia, awalnya keadilan restoratif pertama kali diperkenalkan dalam
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) melalui mekanisme diversi,
diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 Angka 7 UU No 11 Tahun 2012).
Selanjutnya keadilan restoratif masuk sebagai
salah satu prioritas penegakan hukum nasional melalui Peraturan Presiden Nomor
8 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2020-2024 (Vide Lampiran I, Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, Bab
VIII-15). Kemudian
keadilan restoratif diakomodir dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2023 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku pada 2 Januari 2026
mendatang.
Semangat perubahan tersebut ditandai dengan
dibentuknya jenis pemidanaan yang baru, yakni pidana pengawasan dan kerja
sosial yang sebelumnya tidak terdapat dalam KUHP yang berlaku saat ini, di sisi
lain Hakim wajib mengutamakan keadilan jika terjadi pertentangan antara
kepastian dan keadilan serta adanya pemaafan hakim “Rechderlijkpardon”
yang mempertegas bahwa penegakan hukum pidana nasional kedepan berorentasi
keadilan restoratif.
Keadilan restoratif mendapat dukungan dari
masyarakat, secara kuantitatif, angka penerimaan masyarakat Indonesia terhadap
keadilan restoratif adalah 5,983 (dengan skala 1 untuk penerimaan penuh
keadilan retributif s.d. 10 untuk penerimaan penuh keadilan restoratif).
Artinya masyarakat Indonesia sudah memiliki kecenderungan menerima keadilan
restoratif sebagai salah satu bentuk penghukuman alternatif yang dapat dilakukan
di Indonesia. Temuan ini dapat dimaknai sebagai peluang untuk menerapkan
keadilan restoratif yang lebih ajek di masa depan (Sudaryono, 2023, hal. 8).
Sebelum KUHP Nasional diimplementasikan,
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya terlebih dahulu telah mengadili
perkara berdasarkan keadilan restoratif, melalui Peraturan Mahkamah Agung RI
(Perma) Nomor 1 tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan
Keadilan Restoratif terdapat perkara yang telah diputus menggunakan pendekatan
keadilan restoratif, misalnya Pengadilan Negeri Serui dalam perkara Nomor
7/Pid.B/2025/PN Sru.
Perkara tersebut telah memenuhi unsur diterapkannya pedoman mengadili
perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam Pasal 6
ayat (1) huruf (c) Perma Nomor 1 Tahun 2024, Majelis Hakim dalam pertimbangannya berpendapat oleh karena dalam
persidangan Korban dan Terdakwa telah saling memaafkan dan dari pihak keluarga
Terdakwa telah menyerahkan uang santunan sejumlah Rp1.000.000 (satu juta
rupiah) dan 4 (empat) buah piring gantung serta 5 (lima) lusin piring makan
yang dituangkan dalam surat perdamaian, maka perdamaian yang telah
dilaksanakan dan tercapai tersebut memiliki nilai tinggi yang harus diakui
sebagai bentuk pertanggungjawaban dan penyelesaian perkara ini secara
kekeluargaan serta sebagai bentuk pemulihan hubungan Terdakwa dengan Korban.
Perma Nomor 1 tahun 2024 tersebut
mendefinisikan Keadilan restoratif sebagai “pendekatan” dalam penanganan
perkara tindak pidana, yang artinya keadilan
restoratif tidak boleh hanya berorentasi pada penyelesaian perkara yang
ditandai dengan berhentinya proses hukum, namun harus bisa menjamin bahwa
pertanggungjawaban pidana selaras dengan kepentingan pemulihan korban dan
masyarakat, oleh karenanya keadilan
restoratif tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana (Vide
Pasal 3 ayat (2) Perma Nomor 1 Tahun 2024).
Meskipun antara Pelaku dan korban telah sepakat
melakukan perdamaian akan tetapi hal tersebut tidak serta merta menghentikan
proses hukum, kesepakatan perdamaian dan/atau kesediaan Terdakwa untuk
bertanggung jawab atas kerugian dan/atau kebutuhan Korban sebagai akibat tindak
pidana menjadi alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi pertimbangan
untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (Vide Pasal 19 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2024), sehingga
putusan pengadilan tetap menjadi output penyelesaian perkara yang dilakukan
melalui pendekatan keadilan restoratif, dengan adanya putusan pengadilan maka
kontrol terhadap Terdakwa dalam melaksanakan pemulihan hak-hak korban dan
pertanggungjawaban pidananya tetap efektif dilaksanakan. (ZM/LDR) DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sudaryono, L., et al.
2023. Studi Sikap Publik Terhadap Penerapan Keadilan Restoratif Di Indonesia.
United Nations Office
on Drugs and Crime (UNODC). 2020. Handbook on Restorative Justice
Programmes Second Edition, Thailand Institute Justice (TIJ).
Komite Internasional
Palang Merah (ICRC). 2010. Seri Panduan Pengadilan
Pidana. Panduan Tentang Strategi Untuk Mengurangi Kepadatan Dalam Penjara,
United Nations Office on Drugs and Crime.
Peraturan Perundang-Undangan