Cari Berita

PN Marisa Berhasil Terapkan Keadilan Restoratif dalam Perkara Penganiayaan

article | Berita | 2025-07-24 13:55:37

Kabupaten Pohuwato, Marisa. Pengadilan Negeri (PN) Marisa untuk pertama kalinya berhasil menerapkan keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ) dalam perkara penganiayaan atas nama Terdakwa Fadli I. Hunou “Menjatuhkan pidana bersyarat kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 1 (satu) tahun berakhir,” kutip rilis yang diterima DANDAPALA Kamis 24/7/2025. Perkara tersebut diputus oleh Moh Fakhrul Anam selaku Hakim Ketua, Seftra Bestian dan Catyawi Avesta Sasongko Putro sebagai Hakim Anggota, serta dibantu oleh Panitera Pengganti Marlfrid Frangky F. Ngajow.Perkara ini bermula dari Pemukulan yang dilakukan oleh Terdakwa kepada Saksi Korban lantaran Saksi Korban melihat Terdakwa yang sedang mengintip Saksi Korban bersama istrinya pada saat berada di dapur rumah mereka. Kemudian dari celah dinding dapur yang terbuat dari papan, saksi korban melihat di luar ada Terdakwa yang sedang mengintip Kemudian saksi korban memukul dinding dapur tersebut sambil mengatakan “ohh ba intip ngana ee” (ohh mengintip kamu). Kemudian saksi korban membuka pintu dapur dan mendorong Terdakwa yang pada saat itu sudah berada di depan pintu dapur rumah Saksi Korban. Kemudian terjadi keributan dan Terdakwa langsung masuk ke dalam dapur dan memukul Saksi Korban di bagian kepala.Atas perbuatan tersebut, kemudian terdakwa ditangkap dan dihadapkan ke muka persidangan dengan dakwaan tunggal melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim merasa tidak dibutuhkan lagi adanya hukuman yang memperlama pemidanaan bagi Terdakwa, oleh karena antara Korban dan Terdakwa sudah berdamai dan saling memaafkan serta perdamaian itu sudah dituangkan dalam surat surat pernyataan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak serta keluarganya dan Kepala Desa setempat. Oleh karenanya perdamaian antara pihak tersebut menunjukkan telah tercapainya sejumlah tujuan mengadili perkara berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana PERMA Nomor 1 Tahun 2024, lanjut rilis tersebut.“Majelis Hakim berhasil mendamaikan Terdakwa dan korban di persidangan, dan juga memutus perkara berdasarkan Keadilan Restoratif, dengan mempedomani Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif,” tutup rilis tersebut. (ldr)

