Hukuman mati sejak lama menjadi perdebatan hukum yang tidak pernah selesai di Indonesia. Di satu sisi, ia dipandang sebagai bentuk perlindungan masyarakat dari kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Namun di sisi lain, hukuman mati dianggap bertentangan dengan hak hidup sebagai hak asasi paling fundamental yang dijamin oleh konstitusi dan instrumen HAM nasional maupun internasional.
Ketegangan antara kepentingan negara dalam menjaga ketertiban dan kepentingan individu dalam mempertahankan hidupnya menjadi titik krusial dalam diskursus ini
Jaminan Hak Hidup dalam UUD 1945
Baca Juga: Pidana Mati: Melawan Takdir Tuhan atau Menjalankan Takdir Tuhan?
Pasal 28A UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya (UUD 1945, Pasal 28A). Hak ini dikuatkan oleh Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan hak untuk hidup sebagai non-derogable rights, yaitu hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (UUD 1945, Pasal 28I ayat (1)). Dengan demikian, konstitusi menempatkan hak hidup sebagai hak yang bersifat absolut (Purba, 2021).
Namun, UUD 1945 juga membuka ruang tafsir. Pasal 28J ayat (2) menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan tujuan menghormati hak orang lain serta memenuhi tuntutan keadilan dan ketertiban umum (UUD 1945, Pasal 28J ayat (2)). Norma ini sering dijadikan dasar oleh pihak yang mendukung hukuman mati sebagai bentuk pembatasan hak yang sah demi kepentingan lebih luas (Pusham UII, 2023).
Perspektif UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
UU No. 39 Tahun 1999 mempertegas pengakuan terhadap hak hidup. Pasal 4 menyatakan hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (UU No. 39 Tahun 1999, Pasal 4). Formulasi ini sejalan dengan prinsip dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 (Komnas HAM, 2008).
Namun, problem muncul karena dalam praktik hukum positif, Indonesia masih mempertahankan hukuman mati dalam KUHP maupun undang-undang khusus, seperti UU Narkotika dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian, secara normatif terdapat kontradiksi: di satu sisi hak hidup dilindungi absolut, di sisi lain negara tetap mengatur penghilangan nyawa melalui mekanisme pidana (Universitas Borneo Tarakan, 2021).
Pertarungan Argumen: Konstitusionalitas Hukuman Mati
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 2-3/PUU-V/2007 menyatakan bahwa hukuman mati dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK, hak hidup memang hak asasi, tetapi bukan hak yang tanpa batas; negara dapat membatasinya melalui undang-undang sepanjang dilakukan secara proporsional dan untuk kepentingan yang lebih besar (Mahkamah Konstitusi RI, 2007).
Meski demikian, risalah sidang perkara tersebut juga merekam pandangan berbeda dari para ahli. Prof. J.E. Sahetapy menegaskan bahwa pidana mati bertentangan dengan weltanschauung Pancasila dan tidak memiliki raison d’etre dalam sistem hukum Indonesia (Mahkamah Konstitusi RI, 2007).
Prof. William Schabas menambahkan bahwa perdagangan narkotika tidak termasuk kategori most serious crime secara internasional, sehingga tidak layak dijatuhi hukuman mati; ia menekankan bahwa hak hidup non-derogable dalam UUD 1945 seharusnya mendorong penghapusan hukuman mati di Indonesia (Mahkamah Konstitusi RI, 2007).
Selain itu, Komnas HAM dalam persidangan menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah non-derogable rights sebagaimana diatur Pasal 28I UUD 1945 juncto Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999. Bahkan, Komnas HAM menilai hukuman mati merupakan “produk hukum tanpa sukma” karena bertentangan dengan hak konstitusional yang bersifat absolut (Mahkamah Konstitusi RI, 2007).