Keadilan Restoratif Langkah Inovatif Kebaruan Hukum Pidana Nasional

article | Opini | 2025-07-16 09:05:47

Keadilan merupakan salah satu tujuan utama yang hendak dicapai dalam suatu proses penegakan hukum, hal ini diungkap oleh Gustav Radbruch seorang ahli hukum dan mantan Menteri Kehakiman Jerman dalam “ide das recht”, dimana menurut Radbruch keadilan merupakan nilai tertinggi diantara 2 (dua) tujuan hukum lainya, yakni kemanfaatan dan kepastian hukum. Demikian juga Immanuel Kant dalam “The Metaphysics of Morals” berpendapat “If Justice is lost, there is no reason for humans to live long on earth” yang berarti apabila keadilan telah hilang, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk tinggal lebih lama di bumi, Kalimat ini mengekspresikan sebuah pandangan bahwa keberadaan manusia di dunia sangat bergantung pada adanya keadilan. Jika keadilan tidak lagi ada, maka hidup di dunia ini menjadi tidak bermakna dan tidak ada alasan untuk tetap tinggal. Sebelumnya penegakan hukum pidana di Indonesia berorentasi pada keadilan retributif, hal ini dikarenakan Indonesia masih menggunakan hukum pidana penginggalan Belanda, pada dasarnya keadilan retributif adalah sebuah prinsip penegakan hukum yang menitikberatkan pada suatu pembalasan sebagai hukuman akibat dari suatu perbuatan pelanggaran atau kejahatan. Dalam keadilan retributif perbuatan pelaku menjadi ukuran dari hukuman yang akan dijatuhkan, misalnya seseorang yang melakukan pembunuhan maka menurut prinsip keadilan retributif hukuman yang pantas dan sebanding dengan perbuatan pelaku adalah hukuman mati, artinya hukuman yang dijatuhkan harus sebanding dengan perbuatan yang dilakukan. Fokus dari prinsip tersebut seakan memberikan pesan agar perbuatan pelanggaran atau kejahatan tersebut tidak terulang lagi pada masa yang akan datang dengan memberikan hukuman atau sanksi yang berat, hal ini dikenal dengan “de net deteren efeck.”  Seiring berkembangnya zaman penerapan prinsip keadilan retributif mulai diperdebatkan efektivitasnya, karenanya lahir sebuah prinsip keadilan restoratif sebagai pembanding dalam praktik penegakan hukum yang dinilai lebih progresif dan mampu memberikan dampak yang positif terhadap persoalan hukum itu sendiri. Prinsip keadilan restoratif (restorative justice) adalah pendekatan, konsep, atau cara pandang yang memfokuskan diri pada pemulihan (restore) kepada keadaan semula seperti saat peristiwa pidana tersebut belum terjadi, baik untuk pelaku maupun korban tindak pidana. Konsep ini merupakan gagasan yang menolak proses pencarian keadilan dengan konsep keadilan retributif yang menekankan pada pembalasan (Putri, 2022, hal. 3). Keadilan restoratif pertama kali diperkenalkan oleh Albert Eglash yang menyebutkan istilah restorative justice dalam tulisannya mengulas tentang reparation, menyatakan bahwa restorative justice adalah suatu alternatif “pendekatan” restitutif dan keadilan rehabilitative (Mukti & Susanti, 2023, hal. 73). Kemudian dalam Handbook on Restorative Justice Programmes Second Edition menyatakan “Restorative justice is an approach that offers offenders, victims and the community an alternative pathway to justice” (UNODC, 2020, hal. 4). Lebih dari 80 (delapan puluh) negara menerapkan beberapa jenis pendekatan restoratif untuk menangani kejahatan, (ICRC, 2013, hal. 107) salah satunya adalah Indonesia, awalnya keadilan restoratif pertama kali diperkenalkan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) melalui mekanisme diversi, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 Angka 7 UU No 11 Tahun 2012). Selanjutnya keadilan restoratif masuk sebagai salah satu prioritas penegakan hukum nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 (Vide Lampiran I, Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, Bab VIII-15). Kemudian keadilan restoratif diakomodir dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku pada 2 Januari 2026 mendatang. Semangat perubahan tersebut ditandai dengan dibentuknya jenis pemidanaan yang baru, yakni pidana pengawasan dan kerja sosial yang sebelumnya tidak terdapat dalam KUHP yang berlaku saat ini, di sisi lain Hakim wajib mengutamakan keadilan jika terjadi pertentangan antara kepastian dan keadilan serta adanya pemaafan hakim “Rechderlijkpardon” yang mempertegas bahwa penegakan hukum pidana nasional kedepan berorentasi keadilan restoratif. Keadilan restoratif mendapat dukungan dari masyarakat, secara kuantitatif, angka penerimaan masyarakat Indonesia terhadap keadilan restoratif adalah 5,983 (dengan skala 1 untuk penerimaan penuh keadilan retributif s.d. 10 untuk penerimaan penuh keadilan restoratif). Artinya masyarakat Indonesia sudah memiliki kecenderungan menerima keadilan restoratif sebagai salah satu bentuk penghukuman alternatif yang dapat dilakukan di Indonesia. Temuan ini dapat dimaknai sebagai peluang untuk menerapkan keadilan restoratif yang lebih ajek di masa depan (Sudaryono, 2023, hal. 8). Sebelum KUHP Nasional diimplementasikan, Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya terlebih dahulu telah mengadili perkara berdasarkan keadilan restoratif, melalui Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 1 tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif terdapat perkara yang telah diputus menggunakan pendekatan keadilan restoratif, misalnya Pengadilan Negeri Serui dalam perkara Nomor 7/Pid.B/2025/PN Sru. Perkara tersebut telah memenuhi unsur diterapkannya pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (c) Perma Nomor 1 Tahun 2024, Majelis Hakim dalam pertimbangannya berpendapat oleh karena dalam persidangan Korban dan Terdakwa telah saling memaafkan dan dari pihak keluarga Terdakwa telah menyerahkan uang santunan sejumlah Rp1.000.000 (satu juta rupiah) dan 4 (empat) buah piring gantung serta 5 (lima) lusin piring makan yang dituangkan dalam surat perdamaian, maka perdamaian yang telah dilaksanakan dan tercapai tersebut memiliki nilai tinggi yang harus diakui sebagai bentuk pertanggungjawaban dan penyelesaian perkara ini secara kekeluargaan serta sebagai bentuk pemulihan hubungan Terdakwa dengan Korban. Perma Nomor 1 tahun 2024 tersebut mendefinisikan Keadilan restoratif sebagai “pendekatan” dalam penanganan perkara tindak pidana, yang artinya keadilan restoratif tidak boleh hanya berorentasi pada penyelesaian perkara yang ditandai dengan berhentinya proses hukum, namun harus bisa menjamin bahwa pertanggungjawaban pidana selaras dengan kepentingan pemulihan korban dan masyarakat, oleh karenanya keadilan restoratif tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana (Vide Pasal 3 ayat (2) Perma Nomor 1 Tahun 2024). Meskipun antara Pelaku dan korban telah sepakat melakukan perdamaian akan tetapi hal tersebut tidak serta merta menghentikan proses hukum, kesepakatan perdamaian dan/atau kesediaan Terdakwa untuk bertanggung jawab atas kerugian dan/atau kebutuhan Korban sebagai akibat tindak pidana menjadi alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Vide Pasal 19 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2024), sehingga putusan pengadilan tetap menjadi output penyelesaian perkara yang dilakukan melalui pendekatan keadilan restoratif, dengan adanya putusan pengadilan maka kontrol terhadap Terdakwa dalam melaksanakan pemulihan hak-hak korban dan pertanggungjawaban pidananya tetap efektif dilaksanakan. (ZM/LDR) DAFTAR PUSTAKA Buku Sudaryono, L., et al. 2023. Studi Sikap Publik Terhadap Penerapan Keadilan Restoratif Di Indonesia. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). 2020.  Handbook on Restorative Justice Programmes Second Edition, Thailand Institute Justice (TIJ). Komite Internasional Palang Merah (ICRC). 2010. Seri Panduan Pengadilan Pidana. Panduan Tentang Strategi Untuk Mengurangi Kepadatan Dalam Penjara, United Nations Office on Drugs and Crime. Peraturan Perundang-Undangan

Terapkan Keadilan Restoratif, PN Sumedang Berhasil Damaikan Pihak

article | Berita | 2025-06-27 08:05:47

Sumedang – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sumedang, Jawa Barat (Jabar), kembali menerapkan keadilan restoratif dalam perkara yang ditanganinya. Tercatat pada Senin (23/06/2025), di Gedung PN Sumedang, Jalan Raya Sumedang-Cirebon KM 04 Nomor 52, Sumedang, Jabar, Majelis Hakim berhasil mendamaikan para pihak dalam perkara penipuan.Dalam perkara yang terdaftar dengan Nomor 84/Pid.B/2025/PN Smd, Terdakwa atas nama Yudi Tahyudin tersebut didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif yaitu Pasal 378 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penipuan atau Pasal 372 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP tentang Penggelapan.Kasus bermula saat Yudi yang merupakan Ketua DPD LSM GMBI pada bulan Mei tahun 2025, bersepakat dengan Direktur PT Sinohydro-PP Consortium untuk melakukan kerja sama jual beli limbah besi dalam proyek PLTA Jatigede. “Kesepakatan tersebut dituangkan dalam MoU antara PT Sinohydro-PP Consortium dan PT Pancuran Luhur/DPD LSM- GMBI Sumedang tertanggal 10 November 2020, yang kemudian Terdakwa menandatangani MoU tersebut sebagai perwakilan dari PT Pancuran Luhur/DPD LSM- GMBI Sumedang”, ucap Jaksa Penuntut Umum, Josuhua Gumanti.Setelahnya Terdakwa bersama Agung Hidayat bersepakat untuk mempergunakan MoU tersebut sehingga seolah-olah Terdakwa berhak menjual 13 unit Truk Terek milik PT Sinohydro-PP Consortium. Kemudian Agung Hidayat menghubungi Samuel Somba dan menawarkan untuk penjualan 13 (tiga belas) unit truk tersebut. Selanjutnya Samuel Somba menghubungi Hamdani Lubis dan Suhardi untuk menawarkan penjualan 13 (tiga belas) unit Truk Terex itu.“Saksi Suhardi yang tertarik kemudian membeli truk terek tersebut dan selanjutnya pada datang ke rumah Terdakwa, di mana saat itu Terdakwa menunjukan MoU yang dimilikinya. Lalu setelah melihat MoU tersebut, saksi Suhardi bersepakat dengan Terdakwa untuk membeli 13 unit Truk Terek dengan harga sejumlah Rp1,5 miliar”, lanjut Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya.Setelah Terdakwa menerima penyerahan uang sejumlah Rp1,5 miliar dari Suhardi, Terdakwa membagikan uang tersebut kepada Agung Hidayat sebesar Rp500 juta dan kepada Samuel Somba sebesar Rp50 juta. Sedangkan sisanya Terdakwa pergunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadi, sehingga saksi Suhardi mengalami kerugian sejumlah Rp1,5 miliar.Saat persidangan, Majelis Hakim menerapkan keadilan restoratif dengan mengupayakan perdamai bagi kedua belah pihak. Upaya tersebut kemudian berhasil, di mana para pihak bersepakat menyusun kesepakatan damai sebagai berikut:- Sepakat untuk tidak akan melanjutkan perkara dugaan penipuan dan penggelapan sebagaimana dimaksud dalam sidang perkara pidana Nomor 84/Pid.B/2025/PN.Smd;- Pihak Kedua bersedia mengembalikan uang sebesar Rp1,5 miliar kepada Pihak Pertama;- Sebagai jaminan, Pihak Kedua akan memberikan Sertipikat Hak Milik (SHM) Nomor 281 atas nama Ny. Epong Kurniasih atas sebidang tanah yang terletak di Desa Cijambe;Penandatanganan dan penyerahan uang kemudian dilakukan dihadapan Majelis Hakim. Di mana setelahnya proses persidangan masih akan dilanjutkan sampai dengan pembacaan putusan.“Supaya tidak menghubungi Hakim dan Pegawai, apabila ada uang mencoba silahkan dilaporkan kepada pihak yang berwenang”, ucap Majelis Hakim saat menutup persidangan (AL/LDR).

Sepakat Damai Tanpa Ganti Kerugian, PN Sei Rampah Vonis Pencuri Sawit Pakai RJ

article | Sidang | 2025-06-20 17:00:39

Pengadilan Negeri (PN) Sei Rampah menghukum Terdakwa M. Rian Purba Alias Agok selama 10 hari penjara. Terdakwa di hukum karena telah terbukti mencuri 1 tandan buah kelapa sawit dengan berat keseluruhannya 15 Kg. Perkara tersebut diregister dalam perkara tindak pidana ringan. “Menyatakan Terdakwa M. Rian Purba Alias Agok telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian Ringan”. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) hari,” bunyi Putusan yang dibacakan oleh Hakim Tunggal M. Luthfan Hadi Darus dengan didampingi oleh Emily Fauzi Siregar sebagai Panitera Sidang, Jumat Siang 20/6. Kasus bermula saat Terdakwa bersama rekan Terdakwa mengambil 1 tandan kelapa sawit milik korban dengan maksud untuk dijual. Namun, belum sempat Terdakwa menjual sawit tersebut, pserbuatan Terdakwa diketahui oleh warga sekitar dan Terdakwa langsung diamankan serta diserahkan kepada pihak yang berwenang. “Pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap karena Terpidana dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana atau tidak memenuhi suatu syarat yang ditentukan sebelum lewat masa percobaan selama 1 bulan,” lebih lanjut bunyi amar tersebut. Berdasarkan pantauan Tim DANDAPALA, dalam persidangan tersebut antara Terdakwa dengan Saksi Korban telah terjadi perdamaian, dimana Terdakwa telah meminta maaf kepada Saksi Korban. Selain itu, Saksi Korban telah memaafkan korban dengan syarat korban tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selain itu, Saksi Korban juga tidak meminta ganti kerugian, dikarenakan jumlah kerugian yang dideritanya hanya 15 Kg dengan total kerugian Rp40.500.- Dipersidangan juga disampaikan, antara Terdakwa dan Saksi Korban telah berdamai, korban juga tidak meminta ganti kerugian serta tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa menimbulkan kerugian Rp40.500.- atau tidak lebih dari Rp2.5 juta, maka demi keadilan dan kemanfaatan Hakim dapat menerapkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. (ldr)

Kasus Laka Motor Vs Truk Rem Blong, PN Teluk Kuantan Pakai Keadilan Restoratif

article | Berita | 2025-02-28 10:00:38

Teluk Kuantan-Pengadilan Negeri (PN) Teluk Kuantan, Riau berhasil menangani perkara kejahatan lalu lintas berdasarkan keadilan restorative. Korban  yang mengendarai sepeda motor meninggal dunia akibat ditabrak truk yang dibawa pelaku rem blong.Kasus itu terdaftar dalam perkara nomor 198/Pid.Sus/2024/PN Tlk. Sidang putusan dilaksanakan di ruang sidang pidana PN Teluk Kuantan pada (26/2/2025).Kasus bermula ketika Terdakwa Vernandes Sidabutar sedang mengemudikan truck tronton Nopol BM 8432 FU dengan muatan kosong dari arah Teluk Kuantan menuju arah Kiliran Jao / Lubuk Jambi. Sedangkan di depan mobil yang terdakwa kemudikan, terdapat sepeda motor Yamaha Jupiter Nopol BM 5555 KU yang dikemudikan oleh saudari Kurnia Tika Sari bersama saudari Raisya Etika Tri Oktavia dan Saudari Marjulismawati. Beberapa saat kemudian, datang dari arah yang berlawanan sebuah mobil truk tronton warna hijau yang sedang melaju dengan posisi berada di marka garis putih panjang sebagai pembatas kedua jalur yang berlawanan tersebut. Melihat kondisi mobil truk tronton warna hijau dari arah berlawanan yang berada di tengah tersebut membuat saudari Kurnia Tika Sari memperlambat kecepatan sepeda motor yang dikemudikan. Mengetahui kecepatan sepeda motor yang saudari Kurnia Tika Sari  kemudikan melambat, terdakwa lalu menginjak rem dengan maksud mengurangi kecepatan mobil truk yang terdakwa kemudikan. Namun ternyata rem mobil truk tersebut tidak berfungsi.Setelah mengetahui bahwa rem mobil truk tidak berfungsi, terdakwa juga tidak membunyikan klakson mobil truk sebagai pemberi isyarat, sehingga akhirnya mobil truk yang terdakwa kemudikan menabrak bagian belakang sepeda motor saudari Kurnia Tika Sari kemudikan dan mengakibatkan sepeda motor tersebut oleng ke arah jalur mobil truk hijau sebelumnya.Sedangkan saudari Kurnia Tika Sari bersama saudari Raisya Etika Tri Oktavia dan Saudari Marjulismawati terhempas dan jatuh di aspal jalan. Akibat kejadian tersebut membuat Saudari Marjulismawati meninggal dunia sedangkan saudari Kurnia Tika Sari  bersama saudari Raisya Etika Tri Oktavia mengalami luk-luka yang membuat halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau kegiatan sehari-hari.Atas kejadian itu, aparat melakukan proses hukum dan kasus pun bergulir ke pengadilan.PN Teluk Kuantan menilai perkara itu memenuhi kategori perkara yang dapat diadili berdasarkan Keadilan Restoratif yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e Perma Nomor 1 Tahun 2024. Selanjutnya majelis hakim yang diketuai Agung Rifqi Pratama dan hakim anggota Yosep Butar Butar dan Faiq Irfan Rofii menanyakan dalam pemeriksaan saksi apakah dalam perkara tersebut sudah ada perdamaian. “Ternyata menurut keluarga korban yang menjadi saksi dalam perkara tersebut telah ada perdamaian antara keluarga korban dengan Terdakwa. Selain itu keluarga korban sudah menerima pula uang santunan dan biaya pengobantan sebesar Rp 42 juta,” demikian keterangan pers yang diterima DANDAPALA, Jumat (28/2/2025).Perkembangan terakhir Kurnia Tika Sari sudah kembali ke rumah namun tidak dapat beraktivitas seperti biasa. Sedangkan Raisya Etika Oktavia sudah sembuh. Memperhatikan fakta hukum tersebut, majelis hakim dalam memberikan keringanan hukuman kepada Terdakwa.“Adapun Majelis Hakim  menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 6  bulan serta denda sejumlah Rp 10 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3  bulan. Baik Terdakwa dan Penuntut Umum menerima putusan tersebut,” pungkasnya.