Alternatif Pidana: Penjara Seumur Hidup Tanpa Pengampunan Presiden
Sebagai jalan tengah, sejumlah kalangan mengusulkan alternatif pidana berupa penjara seumur hidup tanpa hak pengampunan presiden. Model ini tetap memenuhi tujuan perlindungan masyarakat dari kejahatan luar biasa dengan cara mengisolasi pelaku secara permanen, namun tidak menghilangkan hak hidup yang dijamin oleh konstitusi (Purba & Sulistyawati, 2015). Dengan demikian, negara dapat menunjukkan ketegasan terhadap pelaku kejahatan berat, tetapi tetap konsisten dengan prinsip HAM.
Alternatif ini sejalan dengan tren internasional yang mulai meninggalkan hukuman mati, dan dipandang sebagai bentuk ultimate punishment yang lebih manusiawi. Bahkan, Komnas HAM dalam beberapa kajian menilai bahwa pidana seumur hidup tanpa remisi lebih sesuai dengan komitmen Indonesia terhadap ICCPR yang menempatkan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (Komnas HAM, 2008).
Refleksi dan Penutup
Hukuman mati di Indonesia berada dalam ruang tarik-menarik antara teks konstitusi, hukum HAM nasional, dan praktik perundang-undangan pidana. Dari perspektif normatif, Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 menegaskan hak hidup sebagai non-derogable rights yang bersifat absolut. Hak ini tidak dapat ditawar dalam keadaan apa pun. Dengan demikian, secara doktrinal, konstitusi menuntut negara untuk memposisikan hak hidup sebagai hak yang tidak boleh dikompromikan (Purba, 2021).
Namun realitas politik hukum justru memperlihatkan anomali: negara masih menempatkan hukuman mati sebagai instrumen penal untuk kejahatan tertentu, seperti narkotika, terorisme, dan korupsi. Kondisi ini menimbulkan paradoks antara jaminan konstitusional dengan praktik perundang-undangan positif (Purba & Sulistyawati, 2015).
Mahkamah Konstitusi memang membolehkan hukuman mati dengan alasan proporsionalitas, tetapi perbedaan pandangan para ahli dan lembaga independen menegaskan bahwa hukuman mati sesungguhnya bertentangan dengan semangat konstitusi dan Pancasila (Mahkamah Konstitusi RI, 2007).
Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia menggeser paradigma pemidanaan dari retributive Justice menuju restorative dan rehabilitative Justice. Salah satu langkah konkret adalah mengganti hukuman mati dengan pidana seumur hidup tanpa pengampunan presiden. Skema ini menjaga hak hidup, tetapi tetap menutup peluang bagi pelaku kejahatan luar biasa untuk kembali ke masyarakat. Dengan demikian, negara tetap tegas, namun tetap konsisten dengan prinsip konstitusi dan HAM (Pusham UII, 2023).
Konstitusi mestinya ditafsirkan secara progresif, bukan sekadar untuk menjustifikasi praktik hukuman mati yang mapan, melainkan untuk memuliakan martabat manusia secara penuh. Tafsir progresif ini sejalan dengan living constitution approach yang menempatkan UUD 1945 sebagai instrumen dinamis untuk melindungi hak asasi setiap orang.
Baca Juga: Imparsial Sejak Dalam Pikiran
Penghapusan hukuman mati dan penggantiannya dengan pidana seumur hidup tanpa pengampunan akan menandai transisi Indonesia menuju sistem pemidanaan yang lebih beradab, humanis, serta selaras dengan komitmen universal terhadap hak hidup sebagai hak yang paling fundamental. (ldr/wi)
Daftar Pustaka
- Komnas HAM. (2008). Pengkajian Proses Peradilan Pidana Mati di Indonesia. Jakarta: Komnas HAM.
- Mahkamah Konstitusi RI. (2007). Risalah Sidang Perkara No. 2/PUU-V/2007 dan No. 3/PUU-V/2007, Uji Materi UU Narkotika. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
- Purba, N. (2021). Hukuman Mati dalam Konteks Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia. Medan: Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah.
- Purba, N., & Sulistyawati, S. (2015). Pelaksanaan Hukuman Mati: Perspektif Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
- Pusham UII. (2023). Pidana Mati dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.
- Universitas Borneo Tarakan. (2021). Mekanisme Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia. Tarakan: Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan.
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI